Thursday 18 April 2019


The winter is finally here. Setelah hampir 8 tahun mengudara, akhirnya Game of Thrones akan menutup kisahnya di season 8 ini. Penggemar tentunya ingin menyaksikan bagaimana akhir dari salah satu serial terpopuler di dunia saat ini. Saya sendiri memulai petualangan bersama serial ini pada pertengahan 2016 dan tidak butuh waktu lama, 6 season berhasil saya lahap dan tidak usah ditebak, saya jatuh cinta pada serial ini. Sebenarnya saya ingin menulis review serial ini di season 7, namun dikarenakan keadaan, keinginan tersebut tertunda. Untuk itulah, saya bertekad untuk rutin menulis review episode demi episode di season 8 ini. Dan here we are, grab your Valyrian Sword and let's enjoy the ride.

Eps. 1: Winterfell (Review)

Directed by: David Nutter
Written by: Dave Hill


Seperti layaknya episode pertama di setiap season, episode ini pun didominasi akan build up untuk konflik yang akan terjadi selanjutnya. Sebagai bonus, kita juga disuguhkan oleh setiap reuni dari beberapa karakter, sembari tetap menggulirkan plot nya. Bagaimana kenaifan Jon Snow (Kit Harington) sebagai ksatria menghalangi dirinya untuk tampil wibawa dan diplomatis di hadapan penduduk Utara, yang sebelumnya telah mendeklarasikan Jon Snow sebagai The King of The North. Namun, dikarenakan keinginan Jon Snow untuk menjalin aliansi untuk penduduk Westeros lainnya karena ancaman dari The Army of Dead, Jon Snow meletakkan tahta nya dan memberikan nya kepada adik tirinya, Sansa Stark (Sophie Turner) yang otomatis menjadi The Lady of Winterfell. Jon Snow pun berhasil menjalin aliansi dengan Daenerys Targaryen (Emilia Clarke) serta mengajak nya ke Winterfell. Hadirnya Daenerys tersebut tidak terlalu disambut baik oleh penduduk setempat, termasuk Sansa Stark. Tentunya romansa Jon Snow dan Daenerys juga dihadirkan, yang secara otomatis menjadi pasangan yang disukai penonton berkat kuatnya dua karakter ini serta chemistry meyakinkan yang dijalin antara Kit Harington dan Emilia Clarke. Menarik dinanti apakah keduanya tetap menjadi pasangan disebabkan Jon Snow akhirnya mengetahui jati diri sebenarnya.

Dua naga beserta pasukan Dothraki yang dibawa Daenerys pun menghadirkan permasalahan tersendiri perihal pangan yang tersedia seadanya akibat musim dingin yang melanda. Selain kondisi di Winterfell, kita juga diajak untuk melihat kondisi Cersei Lannister (Lena Headey) yang tengah disibukkan oleh Euron Greyjoy (Pilou Asbaek), kemudian Theon (Alfie Allen) yang mulai melakukan pergerakan untuk mengawali kebangkitannya. Sub plot bercabang ini memang sudah menjadi ciri khas dalam Game of Thrones, dan harus diakui di episode 1 ini berjalan cukup lambat dengan minim konflik yang terjadi, setidaknya hingga film menyentuh durasi akhir. Saya pribadi masih kesulitan untuk menyukai Sansa dan Bran Stark (Isaac Hempstead Wright). Keduanya seolah kehilangan hati semenjak kembali ke Winterfell, berbeda dengan Arya Stark (Maisie Williams) yang kerap menghadirkan kehangatan di setiap kehadirannya. 5 menit terakhir pada episode ini merupakan momen terbaik dengan menghadirkan adegan jumpscare cerdas serta "reuni" yang hadir di detik-detik akhir. Jelas cliffhanger ini menjadi penutup yang pintar sehingga penonton dibuat untuk tidak sabar untuk menantikan episode selanjutnya.

7,75/10

Eps. 2: A Knight of Seven Kingdoms (Review)

Directed by: David Nutter
Written by: Bryan Cogman




Istilah The calm before the storm layak disematkan pada episode 2 ini. Perang menghadapi The Army of Dead sudah didepan mata, dan fokus penceritaan sepenuhnya memperlihatkan para karakter utama yang berkumpul di Winterfell menghabiskan malam tenang yang bisa saja menjadi malam terakhir untuk mereka. Dari Daenerys yang mencoba menjalin pertemanan dengan Sansa, persiapan penduduk Winterfell dalam menghadapi serangan The Army of Dead, hingga konfrontasi antara Jaime Lannister (Nikolaj Coster-Waldau), yang sebelumnya harus menghadapi penghakiman terlebih dahulu didepan orang-orang yang memiliki masa lalu tidak menyenangkan di masa lalu akibat dirinya, dengan Brandon yang telah kita nantikan bersama. Walaupun memang lambannya pergerakan narasi tidak terlalu jauh berbeda dari episode sebelumnya, namun bisa saya katakan episode ini merupakan sebuah peningkatan. Interaksi antar karakter jauh lebih menarik, ditambah ada beberapa momen yang berhasil menjadi highlight tersendiri, seperti gathering di depan perapian yang menjadi momen favorit saya. Oh, tidak lupa juga Tormund (Kristofer Hifju) yang berhasil menjadi scene stealer berkat obsesi nya terhadap Brienne (Gwendolin Christie) yang tidak pernah gagal untuk memancing tawa dari penonton. 

Tetapi A Knight of Seven Kingdoms sepenuhnya dimiliki oleh Jaime. Bagi saya, Jaime adalah salah satu karakter yang memiliki perkembangan terbaik sepanjang seri Game of Thrones. Momen penghakiman di awal sendiri bagaikan throwback bagaimana di awal Jaime merupakan karakter yang sulit disukai berkat beberapa keputusan egoisnya yang mengakibatkan luka terhadap orang lain. Saya sendiri sedari awal tidak menyukai karakter ini, tetapi berkat transformasi karakternya pada season sebelumnya mengubah dirinya yang kini menjadi seorang pria yang memiliki kasih sayang dan lebih perduli akan orang yang disekitarnya, sehingga tidak ragu saya menetapkan Jaime sebagai karakter terfavorit saya di Game of Thrones, bersama Tyrion dan Arya Stark. Oh, mengenai Arya, pada episode ini, Arya semakin memantapkan dirinya sebagai wanita yang sudah dewasa (How lucky you are Gendry, you son of a gun).  

Serial Game of Thrones sendiri telah lekat akan keberaniannya dalam menewaskan karakter penting dalam cerita, dan bisa diprediksi, pada perang yang terjadi nanti, terdapat beberapa karakter yang telah menjadi fan favorite, akan tewas nantinya. Sebab itulah, dengan atmosfir kehangatan yang ditawarkan pada episode ini akan meningkatkan efek kehilangan penonton pada karakter bersangkutan. Saya sendiri akan senang hati bereuni kembali dengan episode ini setelah season 8 berakhir sebagai obat rasa kehilangan. 

8,25/10

Eps. 3: The Long Night

Directed by: Miguel Sapochnik
Written by: David Benioff & D.B Weiss


Perang puncak menahan invasi The Army of Dead yang diketuai The Night King akhirnya terjadi. Apakah umat manusia mampu bertahan atau tidak, semuanya ditentukan pada perang tersebut. Penduduk Winterfell bersama bala bantuan lainnya telah menyiapkan diri untuk menyambut "tamu" mereka di malam yang panjang nan mencekam. Mungkin ini terdengar berlebihan, namun saya yang telah mengantisipasi akan pertempuran ini membutuhkan waktu setidaknya 20 menit untuk bisa bernafas dengan normal kembali setelah menyaksikan episode 3 dari Game of Thrones ini. Terakhir kali, seingat saya, saya mendapatkan pengalaman sinematik seperti ini adalah ketika saya menyaksikan The Dark Knight Rises (2012) melalui laptop Toshiba saya yang kini sudah "tewas" (R.I.P).

Dalam durasinya yang menyentuh 81 menit (CMIIW, tapi sepertinya ini adalah episode Game of Thrones dengan durasi terlama dalam sejarah Game of Thrones) mengudara), penggemar disajikan pertempuran kolosal non stop berintensitas tinggi layaknya Battle of Helms Deep empunya The Lord of The Rings: The Two Towers. Serbuan tanpa henti dari The Army of Dead, ancaman The Night King bersama naga nya, memaksa saya untuk kesulitan bernafas. Kekhawatiran saya akan keselamatan para karakter utama juga senantiasa hadir. Iya, selain sajian pertempuran epik nya yang sendirinya telah menjadi sebuah pencapaian spektakuler dalam sejarah pertelevisian, ikatan emosi yang telah terjalin antara penonton dengan karakter favorit mereka dari season ke season juga menjadi salah satu faktor utama dibalik kesuksesan penyajian perang nya. 

Seperti yang saya ungkap di review episode 2, Game of Thrones telah lekat dengan keberanian serial ini untuk menewaskan karakter-karakter penting di dalamnya, dan sudah bisa ditebak, akan terdapat beberapa karakter yang harus mengucapkan selamat tinggal pada serial ini. Namun jangan khawatir, karakter-karakter yang tewas sendiri mendapatkan momen kematian yang layak dan tidak lewat begitu saja, bahkan setidaknya ada 2-3 karaktee yang mendapatkan momen badass yang takkan terlupakan. Selain itu, beberapa karakter lainnya juga dapat spotlight nya masing-masing, termasuk Daenerys yang dengan keberaniannya terjun langsung dalam pertempuran bersama anak nya.

Miguel Sapochnik, yang juga menyutradarai episode The Battle of Bastards, paham betul dalam menyajikan pertempuran berskala besar nan epik. Baik itu pertempuran di langit yang memperlihatkan para naga bertarung, di wilayah darat terdapat para The Army of Dead yang menyerang tanpa kenal lelah menyebarkan ancaman sehingga mampu menyudutkan para ksatria Winterfell, hingga di dalam benteng Winterfell yang berhasil memberikan atmosfir klaustrofobik. Sapochnik juga cerdas dalam menyajikan momen-momen keren, seperti ketika Melisandre (Carice Van Houten) menyalakan api membara di pedang Dothrakis juga saat ia berhasil mengobarkan api untuk membakar parit untuk menghalangi para white walkers, shot menawan di langit bersama bulan beserta awan yang layak dijadikan wallpaper di hp dan lainnya. Susah rasanya untuk tidak merasakan kepuasan melihat hasil kerja Sapochnik disini. Tidak lupa soundtrack-soundtrack gubahan Rawin Djawaldi yang memorable, terutama track A Night King yang membahana di menit-menit akhir, sangat mampu menggambarkan suasana despair yang tengah dialami masing-masing karakter. 

Namun, episode 3 ini tidak lepas dari beberapa kekurangan. Setting nya yang terjadi di malam hari pun menjadi kritik terbesar dan menjadi bahan meme dari penggemar, sehingga penonton kesulitan untuk menangkap apa yang sedang terjadi di medan perang. Strategi perang yang diperlihatkan serta keputusan-keputusan "aneh" untuk sebagian karakter juga menjadi sorotan. Kemudian, benar jika sebagian besar dari setiap karakter yang terlibat dalam perang mendapatkan momen cemerlang nya masing-masing, namun tidak untuk karakter yang berada di ruang bawah tanah. Seperti Tyrion (My favorite GoT's character) sama sekali tidak mendapatkan ruang untuk bersinar, begitu pula dengan Sansa Stark. Selain itu, Brandon Stark pun berhasil menjadi titik kelemahan terbesar di episode 3 dengan keberadaannya yang sama sekali tidak terlihat akan fungsinya, sehingga dirinya menjadi karakter paling tidak saya sukai hingga saat ini di episode 3. Beberapa kekurangan yang harus diakui cukup mengganggu ini lah yang menghalangi The Battle of Winterfell ini untuk menjadi pertempuran terbaik dalam serial Game of Thrones, yang kini masih disandang oleh The Battle of Bastards yang bagi saya hampir flawless. Namun untuk saya, episode 3 ini sudah berhasil memenuhi ekspektasi saya yang cukup tinggi sehingga saya tidak ragu untuk menobatkan episode ini adalah salah satu episode terbaik dalam sejarah Game of Thrones.

9/10

Episode 4: The Last Stark

Directed by: David Nutter
Written by: David Beniof & D.B Weiss



Episode ini diawali dengan "epilog" setelah perang besar melawan The Army of Dead. Penghormatan dilakukan, Daenerys dan Sansa mengucapkan salam perpisahan terakhir untuk Jorah dan Theon. Kemudian narasi bergerak ke malam perayaan. Pembukaan ini memang seperti filler, pengisi waktu saja, namun saya menyukai pilihan ini, apalagi setelah episode sebelumnya yang seolah tidak mengijinkan penonton untuk bernafas sedikit saja, maka pembukaan ini mencoba untuk mengajak penonton rehat sejenak dengan menyaksikan para karakter saling berinteraksi, walau tetap menggulirkan plot nya. 

Fokus utama di episode ini berpusat pada Daenerys, yang mulai terganggu dan bimbang atas rahasia identitas dari Jon Snow. Tampak jelas betapa bergejolak batin dalam diri Daenerys kala ia melihat begitu banyak mencintai Jon Snow berkat andil dan pencapaiannya selama ini, sedangkan Daenerys? Ia seolah terasingkan di daerah Utara. Bahkan jasa Daenerys yang sangat besar untuk membantu umat manusia bisa menang melawan The Night King & co. seolah dianggap angin lalu. Gejolak ini diperparah pula oleh Sansa yang masih saja tidak berkurang ketidak sukaan nya pada Daenerys. Mengenai Sansa, dia berhasil menduduki puncak teratas bersama Bran dalam gelar karakter paling saya benci di season ini. 

Kelemahan penulisan yang selama ini menjadi bahan kritik terbesar terhadap David Beniof & D.B Weiss mulai saya rasakan disini. Memang kelemahan ini telah disuarakan dari awal season, tetapi pada episode 4 ini lah saya mulai merasakan nya. Di episode 3 yang banyak juga menerima keluhan selain setting malam hari nya, tidak terlalu saya rasakan pada menonton pertama kali karena distraksi aksi spectacle nya yang saya harus akui memang sangat menghibur. Namun, dengan lambannya perguliran narasi, tidak ditampik bila saya pun ikut merasakan hal yang dirasakan oleh penggemar lainnya. D&D seolah mendadak amnesia akan karakterisasi pada beberapa karakter, terutama mengenai Daenerys. Mungkin pada episode The Last Stark inilah pertama kali saya tidak menyukai Daenerys semenjak season pertama! Daenerys mengalami degradasi karakter terparah sepanjang Game of Thrones mengudara. Character arc Daenerys pun akan menjadi jembatan pada kejadian besar yang akan terjadi di episode selanjutnya. 

Perubahan sikap dari Daenerys ini berdampak juga akan kebimbangan yang dialami oleh dua penasihat Daenerys, Tyrion dan Varys. Sedangkan Jon tetap yakin jika Daenerys adalah penguasa Iron Thorne yang tepat. Pada menit-menit akhir, David Nutter dan D&D kembali mengulangi kesalahan pada episode 4. Banyak sekali momen-momen mengganggu logika dan berbeda di episode 4 yang tidak terlalu saya perdulikan berkat sajian perang nya yang memiliki fast pacing, adegan aksi disini berjalan cukup lamban sehingga saya yang sebelumnya tidak terlalu memperhatikan hal detil, menanyakan bagaimana Euron dkk. bisa merepotkan Daenerys beserta kedua naga nya. 

Kematian satu karakter di ending harus saya akui merupakan cliffhanger ending yang cerdas nan efektif. Momen kematian di akhir memang tidak pernah gagal untuk memaksa penonton untuk diliputi rasa penasaran akan tindakan apa yang akan dilakukan akibat kematian tersebut. Walau begitu, saya sedikit merasa dikecewakan akan episode ini dikarenakan penulisan karakter Daenerys. Bukan episode yang buruk, namun tentunya D&D bisa menulis naskahnya jauh lebih baik dari ini.

7,5/10

Episode 5: The Bells

Directed by: Miguel Sapochnik
Written by: David Benioff & D. B. Weiss


SPOILER ALERT!!
Perang perebutan tahta Iron Thorne akhirnya pecah. Daenerys bersama pasukannya tidak ragu-ragu lagi untuk menyerang King's Landing demi melengserkan Cersei Lannister dari puncak kekuasaan. Tidak ingin King's Landing berubah menjadi lautan mayat jutaan manusia, Tyrion pun memiliki rencana sendiri dan meminta kepada Daenerys untuk segera menghentikan serangan jika bel di King's Landing berbunyi, bukti jika pasukan King's Landing telah menyerah.

Singkirkan harapan kalian yang ingin mengharapkan pertarungan sengit layaknya The Battle of Winterfell atau bahkan The Battle of Bastards, karena apa yang terjadi di layar adalah sebuah pembantaian tanpa ampun yang dilakukan oleh Daenerys. Iron Fleet dengan Scorpion mereka yang sempat membunuh Rhaegal dan memaksa The Unsullied kehilangan kapal mereka, seolah kehilangan magis nya di episode ini. Bahkan The Golden Company sama sekali tidak memiliki momen cemerlang, yang membuat saya bertanya untuk apa sebenarnya tujuan eksistensi mereka pada serial Game of Thrones. 

Kepiawaian Miguel Sapochnik dalam menyajikan sekuen aksi menawan dan menegangkan sudah tidak perlu diragukan lagi. Tanpa adanya pertempuran yang sengit pun, Sapochnik masih mampu menyebarkan efek despair ataupun putus asa dengan menangkap sudut-sudut kecil setiap pelosok King's Landing. Dan juga seperti biasa, Sapochnik masih mengandalkan long take pada satu karakter untuk meningkatkan intensitas nya. Dibantu dengan soundtrack Ramin Djawadi yang tidak pernah mengecewakan penonton, susah untuk tidak merasa terpana dengan sajian dalam layar. Andai saja D&D tidak merusak total karakter Daenerys di episode 5 ini, bisa jadi episode ini adalah peningkatan dibanding episode sebelumnya.

Melalui episode 5, D&D seolah mengacungkan jari tengah terhadap pengembangan karakter Daenerys dari season pertama hingga ketujuh. Tidak pernah terbesit di benak saya jika akan ada datangnya hari saya bisa membenci Daenerys, cukup dengan dua episode!! Mungkin banyak yang tidak sependapat dengan saya, namun character arc dari Daenerys merupakan salah satu faktor utama mengapa saya masih mengikuti Game of Thrones hingga sekarang. Saya ingin sekali melihatnya berkuasa di Iron Thorne, setelah perjuangan luar biasa nya dari East dalam membangun suatu pasukan aliansi terkuat di Westeros, membebaskan para budak dan memerdekakan mereka, termasuk The Unsullied. Memang bukan pertama kali Daenerys menyuruh anak-anaknya dalam membakar manusia, namun tindakan tersebut didukung oleh motif yang mampu dipahami dan penonton pun tidak menyalahkan dirinya sepenuhnya, terutama pada kasus Tarly's. Daenerys meminta mereka untuk bend the knee, namun keduanya menolak hingga Daenerys akhirnya membakar mereka berdua.

Namun, saat Daenerys mulai membakar, literally, semuanya di King's Landing, termasuk jutaan penduduk di kota tersebut. Saya hanya bisa bertanya, bagaimana bisa? Karakter yang dikembangkan secara perlahan, hati-hati hingga ia berhasil menjadi kandidat terkuat untuk menduduki Iron Thorne, berhasil menjadi the most hated/dissapointed character akibat transformasi nya menjadi The Mad Queen. Apakah demi sajian spectacle nya, pihak D&D seolah melupakan tanggung jawabnya sebagai penulis sehingga rela mengorbankan karakterisasi Daenerys? Lalu juga, Kenapa Arya masih bisa bertahan hidup di King's Landing atas serangan-serangan luar biasa dari Daenerys.

Meski episode ini mengecewakan hingga membuat saya "berserk"", setidaknya kita masih diberikan kesempatan untuk final stand off antar saudara, Sandor Clegsne (Roy McCann) vs Mountain (Hafþór Júlíus Björnsson) yang berhasil membuat saya bersorak dan Clegane pun akhirnya mendapatkan akhir yang layak untuk character arc nya. Tyrion pun mendapatkan momennya, terutama tik tok nya dengan Jaime yang hampir membuat saya menitikkan air mata. 

6.75/10

Episode 6: The Iron Throne

Directed & Written by: David Benioff & D. B. Weiss


Saya tidak pernah menyangka akan ada hari dimana saya bisa tidak perduli terhadap episode Game of Thrones. Dan ironis nya lagi, perasaan ini datang kala episode terakhir pada season terakhir pula dari TV series favorit saya. Ternyata, cukup dengan dua episode yang super mengecewakan saja yang memaksa perasaan kosong ini datang. Cukup dengan dua episode, saya benar-benar dibuat tidak perduli akan akhir kisah dari para karakter Game of Thrones, terbukti saya baru punya mood untuk menulis review episode terakhir ini setelah mengudara kurang lebih 1 minggu lewat. Saya dibuat tidak perduli apakah  akhirnya Daenerys berhasil atau tidak untuk duduk di singgasana Tahta \Besi di King's Landing, saya dibuat tidak perduli akan akhir kisah The Starks, termasuk Arya, dan lebih menyedihkannya lagi, saya dibuat tidak perduli juga akan nasib Tyrion freakin' Lannister, which is my favorite and beloved character in Game of Thrones!! 

Saya cukup menyukai adegan opening nya yang dibuka dengan cukup sunyi. Kita melihat dari sudut pandang Jon Snow maupun Tyrion hasil dari pembantaian Daenerys bersama anaknya, Drogon, pada King's Landing. Rasa sedih cukup saya rasakan ketika tangisan Tyrion membuncah ketika ia menyaksikan mayat dua saudara nya yang tertimpa runtuhan bangunan Red Keep. Meski karakter nya mengalami degradasi semenjak season 5, Peter Dinklage masih menawarkan penampilan yang mengagumkan, dan ini terbukti pada adegan tersebut. Dan percayalah, momen berduka Tyrion ini pula mengakhiri elemen positif pada episode ini, karena di menit-menit selanjutnya, sulit untuk tidak merasakan kecewa atas konklusi nya terhadap karakter-karakter utama. Padahal ekspektasi sudah saya pasang serendah mungkin, namun saya masih merasakan kekecewaan. Oh God, what went wrong...

Paling mengecewakan jelas adalah konklusi siapa yang pada akhirnya menduduki singgasana The Iron Throne, dan jawabannya adalah karakter yang paling saya benci di season ini, yaitu Brandon Stark!!!! Karakter yang dari episode awal hingga sekarang di season ini sama sekali tidak melakukan apapun. Dirinya hanya hadir dengan tatapan kosong, dialog yang dilontarkan tidak ada sama sekali yang melekat dan jangan tanya juga kontribusinya yang bisa dibilang nihil hingga sekarang. Dan dirinya terpilih menjadi Raja dari 7, oh sori, 6 kerajaan??? You've gotta be kidding me!!! Konklusi ini pun menjadikan narasi identitas sebenarnya dari Jon Snow semakin tidak ada artinya. Oh, mengenai Jon Snow, dirinya kembali dikirim bertugas menjadi The Night's Watch sebagai hukuman dari keputusannya membunuh Daenerys (Ga perlu di spoiler lah ya, udah seminggu lebih juga). Character arc dari Daenerys mungkin salah satu hal paling mengecewakan dari season 8. Karakter yang begitu menginspirasi sebagian besar penonton berkat perjuangannya mendapatkan kekuatan yang begitu besar sehingga dirinya menjadi kandidat terkuat untuk bisa merebut singgasana Iron Thorne, mendapatkan konklusi yang datar. Tidak ada kesan bittersweet kala Jon Snow menghujamkan pisau tajam ke dada nya. Hanya ada rasa kecewa lagi mengingat betapa banyak kerusakan narasi yang dilakukan oleh D&D terhadap salah satu karakter favorit saya ini. 

Udah sih ya, saya tidak perlu menulis panjang-panjang karena intinya, saya begitu kecewa akan akhir episode ini. Sedih rasanya dua tahun penantian berakhir dengan mengecewakan seperti ini. Mungkin beginilah hasil dari penulisan yang terburu-buru, mengorbankan character development sepanjang 7 season, hanya mementingkan sajian visual effect serta adegan spectacle tanpa memperhatikan detil penulisan. I still love this series, I still love Game of Thrones, but it's hard to not feel dissapointed.

6/10

Overall Season 8 rating: 8/10

Minus 2 for Bad Writing and Decision
6/10

5 comments:

  1. Sama ekspektasi juga udah tinggi buat battle of winterfell ini tapi ya lumayan lah, untuk urusan battle masi ada the last war nnti ama cercei yang dari kmaren dibawah radar cuma di episode ke empat berhasil nunjukin kecerdasannya

    ReplyDelete
  2. Cersei nya cerdas, tapi Daenerys dan pasukannya kurang cerdas. overpowered banget Iron Fleet dibawah pasukan Euron. Saya sih berharap Yara muncul pada saat Daenerys di ambush.

    ReplyDelete
  3. Di episode 5 campur perasaan loved it and hated it mungkin build up nya aja kurang buat episode ini kalo mantep bisa nampol banget, buat gua itulah kelainan nya GOT ga sperti franchise besar kbanyakan yang main aman dalam hal karakter utama nya disini pasti penulis sadar kalo pnonton pasti kcewa dengan perubahan arc dany krena ga sesuai yg kita mau mkanya pandangan gua penulis sengaja dan sadar akan itu, bukan sbuah kesalahan (kan mreka juga yang nulis dari season awal) dan disitu brengseknya GOT nge twist karakter di dalamnya

    ReplyDelete
  4. Bibit kecil tidak suka tumbuh ketika GOT menewaskan orang baik Ned Stark! Makin ke sini makin tidak suka. Akhirnya stop dan baca sinopsis terakhir ini saja untuk mengetahui akhir cerita. Thanks God, saya tidak membuang2 waktu and thanks a lot ya sudah buat sinopsisnya. U save my life ha.ha

    ReplyDelete
  5. Saya cenderung berbeda pendangan dengan penulis, saya tidak begitu suka dengan Daenerys sejak season awal sampai akhir (sudah terbaca karakternya akan seperti apa).. Banyak juga yg menjadi alasannya, well memang season 8 kurang epic bagiku, tapi tetap setiap penonton punya sudut pandang masing2 terhadap setiap karakter yang ada.

    ReplyDelete

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!