Wednesday 14 June 2017


"I used to want to save the world, this beautiful place. But the closer you get, the more you see the great darkness simmering within. I learnt this the hard way, a long, long time ago."- Diana Prince

Plot

Thermyscira merupakan pulau yang penghuninya semuanya adalah wanita. Salah satunya adalah perempuan bernama Diana (Gal Gadot), seorang putri dari ratu Hippolyta (Connie Nielsen). Diana semenjak kecil telah tertarik untuk bisa bela diri seperti pasukan Amazon yang diketuai oleh adik Hippolyta, Antiope (Robin Wright). Walau pada awalnya sang ibu tidak setuju Diana belajar bela diri, namun berkat desakan Antiope, Diana pun memiliki kemampuan yang hampir sebanding dengan Antiope yang merupakan hasil latihannya dengan Antiope. Suatu hari kala Diana selesai berlatih, pulau Thermyscira kedatangan tamu yaitu Steve Trevor (Chris Pine), seorang mata-mata Amerika yang menyusup ke tentara Jerman. Pesawat yang dikemudikan Steve mengalami kerusakan sehingga pesawat tersebut menghujam lautan yang berdekatan dengan pulau Thermyscira. Diana yang menyaksikan kejadian tersebut langsung menyelamatkan Steve. Pertemuan keduanya inilah merupakan awal petualangan Diana dan meninggalkan pulau Thermyscira demi menyelamatkan manusia yang kala itu sedang mengalami perang dunia.




Review

Masihkah perlu Warner Bros merealisasikan mega proyek mereka mendatang, Justice League, setelah semua film yang merupakan kepingan bagian dari proyek tersebut hampir semua berujung bencana? Setelah hancurnya Suicide Squad yang sebenarnya film yang diharapkan mampu membangkitkan secercah harapan karena memiliki modal yang menjanjiakn, jelas pesimis dirasakan penonton, baik mereka yang mengaku penggemar superhero keluaran DC atau kasual. Beban berat pun berada di pundak Patty Jenkins karena film yang disutradarai nya, Wonder Woman, bagaikan harapan terakhir dari Warner Bros untuk tetap menjaga kepercayaan pecinta film bila proyek Justice League akan berakhir memuaskan. 

Cerita origin Wonder Woman bisa saya katakan hampir sama dengan kisah Captain America. Keduanya hidup di masa dunia sedang dilanda perang dunia, dan juga keduanya terlibat di tengah perang tersebut. Hanya bedanya, Steve Rogers besar di lingkungan manusia sehingga mudah baginya mengerti akan bagaimana kejamnya peperangan, sedangkan Diana Prince tumbuh besar di pulau asing yang susah dijamah manusia dan untuk pertama kalinya menghadapi serta mempelajari mengenai manusia. Saya tidak tahu apakah kisahnya setia dengan apa yang ada di komik sebab saya lumayan awam mengenai kisah Diana, namun yang jelas saya menyukai cerita asal mula Diana ini. 

Apa yang ia dapati dari pulau tempat ia tinggal adalah menghentikan perang untuk melindungi mereka yang tidak bersalah. Ya, Wonder Woman berpusat pada pengembangan karakter seorang Diana Prince hingga pada akhirnya dirinya bersedia terlibat dengan kehidupan manusia dan membantu mereka, walau harus mendapatkan tentangan dari sang ibu. Aspek ini yang merupakan berhasil dicapai oleh Patty Jenkins dalam Wonder Woman nya. Dibantu dengan screenplay dari Allan Heinberg, Jenkins menjadikan lahan perang sebagai media belajar untuk Diana dan di dalam prosesnya, suntikan elemen humanis tertancap di dalam diri Diana, bahwa perang bukanlah hal simpel yang dipelajari Diana selama ini, karena perang jauh lebih kompleks dari itu. Membunuh orang yang dipercaya merupakan otak dari segala peperangan tidak akan secara otomatis menghentikan perang saat itu juga. Ceritanya mungkin sederhana, tetapi tidak menjadi masalah kala momen transformasi Diana menjadi lebih humanis disajikan dengan tidak terburu-buru. Maka bisa dimengerti bila film ini menyentuh durasi hingga 141 menit. 

Kisah Diana ini secara mengejutkan mampu menginspirasi penonton, terutama jelas dari kaum hawa. Dari pendapat saya sendiri, Wonder Woman bisa memberikan impact itu berkat karakterisasi pada Diana nya sendiri. Memang Diana memiliki hati patriotik dengan berjuang untuk menyelamatkan innocent people, tetapi Diana bergerak sesuai hati nuraninya. Saat apa yang disaksikannya berlainan dengan apa yang ia yakini, Diana diambang keraguan. Awamnya Diana akan dunia manusia seolah mewakili mereka yang juga mengalami transisi dari remaja menuju ke dewasa. Hal ini yang mungkin membuat kisah Wonder Woman mampu menyentuh bagi sebagian penontonnya.

Selain kedalaman pada kisah Diana, terselip juga hubungan romansanya dengan Steve Trevor. Mungkin romansanya tidak sampai ke taraf spesial antara Tony Stark dan Pepper, namun ikatan di antara mereka dibangun secara perlahan dan tidak tergesa-gesa. Ada kecanggungan antara Steve yang notabenenya seorang pria dewasa dan Diana yang masih begitu polos, sebuah hubungan kombinasi antara kakak dan adik serta sepasang kekasih. Maksud saya, lihat saja kala mereka satu perahu ketika meninggalkan pulau Thermyscira. Mengenai kecanggungan Diana sendiri disajikan dengan tidak berlebihan oleh Jenkins. Oke, Diana masih asing dengan dunia manusia pada umumnya, namun segala kekonyolan nya bukan terlihat membodohi karakter Diana, namun malah memberikan humor tersendiri sehingga lengkaplah alasan penonton untuk mencintai karakter Diana. Gal Gadot membuktikan di film solo perdananya sebagai superhero ini bahwa ia pilihan tepat untuk memerankan Diana. Gadot adalah jenis perempuan yang dari tampilan luar jelas menawan serta anggun (Gadot with glasses? Hell yeah), namun di saat bersamaan dengan tatapan mata tajam tercermin ketegaran seorang perempuan, sehingga mungkin saja tanpa kedalaman karakter pada Diana pun, penonton tetap mudah menyukai Diana. Gadot juga ikut terbantu dengan peran kharismatik dari Chris Pine yang sama seperti Gadot, Pine juga merupakan aktor yang mudah untuk disukai.

Mengenai action nya sendiri, Jenkins tidak mengecewakan. Jenkins tahu bagaimana menangkap aksi-aksi dengan kameranya sehingga terlihat keren juga berkelas. Contohnya saja saat memperlihatkan aksi pertama Wonder Woman di medan perang, terutama kala dirinya beraksi di gedung-gedung.  Turut juga dibantu dentuman musik dari Rupert Gregson-Williams yang membantu setiap aksinya lebih terasa bombastis. Tetapi mengenai fight scene  di akhir tampaknya Jenkins terlalu menjadikan pertempuran terakhir di Batman V Superman sebagai inspirasi. Terlalu banyak melibatkan ledakan, ditambah lagi CGI nya yang terasa kasar yang tentu tidak enak disaksikan yang membuat saya berasumsi Jenkins sepertinya lebih piawai dalam menangani aksi yang sederhana. Tidak hanya di fight scene nya, tetapi juga di berbagai action secquence nya, terutama kala sang Wonder Woman mengeluarkan kecepatan supernya. 

Namun, Wonder Woman masih memiliki permasalahan yang mungkin juga dialami film-film superhero lainnya, yaitu menciptakan villain yang memorable. Tiga villain yang ada di film ini semuanya hilang tanpa ada satupun yang memberikan kesan. Kecewa terbesar jelas God Ares yang dari awal cerita tampak begitu digdaya namun pada akhirnya? Walau memang masih ada sosok Dr. Maru yang kelak bisa saja menjadi musuh bebuyutan Diana, namun tetap saja akan sia-sia bila sang kreator masih terjebak dengan menciptakan villain dengan motif hampir sama dengan villain pada umumnya, yaitu mengubah dunia dengan menghancurkannya lebih dahulu. 

Well, pada akhirnya Wonder Woman karya Patty Jenkins ini berhasil menghentikan rentetan catatan buruk DCEU, terbukti juga dari penilaian penonton atau pula kritikus cukup mencintai Wonder Woman. Tentu bukan karena terdistraksi akan penampilan Gadot dengan kostum Wonder Womannya yang seksi itu, tetapi berkat kedalaman cerita, sosok Wonder Woman a.k.a Diana dan Steve yang mudah disukai, juga selipan nilai akan manusia, menjadikan film ini seperti Wonder Woman nya itu sendiri, sebuah harapan. Ya, harapan awal untuk DCEU untuk film-film selanjutnya supaya berakhir sama baiknya seperti Wonder Woman

7,75/10

Categories: , ,

0 komentar:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!