Friday 6 September 2019

"I did it for me. I liked it. I was good at it. And I was really... I was alive."
Salah satu moto saya setiap kali ingin mencoba film yang memiliki usia cukup "tua" namun mendapatkan predikat critical acclaim adalah tidak ada kata untuk terlambat. Saya ingin mengetahui seberapa bagus nya film yang kerap dipuji. Saya ingin mendapatkan pengalaman menyenangkan dari apa yang saya nikmati. Dan terakhir, saya ingin mempelajari bagaimana sebuah film mampu memuaskan berbagai pihak dan dianggap spesial oleh kalangan penikmat film. Sedikit cerita, dalam bulan-bulan belakangan, minat saya menonton film ataupun anime baru berkurang drastis. Bisa dilihat dari postingan saya di blog ini yang jumlahnya dari bulan ke bulan semakin berkurang. Kerap kali untuk mengisi waktu luang, saya lebih memilih film yang sudah saya tonton sebelumnya dan mayoritas adalah film yang saya sukai. Hingga pada awal bulan Juli, ketika saya mendapatkan salah satu cobaan yang paling berat dalam hidup saya, saya membutuhkan media hiburan sebagai bentuk escapism saya akan kenyataan. Dan pilihan saya pun jatuh pada TV Series, Breaking Bad, yang kerap kali dicap sebagai salah satu, jika bukan, serial tv paling berpengaruh dan terbaik yang pernah ada. 


Jelas salah satu faktor mengapa saya tergerak untuk mencoba Breaking Bad karena pujian setinggi langit dari kritikus maupun penonton. Selain itu juga mungkin faktor selanjutnya adalah betapa mengecewakannya hasil akhir dari season terakhir Game of Thrones, tv series paling populer setelah Breaking Bad, yang juga sering disebut mampu menjadi tv series terbaik, namun harus banyak yang menjilat ludah akibat season 8 nya yang berantakan. Tapi untuk saya, faktor utama dan paling pertama adalah fakta bila Breaking Bad memiliki protagonist utama anti hero tidak biasa, yaitu Walter White (Bryan Cranston). Genre yang diambil pun merupakan salah satu favorit saya, yaitu crime drama

Plot


Breaking Bad mengambil cerita seorang guru kimia SMA bernama Walter White, yang didiagnosa mengidap stage 3 lung cancer. Membutuhkan biaya lebih untuk perawatan kanker ditambah pula kebutuhan hidup sehari-hari, Walter nekad terjun ke drugs world, dimana ia memproduksi serta menjual narkoba jenis methamphetamine (serius, susah banget namanya). Dibantu oleh mantan muridnya, Jesse Pinkman (Aaron Paul), Walter perlahan-lahan semakin dalam terlibat dalam dunia kriminal. Terlebih, hasil "memasak" meth karya nya dianggap terbaik yang pernah ada, sehingga permintaan dari para junkie semakin besar. 

Tinggal di Albuquerque, New Mexico, Walter memiliki seorang istri yang tengah hamil, Skyler White (Anna Gunn) dan anak laki-laki, Walter Jr. (RJ Mitte), yang mengidap cerebral palsy. Selain itu, Walter pun memiliki adik ipar, Marie (Betsy Brandt) dan suaminya yang merupakan agen DEA, Hank Schrader (Dean Norris). Hank sendiri tengah gencar melakukan penyelidikan atas semakin maraknya penggunaan meth di lingkungan Albuquerque.



Breaking Bad, yang dibuat oleh Vince Gilligan ini terdiri dari 5 season, dan percayalah dari season ke season nya, semakin menebarkan atmosfir kelam, depresif, serta tragic yang hadir per episode. Saya sendiri cukup kaget betapa dark nya cerita Breaking Bad berkembang, terutama dari pertengahan season 3 hingga season 5. Padahal di awal-awal season, atmosfir yang ditawarkanBreaking Bad terasa family friendly sekali. Harmonisnya keluarga Walter, eratnya hubungan mereka dengan Marie dan Hank, serta dunia kriminal yang belum terlalu menjamah kehidupan Walter, terutama di season 1, Breaking Bad masih mudah untuk dilahap, dan terlihat normal untuk ditonton bersama dengan keluarga. Namun, seiring dekatnya dan familiar nya Walter berhubungan dengan kehidupan kriminal, tone penceritaan mulai cenderung depresif, intense, dan tragic sehingga memberikan kesan tidak nyaman setiap menontonnya. 

Saya sangat menyukai pendekatan para kreator Breaking Bad, diketuai Vince Gilligan, yang perlahan namun pasti. Memanfaatkan format episode nya, penonton diajak untuk mengenal lebih dalam masing-masing karakternya. Seperti Walter yang sangat mencintai keluarganya dan rela melakukan apapun demi kebahagiaan mereka, bahkan harus melakukan tindakan kriminal. Jesse yang terlihat dari luar hanya lah berandal junkie pembuat onar, namun di dalamnya terdapat hati mulia yang menyukai dan menyayangi anak-anak. Lambat laun, pekerjaan mereka sebagai penyuplai meth ini akan mempengaruhi kehidupan orang-orang terdekat Walter dan Jesse, dan semakin sering pula mereka harus memutar otak untuk bisa menjamin keselamatan kerabat mereka dari tokoh-tokoh kriminal yang berbahaya. Dengan 5 season, total 62 episode nya, jelas Gilligan & co. memiliki durasi jauh lebih dari cukup untuk mengeksplorasi para karakter nya. Tidak hanya Walter dan Jesse, kita pun melihat pendalaman berbagai karakter yang melingkari mereka, sehingga para karakter ini jatuhnya tidak hanya sekedar lewat saja. 


Bagi saya, penulisan karakter-karakter dalam Breaking Bad ini merupakan aspek terkuat serial tv ini. Untuk karakter Walter White sendiri, percayalah, saya bisa menulis satu artikel panjang untuk karakter anti hero terbaik yang pernah saya tonton dalam media serial tv/film ini. You know I freakin' love this character if I said so. Awal mula, Walter adalah pria berkeluarga normal dengan pekerjaan yang normal pula. Dari permukaan, mudah sekali untuk menilai jika ia adalah pria baik-baik. Dibantu pula kharisma likeable dari Bryan Cranston. Namun, dengan kondisi yang semakin menyulitkan, ia berani mengambil jalan 180 derajat dengan tenggelam dalam dunia kriminal. Seiring waktu, sosok Walter White yang baik kita kenal di awal semakin tergerus, dan tidak jarang kita membenci atau paling tidak menyayangkan keputusan amoral yang sering ia ambil, sehingga melahirkan sosok alter ego Walter, sekaligus "nama kriminal" nya, Heisenberg.


Demi melancarkan segala urusannya, Walter tidak segan-segan dalam mengambil keputusan, bahkan jika keputusan tersebut harus melayangkan nyawa orang lain. Dari kriminal kelas teri yang bahkan sering melakukan kecerobohan mendasar, menjelma menjadi mastermind dalam menjalankan agenda nya. Transformasi Walter White ini dikerjakan begitu mendetil oleh Gilligan. Dari motif, karakterisasi, hingga narasi masa lalu, Gilligan begitu memperhatikan hal-hal tersebut. Walter sendiri sebelum ia menjelma menjadi seorang raja dalam dunia narkotika, ia hanyalah pria berusia senja normal, bahkan cenderung menyedihkan. Ia didiagnosa mengidap kanker paru-paru meskipun ia sama sekali tidak pernah merokok sepanjang hidupnya. Sebagai guru pun ia tidak dihormati, bahkan ada satu momen, Walter dipermalukan oleh salah satu muridny yang sebelumnya sempat ia marahi. Dalam keluarga pun, Walter seolah powerless. Sebagai pemimpin rumah tangga, terlihat sekali ia terlalu "diarahkan" oleh sang istri, Skyler. Hank, adik iparnya, tidak jarang meremehkan atau bahkan menjadikan Walter sebagai bahan candaan. From the start, Walter already got my sympathy. 

Maka, saat Walter keluar dari "sangkar" dan melakukan tindakan diluar comfort zone nya, meskipun ilegal dan berbahaya, saya merasakan ada motif utama selain uang yang mendorong Walter memulai petualangannya sebagai kriminal. Perhatikan dialog berikut ini di season 1.

Jesse: Some straight like you, giant stick up his ass, age-what, 60? He's just gonna break bad? It's weird is all, okay? It doesn't compute. Listen, if you've gone crazy or something. I mean, if you've... if you've gone crazy or depressed, I'm just saying...that's something I need to know about. Okay? I mean, that affects me. 
Walter: I am awake.. 
See? Kerap kali, kita selalu mendengar Walter beralasan jika ia menyebrangi jalan penuh mara bahaya, masuk ke dunia kriminal demi mendapatkan uang adalah untuk keluarga. I did this for family, bla bla bla, tapi dari awal kita bisa menduga, Walter melakukan semua ini adalah berdasarkan keinginannya sendiri, dan di episode akhir, akhirnya Walter mengakui tersebut. Dia merasakan hidup, seolah terlepas beban yang selama ini menahannya. Ada kepuasan melihat dirinya di akhir, ia terang-terangan mengakui itu. Pada akhirnya, ada satu hal yang mana bisa memuaskan ego terpendamnya. Ia bisa mendapatkan respect dari orang yang mengetahui potensi sebenarnya, keberadaannya memiliki impact besar. Dan secara tidak langsung pun, ia memegang kontrol penuh dan bisa mengelabui Hank, yang notabenenya kerap meremehkan dirinya.



Bryan Cranston memberikan performa monumental sebagai Walter White. Tak berlebihan rasanya jika mengklaim Walter White adalah salah satu karakter terbaik yang pernah ada dalam sejarah serial tv, dan selain faktor penulisan karakter, penampilan Bryan Cranston juga memiliki andil besar. Bukan hal mudah memerankan dualitas pada satu karakter, dan Cranston mampu menyeimbangkan sosok Walter yang likeable, clumsy, innocent, namun disisi berseberangan, ia juga briliannya sukses menampilkan sosok Heisenberg yang sociopath, berhati dingin sehingga bisa memberikan order untuk mencabut nyawa seseorang. Terdapat banyak adegan yang membuat saya speechless berkat akting luar biasa Cranston, seperti pada adegan "I am the danger", monolog pada episode Fly, saya dipaksa untuk terharu bahkan menangis akibat aktingnya di the telephone scene dalam episode Ozymandias, namun favorit saya adalah di akhir adegan episode Crawl Space, dan oh boy, saya dibuat terpana, takjub akan totalitas yang diberikan Cranston. What a phenomenal job.

Selain memperdalam karakterisasi, Gilligan mengajak kita untuk melihat interaksi antar karakter.  Kita mempelajari hubungan yang terjalin, apakah itu sayang, perduli, hormat atau bahkan benci. Namun, tetap yang paling stood out adalah duet Walter-Jesse. Seiring berjalan episode demi episode, hubungan keduanya mengalami pasang surut. Tidak jarang mereka berdebat bahkan bertengkar akibat pendapat berseberangan, namun juga sering pula mengemuka hubungan hangat ala ayah dan anak pada dua karakter ini.



Barisan para antagonist nya pun tidak mau kalah. Ada Tuco (Raymond Cruz) yang memiliki masalah dalam mengatur temper nya, Jack Welker (Michael Bowen) yang hadir di season akhir, duo the cousins, Leonel dan Marco Salamanca (Daniel dan Luis Moncada) yang miskin bicara namun setia memberikan ancaman di setiap kehadirannya. Gilligan & co. juga membuktikan kepada penonton jika untuk menghadirkan villain yang berbahaya, tidak selalu perlu sosok pria/wanita tangguh dengan fisik menyeramkan. Hector Salamanca (Mark Margolis) masih mampu menebarkan teror dengan tatapan penuh kebencian walau dirinya hanya duduk di kursi roda. Oh, tidak lupa juga dengan lonceng di kursi roda nya yang mampu membuatmu tidak nyaman. Dan ada juga Lydia Rodarte-Quayle (Laura Fraser), wanita high profile (terlihat dari namanya yang.....ribet -_-) terlihat lemah dan mudah cemas, tetapi di dalam nya ternyata tidak terlalu jauh busuknya dengan para kriminal lainnya. Tetapi tentu saja yang paling memorable adalah Gustavo Fring yang diperankan brilian oleh Giancarlo Esposito. Berdosa sekali rasanya jika tidak membahas karakter satu ini.

Ekspresi di periode awal masa kerja.

 2 bulan selanjutnya.
Gustavo atau Gus sebenarnya tidak jauh berbeda layaknya Walter White. Dirinya harus menjalani kehidupan ganda demi menutupi kedok mereka dalam keterlibatan di dunia kriminal. Keduanya sama-sama kalkulatif, cerdas, dan ahli dalam melakukan pekerjaan mereka. Namun bedanya, Gus memiliki pengalaman yang jauh di atas Walter sehingga Gus lebih tenang dan acap kali mendahului Walter di setiap kesempatan. Kondisi inilah yang juga harus memaksa Walter senantiasa memutar otak untuk mengalahkan Gus, bahkan harus melakukan apapun supaya nyawanya terselamatkan. Percayalah, ancaman yang dihadirkan oleh Gus jauh berlipat-lipat dosis nya dibanding antagonist lainnya. Gus merupakan pria kalem, tenang, mampu memberikan kesan nyaman kepada setiap orang didekatnya, namun dibalik itu, ia adalah sosiopat penuh perhitungan yang membuat Anda berharap untuk tidak melihat dirinya yang sebenarnya. Tatapan mata tajamnya nya saja saya rasa sudah lebih dari cukup untuk membuat saya kencing di celana. Rivalitas antara Walter vs Gus inilah yang semakin menobatkan Breaking Bad sebagai tontonan yang keren dan susah dilupakan.



Ada alasan tersendiri mengapa Breaking Bad menjadi sajian yang memorable, dan itu tidak terlepas dari suntikan realis dari Gilligan & co. Breaking Bad bukanlah kehidupan layaknya dalam film The Godfather trilogy dimana Walter hidup dalam dunia keluarga mafia. Setting Breaking Bad tidak diambil layaknya perang kerajaan ala Game of Thrones, melainkan kisah Breaking Bad hanyalah diambil dari kehidupan pria normal dengan lingkungannya yang normal pula, begitu jauh dari lingkungan kriminal. Dengan pendekatan realis inilah, setiap Breaking Bad memiliki momen yang mencekam, intense, yang melibatkan karakter utamanya dalam bahaya, penonton pun merasakan ketidak nyamanan. Susah dilukiskan bagaimana jantung saya berdetak begitu tidak normalnya setiap Walter dan Jesse dihimpit masalah besar yang bisa saja mempengaruhi kehidupan sekitar mereka.

Ambiguitas moral terasa kental saat mengingat, tokoh-tokoh utama dalam Breaking Bad sebenarnya tidak ada yang bisa dikatakan benar-benar putih (mungkin pengecualian adalah Walter Jr.) sehingga terasa humanis. Masing-masing memiliki flaws nya, termasuk Hank sebagai agen DEA yang di akhir memperlihatkan jika ia rela melakukan apa saja demi bisa menangkap Heisenberg. Namun dengan fakta ini malah membuat saya menyukai hampir semua karakter nya, termasuk Skyler yang kerap dicap sebagai karakter paling menyebalkan dalam seri ini. Saya sendiri menyayangkan penilaian ini sih karena bagi saya, Skyler bukanlah karakter one dimensional. Oke, di awal-awal season saya bisa memahami pemikiran ini, namun sama seperti karakter lainnya, karakter Skyler pun ikut berkembang, sehingga ia nantinya menjadi salah satu faktor mengapa Walter bisa meneruskan karir underground nya. Ia tidaklah sempurna, bahkan melakukan kesalahan fatal yang disayangkan, tetapi pada akhirnya saya pun tidak bisa menyalahkan sepenuhnya atas tindakan Skyler.

Di tengah pusaran kisah drama kriminal yang semakin mengental dan berintensitas tinggi, Gilligan & co. tidak lupa juga sering menyelipkan komedi gelap nya yang kerap datang secara tak diduga dan di situasi yang tidak tepat (in positive way). Minimnya pengalaman Walter di awal karir kriminal nya dimanfaatkan Gilligan untuk menjadi sumber black comedy nya, begitu pula dari duet Walter-Jesse yang kerap kali berdebat hingga sesekali mereka adu jotos. Perkelahian pertama mereka di toilet selalu berhasil membuat saya tertawa tiap kali saya menontonnya. Setidaknya sentuhan komedi hitam ini sedikit memberikan warna cerah tersendiri di tengah semakin kelamnya penceritaan. Karakter  comic relief seperti Saul Goodman (Bob Odenkirk) atau bahkan si bodyguard pendiam favorit penggemar, Huell (Lavell Crawford) tentu dibutuhkan untuk meningkatkan dosis komedinya.




Permasalahan Breaking Bad sendiri bagi saya adalah pacing nya yang sering begitu lambat. Tidak jarang Gilligan & co. menghabiskan menit demi menit dalam episode nya dengan memusatkan pada dialog atau cengkerama antar karakter tanpa ada nya momen pelecut adrenalin, terutama di season 1. Hal ini menjadi alasan tidak terbantahkan mengapa Breaking Bad cukup susah untuk dinikmati bagi mereka yang ingin memulai petualangan mereka bersama Breaking Bad. Saya sendiri yang biasanya bisa menonton 5-6 episode serial tv, membutuhkan waktu 1 bulan untuk melahap habis season 1. But, it's worth it, yo! Pengalaman menonton Breaking Bad ini tidak jauh berbeda kala saya menikmati Hunter X Hunter, dimana di awal-awal terlihat biasa saja, cenderung membosankan bahkan. Namun, lama kelamaan, saya ikut tenggelam dengan ceritanya yang semakin jauh dari kata family friendly. Terbukti, jika di season 1 saya cukup membutuhkan waktu lama supaya menonton semua episodenya, di season 3 hingga 5, saya hanya membutuhkan waktu satu minggu saja untuk mengakhiri perjalanan saya dengan tv series ini. Meski bisa dibilang minim adegan aksi, namun percayalah, berkat pendekatan slow burning inilah, semua momen mencekam dalam Breaking Bad begitu nendang.

Cukup disayangkan bila banyak para newbie yang ingin mencoba Breaking Bad segera menyerah di season pertama karena memang dengan pacing yang lambat panas ini memiliki tujuan untuk memberikan kesempatan kepada penonton supaya tenggelam dengan kisah para karakter yang terlibat, hingga tercipta koneksi antara kita dengan karakter nya.  Saya sarankan untuk Anda yang telah memiliki niat untuk mencoba Breaking Bad, bersabarlah. Tidak perlu terburu-buru, nikmati kisahnya secara perlahan, karena percayalah, Anda akan mendapatkan pengalaman menonton luar biasa di setiap seasonnya. Terutama di season 3 hingga akhir. Tentunya saya pun sangat menantikan El Camino yang akan dihadirkan Netflix nantinya.

"Yeah, BITCH!!"

Season 1: 8/10
Season 2: 8,5/10
Season 3: 9/10
Season 4: 9,5/10
Season 5: 10/10

Overall: 9/10





0 komentar:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!