Sunday, 18 February 2018


"But when I think of her, of Elisa, the only thing comes to mind is a poem, whispered by someone in love, hundreds of years ago:"Unable to perceive the shape of you, I find you all around me. Your presence fills my eyes with your love, it humbles my heart, for you are everywhere"-Giles

Plot

Bangun dari tidur, merebus telur, mandi (sembari masturbasi), menyiapkan diri untuk bekerja lalu bercengkerama dengan tetangga sekaligus sahabatnya, Giles (Richard Jenkins), dan akhirnya naik bus untuk tiba di tempat kerja. Begitulah setiap hari seorang Elisa Esposito (Sally Hawkins), wanita bisu yang tinggal sendiri di apartement di atas bioskop sepi, menjalani hari-harinya. Selain Giles, Elisa juga memiliki teman dekat bernama Zelda (Octavia Spencer) yang pula merupakan rekan kerja Elisa sebagai janitor di laboratorium rahasia milik Amerika Serikat. Walaupun hanya memiliki dua orang teman, namun Elisa sangat beruntung karena Giles dan Zelda begitu perhatian dan menyayangi Elisa. Bahkan Zelda senantiasa setia menanti Elisa hanya untuk sekedar mencetak absen sebelum bekerja. Hari-hari biasa Elisa mendadak berubah ketika laboratorium tempat ia bekerja kedatangan Kolonel Richard Strickland (Michael Shannon). Strickland tidak sendiri, karena ia membawa serta makhluk misterius yang ia tangkap di salah satu sungai South American.




Review

Sekedar informasi tidak penting, sebelum menyaksikan film terbaru dari Guillermo Del Toro ini, saya telah menyiapkan diri dan bersiap menerima sajian film berat ala film unggulan pihak Academy. Untuk yang belum tahu, The Shape of Water adalah film yang paling banyak menerima nominasi Oscar tahun ini dengan 13 nominasi, termasuk Best Picture, Best Director, Best Actress, hingga Best Original Screenplay. Tentu saja, The Shape of Water memiliki faktor X yang menjadikannya sebagai favorit juga untuk meraih gelar Best Picture pada perhelatan Oscar nanti. Tipikal film Oscar, tentu saja bukan selera kebanyakan orang. Segmentasi penikmat nya pun tentu terbatas, dan untuk itu pula lah saya merasa perlu untuk menyiapkan diri dan tidak berharap akan tontonan yang ringan, ringan seperti film peraih nominasi terbanyak tahun lalu, La La Land. Untungnya saya memiliki modal berarti karena sebelumnya, saya telah menyaksikan film fantasi drama milik Del Toro lainnya, yaitu Pan's Labyrinth.

The Shape of Water memang memiliki berbagai kesamaan dengan Pan's Labyrinth, seperti settingnya yang diambil pada saat perang terjadi (The Shape of Water mengambil setting dimana Amerika dan Uni Soviet masih menjalani perang dingin) dan tentu saja, kisahnya yang seperti dongeng. Bedanya, Pan's Labyrinth terasa sekali akan dark nya, walau pemeran utamanya adalah gadis kecil, sementara The Shape of Water terasa lebih ringan, mudah diikuti. 

The Shape of Water telah menyapa kita dengan sajian visual yang begitu cantik dari detik pertama, sebelum kita diajak untuk mengenal Elisa beserta dua teman terdekatnya. Seperti apa yang saya tulis di atas bila Elisa beruntung sekali mendapatkan teman sebaik Giles dan Zelda, di tengah kondisinya yang mungkin saja mendapatkan pandangan sebelah mata dari orang lain (bahkan ada satu teman kerja Elisa memanggil Elisa dengan panggilan "dummy"). Mungkin juga Giles dan Zelda mampu menerima Elisa apa adanya sebagai balasan karena Elisa pun menerima mereka tanpa memusingkan identitas mereka. Giles adalah seniman yang seolah tak dihargai. Tidak hanya itu, ia pun dilanda akan kesepian disebabkan oleh kelainan seksual yang ia miliki dan sangat ia tutupi. Sebaliknya, Zelda adalah wanita berkulit hitam yang tentu saja masih berpotensi mendapatkan perlakuan rasis, apalagi di masa perang dingin. Hubungan pertemanan ini pun menjelma menjadi satu faktor mengapa The Shape of Water lebih terasa hangat untuk dinikmati. Tak ditampik pula, ada pesan mengenai kesetaraan yang ingin disuarakan oleh Del Toro. Dan sebagai penguatnya adalah kisah Elisa lainnya yang mana ia terlibat hubungan dekat bersama makhluk yang berbeda spesiesnya dengan Elisa sendiri.

Apa yang akan Anda lakukan ketika tengah mengalami jatuh cinta? Elisa memiliki jawabannya, dengan berusaha melakukan yang terbaik demi keselamatan makhluk yang telah ia investasikan rasa sayang, bahkan cintanya. Di tengah kesederhanaan dan kekurangan yang ia miliki, ternyata terdapat kenekatan dan juga keberanian yang tersimpan di dalam diri Elisa. Dan semua itu tentu didasari oleh rasa cinta yang begitu kuat dari Elisa. Mungkin yang menjadi flaw disini adalah kurangnya fondasi ikatan yang terjalin antara Elisa dan si Amphibian Man (imdb menyebut nama makhluk tersebut dengan nama ini, diperankan oleh Doug Jones). Apa yang menjadi dasar perkenalan mereka mungkin tidak lah terlalu berkesan, apalagi menyentuh jika dilihat dari segi drama. Tetapi saya mencoba memposisikan diri seperti Elisa. Menemukan orang yang mampu menerima Anda apa adanya,  sedangkan Anda adalah seorang tuna wicara, apalagi dalam tempo waktu yang begitu singkat, tentu saja Anda akan menganggap orang tersebut adalah salah satu orang yang paling berarti dalam hidup Anda, dan Anda pun pasti akan bersedia melakukan apapun demi keselamatan orang ini. Dan itu tampaknya yang terjadi pada Elisa. Elisa tidak perduli tampilan luar The Amphibian Man, dan Elisa juga tidak perduli dengan kenyataan dimana mereka terpisah akan faktor spesies. Yang menjadi concern dari Elisa hanyalah dia telah memiliki alasan untuk menyelamatkan The Amphibian Man. Fisik tidaklah penting untuk Elisa, satu-satunya hal terpenting baginya adalah perasaannya yang ingin menolong spesies langka tersebut. Sebuah pesan kembali yang ingin disampaikan oleh Del Toro.

Sayang memang, Del Toro yang ikut dibantu Vanessa Tylor dalam menulis naskah film ini meniadakan sedikit saja mengenai kisah masa lalu Elisa. Padahal, dengan sedikit suntikan backstory, hal itu pasti sangat membantu membuat penonton mudah mengerti akan tindakan yang diambil oleh Elisa. Dan juga saya sangat penasaran mengenai luka yang ada di leher Elisa. Pastinya Del Toro pun memiliki alasan mengenai adanya luka di leher Elisa tersebut, tetapi Del Toro memilih untuk membiarkan misteri tersebut tidak terjawab hingga film berakhir. Mungkin saja ada jawabannya, namun subtil dan tidak tertangkap oleh saya. 

Setelah melihat penampilan Sally Hawkins sebagai Elisa, mudah mengerti mengapa Del Toro hanya menginginkan Hawkins untuk memerankan Elisa. Lihatlah bagaimana Hawkins mampu membuat sosok Elisa begitu anggun dengan absennya aksesoris ataupun atribut mewah yang ia kenakan. Hanya pakaian normal seorang janitor atau pakaian biasa saja, Hawkins mampu menyulap seorang Elisa benar-benar tampak seorang putri. Del Toro menginginkan sosok Elisa menjadi "cantik" dengan cara tersendiri, dan Hawkins tentu saja telah mewujudkan keinginan Del Toro tersebut. Memerankan satu karakter tuna wicara sudah barang pasti bukanlah pekerjaan yang mudah untuk seorang aktor. Tetapi Hawkins juga bukanlah aktris kemarin sore. Dengan kebisuannya, kita bisa merasakan berbagai rasa yang dialami Elisa, seperti kala ia senang saat menyaksikan acara di tv, kecemasan yang melanda, ataupun rasa marah yang tertahan di dalam hati dan hanya bisa ia ungkapkan dengan bahasa isyarat (salah satu momen terbaik dalam film ini). Muka innocent yang setiap kali Hawkins pancarkan pun rasanya membuat kemungkinan penonton mendekati 0% untuk tidak mendukung setiap tindakan Elisa, walaupun sesekali ada-ada saja kelakuan "iseng" dari Elisa yang mampu membuat saya tersenyum. Richard Jenkins dan Octavia Spencer mampu mengimbangi akting dari Hawkins dengan baik karena mereka sama sekali tidak tenggelam kala harus bersanding dengan Hawkins. Terutama Spencer yang senantiasa menawarkan aroma ceria di setiap kemunculannya berkat kharisma yang hangat darinya, sehingga saya cukup menantikan kehadirannya. Momen kala ia mengomentari akan "kejadian" yang dialami Elisa saja rasanya telah cukup menjadi alasan yang kuat mengapa ia mendapatkan nominasi Oscar di kategori Best Supporting Actress.

The Shape of Water pun memiliki berbagai adegan yang cukup memicu adrenalin. Terutama setengah jam mendekati akhir. Jujur saja, ketegangan yang ada di dalam The Shape of Water tidak ada yang spesial, bahkan tidak ada yang bisa mencapai titik optimal, atau mengganggu kenyamanan penonton. Dan disitulah fungsi kehadiran Michale Shannon sebagai villain yang intimidatif dalam film ini. Bukan sesuatu hal yang baru untuk Shannon, tetapi jelas apa yang ditampilkannya disini telah lebih dari cukup dan adegan saat ia mengancam di menit-menit akhir benar-benar menjadi showcase Shannon dalam menunjukkan dirinya sebagai pemeran antagonis.

Sayangnya, The Shape of Water jelas bukanlah film yang mampu menjangkau segmentasi penonton dengan luas. Pada menit-menit awal harus saya akui, The Shape of Water belum lah terlalu mengikat, walau pun tidak sampai hingga ke taraf yang membosankan. Dialog-dialog yang terlontar dari karakter pun tidak ada yang terlalu berkesan, walau memang tampaknya Del Toro memfokuskan pada kekuatan bernarasi lewat visualnya, bukan lewat bertutur kata. Barulah ketika film mulai jelas arah konfliknya akan seperti apa, The Shape of Water mulai menunjukkan taringnya, dan itu tetap terjaga hingga durasi menyentuh detik akhir. Oh, mengenai sinematografinya, rasanya tidak perlu saya jelaskan karena pada detik-detik awal saja, Dan Laustsen telah membuat Anda terpana dengan begitu detil dan indahnya akan dunia "bawah air" yang tampak di layar. Apalagi shot terakhir yang tampaknya hampir pasti Laustsen akan mendapatkan Oscar pada Maret mendatang di kategori Best Cinematography.

8/10

Categories: , , ,

0 komentar:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!