Friday, 2 March 2018


Plot

Selain belajar di sekolah, rupanya Bayu (Bayu Skak) juga membantu usaha ibunya (Tri Yudiman) berdagang pecel dengan menjual dagangan sang ibu di sekolahan, sehingga Bayu mendapatkan julukan "Pecel Boy". Walau Bayu bukanlah seorang siswa yang memiliki popularitas karena minus dukungan fisik maupun prestasi, namun hal itu bukan halangan bagi Bayu untuk tetap berusaha mencari tambatan hati. Setelah dirinya dipermalukan setelah puisi nya yang ia kirim untuk salah satu taksirannya dibaca di depan teman-teman kelasnya, Bayu pun memindahkan targetnya ke salah satu perempuan paling populer di sekolahnya, Susan (Cut Meyriska). Segala usaha di lakukan Bayu, termasuk menggunakan uang tabungannya demi hanya untuk bertemu Susan. Hasilnya, Bayu kembali dipermalukan. Merasa cukup dan letih dengan segala penghinaan terhadap dirinya, Bayu ingin membuktikan diri bila ia bukanlah siswa biasa. Dengan teman terdekatnya, Doni (Joshua Suherman), Bayu memiliki ide untuk membentuk sebuah band. Mereka pun mengadakan audisi pencarian anggota band, yang pada akhirnya mempertemukan Bayu dan Doni kepada Yayan (Tutus Thomson) dan Nando (Brandon Salim) yang segera saja menjadi anggota serta teman baru untuk Bayu dan Dono. Dimulailah kisah band yang memiliki nama Yowis Ben ini (yang mereka dapatkan secara ketidaksengajaan) dalam usaha untuk pembuktian kepada teman-teman sekolah, dengan mengusung ambisi pribadi tiap anggota band ini.





Review

Tidak usah menunggu terlalu lama karena Yowis Ben telah tancap gas dengan humor yang mampu menggelakkan tawa penonton semenjak menit-menit pertama film berjalan. Lengkap pula dengan bahasa Jawa yang dilontarkan para karakternya, lelucon demi lelucon yang hadir di sepanjang durasi film debut Bayu Skak sebagai sutradara serta penulis naskah ini hampir tidak pernah untuk tidak berhasil dalam mengundang tawa dari penonton. Dua unsur inilah yang rasanya menjadi magnet terkuat dalam film Yowis Ben dalam usahanya untuk penonton tetap setia memantau Yowis Ben hingga akhir. Bila dua aspek ini dilucuti dalam film Yowis Ben, terutama dialek-dialek bahasa Jawanya, mungkin Yowis Ben jatuhnya menjadi film komedi remaja biasa yang tidak akan terlalu lekat menempel dalam benak penonton.

Hal itu dikarenakan Yowis Ben tidak disokong dengan penceritaan yang kuat serta minusnya akan suatu yang fresh. Coba saya tanya, telah berapa banyak film yang mengangkat penceritaan mengenai siswa yang merasa dirinya terpinggirkan dan berusaha untuk menonjolkan dirinya lewat sesuatu seperti karya? Tentu kita tidak bisa menghitungnya dengan sepuluh jari, bahkan di tambah sepuluh jari kaki. Mungkin karena faktor ini pula yang disadari oleh Bayu Skak yang dalam film ini ia dibantu oleh Fajar Nugros di kursi penyutradaraan dengan mengambil langkah yang cukup berani dengan memenuhi dialog-dialog film dengan bahasa Jawa. Plus memaksimalkan unsur komedi yang ada dalam film.

Usaha tersebut berhasil, dan membuktikan juga bila Bayu Skak memiliki kepekaan dalam berkomedi tidak bisa dipandang sebelah mata. Sepertinya pengalaman sebagai Youtuber juga yang ikut membantu Bayu Skak begitu luwes dan pintar dalam menampilkan komedinya. Bayu Skak pun harus turut berterima kasih kepada jajaran aktor yang tampil minor dalam Yowis Ben karena mereka telah menunaikan tugas mereka dengan sangat baik. Begitu banyak karakter demi karakter yang tampil tidak lama dalam film ini jatuhnya berkesan untuk penonton, bahkan karakter seperti penjual bakso pun begitu lekat di ingatan akibat timing sempurna dan ketelitian Bayu Skak dalam menampilkan komedinya. Yang paling favorit mungkin adalah tik tok sempurna yang dilakukan oleh duo komedian senior asal Jawa, Cak Kartolo dan Cak Sapari. Tidak ketinggalan pula, beberapa isu hingga film Indonesia paling populer tahun lalu dijadikan Bayu Skak sebagai materi dalam komedinya, meski sayangnya memang isu tersebut bisa dijadikan sebagai kritik sosial, bukan hanya sekedar lelucon belaka.

Chemistry meyakinkan pun berhasil ditampilkan 4 karakter utamanya. Bayu Skak, Joshua, Brandon dan Tutus berhasil membuat penonton perduli akan persahabatan di antara mereka. Meski kala konflik menyeruak dan terjadi pertentangan antar mereka gagal menghadirkan sebuah ironi seperti yang saya rasakan ketika menyaksikan Jomblo-nya Hanung, namun tak ditampik, ketika mereka berada dalam satu screen, mereka tampak benar-benar telah kenal lama satu sama lain. Tidak ada kecanggungan yang tercipta, yang hanya gelontoran balas-balasan dialog yang kembali lagi kerap kali sukses menghadirkan ketawa. Brandon Salim harus diberikan kredit karena dirinya berhasil memberikan penampilan yang paling tidak membuat dirinya tetap terlihat diantara Bayu, Joshua dan Tutus. Namun tetap saja, diantara mereka berempat, favorit semua orang adalah Yayan yang diperankan begitu jenaka oleh Tutus. Saya tidak tahu apakah ini peran pertama bagi Tutus Thomson atau bukan, tetapi bila memang ini adalah debut dari Tutus, maka dirinya sangat berpeluang besar untuk meraih karir sebagai aktor yang sukses. Kehadirannya seolah tidak pernah gagal dalam memancing tawa, dan ketika ada aktor yang berhasil membuat lawakan yang bersinggungan akan agama tanpa harus menyinggung umat yang terkait (Hai, Joshua), berarti aktor tersebut telah melakukan pekerjaan yang sangat brilian. Tentu saja semua itu berkat campur tangan dari Bayu Skak yang juga duduk di penulis naskah. Sayang sekali memang, karakter Yayan hanya dijadikan sebagai mesin peledak tawa akibat karakterisasi Yayanyang sangat tipis dibandingkan Bayu, Doni dan Nando.. Doni dan Nando memiliki sub plot kecil yang menjadi motivasi masingj-masing untuk berkarya, namun Yayan? Apa yang membuat dirinya tertarik ingin menjadi drummer nya Yowis Ben, selain dirinya sering menggebuk bedug masjid? 

Semua atribut mengenai komedi serta dialek bahasa Jawa nya sangat membantu Yowis Ben untuk menutupi lubang besar nya, yaitu ketika film mulai bergerak dari gelaran penuh komedi ke arah drama yang inginnya sentimentil. Bayu Skak memang piawai dalam menyajikan komedinya, tetapi bila memang Bayu Skak ingin mantap berkarir di dunia perfilman sebagai sutradara maupun penulis naskah, maka sudah wajib hukumnya untuk Bayu segera belajar bagaimana menyajikan sebuah drama yang, paling tidak, membuat penonton perduli dengan hal tersebut. Ada dua inti sajian drama disini, yaitu hubungan antar member Yowis Ben itu sendiri dan kisah asmara Bayu-Susan. 

Yang menjadi masalah tentu adalah kisah asmara Bayu dan Susan. Awalnya ada kesan berbeda yang saya harapkan berkat dari karakterisasi Susan yang tidak terjebak pada formula cewek-paling-cakep-di-sekolahan-tapi-berhati-malaikat. Ketika dirinya terlibat langsung akan momen Bayu kembali dipermalukan, kesan beda tak pelak saya rasakan. Tetapi sayangnya potensi itu tidak dilanjutkan, bahkan pada akhirnya, Susan menjadi faktor utama kelemahan Yowis Ben berkat karakterisasinya yang begitu labil. Apakah memang hal tersebut bersifat intensional? Bisa jadi, mengingat karakter Susan adalah gadis yang masih duduk di bangku SMA, dan kita semua telah mengetahui jika para wanita memasuki momen paling labil sepanjang hidup mereka pada masa-masa ini. Kecanggungan paling menyeruak setiap kali Bayu Skak dan Cut Meyriska harus tampil layaknya pasangan. Teman saya adalah salah satu penggemarnya Bayu Skak dan ia pernah bercerita jika memang di kehidupan nyata, Bayu Skak memiliki kesulitan tersendiri dalam berhubungan dengan perempuan. Mungkin karena ini juga lah permasalahan tersebut ikut terbawa ke dalam film, terlebih Cut Meyriska belum memiliki kapabilitas sebagai aktris yang mampu menjalin chemistry dengan siapapun, seperti Emma Stone misalnya (Jauh banget yak perbandingannya, tapi sekedar contoh saja). Ditambah dengan minusnya fondasi yang kuat mendasari hubungan asmara mereka, sulit rasanya untuk penonton menginvestasikan rasa perduli akan pasangan ini. Bahkan, kata cringeworthy layak disematkan pada pasangan ini. Mungkin akan jauh lebih baik jika karakter Susan hanya dijadikan sebagai pemicu untuk Bayu dalam rangka pembuktiannya, serta menit-menit dalam film yang menampilkan kisah Bayu-Susan diganti dengan kisah sub plot milik Doni yang harus saya akui jauh lebih menarik.

Namun, karena ini adalah langkah debutnya sebagai sutradara, pemain utama, hingga penulis naskah, tentu saja Yowis Ben ini lebih dari cukup untuk seorang Bayu Skak menampilkan kreasi serta visinya sebagai kreator. Berkat komedi serta karakter-karakter pendukung yang luar biasa menghibur dan berhasil menjadi scene stealer di setiap kemunculan mereka, dan keberanian Bayu Skak yang menggunakan bahasa Jawa hampir 100% dalam tiap menit film berjalan. cukup berhasil untuk menutupi kekurangan terbesar film ini. Ditambah lagi akan lagu-lagu di film ini yang disajikan begitu berenergi, terutama lagu Gak Iso Turu yang berhasil mengejutkan saya akibat sebuah pengadeganan yang walau terbilang klise, namun tak ditampik, sangat enjoyable disaksikan. 



7,5/10

0 komentar:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!