"First, there's an opportunity. Then... there's a betrayal."- Spud
Plot
Setelah 20 tahun berpisah membawa kabur uang dari hasil menjual heroin, Mark Renton (Ewan McGregor) memutuskan kembali ke Skotlandia untuk bertemu lagi dengan teman-temannya yang sempat ia khianati, yaitu Simon "Sick Boy" (Johnny Lee Miller) dan Spud (Ewan Bremner). Kecuali tentu saja Frank "Begbie" (Robert Carlyle) yang sangat membenci Mark atas pengkhianatannya. Frank sendiri merupakan narapidana yang dihukum 20 tahun dan berhasil melarikan diri dari penjara untuk mencari Mark.
Review
Danny Boyle melakukan debut penyutradaraan pada tahun 1994, dan dalam kurun waktu 23 tahun berkarir sebagai sutradara, Boyle telah melahirkan beberapa karya hebat seperti Steve Jobs, 127 Hours, dan Slumdog Millionaire yang menghantarkan dirinya merengkuh Piala Oscar pertama untuk dirinya sebagai sutradara terbaik. Namun, di antara karya-karya nya tersebut, tetap Trainspotting yang merupakan film kedua beliau lah yang selalu dianggap pencapaian terbaik bagi Boyle. Tidak hanya film tersebut mengangkat namanya, Trainspotting juga memiliki basis penggemar yang masif dan tidak berlebihan bila Trainspotting adalah "the lovable ones" bagi para pecinta film dari British. Penonton mencintai serta perduli dengan karakternya, penonton menyukai cerita mengenai kecanduan akan drugs nya, dan tentunya penonton juga mencintai semua black comedy yang berada di dalamnya, yang merupakan salah satu aspek mengapa Trainspotting begitu menyenangkan untuk diikuti. Tidak terpungkiri, Trainspotting adalah satu dari sekian banyak film yang melengkapi betapa periode 90an adalah golden age-nya dunia perfilman. Tidak heran bila Boyle memutuskan untuk membuat sekuel filmnya yang 20 tahun kemudian sebagai bentuk terima kasih, sekaligus surat cinta bagi penggemar film ini.
Seperti yang tertulis di sinopsisnya, T2 Trainspotting menceritakan kehidupan 4 karakter utamanya selang 20 tahun. Dari Spud yang telah mencoba keras untuk tidak kembali ketagihan akan drugs, namun kehidupannya yang berantakan memaksa kembali dirinya untuk mencoba kembali. Simon masih tidak bisa lepas akan ketergantungannya pada kokain, sembari mencari calon korban yang bisa diperas dan membuka pub tua milik bibinya. Mark Renton yang notabenenya pelaku utama dalam menyengsarakan kehidupan tiga temannya, memiliki pekerjaan dan keluarga di Amsterdam berkat uang yang ia bawa lari. Mark pun mencoba untuk berbaikan dengan dua temannya, yaitu Simon dan Spud, tanpa menyadari Frank siap hadir sebagai mimpi buruknya. T2 Trainspotting masih memiliki segala DNA dari prekuelnya, seperti karakternya yang memakai drugs, editing dari Boyle yang tampaknya telah menjadi signature dari sutradara satu ini, dan pastinya black comedy yang walau tidak terlalu kental digunakan, namun cukup efektif untuk tidak membuat T2 Trainspotting kehilangan identitas. Kisahnya jauh lebih luas, dimana T2 Trainspotting seolah bagaikan aftermath panjang bagi tiap karakter. Saya pribadi menyukai kisah Spud yang benar-benar diperlihatkan berjuang melepaskan kecanduannya. Andai saja kisahnya menjadi plot utama dibandingkan kisah Mark dan Renton yang berusaha untuk membuka usaha mereka.
Naskah dari John Hodge tidak lagi berkutat akan lepas dari candu saja, well setidaknya bukanlah fokus utama, melainkan memperlihatkan karakter-karakternya menemukan tujuan yang baru. Jelas T2 tampak lebih dewasa, walau disayangkan hal itu juga mengorbankan salah satu aspek yang membuat sang prekuel begitu dicintai, yaitu kegilaan karakter yang ada kala dikuasai obat-obatan. Siapa yang bisa melupakan Mark yang mengaduk-aduk isi toilet demi mendapatkan pil heroinnya di film pertama? Atau dream secquence-nya Mark saat dirinya tengah sakaw? Hal semacam ini yang kehilangan di film T2, tidak ada energi dari karakternya yang pada film pertama tersalurkan berkat kegilaan mereka. Akibatnya, T2 Trainspotting hampir sama sekali tidak ada adegan yang begitu membekas di kepala, kecuali mungkin bagi saya momen reuni antara Mark dan Frank. Sebagai penghormatan, Boyle pun menyempilkan beberapa adegan yang terjadi di prekuel. Tentu diniati untuk mengajak penonton nya bernostalgia (terutama adegan Mark dkk berlarian yang merupakan opening di Trainspotting, memaksa saya menyunggingkan senyum), tetapi untungnya ada beberapa kepingan flashback yang memang dibutuhkan dalam penceritaan, walau memang tidak banyak.
Lalu pertanyaan terbesar adalah, apa poin dari sekuel ini, mengingat sebenarnya ending yang terjadi pada Trainspotting telah sempurna menutup kisah para drugs addicted ini? Boyle memang tidak menjawab secara gamblang. Daripada menjelaskan, Boyle lebih tertarik menanggapi akan berbagai halangan dalam pembuatan sekuel ini. Mungkin juga Boyle tidak perlu menjawab karena kita telah memiliki jawabannya, yaitu T2 Trainspotting dibuat untuk sebagai lahan nostalgia bagi para penggemar prekuelnya, terutama bagi mereka yang tumbuh dewasa dengan Trainspotting. Saya menyaksikan Trainspotting cukup telat (ya kali umur 3 tahun nonton beginian), tetapi rasa senang melihat Mark, Spud, Frank dan Simon kembali serta bereuni tentu saya rasakan. Setiap Mark bertemu kembali dengan teman-teman lamanya, tidak pernah saya tidak menyunggingkan senyum, apalagi kala melihat Mark dan Simon bertengkar, dan juga Frank yang mengejar Mark setengah mati. Bayangkan saja bagaimana rasa nostalgia yang dirasakan oleh mereka yang tumbuh dengan Trainspotting. Apalagi tentu tidak ada perubahan yang signifikan pada karakternya, kecuali tentu dengan usia yang lebih tua.
Memang, T2 Trainspotting bila disimak hanyalah sekedar sekuel yang sebenarnya tidaklah perlu dibuat. Sedikit berlubang pada penceritaan, terutama mengenai karakter Veronika (Anjela Nedyalkova), juga ceritanya tidak terlalu mengikat akibat kehilangan energi seperti yang ada di Trainspotting, tetapi untuk yang telah menonton prekuelnya, T2 Trainspotting tetaplah sajian yang menyenangkan.
Seperti yang tertulis di sinopsisnya, T2 Trainspotting menceritakan kehidupan 4 karakter utamanya selang 20 tahun. Dari Spud yang telah mencoba keras untuk tidak kembali ketagihan akan drugs, namun kehidupannya yang berantakan memaksa kembali dirinya untuk mencoba kembali. Simon masih tidak bisa lepas akan ketergantungannya pada kokain, sembari mencari calon korban yang bisa diperas dan membuka pub tua milik bibinya. Mark Renton yang notabenenya pelaku utama dalam menyengsarakan kehidupan tiga temannya, memiliki pekerjaan dan keluarga di Amsterdam berkat uang yang ia bawa lari. Mark pun mencoba untuk berbaikan dengan dua temannya, yaitu Simon dan Spud, tanpa menyadari Frank siap hadir sebagai mimpi buruknya. T2 Trainspotting masih memiliki segala DNA dari prekuelnya, seperti karakternya yang memakai drugs, editing dari Boyle yang tampaknya telah menjadi signature dari sutradara satu ini, dan pastinya black comedy yang walau tidak terlalu kental digunakan, namun cukup efektif untuk tidak membuat T2 Trainspotting kehilangan identitas. Kisahnya jauh lebih luas, dimana T2 Trainspotting seolah bagaikan aftermath panjang bagi tiap karakter. Saya pribadi menyukai kisah Spud yang benar-benar diperlihatkan berjuang melepaskan kecanduannya. Andai saja kisahnya menjadi plot utama dibandingkan kisah Mark dan Renton yang berusaha untuk membuka usaha mereka.
Naskah dari John Hodge tidak lagi berkutat akan lepas dari candu saja, well setidaknya bukanlah fokus utama, melainkan memperlihatkan karakter-karakternya menemukan tujuan yang baru. Jelas T2 tampak lebih dewasa, walau disayangkan hal itu juga mengorbankan salah satu aspek yang membuat sang prekuel begitu dicintai, yaitu kegilaan karakter yang ada kala dikuasai obat-obatan. Siapa yang bisa melupakan Mark yang mengaduk-aduk isi toilet demi mendapatkan pil heroinnya di film pertama? Atau dream secquence-nya Mark saat dirinya tengah sakaw? Hal semacam ini yang kehilangan di film T2, tidak ada energi dari karakternya yang pada film pertama tersalurkan berkat kegilaan mereka. Akibatnya, T2 Trainspotting hampir sama sekali tidak ada adegan yang begitu membekas di kepala, kecuali mungkin bagi saya momen reuni antara Mark dan Frank. Sebagai penghormatan, Boyle pun menyempilkan beberapa adegan yang terjadi di prekuel. Tentu diniati untuk mengajak penonton nya bernostalgia (terutama adegan Mark dkk berlarian yang merupakan opening di Trainspotting, memaksa saya menyunggingkan senyum), tetapi untungnya ada beberapa kepingan flashback yang memang dibutuhkan dalam penceritaan, walau memang tidak banyak.
Lalu pertanyaan terbesar adalah, apa poin dari sekuel ini, mengingat sebenarnya ending yang terjadi pada Trainspotting telah sempurna menutup kisah para drugs addicted ini? Boyle memang tidak menjawab secara gamblang. Daripada menjelaskan, Boyle lebih tertarik menanggapi akan berbagai halangan dalam pembuatan sekuel ini. Mungkin juga Boyle tidak perlu menjawab karena kita telah memiliki jawabannya, yaitu T2 Trainspotting dibuat untuk sebagai lahan nostalgia bagi para penggemar prekuelnya, terutama bagi mereka yang tumbuh dewasa dengan Trainspotting. Saya menyaksikan Trainspotting cukup telat (ya kali umur 3 tahun nonton beginian), tetapi rasa senang melihat Mark, Spud, Frank dan Simon kembali serta bereuni tentu saya rasakan. Setiap Mark bertemu kembali dengan teman-teman lamanya, tidak pernah saya tidak menyunggingkan senyum, apalagi kala melihat Mark dan Simon bertengkar, dan juga Frank yang mengejar Mark setengah mati. Bayangkan saja bagaimana rasa nostalgia yang dirasakan oleh mereka yang tumbuh dengan Trainspotting. Apalagi tentu tidak ada perubahan yang signifikan pada karakternya, kecuali tentu dengan usia yang lebih tua.
Memang, T2 Trainspotting bila disimak hanyalah sekedar sekuel yang sebenarnya tidaklah perlu dibuat. Sedikit berlubang pada penceritaan, terutama mengenai karakter Veronika (Anjela Nedyalkova), juga ceritanya tidak terlalu mengikat akibat kehilangan energi seperti yang ada di Trainspotting, tetapi untuk yang telah menonton prekuelnya, T2 Trainspotting tetaplah sajian yang menyenangkan.
0 komentar:
Post a Comment