Wednesday, 7 February 2018


"What if, this is the best version (of me)"- Christine "Lady Bird" McPherson

Plot

Keinginan untuk hidup bebas dan melakukan apa yang kita harapkan begitu membuncah kala remaja. Hal itu pun terjadi pada gadis remaja SMA berambut merah, Christine McPherson (Saoirse Ronan) atau lebih memilih dipanggil dengan nama panggilannya Lady Bird, yang mana ia ingin sekali merasakan kehidupan di luar Sacramento. Ia pun memiliki impian untuk bisa mengenyam dunia pendidikan di kota New York. Namun, mimpinya tersebut terhalang oleh sang ibu, Marion McPherson (Laurie Metcalf), dengan alasan berupa himpitan ekonomi serta mencemaskan keselamatan putri satu-satunya tersebut. 



Review

Mungkin saya berlebihan, tetapi menurut saya, Ronan sekarang berada di jalur yang tepat untuk bisa dikatakan sebagai penerus dari aktris legendaris, Meryl Streep. Bayangkan, walaupun ia tidak disinari dengan hingar bingar Hollywood layaknya Jennifer Lawrence, Ronan yang masih berusia 23 tahun ini terus memukau penikmat film dengan penampilannya yang tampaknya tidak pernah mengecewakan. 3 nominasi Oscar (2 di kategori Best Actress yaitu Brooklyn dan Lady Bird, dan 1 lainnya adalah Best Supporting Actress saat ia membintangi The Atonement ketika ia masih berusia 13 tahun) telah ia kantongi, bahkan ia baru saja berhasil menyabet gelar Best Actress for Motion Picture Musical or Comedy di ajang Golden Globe Award. Bila Ronan terus pintar memilih peran selanjutnya, dan tidak mengulangi kesalahannya kala memutuskan untuk terlibat di proyek The Host pada 4 tahun lalu, dengan segala modal yang ia miliki, Ronan pasti memiliki masa depan yang cerah dalam karirnya sebagai aktris. 

Dalam karya debut Greta Gerwig, Ronan kembali memukau lewat perannya sebagai gadis remaja yang dipenuhi dengan mimpi serta jiwa memberontak yang sulit dikendalikan. Dengan segala kepribadian yang labil dalam diri Christi, eh, si Lady Bird, bisa saja dirinya malah menjadi tidak disukai atau bahkan jatuhnya memuakkan bagi penonton. Tetapi, Gerwig tepat sekali dalam memberikan peran Lady Bird untuk Ronan. Rasanya hampir mustahil untuk tidak menyukai sang Lady Bird ketika Ronan begitu menyatu dengan karakternya. Ronan sukses memberikan suntikan "hati" terhadap karakter Christine, sehingga penonton bisa merasakan keterikatan dengan karakter serta semua keinginannya yang meledak-ledak. Walau memang tidak terlalu spesial, tetapi nominasi Oscar tentu layak diberikan kepadanya, walau sekali lagi, Ronan sulit untuk memenangkannya. Ronan pun mendapatkan "perlawanan" setimpal dari aktris senior, Laurie Metcalf, yang memerankan karakter sang ibu dari Lady Bird.

Marion bagaikan representatif dari sebagian besar seorang ibu di dunia yang mengkhawatirkan perkembangan anak kandungnya kala mulai menginjak di usia remaja. Marion memilih memberikan kasih sayang terhadap Christine dengan sikap yang tegas, memberikan peraturan yang cukup ketat, dan membatasi tingkah pola sang anak. Tanpa ia sadari, pilihannya tersebut malah dirasakan Christine begitu mengekang akan segala keinginannya yang sangat luas. Namun, kita pun menyadari, Marion memilih melakukan hal tersebut berdasarkan alasan yang kuat, seperti ia harus menghadapi sulitnya perekonomian dengan menjadi tulang punggung utama dalam keluarganya ketika sang suami, Larry McPherson (Tracy Letts), kehilangan pekerjaannya. Setting nya yang terjadi pada tahun 2002 pun menurut saya juga menjadi satu faktor tambahan bagi Marion yang sangat mengkhawatirkan keselamatan putri satu-satunya tersebut (Remember 9/11, anyone?). Dan Metcalf berhasil menunaikan tugasnya dengan fantastis. Di satu sisi ia berhasil memerankan Marion yang keras terhadap Lady Bird, tetapi penonton masih bisa merasakan pancaran kasih sayang seorang Marion terhadap putrinya lewat ekspresi yang dikeluarkan Metcalf. Puncaknya terjadi kala tangisnya membuncah di adegan terakhir. Berhasil memaksa saya mengucurkan sedikit air mata karena teringat ibu saya yang 11-12 seperti Marion dalam memberikan rasa kasih sayangnya kepada saya saat remaja.

Persis seperti nama panggilannya, Lady Bird, Christine bagaikan seekor burung yang selama kehidupannya berada di dalam sangkar. Sangkar tersebut bernamakan Marion, yang tidak lain tidak bukan adalah ibu kandungnya sendiri. Tentu setiap manusia ingin merasakan kebebasan, begitupun dengan Christine. Dengan gaya penyutradaraan yang bisa dibilang mengingatkan kita pada Richard Linklater dengan Boyhood nya, Gerwig mengajak kita berkenalan dan mengikuti keping demi keping kehidupan Christine di masa sekolahnya yang tidak lama lagi akan berakhir. Bedanya, naskah yang ditulis pula oleh Gerwig ini berfokus hanya pada kehidupan sekolah Christine pada masa SMA saja yang memberikan keleluasaan pada Gerwig untuk perlahan-lahan dalam membangun konfliknya serta pembangunan karakter, terutama terhadap Christine dan Marion. Kesulitan dalam mata pelajaran, hobi yang dijalankan, konflik bersama teman terdekat, jatuh cinta terhadap lawan jenis, serta tidak lupa koneksi dengan keluarga, semuanya dimasukkan Gerwig dalam film yang berdurasi 92 menit ini. Sebab itu lah mungkin Gerwig menyajikan Lady Bird dengan membaginya layaknya keping puzzle

Hanya saja memang, untuk mereka yang belum terbiasa dengan film drama minim konflik, Lady Bird mungkin cukup sulit untuk membuatmu segera terikat di menit-menit pertama. Ditambah lagi jika kalian tidak memiliki cukup alasan untuk mengikuti Lady Bird hingga akhir. Gerwig telah menocba untuk menyiasati problema tersebut dengan memberikan adegan perdebatan antara Christine dan Marion, tetapi tampaknya hal itu belum cukup. Sehingga bisa dimengerti jika ada penonton yang jatuhnya tidak puas dan menganggap Lady Bird adalah sajian yang overrated

Dalam debut nya sebagai sutradara maupun penulis naskah, tampaknya Gerwig berbakat dalam hal menyajikan adegan yang mengandung kental akan unsur drama dan komedi. Gerwig tidak menyajikannya secara berlebihan, semuanya berjalan natural namun bukan berarti tidak bisa membuatmu mengalirkan air mata. Contoh terbaik salah satunya adalah obrolan Christine dan Marion di depan fitting room yang awalnya saya merasakan kelucuan, namun tiba-tiba secara outta nowhere, adegan tersebut bisa membuat saya merinding ketika Christine menanyakan apakah sang ibu menyukai dirinya. Obrolan Christine bersama ibu guru yang sebelumnya sempat ia kerjai pun mengandung makna yang cukup dalam. Belum lagi saya membahas 15 menit terakhirnya yang begitu menyentuh titik terlemah saya. Pada unsur komedi pun, Gerwig sukses membuat saya tertawa beberapa kali, bahkan pada satu adegan yang seharusnya tidak saya tertawakan, seperti tragedi yang dialami Christine di toilet laki-laki dan usaha berbohong Christine terhadap teman barunya ketahuan.

Well, maybe Lady Bird is not for everyone, tetapi jika kalian memiliki kisah remaja yang sedikit banyak mirip seperti Christine, dan juga kalian adalah perantauan yang tengah mengalami kerinduan akan kampung halaman dan terutama orang tua, Lady Bird akan memuaskan kalian, bahkan kalian akan merasakan rasa haru saat Lady Bird berakhir. Saya sendiri hanya menghela nafas panjang ketika Lady Bird menutup tirainya, dan berharap sekali memiliki keberanian untuk bisa menghubungi ayah-ibu saya, seraya mengatakan kalimat sederhana "I miss you".

8,5/10

0 komentar:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!