Sunday 5 May 2019


"I thought I was stuck in the same day for some big, cosmic reason - facing my mom's death - but it had nothing to do with her. Turns out it was just some scientific fluke"- Tree

Plot

Untuk menutup lingkaran waktu akibat projek science yang diciptakan oleh Ryan (Phi Vu), Tree (Jessica Rothe) harus kembali mati berulang-ulang lagi untuk mendapatkan algoritma yang benar. Dirinya pun kali ini dihadapkan pilihan sulit yang melibatkan orang-orang yang dikasihinya.



Review

Dua tahun lalu, melalui Happy Death Day (2017), Christopher Landon berhasil menyajikan film horor slasher yang menghibur dengan menjadikan konsep time loop nya sebagai wadah pendewasaan diri pada karakter Tree. Seperti yang saya tulis di review, bila saya sama sekali tidak menyangka Happy Death Day mampu menyandingkan genre slasher nya bersama balutan komedi yang kental. Siapa yang bisa melupakan momen kala Tree harus dibunuh berulang kali demi mendapatkan petunjuk siapa pelaku yang mengincar nyawanya.

Pada sekuelnya, Landon yang kini juga menulis naskahnya, memasuki ranah Science fiction sebagai jawaban akan misteri yang terjadi pada Tree. Jawaban akan misteri tersebut memang lemah, jika tidak ingin dibilang presentasi nya kacau, namun hal ini bukan lah menjadi masalah besar karena, hei, Anda salah memilih tontonan jika ingin mendapatkan teori time loop yang cerdas nan rumit. Karena konsep fiksi ilmiah disini disediakan Landon demi membuka kembali perjalanan penuh kesialan Tree yang kini harus kembali rela mendapati dirinya mati berulang-ulang di hari yang sama. 

Hanya bedanya, di Happy Death Day 2U, kematian Tree menyebabkan dirinya harus terbangun di dimensi yang berbeda. Dengan narasi ini lah, narasinya melebarkan sayap karena kali ini, Tree tidak saja hanya mencari tahu siapa pelaku pembunuhan, tetapi juga dihadapkan pilihan sulit yang melibatkan orang terkasihnya. 

Pergerakan plot masih tetaplah sama, namun diberikan sentuhan berbeda. Seperti montasi kematian Tree, yang selalu berhasil menjadi highlight di seri ini, kali ini bukan disebabkan oleh pelaku, namun lebih sederhana dimana ia lebih memilih untuk membunuh dirinya sendiri. Dan seperti predesornya, disinilah sumber keseruan dan komedi dalam Happy Death Day 2U. Pemilihan cara bunuh diri yang dilakukan Tree menunjukkan kegilaan dan kreativitas Landon dalam mempertontonkan kematian yang tidak kelupaan senantiasa dibalut oleh nuansa komikal. Adegan terjun bebas dan truk penggiling sampah sukses meledakkan tawa saya.

Tidak lupa juga, Happy Death Day 2U menawarkan drama yang melibatkan hati. Seperti yang saya ungkap sebelumnya, Tree dihadapkan pilihan yang secara tidak langsung berimbas terhadap orang-orang terkasih. Setiap momen drama nya berjalan efektif, bahkan pada satu momen, saya tidak menduga jika saya hampir dibuat menangis akan interaksi emosi antar karakter yang terjadi di layar. Dan tidak seperti film pertama, momen emosi ini tidak lewat begitu saja dan berhasil menjadi konklusi sempurna untuk "petualangan" Tree, yang menjadikan sekuelnya ini sedikit lebih baik dibandingkan film pertama.

Permasalahan Happy Death Day 2U sendiri merupakan hal lumrah yang dijumpai setiap film sekuel, yaitu daya kejut nya jelas berkurang. Misteri mengenai siapa pelakunya pun tidak lah semenarik film pertama, karena tampak sekali jika perihal tersebut bukan menjadi fokus utama disini. Lalu, cerita pada menit-menit awal sebelum pusat narasi beralih ke Tree, sedikit membosankan dan bertele-tele. Meski karakter-karakter pendamping memiliki daya tarik sendiri, terutama Danielle (Rachel Matthews), namun semenjak film pertama, nyawa dan magnet terbesar untuk selalu bisa mencengkeram atnesi penonton jelas adalah Jessica Rothe sebagai Tree.

Pada sekuel ini, Rothe kembali berhasil menunjukkan betapa sudah lekatnya ia dengan karakter Tree yang ia lakoni. Ia tidak pernah gagal membuat kita tertawa baik dari ekspresi muka nya, kalimat sarkas hingga aksi over the top nya. Memang selalu menyenangkan sih melihat aktris cantik seperti Rothe seolah kehilangan urat malu nya untuk beraksi gila. Tidak hanya itu pula, Rothe juga berhasil menyuntikkan hati disetiap film bergerak narasinya ke ranah drama. Perhatikan ekspresinya kala ia melihat sosok terpenting di dalam hidupnya hadir di hadapannya. Susah untuk tidak jatuh cinta pada Tree dan semua itu berkat akting menawan dari Jessica Rothe.

7,25/10


Thursday 2 May 2019


"I keep telling everybody they should move on and grow. Some do. But not us"- Captain "Steve Rogers" America

Plot

Para Avengers yang tersisa, berusaha mencari cara dalam mengembalikan milyaran korban akibat dari jentikan jari Thanos (Josh Brolin).



Review

Jika Anda sama seperti saya yang merupakan fans dari Game of Thrones dan mengikuti film-film MCU, rasanya kita bisa sepakat bila dalam 1 minggu terakhir ini merupakan hal yang tidak mengenakkan untuk surfing di dunia internet. Serial Game of Thrones memasuki episode yang menampilkan sebuah perang yang dinantikan oleh penggemar, sedangkan MCU dengan Avengers: Endgame nya sendiri adalah film yang paling dinantikan tahun ini. Spoiler jelas bertebaran di internet, bahkan di tempat yang tidak terduga. Saya sendir menjadi korban spoiler disebabkan ada user bodoh yang seolah begitu bangga telah menyaksikan Endgame terlebih dahulu sehingga dengan begitu sombongnya meninggalkan jejak spoiler di kolom obrolan Live Stream sub count antara PewDiePie vs T-Series di kanal FlareTV. Untungnya spoiler yang tertulis tidak terlalu bisa dibilang mega spoiler juga. Karena itu, selain ingin menyaksikan bagaimana akhir pertempuran Avengers menghadapi Thanos, saya juga ingin segera tenang untuk berinternet ria kembali dan menginstall ulang aplikasi Instagram dan Twitter di Smartphone saya. 

Avengers: Endgame yang masih disutradarai oleh Russo Brothers (kembali) merupakan hasil dari buah kesabaran Marvel dalam membangun universe nya dalam 11 tahun terakhir dengan 22 film nya, dan aspek paling berhasil yang juga menjadi faktor terbesar mengapa MCU menjadi raksasa di industri perfilman dalam satu dekade terakhir adalah bagaimana mereka menangani karakter-karakter di dalamnya begitu memorable dan mudah untuk disukai. Saya yakin, dari penggemar sendiri memiliki masing-masing karakter favorit mereka, baik para karakter superhero nya atau pun sekedar pemeran pembantu. Kecuali Captain Marvel (yang bisa jadi adalah karakter paling poralizing sejauh ini, itupun dikarenakan aspek non teknis), rasanya tidak ada karakter yang begitu dibenci oleh penggemar. Buah kesabaran ini sudah berhasil tampil di Infinity War, bahkan standar yang telah dipasang begitu tinggi pada film itu. Namun Russo Brothers kembali menunjukkan kembali kualitas mereka sebagai sutradara dimana, walaupun bagi saya Infinity War sedikit lebih baik, Russo Brothers sukses memberikan pengalaman sinematik berkesan lewat Endgame ini melalui studi karakter serta balutan emosi yang senantiasa hadir di setiap menitnya. 

Sedari menit awal, Endgame telah kental akan aura depresif nya, ditambah gubahan soundtrack dari Alan Silvestri yang menambah mood keputus asaan yang ada. Russo Brothers yang bekerja sama dengan Christopher Markus dan Stephen McFeely dalam divisi naskah, mengambil setting tidak lama dari ending Infinity War terjadi. Ada karakter yang putus harapan, ada juga yang tetap tegar dan ingin tetap melangkah, serta ada juga yang kehilangan arah sehingga melepaskan beban dan tanggung jawab nya sebagai superhero. Sebagai film blockbuster terbesar di tahun ini, saya cukup kaget menerima kenyataan jika Endgame cukup didominasi oleh aspek drama berfokus pada pendalaman karakter nya. Endgame menyajikan kisah para pahlawan kita ini untuk bersikap dalam setelah kekalahan masif yang mereka terima dan menghadapi ujian terbesar mereka sejauh ini seraya tetap menegakkan kepala mereka. Seberapa besar pengorbanan yang akan mereka beri demi keselamatan galaksi. Sesuai dengan kalimat yang kerap diulang di trailer awal nya, whatever it takes, bahkan jika harus memberikan nyawa mereka. Karena itulah, bila di Infinity War, spotlight yang ada sepenuhnya diambil oleh Thanos, maka di Endgame, Thanos harus rela untuk menyingkir dan memberikan spotlight tersebut kepada member The Avengers, terutama anggota The Avengers pertama, yaitu Captain "Steve Rogers" America (Chris Evans), Iron "Tony Stark" Man (Robert Downey Jr.), Black "Natasha Romanoff" Widow (Scarlett Johansson), Thor (Chris Hemsworth), Bruce Benner a.k.a Hulk (Mark Ruffalo) dan Clint "Hawkey" Barton (Jeremy Renner). Walau memang patut disayangkan karena dengan keputusan ini, karakter-karakter lainnya sedikit terlupakan. Namun hal ini patut dimaklumi, mengingat Endgame sendiri bagaikan sebuah tribute untuk member pertama The Avengers.

Melalui plot time travel nya juga, Endgame bagai kan sebuah perjalanan retrospective untuk mengenang kembali perjalanan mereka. Russo bros membagi karakter nya ke 4 tempat berbeda  Akan terdapat beberapa momen-momen yang hadir dari film sebelumnya, dengan tentu saja sentuhan improvisasi, dan dari sinilah roller coaster emosi dimainkan. Time Travel nya menjembatani beberapa momen-momen emosional yang memiliki esensi pada karakter masing-masing, serta memberikan ruang untuk penggemar kembali mengingat petualangan kita selama ini bersama The Avengers. Tidak hanya menawarkan dosis emosi, namun juga memberikan beberapa jokes segar yang mampu direspon tawa oleh penonton. Interaksi dialog pun seolah tidak pernah menemukan titik jenuh dan selalu menawarkan kesegaran, terutama untuk karkater yang berinteraksi pertama kali dengan karakter lainnya. 

Para aktor pun semakin lekat dengan karakter yang dilakoni masing-masing, tidak lupa juga mereka memberikan efek rasa emosi personal baik dari gestur bahkan hanya melalui tatapan mata. Semuanya bermain cemerlang, namun tidak akan ada yang menampik jika RDJ lah yang menjadi bintang utama nya. RDJ sempurna merefleksikan rasa putus asa dan kepedihan yang tergambar melalui ekspresi muka nya. Barisan dialog yang ia lontarkan kala film bergerak ke ranah drama selalu terdengar meyakinkan sehingga penonton ikut merasakan gejolak yang tengah ia derita. Lalu, tibalah kita pada bagian endingnya yang emosional. Kedekatan emosional yang telah tercipta antar penonton dan tiap karakter menjadi faktor utama akan betapa besar impact yang ditawarkan pada momen ending. Sulit rasanya untuk tidak meneteskan air mata melihat apa yang tampil di layar. Sebuah konklusi sempurna untuk menutup kisah bagi beberapa karakter.

Namun secaea keseluruhab tentu Endgame tidak luput akan kekurangan, karena untuk bagian action, terutama di final fight nya, saya lebih berkesan dengan yang disajikan oleh Infinity War. The Battle of Wakanda sendiri memang masih menjadi salah satu adegan pertempuran terbaik yang pernah disajikan oleh MCU. Meski final fight di Endgame melibatkan lebih banyak karakter dibanding predesornya, namun bagi saya, pertempuran berskala besar tersebut kurang menampilkan momen highlight nya. Tangkapan gambar maupun action sequence nya kurang spesial dan memorable, kecuali ketika para hero wanita nya bersatu dalam menghadapi pasukan yang dibawa Thanos. Malah saya lebih memilih adegan fight yang terjadi sebelumnya, dimana kita mendapatkan Thanos beraksi melawan para Avengers tanpa infinity gauntlet di tangannya. Lebih terasa akan aspek personal yang terlibat, serta juga mampu menampar keras bagi mereka yang meragukan betapa kuat nya Thanos. 

Apakah ini adalah film MCU terbaik? Saya menyerahkan jawabannya kepada Anda. Namun, untuk sebuah film penghormatan maupun surat cinta untuk para pahlawan MCU, jelas Endgame telah menjalankan fungsinya dengan sangat baik. Menarik dinantikan film-film MCU selanjutnya dengan pergerakan narasi yang baru. Good luck, Marvel, to topping this one on next film.

8,25/10




Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!