Saturday 28 December 2019


Dua hal yang saya pelajari setelah dua tahun saya posting mengenai 10 lagu favorit dari Radiohead versi saya adalah, pertama, rasanya hampir mustahil untuk membuat daftar lagu favorit dari Radiohead dengan batasan hanya 10 lagu. Maka dari itu, untuk list terbaru ini, saya menambah 10 lagu lagi untuk bisa masuk ke dalam list, dan tetap saja, bukan pekerjaan yang mudah. Kedua, jangan terburu-buru untuk memilih lagu terfavorit, karena salah satu signature dari karya-karya Radiohead adalah it will grows on you. Pertama kali mendengar mungkin tidak terlalu berkesan, namun setelah ketiga, keempat kali Anda mendengar, bisa jadi lagu tersebut akan menjadi lagu favorit Anda dari Radiohead selanjutnya.

Jujur saja, akan banyak perubahan yang terjadi pada list terbaru ini. Banyak lagu yang baru menjadi favorit saya, dan tentu saja akan ada beberapa lagu yang terpaksa harus terlempar dari list favorit saya. Spoiler, lagu-lagu tersebut adalah Airbag, Idioteque, dan No Surprises. Bukan berarti saya tidak lagi mencintai lagu-lagu tersebut, namun jika dibandingkan dengan 20 lagu berikut yang nanti akan Anda ketahui, tiga lagu tersebut tidaklah terlalu sering saya dengar kembali. Dan bukankah lagu favorit merupakan lagu yang sering Anda dengar?

Baiklah, tidak perlu banyak kata lagi, berikut adalah 20 lagu favorit dari Radiohead versi saya.

20. Codex (The King of Limbs)

Man, The King of Limbs is such an underrated album from Radiohead. Entah kenapa cukup banyak yang menganggap album ini merupakan album terburuk dari Radiohead. Ya, lebih buruk dibandingkan Pablo Honey, dan tentu saja saya tidak setuju. Karena bagi saya, track listing dalam album ini cukup solid dan ada beberapa lagu yang boleh Anda coba, seperti Bloom, Separator dan tentu saja, Codex. Mendengar Codex bagaikan pengalaman spiritual sendiri, dengan sentuhan piano dari Thom Yorke, diimbangi dengan lirik puitis nya, memberikan rasa kedamaian sejenak dari segala permasalahan yang terjadi.
Recommended version: The studio version

19. 2 + 2 = 5 (Hail to the Thief)

Bila berbicara lagu pembuka terbaik di semua album Radiohead, saya tidak ragu untuk memilih lagu ini. Slow build up di menit-menit pertama telah memberikan pertanda bila 2+2=5 menyimpan momen ledakan di akhir, dan sesaat setelah teriakan "Because.." dari vokal Thom Yorke, bersiaplah mendengar sebuah "kekacauan" hasil kombinasi hard riff  dari Ed-Jonny serta tarikan suara penuh kemarahan dari Thom Yorke. Eargasm.
Recommended version: Live version from Glastonbury 2003

18. Videotape (In Rainbows)

Baris lirik "This is my way of saying goodbye" menghadirkan interpretasi jika lagu penutup dari In Rainbows ini bagaikan lagu bertemakan suicide atau paling tidak bernada perpisahan. Ditambah juga dengan kentalnya atmosfir kesedihan berkat dentingan piano dari Thom Yorke. Tidak perduli apakah Anda setuju atau tidak, namun tidak akan ada yang memungkiri keindahan yang Radiohead ciptakan melalui lagu ini. Untuk saya pribadi, Videotape adalah teman untuk saya di saat sedang merindukan seseorang.
Recommended version: Live from Basement

17. Present Tense (A Moon Shaped Pool)

Dengan track seperti Glass Eyes, Daydreaming, True Love Waits dan Present Tense, album A Moon Shaped Pool menjadi album tersedih dari Radiohead. Dan bagi saya, kesedihan serta kekecewaan dari Thom Yorke benar-benar tercurah dalam lagu ini. Tidak terlalu berkesan kala mendengar versi studio nya, Present Tense benar-benar merenggut hati saya di versi akustik nya.
Recommended version: of course, THIS version.


16. Where I End and You Begin (Hail to the Thief)

Salah satu alasan mengapa Radiohead begitu dihormati di dunia musik dan memiliki fans yang cukup militan (bahkan menjadi bahan meme di kalangan penggemar Radiohead sendiri) adalah keabstrakan lirik dari Radiohead yang menciptakan berbagai interpretasi. Tidak terkecuali untuk lagu ini, yang bila dilihat secara sederhana menceritakan relationship, dan jika ingin melihat lebih jauh, bisa juga ditangkap bila Radiohead tengah menceritakan point of view Tuhan melihat umat-Nya. Kekuatan dari Where I End and You Begin adalah groove yang dihasilkan sehingga terkesan lagu ini sedikit jazzy, serta irama bass dari Colin benar-benar menonjol di lagu ini. 
Recommended version: Live from Basement

15. Last Flowers (In Rainbows Disc 2)

Suara sendu, melankolis dari Thom Yorke jelas sangat cocok untuk lagu yang beratmosfir kelam nan depressing seperti ini. Last Flowers yang juga merupakan soundtrack dari film psychological thriller dari Jepang, Confession ini sayangnya cukup terlupakan. Padahal Last Flowers begitu sempurna dalam menangkap ketidak berdayaan manusia yang tengah putus asa akan kenyataan. 
Recommended version: Studio version


14. 'Nude' (In Rainbows)

"Don't get any big ideas. They're not gonna happen". Baris lirik pembuka ini begitu ampuh untuk saya supaya senantiasa berpijak di bumi dan tidak terbawa khayalan imaji yang tinggi. Mencoba untuk tetap realistis di dalam hidup serta tidak berlebihan untuk mengharapkan ekspektasi yang nanti kita dapatkan. Mungkin bagi Radiohead, itulah bentuk pendewasaan diri. Cukup pejamkan mata Anda, dan Radiohead akan membawa Anda ke dunia dimensi berbeda melalui lagu ini.
Recommended version: Studio version

13. Motion Picture Soundtrack (Kid A)

Sama seperti 'Nude', MPS menyuarakan bentuk acceptance seorang manusia jika hidup tidaklah seindah yang dilukiskan oleh media ("It's not like a movie, they fed us on little white lies"). Kombinasi organ dan petikan harpa bekerja sama dalam membentuk keindahan dalam lagu ini. Tidak heran jika banyak penggemar Radiohead ingin lagu ini di putar pada saat pemakaman mereka nanti.
Recommended version: Studio version

12. Creep (Pablo Honey)

Yes, I still love this song. Memang jika dibandingkan dengan lagu-lagu Radiohead periode setelah Pablo Honey, Creep terkesan biasa saja. Namun dengan kesederhanaannya lah, Creep mampu merebut hati pendengar kasual dan masih tetap menjadi simbol bagi para social outcast untuk menyuarakan suara hati mereka. Kepopuleran luar biasa dari Creep menimbulkan tekanan yang tak kalah besar bagi para personil Radiohead, terutama Thom Yorke. Dan mungkin berkat ini juga yang melahirkan momen bagi Radiohead untuk menciptakan maha karya Ok Computer. 
Recommended version: Acoustic version

11. I Might be Wrong (Amnesiac)

Saya tidak terlalu menyukai album Amnesiac, namun tak terpungkiri ada beberapa track yang membuat saya terpikat. Dan I Might be Wrong jelas menjadi favorit saya. Dengan riff yang badass sehingga cukup kental dengan aura western nya, berkolaborasi sempurna dengan video klip lagu satu ini dengan atmosfir noir nya. Repetitif iya, tapi dengan riff guitar seperti ini, mendengar hingga beberapa kali tetap tidak akan bosan. Sentuhan berbeda secara tiba-tiba di 1 menit terakhir berhasil menjadi kejutan yang manis.
Recommended version: Studio version


10. Fake Plastic Trees (The Bends)

Kata "Fake" pada judulnya menggambarkan sepenuhnya akan fungsi lagu ini. Entah dalam lingkungan kita, persahabatan, hubungan cinta bahkan diri sendiri, memiliki potensi akan bentuk kepalsuan yang dihadirkan. Lagu ini mengkritisi itu, meluapkan rasa kemarahan lewat vokal Thom Yorke dan distorsi gitar yang "berisik" pada momen lagu mencapai di klimaks pada bagian chorus. Dan di bagian akhir, kental akan bentuk ketidak berdayaan dan mengharapkan keadaan mampu memaklumi. Beautiful song.
Recommended version: Acoustic version

9. Exit Music (For Film) (Ok Computer)

Lagu yang original nya diciptakan sebagai pengisi soundtrack film Romeo + Juliet, namun seiring berjalan waktu, Exit Music mengalami perluasan makna dan sering dijadikan pengiring dalam film meskipun pada adegan tersebut sama sekali bertolak belakang dengan lirik yang ada (Black Mirror contohnya), namun hal ini tidak menjadi masalah karena yang terpenting adalah dari instrumen musik yang tercipta telah sempurna dalam membangun mood untuk menangkap adegan yang biasanya depressing. Bagi saya sendiri, Exit Music adalah lagu yang paling enak dinyanyikan berkat klimaks nya yang sangat sukses untuk meluapkan segala emosi dalam hati. Part dimana Phil mulai memukul tabuhan drum serta fuzzy bass dari Colin tetap akan menjadi salah satu bagian terbaik di lagu Radiohead.
Recommended version: Studio version

8. There There (Hail to the Thief)

Fan favorite dari album Hail to the Thief, dan setelah mendengarnya, Anda pasti bisa mengerti. Masih beraromakan depressing, namun tidak terlalu kelam dengan iringan nada nya yang terasa uplifting dan bertenaga. Ketika setiap instrumen bergabung di menit-menit akhir, sulit rasanya untuk tidak menggoyangkan kepala layaknya Thom Yorke. 
Recommended version: Studio version

7. Paranoid Android (Ok Computer)

Bila ditilik dari musikalitas, tentu saja Paranoid Android adalah pencapaian terbaik dari Radiohead. Lihat saja dari time signature nya yang kerap berubah-ubah, dan tentu bagian terbaik pada interlude nya yang menunjukkan skill bergitar dari Jonny Greenwood. Diawali dengan atmosfir surreal untuk membantu kesan paranoid, dan bagian favorit saya pada "Rain down" yang emosional berkat atmosfir melankolis nya, lalu ditutup dengan "kekacauan" instrumen kembali layaknya di pertengahan lagu. Paranoid Android, sekali lagi, merupakan bukti betapa kayanya musikalitas dari masing-masing anggota Radiohead serta menasbihkan Radiohead sebagai salah satu band terbaik di generasi sekarang.
Recommended version: Studio version

6. Climbing up the Walls (Ok Computer)

Melalui Climbing up the Walls, Radiohead mendeskripsikan mimpi buruk itu sendiri. Thom Yorke sendiri terinspirasi menciptakan lagu ini berdasarkan pengalamannya ketika bekerja di mental hospital. Atmosfir yang ditawarkan begitu berbeda dibandingkan dengan lagu Radiohead yang lain. Creepy, scary, nightmare, atau seperti yang dikatakan Thom Yorke, skull crushing. Lagu yang mengerikan, namun hal ini juga yang membuat Climbing up the Walls sangat spesial. Dilengkapi dengan teriakan Thom Yorke di akhir lagu yang menggambarkan penderitaan dan haus akan kebebasan.
Recommended version: Studio version


5. Weird Fishes/Arpeggi (In Rainbows)

Lagu terfavorit Radiohead versi Reddit user dan jujur saja saya cukup kaget karena bagi saya saat itu, tidak ada yang spesial sama sekali dengan lagu ini. Repetitif, musik yang terdengar senantiasa sama paling tidak dari 3/4 bagiannya. Cukup susah saya untuk memahami mengapa Weird Fishes itu spesial, setidaknya kala saya tidak sengaja kembali mendengar lagu ini di tengah perjalanan pulang dari aktivitas kerja. Salah satu pengalaman yang tak disangka-sangka mampu membantu saya untuk mulai mengapresiasi lagu ini. Mungkin kala itu, Weird Fishes mampu menangkap perasaan jenuh saya akan begitu repetitif nya kehidupan yang tengah saya jalani. Apalagi pada bagian lirik "Everybody leaves, if they get the chance. And this.... is my chance" yang ikut membantu interpretasi saya jika Weird Fishes mewakili seseorang yang mencari kebebasan dan segera mulai mengambil langkah. Lambat laun, lagu ini menjadi spesial untuk saya.
Recommended version: Live in Basement


4. Street Spirit (Fade Out) (The Bends)

Again, a dark song from Radiohead. I mean, really, really dark. Closing track dari The Bends ini sudah menyapa kita dengan petikan gitar akustik yang begitu depresif, dan tentu saja, dibantu dengan sendu nya tarikan vokal Thom Yorke. Lagu ini merupakan bukti bila Radiohead sangat piawai dalam membangun atmosfir untuk sebuah lagu. Terasa spesial karena begitu sempurna untuk kita yang sedang mengalami keterpurukan dan ingin kabur sejenak dari realita supaya tidak mampu merasakan apa-apa, hanya ingin terbang melayang layaknya Thom Yorke di akhir video klip nya.
Recommended version: Studio version



3. How to Disappear Completely (Kid A)

Bersama dengan Street Spirit (Fade Out), bagi saya How to Disappear Completely merupakan anthem untuk mereka yang merasakan depresi dalam hidup. Thom Yorke boleh saja tidak suka dengan anggapan bila lagu-lagu mereka terkesan depressing, namun untuk saya hal ini lah yang menjadikan satu dari banyak alasan mengapa kebanyakan lagu-lagu Radiohead terasa spesial. Contohnya lagu ini, yang begitu sempurna menangkap perasaan diskoneksi seseorang terhadap kehidupan sosial dan berharap menghilang serta sejenak ingin sendiri, lari dari keramaian. Konon, HtDC adalah ungkapan stress dari Thom Yorke setelah menjalani tur tanpa henti setelah sukses luar biasa akan album Ok Computer. Bagian lirik "I'm not here, this isn't happening" pun terinspirasi dari perbincangan Thom Yorke dengan lead vocal R.E.M, Michael Stipe. Dan bagian akhir nya kala Thom menghadirkan suara falsetto terbaik dari nya sungguh mampu membawa Anda ke dimensi lain dan mengajak Anda untuk "menikmati" sejenak perasaan negatif di dalam diri Anda.
Recommended version: Studio version


2. Reckoner (In Rainbows)

Berdasarkan kilas balik 2019 di Spotify, saya menghabiskan 28 jam untuk mendengarkan lagu ini sepanjang tahun 2019, menempatkan Reckoner adalah lagu yang paling saya dengar di aplikasi Spotify. Tentunya hal ini sudah cukup menggambarkan betapa saya sedang mencintai lagu ini. Tiada hari yang terlewati tanpa mendengar Reckoner. Baik kala bekerja, senggang atau bahkan sebelum tidur. Saya tentu tidak terlalu memahami makna apa yang ingin disampaikan Radiohead melalui lagu ini, namun kesan uplifting begitu kental lewat alunan instrumennya. Dan lewat Reckoner juga, kita bisa mempelajari jika tiap anggota Radiohead, terutama Ed, benar-benar menyampingkan ego mereka demi menciptakan musikalitas seperti ini. Reckoner bila ditilik dari teknik musik, cukup terlihat sederhana dan tidak ada yang benar-benar "wow", tetapi dengan kesederhanaan ini saja, Radiohead mampu menciptakan sebuah karya yang sangat indah, adiktif serta memberikan pengalaman spiritual. Pada bagian bridge nya benar-benar sukses membuat pendengar melayang di angkasa.
Recommended version: Studio version



1. Let Down (Ok Computer)

Sekedar saran, pasang headphone terbaik Anda dan nikmati lagu ini sembari melakukan perjalanan, terutama dengan jalan kaki. Percayalah, lagu ini tercipta untuk situasi tersebut. Menggambarkan jalannya kehidupan sehari-hari dan kita berada di tengah keramaian dengan perasaan ada yang terasa hilang di dalam diri. Rasa kekecewaan yang tak bisa terungkap, hanya mampu tersimpan dalam batin. "Tidak mengapa, nikmati rasa kecewa mu untuk sementara, karena akan ada suatu saat, kamu mampu bangkit dan terbang meninggalkan semua rasa kecewa dan kesedihan mu." Lagu ini seolah berkata begitu kepada saya, dan ya ampun, saya meneteskan air mata hanya mengetik seperti itu. Bagian mendekati ending tentu saja merupakan bagian terbaik nan emosional dalam lagu ini, atau bisa jadi salah satu yang terbaik dari semua lagu Radiohead. Menghadirkan sebuah harmonisasi yang luar biasa indah serta dual vocal dari Thom Yorke semakin menyempurnakan keindahan yang ada. Lagu ini selamanya akan spesial, menjadi bagian hidup, sembari menantikan momen ketika saya menumbuhkan sayap dan terbebas dari semua perasaan negatif selama ini.
Recommended version: Studio version


"ONE DAY, I AM GONNA GROW WINGS"



Monday 23 December 2019


"Sometimes there's no lesson. That's a lesson in itself"- Michael Stone

Plot

Michael Stone (disuarakan oleh David Thewlis) merupakan penulis spesialisasi dalam bidang Customer Service yang sukses. Suatu hari ia melakukan business trip untuk menjadi pembicara di kota Cincinatti. Michael sendiri tampak terserang penyakit psikologis, dimana ia tidak bisa membedakan rupa dan suara orang-orang yang ia lihat. Ditambah pula kenangan masa lalu yang menghantui nya, Michael sama sekali merasakan kehampaan hidup. Hingga nantinya ia bertemu dengan wanita bernama Lisa (disuarakan oleh Jennifer Jason Leigh), yang akan memberikan warna di kelamnya malam Michael.




Review

Mengutip kalimat dari salah satu tokoh animanga Naruto, Gaara, yang berbunyi "people can not win against their loneliness". Mungkin Anda, kita, dan saya, yang pernah merasakan kesepian di suatu periode kehidupan kita, mendadak menjadi denial garis keras dan menganggap kesepian adalah bentuk dari kekerenan itu sendiri. Namun lama kelamaan, sifat dasar manusia kita muncul. Manusia tercipta sebagai makhluk sosial, dan sama sekali tidak mungkin kita tidak membutuhkan orang lain. Disaat kita menyadari ini pula, kita yang telah tenggelam dalam kesepian, mulai menengadahkan pandangan ke atas, memikirkan hidup dan berharap ada orang di sisi kita untuk paling tidak menjadi teman bicara untuk sementara. Anomalisa, karya dari Charlie Kaufman, sutradara dan penulis naskah nyentrik yang menjadi otak di belakang film klasik, Eternal Sunshine of the Spotless Mind, menceritakan kisah kesepian serta kekosongan yang dialami satu karakter, hingga derita tersebut tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri, namun juga orang lain, terutama orang yang ia cintai.

Dibantu oleh Duke Johnson yang duduk di kursi penyutradaraan pada film pertama, Anomalisa masih memiliki DNA ciri khas milik Kaufman. Cerita yang unik, aneh, tidak jauh berpusat dari derita psikologis yang dialami oleh tokoh utama dan begitu kental akan atmosfir sureal nya. Memang, jika dibandingkan karya Kaufman sebelumnya, Anomalisa terkesan sederhana dan cukup mudah untuk diikuti berkat penceritaan yang tidak terlalu njelimet, serta film bergerak secara linear. Meski begitu, bukan berarti Kaufman tidak mengajak kita untuk berpikir dalam karya stop motion animated pertama nya ini. Setiap adegan memiliki makna, terutama mengenai "penyakit" yang dialami Michael, yang hadir sebagai representasi bila Michael telah mengalami diskoneksi akan kehidupan yang telah ia jalani. Suara Tom Noonan untuk tiap karakter dalam film ini, kecuali Michael dan Lisa, juga menggambarkan betapa monotonnya kehidupan Michael, setidaknya dari perspektif dirinya sendiri. Ya, sebagai penulis yang sukses, dikagumi oleh penggemar dan juga telah memiliki keluarga, mungkin bagi orang luar, kehidupan Michael sudah sempurna. Tidak ada yang perlu ia cari lagi. Namun, bagaimana bagi Michael sendiri? 

Dari menit awal, sebagai penonton, kita telah tenggelam dengan kebosanan yang dirasakan Michael. Tidak ada hal yang menarik baginya. Semuanya terlihat sama, rutinitas yang ia jalani tidak juga berbeda jauh seperti hari-hari sebelumnya. Michael pun berusaha sebisa mungkin untuk tidak terlibat pembicaraan dengan orang lain. Datar nya dialog yang ada bersinergi dengan adegan yang berjalan ikut pula datar. Mungkin akan memberikan kebosanan bagi sebagian besar penonton, namun bagi saya sendiri, apa yang disajikan Kaufman disini tidak hanya untuk mengajak kita merasakan apa yang Michael alami, namun juga ikut untuk mengobservasi terhadap karakter Michael. Kembali di adegan awal nya yang datar ini, kita bisa berasumsi jika Michael sudah berulang kali melakukan aktivitas yang sama. Melakukan business trip untuk menjadi pembicara, berkunjung ke berbagai kota, menginap di hotel dan sebagainya. Karena itu lah, Michael sama sekali tidak antusias dalam menjalani nya. Bahkan ketika ada pasangan yang bertengkar pun, yang notabenenya bisa menarik perhatian khalayak umum, bagi Michael terkesan biasa saja. Memberikan indikasi yang cukup kuat jika ia pun sering mengalami hal yang sama terhadap pasangannya. Mau tahu apa yang berhasil mencuri perhatian Michael untuk pertama kali dalam film ini? Menyaksikan seseorang melakukan masturbasi di depan komputer. Ya, mungkin pula ini adalah pengalaman pertama bagi Michael menyaksikan orang lain melakukan kegiatan self pleasure seperti itu. 

Mungkin tidak separah apa yang Kaufman presentasikan disini dalam menggambarkan kekosongan melalui Michael, namun siapa yang tidak pernah merasakan apa yang Michael rasakan? Terutama bagi pekerja kantoran, yang setiap hari, setiap minggu nya terus melakukan aktivitas yang sama tanpa adanya variasi berarti, memaksa kita menjelma tidak berbeda jauh layaknya zombie. Umumnya, hal apa saja yang mampu menawarkan sedikit perbedaan saja, pasti akan kita apresiasi dan mencoba menikmati. Hal ini lah yang Michael rasakan kala ia mendengar suara Lisa yang untuk pertama kali nya, berbeda. Setelah mengalami perbincangan yang tidak menyenangkan yang berdampak akan timbulnya kegelisahan yang luar biasa, Michael mendengar suara Lisa, yang menghentikan cemas berlebihan Michael. 

Perbedaan yang ditawarkan Lisa pun mampu memberikan dampak positif bagi Michael. Untuk pertama kali ketika ia menginjakkan kota Cicinnati, ia merasakan semangat hidup. Ia ingin terus-terusan terlibat percakapan dengan Lisa, supaya bisa senantiasa mendengarkan suaranya. Kesan yang sama pun ikut saya rasakan, dimana ketika setengah jam lebih kita hanya melihat sosok Michael dan gambar rupa orang yang sama semuanya, sosok dan suara Lisa memang memberikan dampak yang signifikan. Suara dari Lisa sendiri mungkin biasa saja, begitu pula dengan sosoknya, bahkan dirinya sendiri tidak pede dan terkesan rendah diri terhadap penampilannya, namun saya sendiri melihat dan mendengarnya bagai sosok dewi. Saya pun ingin melihat Lisa lebih lama, ingin tetap mendengar suara nya. Sensasi ini jelas apa yang diharapkan Kaufman kepada penontonnya, berkat pendekatan absurd serta kental akan emptiness nya sebelum Lisa muncul di layar. Dalam waktu singkat pula, saya perduli dengan karakter Lisa, dan yang menyakitkan, tercium jika hubungan antara Michael dan Lisa tidak akan berjalan lama.

Ending yang hadir tidak hanya menghadirkan rasa pahit, namun juga kembali pada titik awal. Terdapat seorang yang tersakiti lagi, kebahagiaan yang didapat hanya sementara dan juga memakan korban. Bagi saya, akhir dari Anomalisa adalah satu dari sedikit film yang menawarkan rasa tanpa harapan dan membenci akan situasi yang ada. Anomalisa memang bukanlah sebuah perjalanan yang menyenangkan, namun merupakan visualisasi sempurna teruntuk mereka (juga saya) yang pernah atau sedang menjalani kekosongan di dalam hidup.

8,5/10 

Saturday 14 December 2019


"This is a twisted web, and we are not finished untangling it, not yet."- Benoit Blanc

Plot

Penulis novel terkenal, Harlan Thrombey (Christopher Plummer), ditemukan tewas di pagi hari setelah perayaan ulang tahunnya yang ke 85. Dugaan kuat bila Harlan tewas akibat bunuh diri, namun dugaan tersebut tidak menghentikan detektif swasta, Benoit Blanc (Daniel Craig), untuk melakukan investigasi serta mengumpulkan satu demi satu pernyataan dari tiap anggota keluarga, termasuk caretaker pribadi Harlan, Marta (Ana de Armas). 



Review

Tidak akan ada yang memungkiri bila Star Wars: The Last Jedi merupakan film paling divisive pada dekade ini. Kritikus boleh saja menyukai, namun tidak bagi para penggemar, dan hal ini bisa dilihat di situs Rotten Tomatoes dimana terlihat jelas perbedaan antara rating dari kritikus dan penggemar. Tak perlu ditanya juga bagaimana penggemar Star Wars begitu membenci film tersebut dan sering kali, salah satu kambing hitam yang sering disalahkan atau menjadi korban hujatan adalah Rian Johnson, yang tidak lain tidak bukan adalah sutradara dari The Last Jedi. Kredibilitas seorang Rian Johnson pun dipertanyakan, dan tidak jarang pula ia dianggap sebagai sutradara terburuk di generasi sekarang. Penilaian yang berlebihan menurut saya, karena terlepas bagus atau tidaknya The Last Jedi, resume dari Rian Johnson tidak lah sembarangan. Ia merupakan orang yang menyutradarai episode Breaking Bad, Ozymandias, yang masih menjadi satu-satunya episode tv series yang memegang rating sempurna di imdb. Dengan Looper, Johnson pun mampu menghadirkan kisah time travel yang menegangkan. Dan mengingat Knives Out adalah film pertama yang disutradarai juga ditulis oleh Johnson setelah The Last Jedi, saya menganggap jika ini adalah ajang pembuktian untuk Johnson jika penilaian buruk dari para penggemar Star Wars adalah salah besar.

Apabila Anda merupakan penggemar film bertipe drama kriminal ala detektif dengan sentuhan whodunit, maka Knives Out jelas film yang sangat tepat untuk Anda. Pada setengah jam awal saja, Rian Johnson telah menghadirkan momen interogasi intens yang melibatkan Blanc serta dua letnan polisi, Elliot (Lakeith Stanfield) dan Trooper Wagner (Noah Segan) yang akan memberikan pertanyaan kepada tiap anggota keluarga yang ditinggalkan mengenai kejadian di saat pesta ulang tahun. Dari Linda (Jamie Lee Curtis), putri sulung Harlan bersama suaminya, Richard (Don Johnson), Walt (Michael Shannon), putra Harlan yang menjalankan penerbitan buku yang ditulis Harlan, hingga Joni (Toni Collette), semuanya memberikan pernyataan berdasarkan dari pertanyaan yang diajukan oleh Elliot. Dari permulaan, setiap kesaksian yang diberikan oleh mereka terlihat aman-aman saja, hingga kendali interogasi dipegang oleh Detektif Blanc, yang sontak akan membuka tabir baru sehingga penonton mempelajari jika terdapat konflik antara karakter yang terlibat dengan Harlan. Tampak juga jika hubungan antar anggota keluarga tidak lah sebaik yang diperkirakan.

Dari momen interogasi itu saja, saya telah yakin jika Rian Johnson paham betul bagaimana menghadirkan sebuah kisah misteri yang mampu mengikat erat penonton untuk senantiasa mengikuti hingga akhir. Gelontoran baris dialog yang ia tulis dihadirkan begitu dinamis dan tentunya berpotensi menyimpan kunci petunjuk jawaban sehingga bukan pilihan yang bijak jika Anda pangling sedikit saja dari layar.  Sebagai editor, Bob Ducsay menunjukkan kepiawainnya disini dengan editing yang dinamis dan menjadikan adegan demi adegan layaknya puzzle jigsaw. Selain itu, kasus yang ada tidak pernah gagal untuk menggelitik penonton supaya ikut terlibat dalam menduga-duga siapa tersangka yang paling mencurigakan untuk melakukan pembunuhan, apalagi ketika Johnson menghadirkan setiap konflik yang terjadi melalui flashback yang ada. Penonton secara sukarela memperhatikan alibi, motif bahkan sampai ke karakterisasi masing-masing karakter. Ya, Johnson seolah mengajak penonton untuk terlibat langsung laiknya detektif Blanc.

Tulisan naskah dari Johnson merupakan faktor utama mengapa Knives Out berjalan begitu menyenangkan dan tidak pernah membosankan. Tidak hanya Johnson teliti dalam menyebarkan kepingan-kepingan petunjuk melalui dialog, namun juga piawai dalam meminimalisir adanya plot hole yang mengganggu. Ditambah lagi, Knives Out tidak hanya berfokus untuk mencari jawaban siapa pelaku, namun senantiasa ada turning point dimana naskahnya melebarkan sayap dan menambah fokus penceritaan, sehingga membuat Knives Out seolah tidak pernah kehabisan bensin untuk senantiasa menjaga atensi penonton untuk tetap mengikuti kisahnya. Subverts expectations yang dilakukan Rian Johnson mungkin menjadi poin yang paling dikritisi pada The Last Jedi, namun untuk kisah orisinil seperti ini, tentu saja poin tersebut menjadi satu kekuatan, dan ini tidak terlepas dari ketelitian Johnson dalam membangun kasusnya. 

Knives Out memang tidak berakhir dengan tanpa cela. Yang paling mengganggu jelas saat filmnya mencoba menyentuh ke ranah aksi yang bagi saya sedikit out of place sehingga kalaupun tanpa adegan tersebut, rasanya Knives Out tidak lah kekurangan apapun, bahkan mungkin jauh lebih baik. Dan mengenai dialog nya, Johnson memang telah meminimalisir untuk meniadakan plot hole mengganggu untuk kasus nya, namun saya tak menampik ada beberapa poin yang patut dipertanyakan sehingga ada poin-poin itu seperti dipaksakan supaya mendukung plot nya. 

Pada beberapa kesempatan, terdapat sentuhan isu politik yang terpapar dari dialog nya. Yang paling kentara adalah fakta negara asal dari Marta yang sering kali berubah-ubah keterangannya dari masing-masing karakter. Kritik satir untuk penduduk Amerika? Saya tidak tahu. Namun yang pasti, ada maksud tersembunyi dari Johnson. 



Naskah dari Rian Johnson memang menjadi kekuatan utama, namun tentu saja film yang bagus memerlukan para pemeran yang bermain optimal. Bersama The Irishman, Knives Out adalah salah satu film yang memiliki ensemble cast yang brilian. Masing-masing aktor mampu menghidupkan karakter masing-masing sehingga walaupun tidak terlalu mendapatkan screentime yang banyak, namun penonton tidak melupakan kehadirannya. Namun bila saya harus memilih yang terbaik, akan ada 3 nama yang muncul, yaitu Daniel Craig yang tampil mencolok dengan aksen southern nya, serta piawai dalam menghadirkan sosok detektif Blanc yang pintar layaknya detektif dan juga tidak jarang komikal, lalu Chris Evans yang patut mendapatkan kredit lebih usai mampu menanggalkan sosok Captain America dalam dirinya dengan memerankan Ramson yang menyebalkan dan terakhir tentu saja ada Ana de Armas sebagai Marta yang menjadi sumber emosi setiap menit film berjalan serta mudah untuk mendapatkan dukungan dari penonton berkat kharisma likeable (serta cantik, tentu saja) dari Ana. Susah untuk menjelaskan lebih jauh karena berpotensi spoiler, namun yang jelas pada saat turning point nya muncul di layar, tetap tidak bisa melepaskan dukungan saya terhadap Marta.

Ditutup dengan iringan musik akustik lembut dari Nathan Johnson, Knives Out pun berakhir bagaikan kelegaan dari penonton setelah kita akhirnya mengetahui jawaban sebenarnya melalui sebuah adegan yang sangat intens dan juga menuntut daya ingat dari penonton mengenai petunjuk-petunjuk yang telah disebar oleh Johnson. Ditambah pula dengan sebuah shot gambar yang cukup memorable, Rian Johnson membuktikan kepada penonton kasual seperti saya bila ia tidaklah seburuk seperti penggemar Star Wars tuduhkan dengan menghadirkan sebuah film misteri yang susah terlupakan. Tidak heran bila beberapa tahun kedepan, label classic movie akan menempel erat untuk Knives Out. 

8,5/10

Sunday 8 December 2019


"You're the first person in this process who's spoken to me like a human"- Charlie

Plot

Pernikahan Charlie (Adam Driver) dan Nicole (Scarlett Johansson) tengah berada di ujung tanduk sebab Nicole menggugat cerai Charlie. Awalnya, masing-masing ingin menyelesaikan secara damai. Namun perlahan, konflik antara mereka makin lama makin rumit sehingga keduanya melibatkan pengacara untuk mendapatkan jalan keluar. Permasalahan pun kian melebar, termasuk perebutan hak asuh Henry (Azhy Robertson), putra semata wayang Charlie dan Nicole. Nicole tentunya ingin Henry tinggal bersamanya di Los Angeles, namun masalahnya, Charlie pun memiliki keinginan yang sama dan ingin mengasuh Henry di New York. Charlie keberatan jika harus bolak balik New York-Los Angeles terus-terusan karena disamping banyaknya biaya yang harus dikeluarkan, namun pekerjaannya sebagai sutradara teater pun ikut terganggu.



Review

Pada adegan pembuka, Marriage Story menyapa kita dengan voice over yang masing-masing merupakan testimoni dari Charlie dan Nicole. Diawali dengan Charlie menggambarkan sosok Nicole yang didominasi akan pujian nya terhadap Nicole, begitu pun sebaliknya. Nicole digambarkan oleh Charlie sebagai kepribadian yang mampu membuat orang nyaman di dekatnya, pendengar yang baik, aktris berbakat, tidak egois dan jago menari. Sedangkan Nicole menyukai Charlie yang berani untuk tidak mendengar pendapat orang lain demi cita-citanya, sangat menjaga kerapian, mandiri dan suka menjadi seorang ayah. Dari dua voice over yang terdengar, tampak bila Charlie dan Nicole seperti pasangan yang mencintai dan begitu mengenal satu sama lain, hingga ketika voice over selesai dan Noah Baumbach menghadirkan fakta kepada penonton jika keduanya tengah menghadapi proses perpisahan. Kurang dari 10 menit, Baumbach telah mengikat atensi saya untuk terus mengikuti kisahnya hingga akhir. 

Kita pun menangkap jika yang menginginkan perceraian adalah Nicole. Maka dari itu, narasi di awal akan bergerak dengan menelusuri motif dibalik keputusan Nicole tersebut dan sepenuhnya diambil dari sudut pandang Nicole. Namun sebelum menuju kesana, Baumbach memilih untuk membangun kedekatan penonton dengan Nicole. Kita diajak untuk mengenalnya, bagaimana interaksi antara dia dengan Charlie, Henry serta ibu dan adik nya, hingga ke pekerjaannya. Dari baris dialog, belum terlalu frontal karena Baumbach sengaja untuk menyebarkan keping-kepingnya terlebih dahulu sebelum kita akhirnya mendapatkan jawaban kala Nicole curhat dengan calon pengacara nya, Nora  Fanshaw (Laura Dern). Dan dari obrolan inilah, saya yang awalnya hanya berekspektasi Marriage Story sebagai film drama perceraian kebanyakan, mendapatkan suguhan adegan emosional yang mampu membuat saya terkesima. Dan percayalah, adegan seperti ini akan menyapamu berkali-kali dalam Marriage Story. 

Yang membuat Marriage Story begitu fantastis adalah kepekaan rasa dari Baumbach dalam membangun konfliknya serta keberhasilannya Baumbach untuk membuat penonton tidak sepenuhnya untuk mendukung salah satu karakter. Baumbach tidak buru-buru dalam menjalankan narasinya. Pembagian screentime antara Charlie dan Nicole saya rasa juga sudah adil, karena Marriage Story sepenuhnya memang diambil dari POV dua karakter ini. Kita diajak untuk melihat perjalanan kedua karakter untuk mencoba menyelesaikan permasalahan diantara mereka, yang nantinya secara perlahan semakin melemahkan dan harapan untuk bisa kembali bersama juga ikut menipis. Dari Charlie dan Nicole sendiri menghadapi konflik ini dengan berbeda, dimana Nicole lebih terlihat fragile dan lemah, berbanding terbalik dengan Charlie yang lebih kalem serta santai. 

Namun dibalik terlihat lemahnya Nicole, nyatanya ia lebih bijak, fokus dan taktikal dalam mengurus perceraiannya. Dari baris dialog saja, kita mengetahui jika Nicole sudah beberapa kali mengunjungi kantor untuk mendapatkan pengacara, sebelum akhirnya ia menunjuk Nora sebagai pengacara resminya. Berkat ini pula Nicole sudah beberapa langkah di depan dibandingkan dengan Charlie yang tanpa sadar semakin ditekan oleh situasi. Minim pengetahuan tentang perceraian dan kenaifannya dalam menghadapi situasi mengakibatkan ia tertinggal jauh.

Iya, naif. Sebab Charlie masih menganggap Nicole tidak akan full power dalam melawannya. Charlie masih berpikir jika pintu untuk menyelesaikan permasalahan dengan calon mantan istri bisa dilakukan tanpa harus melibatkan pengacara, serta tanpa harus berakhir dengan saling menyakiti. Fakta ini juga mengindikasikan jika Charlie belum kenal betul dengan istrinya, yang turut pula didukung dengan curhatan Nicole sebelumnya. Pada momen ini, rasanya mudah bagi penonton untuk mendukung Nicole. Terlebih lagi juga akan terkuak fakta baru bila Charlie juga bukanlah suami yang baik-baik amat karena satu dosa yang telah dilakukan.

Menit per menit durasi film berjalan, Baumbach akan menghadirkan beberapa fakta untuk mendukung narasi. Yang membuat Marriage Story hebat lagi adalah kenyataan jika film ini cukup informatif bagi penonton yang sama sekali tidak tahu bagaimana proses perceraian serta peliknya urusan dalam mengambil hak asuh anak. Sudah rahasia umum jika fakta bukanlah hal yang konkrit dalam peradilan, namun saya tidak menduga juga jika satu statement yang terucap, bahkan sudah terlupakan mungkin saja, bisa menjadi motif yang kuat untuk menekan lawan. Ketika Charlie berusaha untuk mendapatkan pengacara pun kita disuguhkan dengan fakta serta situasi yang menarik. Dan Baumbach  dengan cermatnya menghadirkan dialog-dialog seringan mungkin untuk meminimalisir tersesatnya penonton. Sering kali juga terdapat humor menggelitik yang terselip di tengah situasi serius, seperti momen di persidangan atau ucapan dari Nicole kala Nora memeluknya pertama kali. Hal ini yang membuat Marriage Story tidaklah terlalu depresif untuk diikuti seperti Revolutionary Road atau Blue Valentine. 

Kala Adam Driver hampir mendominasi jalan cerita di pertengahan, di saat itu juga penonton mulai menyaksikan karakter Charlie semakin terlihat kehabisan jalan. Karakternya yang pada awalnya tenang, mulai menunjukkan kekhawatiran, dan pada satu titik pun kita akhirnya melihat keputus asaan yang ia rasakan. Ingat ketika saya sebelumnya bilang bila Baumbach mampu membuat penonton tidak sepenuhnya untuk mendukung salah satu karakter saja? Iya, pada momen inilah, kita bisa bersimpati pada karakter Charlie. Toh, terlepas dari kekurangannya, ia tetap adalah seorang ayah yang menyayangi putra nya. Dan melihat perjuangannya untuk mendapatkan hak asuh penuh, hingga nantinya bersedia keluar uang banyak demi mendapatkan pengacara yang mampu melawan Nora, Charlie berhasil menjadi lawan sepadan Nicole dalam hal merebut simpati penonton. 

Marriage Story secara mengejutkan berhasil mengaduk-aduk perasaan saya melihat konflik terjadi. Baumbach sukses memposisikan saya layaknya anak yang tengah menyaksikan ayah ibu nya bertengkar untuk mendapatkan saya. Kita ingin keduanya baik-baik saja, namun juga tidak bisa berbuat apa-apa kecuali untuk menemani mereka kala dibutuhkan. Ada 2 atau 3 kali momen yang mampu membuat saya meneteskan air mata. Seperti tentu saja ketika Nicole akhirnya mengungkapkan alasan mengapa ia memutuskan untuk berpisah dengan Charlie. Ekspresi hopeless dari Adam Driver pun sering membuat saya trenyuh melihat nasib Charlie. Namun pertahanan saya untuk tidak menangis akhirnya jebol juga tepatnya pada saat Henry dan Charlie membaca sesuatu. Air mata yang menyayangkan kondisi sehingga membawa pasangan ini hingga ke titik itu. 

Baumbach juga begitu pintar untuk menyampaikan maksud tanpa harus ada dialog, hanya cukup dengan visual saja. Ambil contoh gambar di atas, dimana Nicole dan Charlie di dalam kereta, keduanya saling menatap dengan posisi berseberangan, dan terletak tiang pegangan kereta di tengah-tengah mereka. Mengindikasikan bila sebenarnya ada sekat di antara mereka berdua, namun sekat itu pula yang menghalangi mereka untuk membicarakan perasaan masing-masing. Situasi pun kembali dihadirkan oleh Baumbach ketika mereka berdua memutuskan untuk berbicara. Dengan pengambilan gambar yang sama, namun tanpa sekat. Dan pada momen ini lah kita mendapati momen penguras emosi terbesar yang mampu memaksa saya merasa miris dan sedih dalam diam, dimana Baumbach menelanjangi rasa terpendam masing-masing dari Nicole maupun Charlie. Brilian.

Adam Driver dan Scarlett Johansson jelas bermain fenomenal disini. Bagi saya, ini adalah peran paling emosional dari ScarJo, lengkap dengan ditanggalkannya kesan seksi yang selalu melekat pada dirinya sehingga penonton lebih terfokus pada aktingnya. Johansson mampu menampilkan kerapuhan Nicole tampak begitu nyata dan tidak mendramatisir, serta diimbanginya juga dengan kesan strong mother tanpa kehilangan kehangatan. Lihat saja momen ketika ia mengikat tali sepatu Charlie di suatu kesempatan. Driver pun juga tidak kalah fenomenal nya, dengan penampilannya sebagai Charlie yang perlahan semakin tidak tahu harus bagaimana lagi. Driver begitu piawai dalam berbicara secara subtil melalui mimik muka sehingga penonton ikut merasakan, meski tanpa iringan dialog atau ekspresi menangis dsb. Dengan meyakinkannya pula ia mempresentasikan kejatuhan seorang Charlie akibat kalah atas kondisi secara perlahan. Kala ia menyanyikan lagu "Being Alive", disitu pula puncaknya Driver membuncahkan semua rasa kesedihan dan pahit walau tanpa harus dengan air mata mengalir. Malah sepertinya penonton lah yang mampu ia buat menangis (saya hampir aja nangis lagi).

Marriage Story begitu merefleksikan pada kenyataan, dibantu dengan tiada hitam dan putih pada karakternya. Keduanya memiliki kelebihan, dan tak terlepas dengan kekurangan juga. Baumbach pun mengakhiri film nya dengan tone yang cukup hangat namun kental akan ironi berkat iringan musik dari Randy Newman. Pada akhirnya, kehidupan harus tetap berlangsung, dan kita pun kembali untuk beradaptasi dalam fase kehidupan yang baru. Marriage Story tentu memiliki kekurangan, dan yang paling jelas adalah durasinya yang cukup panjang yaitu 136 menit, namun dalam pengalaman menonton pertama saya tidak terlalu memikirkan kekurangan film ini. Yang saya tahu, Marriage Story adalah salah satu film tentang perceraian terbaik, bersama dengan Revolutionary Road atau Blue Valentine.



8,75/10

Saturday 7 December 2019

"Motherhood is a mental illness"- Ramona

Plot

Sebagai stripper yang baru bekerja di club Moves, Destiny (Constance Wu) kesulitan untuk mendapatkan penghasilan yang memuaskan. Sadar jika kemampuannya dalam "menghibur" perlu ditingkatkan, Destiny pun mencoba mendekati Ramona (Jennifer Lopez), stripper kelas atas yang juga bekerja di tempat yang sama layaknya Destiny. Ramona dengan senang hati menerima Destiny sebagai muridnya, dan perlahan hubungan mereka pun semakin dekat sehingga mereka berdua pun berteman. 



Review

Diangkat dari artikel New York Magazine karya dari Jessica Pressler bulan Desember 2015, Hustlers bisa saja hanya menjadi film yang mengeksploitasi tubuh-tubuh indah para aktris yang terlibat dikarenakan tema film nya sendiri begitu kental dengan dunia malam serta pastinya, striptease itu sendiri. Namun di tangan Lorone Scafaria, Hustlers memiliki cerita yang lebih dari sekedar 4 stripper yang melakukan tindakan kriminal demi pendapatan lebih. Kental dengan unsur kekeluargaan, persahabatan serta usaha untuk bertahan hidup, Hustlers bisa saja menjadi film bertemakan kriminal yang emosional dan mampu memberikan perspektif lain untuk para pekerja malam yang sering mendapatkan stigma negatif ini. Ada usaha menuju kesana, namun sayangnya, Scafaria terlarut menyajikan hidup glamor dan perilaku foya-foya para karakter nya, ketimbang mengambil opsi untuk memperdalam interaksi, atau kehidupan intim para karakter kala tidak sedang beraksi di pole dance atau merayu para pria yang akan menjadi korban.

Scafaria menyajikan Hustlers dengan gaya non linear, dimana kala film berjalan sepuluh menit, kita sudah mendapati sosok Destiny tengah diwawancarai oleh jurnalis, Elizabeth (Julia Stiles). Meski Anda bukan penonton yang telah mengetahui kisah dari film ini diangkat, Anda sudah bisa menangkap dari obrolan antara Destiny dan Elizabeth jika nantinya Destiny dan Ramona akan melakukan tindakan di luar hukum. Serta dari obrolan ini juga lah, tertangkap jika akan ada konflik yang terjadi antara Destiny dan Ramona.

Penonton perlu merasakan kedekatan dengan Destiny serta pertemanannya dengan Ramona, sehingga ketika konflik mulai bermuara yang menyebabkan keretakan hubungan pertemanan antar keduanya, penonton akan menyayangkan kenyataan itu dan berharap sebisa mungkin keduanya tetap berteman, dan Scafaria jelas menyadari ini. Karena itu lah, ketimbang untuk menggerakkan Hustlers langsung masuk ke aspek kriminal nya, Scafaria lebih memilih untuk membangun kedekatan tersebut dengan menghadirkan hari-hari dimana Ramona mengajari Destiny bagaimana menari erotis di atas panggung serta menghibur para klien dengan lebih sensual. Tidak hanya itu, Destiny pun diperkenalkan dengan teman-teman Ramona serta memberikan informasi lebih dalam perihal Wall Street guys yang kerap kali menjadi pelanggan Moves. Bagaimana untuk setiap kelas nantinya mendapatkan perlakuan yang berbeda, dan untuk para bos-bos Wall Street jelas akan mendapatkan treatment khusus. Mereka dibiarkan bertindak sesuka hati tanpa harus khawatir akan konsekuensi selama uang terus dikeluarkan. 

Mungkin Anda sebagai perempuan akan merasakan ketidaknyamanan melihat bagaimana berkuasa nya para pria disini dengan kekuasaan yang dimiliki, namun jangan khawatir, karena malah sebaliknya, mayoritas disini para pria ditampilkan layaknya pria hidung belang yang bodoh dan mudah tertipu akibat akal mereka yang telah tergoda akan keindahan tubuh perempuan. Scafaria pun sempat menyinggung harga diri para laki-laki yang masih merasa malu untuk melaporkan kejahatan yang dilakukan Ramona dkk hanya karena tidak ingin dilihat lemah setelah menjadi korban para wanita. Iya, dengan filmnya yang kental akan pekerjaan yang bagi saya menjatuhkan harga diri wanita, disini Scafaria bermurah hati untuk memperlakukan para stripper terlihat lebih cerdas juga kuat.

Mengenai relasi Destiny-Ramona yang menjadi salah satu fokus utama, walau saya tidak terlalu terikat lebih dalam, namun setidaknya saya menyukai hubungan keduanya. Ramona terlihat bak seorang kakak bagi Destiny, yang notabenenya memiliki masa lalu menyedihkan yang erat dengan kesepian. Destiny sendiri hanya tinggal bersama nenek nya seorang diri, dan nantinya pula ia akan memiliki putri dari hubungan yang tidak bertahan lama. Di berbagai kesempatan, Destiny sering mengungkapkan jika ia ingin menghasilkan uang sebanyak-banyak nya untuk bisa mandiri tanpa harus bergantung dengan orang lain. Keinginan ini juga yang diharapkan Scafaria yang juga menulis naskah untuk film ini supaya penonton memahami kala Destiny lebih memilih untuk tidak menghubungi Ramona walaupun kondisi Destiny tengah menjalani masa yang sulit. 

Pada saat ini lah, Destiny akhirnya kembali bertemu dengan Ramona. Berkat akting kaya rasa serta kuatnya chemistry antara Wu-Lopez, saya merasakan kehangatan kala Destiny memeluk erat Ramona. Dengan bertemu nya mereka berdua, Hustlers pun memasuki babak baruk dan disinilah elemen kriminal nya begitu kental terasa. Dan siapa sangka juga, kala film mulai menghadirkan praktek terbaru yang dijalani oleh Ramona bersama Destiny, serta dua teman mereka lainnya, Annabelle (Lili Reinhart) dan Mercedez (Keke Palmer), Hustlers justru menghadirkan beberapa momen komedik yang efektif mengundang tawa. 

Sumber tawa tidak jauh dari reaksi karakter nya sebab para pria yang teler akibat minuman yang dimasukkan obat campuran ketamine dan ekstasi. Ambil contoh ketika mereka melakukan metode ini untuk pertama kali, dimana kepanikan terjadi di salah satu room karena sang korban tidak sadar diri. Serta yang terbaik tentu saja saat Destiny tengah berkendara ke rumah sakit untuk mengantarkan korban yang pingsan. Kepanikan-kepanikan yang terjadi ini bagaikan reminder untuk penonton bila Destiny dan lainnya sejatinya masih amatir untuk melakukan tindakan kriminal, menandakan jika mereka terpaksa untuk melakukan metode kriminal nya.

Hustlers terlihat menjanjikan sebelum nantinya film bergerak menuju akhir, setidaknya setelah  momen perayaan natal yang dirayakan bersama. Dari sini Hustlers malah bergerak sedikit terburu-buru dalam menyajikan tiap kepingan-kepingan kejadiannya. Perpindahan tiap momen pun kurang mulus serta yang paling terasa adalah metode yang dilakukan oleh mereka tiba-tiba saja menemui kendala. Aspek ini akan berpengaruh besar terhadap mulai retaknya hubungan persahabatan antara Destiny dan Ramona. Terlebih lagi ketika Ramona mulai membawa anggota-anggota baru untuk menjalani bisnis kotornya. Destiny pun tidak menyukai kedekatan Ramona dengan salah satu anggota baru nya. Entah rasa tidak suka tersebut didorong karena kekhawatiran Destiny akibat kecerobohan karakter tersebut, atau sederhana karena rasa cemberu melihat teman dekatnya menemukan teman yang lain. 

Dan pada third act nya ini juga, keputusan Scafaria yang sebelumnya lebih memilih memperlihatkan kehidupan glamor para karakter nya memberikan dampak yang tak diinginkan. Pendekatan ini mengakibatkan keempat karakter utama jatuhnya sedikit unlikeable. Maksud saya, bagaimana mungkin penonton bisa bersimpati kala mereka berempat saja sudah melakukan tindakan kriminal dan mereka lebih memilih melakukan pesta serta foya-foya atas hasil yang mereka dapati? Karenanya, ketika kesulitan hidup kembali menghampiri Destiny dan metode kriminal yang mereka ambil mulai mendapatkan perhatian dari pihak berwajib, saya kesulitan untuk bersimpati pada tiap karakternya, termasuk Destiny. Bahkan pada saat ia ditinggal pergi selamanya oleh satu karakter, saya hanya membatin "okay, that's sad". Hanya itu. Hal ini tidak lepas karena minim nya screen time yang dihabiskan para karakter dengan orang-orang terkasih mereka. Bahkan sebenarnya Scafaria bisa mengeksplor lebih jauh atas penyesalan Destiny atas kejadian tragis yang menimpa korban terakhir nya, ketimbang hanya disebabkan keduanya sempat bercerita tentang anak mereka masing-masing. 

Walau Hustlers mungkin tidak terlalu berkesan, namun yang jelas, Hustlers akan selalu diingat sebagai film yang akhirnya berhasil memanfaatkan sebaik-baiknya talenta dari Jennifer Lopez. Meskipun Constanze Wu bermain prima sebagai sumber hati akan film ini, namun jelas J-Lo adalah scene stealer. Kharisma primadona nya begitu bersinar, bahkan kala ia berpakaian casual saja, kharisma tersebut tidak lah luntur. Totalitas nya dalam menjalani latihan pole dance terlihat hasil nya kala ia memamerkannya di adegan paling seksi dalam film ini. Tidak hanya seksi, namun juga terlihat elegan serta berkelas. 

7,25/10

Thursday 5 December 2019

"I prayed I'd never sin again if I could just get out of here. But then the fighting starts, and then you forget about everything. You're just trying to survive, stay alive"- Frank Sheeran

Plot

Berawal dari pertemuannya dengan Russel Bufalino (Joe Pesci), Frank Sheeran (Robert De Niro) yang awalnya hanyalah supir truk pengantar daging, semakin tenggelam dalam dunia mafia berkat pengaruh Russel yang merupakan salah satu orang paling berpengaruh di Pennsylvania. Kepercayaan yang Russel berikan kepada Frank membuat mereka berteman, dan pertemanan inilah yang mengantarkan Frank nantinya bisa bekerja menjadi pengawal pribadi Jimmy Hoffa (Al Pacino). Jimmy Hoffa sendiri adalah pemimpin serikat buruh di Amerika serta pendiri dari International Brotherhood of Teamsters.



Review

Dengan Goodfellas dan Casino, The Irishman bagaikan penutup trilogi film bertemakan mafia milik Martin Scorsese. Dua aktor yang juga terlibat di dua film tersebut ikut hadir, yaitu Robert De Niro dan Joe Pesci. The Irishman menandakan reuni panjang antara Scorsese bersama De Niro dan Pesci, dimana keduanya terakhir bekerja sama dengan Scorsese pada film Casino. Bagi Joe Pesci sendiri, ini adalah comeback nya setelah 9 tahun absen dalam dunia akting. 

Sebelumnya, saya ingin memberikan pujian kepada studio special effect Industrial Light and Magic yang bertanggung jawab "memudakan" para karakter di adegan flashback nya. Pekerjaan yang mereka lakukan nyaris sempurna, sehingga saya sering bertanya-tanya apakah proses syuting untuk bagian flashback ini dilakukan beberapa tahun sebelumnya. Tentu bisa dimengerti jika budget dari film ini yang menyentuh angka 159 juta Dollar sebagian besar untuk membuat efek muda tiap karakter terlihat meyakinkan. Masih ada beberapa kekurangan pastinya, tetapi bagi saya masih bisa dimaklumi. 

The Irishman masih didominasi dengan segala tetek bengek kehidupan mafia yang mungkin telah Anda temui di film-fim mafia lainnya, seperti pengkhianatan, pengaruh mafia di dunia pemerintahan dan pastinya saling melenyapkan per individu yang dianggap bisa membahayakan organisasi. Namun yang membedakan The Irishman dengan film lainnya, termasuk Casino dan terutama Goodfellas, bagi saya adalah karakter Frank dan bagaimana Scorsese menyajikan ironi kehidupan dunia mafia nya. Biasanya protagonist utama dalam film mafia memiliki ambisi besar untuk bisa menguasai sesuatu, namun tidak untuk Frank. Disini Frank hanya lah sebagai "karyawan" yang mampu melakukan pekerjaannya dengan baik serta bisa dipercaya sehingga bos yang menyewa jasa nya pun mudah memberikan pekerjaan seberat apapun kepada Frank karena reputasinya. Tidak ada keinginan Frank untuk menjadi kepala pemimpin suatu organisasi. Tidak ada juga niat dari Frank untuk mengkhianati bos yang mempekerjakannya. Yah, setidaknya nanti kala ia harus menjalankan pekerjaan yang mungkin paling berat serta mempengaruhi kehidupannya.

Mengenai ironi yang saya sebut sebelumnya, bila pada Goodfellas serta Casino, Scorsese menyajikan glorifikasi dunia hitam mafia, dengan karakternya menghambur-hamburkan uang yang banyak, bermain wanita, dan sesuka hati bisa menghabisi seseorang dengan alasan apapun, tidak perduli apakah masuk akal atau tidak. Berkat itu juga Goodfellas dan Casino terasa menyenangkan, meskipun film nya sendiri begitu kental dengan dunia kriminalitas. Namun tidak untuk The Irishman. Bila dalam Goodfellas, tiap karakter diberikan kesempatan untuk memperlihatkan keberhasilan atas pekerjaan yang dilakukan, dalam The Irishman, Scorsese memperlihatkan akan busuknya kehidupan mafia yang kejam.  Lengkap pula dengan bagian aftermath yang terdapat dalam film ini, namun minus di dua film predesor. Ya, dengan aftermath yang tersaji, Scorsese menyajikan sebuah fakta pahit yang harus diterima satu karakter. Sebuah hasil memilukan yang tak terlepas dari semua pekerjaan kotor yang telah dilakukan. 

The Irishman terasa begitu padat berkat segala konspirasi serta konflik-konflik yang terjadi. Tidak hanya itu, begitu banyak karakter-karakter yang terlibat dan berpengaruh pada keberlangsungan narasi. Maka merupakan hal yang wajar jika penonton sedikit tersesat, merasa bingung siapa karakter ini dan kapan sebelumnya karakter ini diperkenalkan. Percayalah, Scorsese telah berusaha sebisa mungkin untuk membantu penonton untuk tidak merasakan kebingungan. Terlihat dimana Scorsese berbaik hati menyertakan nama masing-masing karakter pada saat diperkenalkan, lengkap pula dengan "berita" kematian masing-masing dari karakter.

Kenyataan bila naskah yang diadaptasi dari buku Charles Brandt terasa sangat padat, begitu banyak nya karakter serta durasinya yang bukan main panjangnya untuk saya merupakan hal positif serta negatif dari The Irishman. Negatifnya, tentu film ini kurang bisa mencengkeram penonton kasual yang belum pernah mencicipi film Scorsese sebelumnya. The Irishman bertumpu sepenuhnya dengan banter dialognya yang banyak, serta narasi yang disuarakan oleh De Niro sendiri. Melelahkan? Tentu saja, jika Anda, sekali lagi belum pernah menyentuh film-film Scorsese sama sekali. Dan sekali lagi, durasi 3 jam lebihnya benar-benar menuntut kesabaran penonton.

Namun jika Anda merupakan penggemar film, atau lebih tepatnya penggemar Scorsese, The Irishman jelas merupakan sajian mafia epic yang tidak cukup hanya ditonton sekali saja. Berbagai poin cerita mungkin terlupa dengan seiring durasi berjalan, namun itu tidak masalah karena The Irishman sudah berhasil mengikat dengan narasinya. Tentu untuk saya sendiri, The Irishman tidak cukup ditonton sekali saja. Ada perasaan ingin menonton kembali dari awal, karena selain kisahnya sendiri yang benar-benar menarik (kisah dunia underworld memang tak bisa disangkal selalu menarik untuk diikuti), namun juga berkat penyutradaraan dari Scorsese yang semakin menunjukkan tajinya walau telah berusia cukup uzur.

Identitas gaya penyutradaraan Scorsese tentu saja masih mudah terasa. Opening nya saja ia tampilkan dengan tracking shot ciri khas Scorsese, sebelum kita akhirnya melihat sosok Frank yang sedang duduk di kursi roda nya, dan seketika breaking the 4th wall pun sudah hadir, dimana Frank pun mulai menceritakan kisah nya sambil menatap ke kamera. Voice over mendominasi dalam jalannya menit-menit film berjalan untuk membantu penonton supaya tidak terlalu bingung dengan rumitnya penceritaan yang ada. 

Di atas kertas, film Scorsese yang ke 26 ini terlihat kelam, namun fakta di lapangan cukup berbeda, dimana Scorsese masih menyelipkan beberapa black comedy yang bisa membuat mu tertawa, setidaknya untuk saya. Dan mengejutkannya lagi, Al Pacino, yang baru pertama kali bekerja sama dengan Scorsese, merupakan penyumbang tawa terbanyak berkat karakternya yang keras kepala, kharismatik dan memiliki masalah pada short temper nya. Komentarnya mengenai nama "Tony" yang begitu mainstream untuk orang kelahiran Italia adalah satu dari sekian banyak nya Al Pacino mampu membuat saya tertawa di kala adegan yang sebenarnya bisa meningkatkan tensi ketegangan. Naskah dari Steven Zaillian begitu pintar dalam menyajikan humor nya yang pas akan timing serta berkelas. 

Akting yang begitu berenergi dari Al Pacino turut pula diimbangi dengan penampilan memuaskan dari Robert De Niro dan Joe Pesci. Pesci sendiri memerankan karakter yang begitu berbeda dibandingkan dengan dua peran sebelumnya di Goodfellas dan Casino. Disini ia tampil dengan lebih tenang, lebih mengandalkan baris dialog untuk menunjukkan kewibawaan tanpa menghilangkan atmosfir intimidatif dari karakternya. De Niro pun tampil luar biasa sebagai protagonist utama dalam menampilkan konflik batin dari Frank dengan memanfaatkan ekspresi muka yang subtil, kaya makna, serta tatapan mata nya yang sayu akibat dari kondisi yang tidak mengijinkannya untuk mengambil keputusan berdasarkan keinginannya sendiri. Tidak heran jika nantinya ketiga nama aktor veteran ini akan tampil di daftar nominasi aktor utama/pendukung terbaik di perhelatan Oscar tahun depan.

Momen terbaik The Irishman sendiri adalah ketika Frank dihadapkan pada dilema yang memaksanya harus menghadapi keputusan yang sangat sulit. Dari sini, Scorsese meminimalisir penggunaan soundtrack-soundtrack nya demi mengoptimalkan ketegangan di setiap adegan. Slow build yang dilakukan Scorsese kala Frank menginjakkan kaki di kota Detroit berhasil memaksa saya ikut merasakan kegelisahan serta dilematis yang dirasakan Frank. Apakah ia harus mengikuti perintah dari orang yang telah membesarkannya atau menyelamatkan salah satu teman terdekatnya. Yang mana pun nanti ia pilih, tentu tidak akan berdampak baik untuk Frank. Disinilah The Irishman menunjukkan betapa pahitnya dunia mafia yang Frank geluti. 

Begitu ironis kala Frank rela melakukan berbagai kejahatan tentunya untuk membuat keluarganya sejahtera dan hidup tenang. Frank begitu menyayangi keluarganya, bahkan ketika salah satu putrinya didorong oleh pemilik toko roti, Frank tanpa pikir panjang menghampiri dan menghajar pemilik tersebut. Namun pada akhirnya, pekerjaan yang dilakukan Frank tetaplah kejahatan dan semua benih kejahatan yang ia lakukan harus memaksanya untuk semakin menjauh dari keluarga, terutama anak-anaknya. Bisa saja Frank melakukan pekerjaannya sebagai hitman dengan brilian, namun bukan berarti ia juga berhasil menjadi ayah yang baik untuk anak-anaknya. 

Setelah sebelumnya kita menyaksikan semua intrik serta konflik yang terjadi, 30 menit terakhir dalam The Irishman justru tampil dengan sunyi. Mengeksplorasi kehidupan tua dari satu karakter yang penuh dengan penyesalan, bersalah atas semua kesalahan yang telah dilakukan, tanpa seorang pun disisinya. Meninggalkan ia sendiri setelah yang terkasih, teman atau bahkan musuhnya telah berkunjung ke kehidupan selanjutnya terlebih dulu. Kehidupan masa tua nya ini seolah merupakan pembalasan atas masa lalu akibat penyakit yang diderita, rasa berdosa dan sesal, juga kesendirian yang harus ia tempuh. Sebuah aftermath yang cukup emosional dan sempurna untuk menutup kisah epik dari Scorsese ini. 

9/10

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!