"To end this evil, I need to go deeper into the Further"- Elis Rainier
Plot
Memiliki kemampuan supernatural semenjak kecil ternyata malah memberikan pengalaman masa kecil tidak menyenangkan untuk Elis (Lin Shaye/Ava Kolker). Akibat kemampuannya tersebut, Elis harus menerima hukuman demi hukuman dari ayahnya yang abusif, Gerald Rainier, yang juga merupakan salah satu mantan tentara Nazi. Puncaknya adalah ketika salah satu roh "menerima" undangan Elis membunuh sang ibu, Audrey Rainier, yang tentunya menambah kebencian sang ayah terhadap Elis. Pengalaman pahit tersebut ternyata harus kembali dihadapi oleh Ellis karena orang yang kini menempati tempat tinggal masa kecilnya tersebut, Ted Garza (Kirk Avacedo), memohon bantuan Elis untuk mengusir roh jahat yang kerap mengganggunya.
Raihan kesuksesan masif yang didapat Insidious 8 tahun lalu bisa saya mengerti. Dengan atmosfir horor yang kental, diikuti pula cerita sederhana yaitu memperlihatkan usaha satu keluarga untuk menyelamatkan roh anak yang tersesat di dunia lain yang dibalut pula akan elemen supernaturalnya, Insidious memang cukup mudah untuk bisa membuat penonton jatuh cinta. Belum lagi performa mengikat dari Rose Byrne dan Patrick Wilson serta masih efektifnya James Wan dalam menakuti penontonnya (jumpscare di tengah perbincangan Josh dan Lorraine masih lah yang terbaik dalam franchise ini). Tentu bukan pekerjaan mudah dalam menghadirkan sekuel demi sekuel yang kualitasnya bisa duduk sejajar dengan film original. Sekuel kedua yang hadir 3 tahun setelah Insidious yang pertama memang tidak terlalu jauh mengalami pemunduran karena James Wan masih duduk di kursi sutradara. Namun, setelah Wan meninggalkan proyek Insidious, franchise ini pun mulai kehilangan arah dan seolah kehabisan bensin, walaupun sang penulis naskah, Leigh Whanell masih bertahan di franchise ini. Insidious: Chapter 3 mulai terbaca alur nya dan meninggalkan ketidakpuasan mendalam bagi yang telah mengikuti franchise ini dari film pertama. Dan sayangnya, hal ini ikut terulang kembali di sekuel keempat.
Insidious: The Last Key sebenarnya diawali dengan start yang meyakinkan. Cerita masa lalu Elis yang tragis cukup bisa mengikat penonton dan rasanya mudah sekali untuk bisa memberikan simpati terhadap Elis, yang kini menjadi fokus utama penceritaan. Siapa yang tidak trenyuh kala melihat Elis yang masih kecil harus menerima pukulan keras dari sang ayah dengan tongkatnya. Diiringi juga dengan teriakan serta tangisan parau dari Ava Kolker yang memerankan Elis kecil, Insidious: The Last Key berhasil merenggut atensi saya yang sebelumnya sedikit kecewa karena kembali gagal dalam usaha untuk menyaksikan Jumanji. Narasi nya yang masih ditulis Whanell pun berpotensi menjadi kisah yang emosional karena mengikuti perjuangan Elis yang kini tidak hanya berjuang untuk mengusir roh jahat, namun juga harus memaksa dirinya berperang dengan kisah masa lalunya.
Seperti pendahulu-pendahulunya, Insidious: The Last Key pun memiliki berbagai twist yang tidak terduga. Yang bagi saya terbaik adalah ketika Elis akhirnya mendapatkan jawaban di ruangan rahasia yang tidak berhasil ia buka saat masih kecil dahulu. Sebuah adegan yang memutar balik persepsi penonton dengan cara yang cukup cerdas, bersamaan dengan rasa cemas dari penonton akibat tensi yang telah menaik. Namun twist brilian itu menyimpan risiko dan disinilah untuk saya, Insidious: The Last Key menampakkan kelemahannya karena Whanell memutuskan untuk menghadirkan satu kembali sub plot yang tidak diiringi dengan pondasi sebelumnya.
Sub plot ini sangat terasa hadir dengan dipaksakan dan terkesan hanya ingin untuk memperpanjang durasi filmnya. Baik dari selipan dialog ataupun kejadian, tidak ada yang menunjukkan jika twist ini memiliki benang merah dengan dasar cerita. Bila hanya ingin menunjukkan sisi kebencian atau kejahatan dari manusia rasanya itu juga tidak perlu, karena dengan melihat bagaimana ayah dari Elis yang selalu menghukum Elis saja itu pun telah lebih dari cukup. Ah, mengenai kebencian Gerald terhadap kemampuan Elis pun disini tidak disebutkan apa alasan yang mendasari mengapa Gerald begitu anti dengan kemampuan supernatural Elis. Dibandingkan untuk memperpanjang permasalahan dengan sebuah plot baru yang tidak memiliki benang merah, mungkin akan lebih baik jika cerita ini saja yang dihadirkan. Kekecewaan kembali diperparah dengan bagaimana kisah ini ditutup. Saya yang telah mencoba memberikan kesempatan dan mengharapkan sebuah jawaban yang memiliki benang merah dengan Elis di akhir, malah harus mendapatkan kekecewaan akibat karena sekali lagi, semuanya tidak ada kaitannya sama sekali dengan Elis. Otomatis, segala ketegangan yang hadir di akhir cerita tampak kosong tanpa arti di mata saya.
Jumpscare tentu menjadi salah satu elemen yang begitu dinantikan untuk para penonton yang berniat untuk ditakuti. Dan dari sini terlihat jelas bagaimana pengaruh James Wan begitu kuat dalam franchise ini karena sang sutradara, Adam Robitel, bisa dibilang meniru Wan untuk menghadirkan jumpscare nya. Jumpscare terbaik pada adegan interogasi di dalam film ini pun bagaikan hanya hasil copas dari Wan. Robitel juga entah kenapa merasa perlu untuk menyelipkan berbagai lelucon di setiap menitnya. Bukanlah keputusan yang baik rasanya menghadirkan suatu kelucuan saat di tengah momen menegangkan karena itu jelas merusak tensi mencekamnya. Untung saja Robitel cukup memiliki kapabilitas dalam hal menghadirkan atmosfir horor yang tidak kalah kentalnya seperti apa yang dilakukan oleh Wan sebelumnya.
Walau cukup dicederai dengan narasi yang hadir di pertengahan cerita, namun untungnya Robitel memiliki cast yang tampil dengan cemerlang. Lin Shaye jelas harus mendapatkan pujian pertama karena telah berhasil melakukan tugasnya dengan baik sebagai protagonist utama dalam Insidious: The Last Key. Perfilman horor biasanya menggunakan wanita muda nan cantik sebagai motor utama, namun tidak dalam film ini karena protagonist utamanya adalah nenek-nenek berusia lebih dari setengah abad. Tidak ada hal lain yang bisa ditawarkan oleh Shaye kecuali performa aktingnya dan Shaye bermain dengan memuaskan. Emosi yang ia tampilkan meyakinkan, ditambah juga kehadirannya sangat mudah disukai berkat halusnya pengucapan yang ia keluarkan tanpa harus melucuti ketegaran seorang perempuan berusia senja. Ava Kolker juga layak mendapatkan sorotan lewat aktingnya sebagai Elis kecil mampu mengingatkan saya akan sensasi menonton Arie Hanggara ketika kecil. Cast lainnya juga bermain tidak mengecewakan seperti Josh Stewart yang berhasil menghadirkan aura jahat di setiap penampilannya dan Angus Sampson menunaikan tugasnya dengan baik sebagai comic relief.
Review
Mungkin sedikit yang menyangka bila proyek "kecil-kecilan" James Wan dan Leigh Whanell (dua orang yang paling bertanggung jawab dalam menciptakan film horor klasik, SAW, 18 tahun lalu) yaitu Insidious di tahun 2011, mampu menjadi film yang meraup untung besar sehingga Insidious bisa menelurkan film hingga ke instalmen keempat. Bahkan menurut saya, Wan dan Whanell sendiri tidak menduganya sedikitpun. Hanya dengan budget tidak sampai $ 2 Juta, Insidious sanggup meraih keuntungan berkali-kali lipat hingga sampai hampir menyentuh angka $ 100 Juta. Tidak hanya meraih kesuksesan masif, Insidious pun juga mendapatkan beberapa penggemarnya tersendiri. Terbukti, saat sahabat saya yang niat awalnya ingin menonton Jumanji: Welcome to the Jungle bersama adik nya, harus mengubur keinginan tersebut karena sang adik ternyata tanpa berpikir panjang langsung menjatuhkan pilihan untuk menonton Insidious: The Last Key setelah mengetahui film tersebut telah hadir di bioskop.Raihan kesuksesan masif yang didapat Insidious 8 tahun lalu bisa saya mengerti. Dengan atmosfir horor yang kental, diikuti pula cerita sederhana yaitu memperlihatkan usaha satu keluarga untuk menyelamatkan roh anak yang tersesat di dunia lain yang dibalut pula akan elemen supernaturalnya, Insidious memang cukup mudah untuk bisa membuat penonton jatuh cinta. Belum lagi performa mengikat dari Rose Byrne dan Patrick Wilson serta masih efektifnya James Wan dalam menakuti penontonnya (jumpscare di tengah perbincangan Josh dan Lorraine masih lah yang terbaik dalam franchise ini). Tentu bukan pekerjaan mudah dalam menghadirkan sekuel demi sekuel yang kualitasnya bisa duduk sejajar dengan film original. Sekuel kedua yang hadir 3 tahun setelah Insidious yang pertama memang tidak terlalu jauh mengalami pemunduran karena James Wan masih duduk di kursi sutradara. Namun, setelah Wan meninggalkan proyek Insidious, franchise ini pun mulai kehilangan arah dan seolah kehabisan bensin, walaupun sang penulis naskah, Leigh Whanell masih bertahan di franchise ini. Insidious: Chapter 3 mulai terbaca alur nya dan meninggalkan ketidakpuasan mendalam bagi yang telah mengikuti franchise ini dari film pertama. Dan sayangnya, hal ini ikut terulang kembali di sekuel keempat.
Insidious: The Last Key sebenarnya diawali dengan start yang meyakinkan. Cerita masa lalu Elis yang tragis cukup bisa mengikat penonton dan rasanya mudah sekali untuk bisa memberikan simpati terhadap Elis, yang kini menjadi fokus utama penceritaan. Siapa yang tidak trenyuh kala melihat Elis yang masih kecil harus menerima pukulan keras dari sang ayah dengan tongkatnya. Diiringi juga dengan teriakan serta tangisan parau dari Ava Kolker yang memerankan Elis kecil, Insidious: The Last Key berhasil merenggut atensi saya yang sebelumnya sedikit kecewa karena kembali gagal dalam usaha untuk menyaksikan Jumanji. Narasi nya yang masih ditulis Whanell pun berpotensi menjadi kisah yang emosional karena mengikuti perjuangan Elis yang kini tidak hanya berjuang untuk mengusir roh jahat, namun juga harus memaksa dirinya berperang dengan kisah masa lalunya.
Seperti pendahulu-pendahulunya, Insidious: The Last Key pun memiliki berbagai twist yang tidak terduga. Yang bagi saya terbaik adalah ketika Elis akhirnya mendapatkan jawaban di ruangan rahasia yang tidak berhasil ia buka saat masih kecil dahulu. Sebuah adegan yang memutar balik persepsi penonton dengan cara yang cukup cerdas, bersamaan dengan rasa cemas dari penonton akibat tensi yang telah menaik. Namun twist brilian itu menyimpan risiko dan disinilah untuk saya, Insidious: The Last Key menampakkan kelemahannya karena Whanell memutuskan untuk menghadirkan satu kembali sub plot yang tidak diiringi dengan pondasi sebelumnya.
Sub plot ini sangat terasa hadir dengan dipaksakan dan terkesan hanya ingin untuk memperpanjang durasi filmnya. Baik dari selipan dialog ataupun kejadian, tidak ada yang menunjukkan jika twist ini memiliki benang merah dengan dasar cerita. Bila hanya ingin menunjukkan sisi kebencian atau kejahatan dari manusia rasanya itu juga tidak perlu, karena dengan melihat bagaimana ayah dari Elis yang selalu menghukum Elis saja itu pun telah lebih dari cukup. Ah, mengenai kebencian Gerald terhadap kemampuan Elis pun disini tidak disebutkan apa alasan yang mendasari mengapa Gerald begitu anti dengan kemampuan supernatural Elis. Dibandingkan untuk memperpanjang permasalahan dengan sebuah plot baru yang tidak memiliki benang merah, mungkin akan lebih baik jika cerita ini saja yang dihadirkan. Kekecewaan kembali diperparah dengan bagaimana kisah ini ditutup. Saya yang telah mencoba memberikan kesempatan dan mengharapkan sebuah jawaban yang memiliki benang merah dengan Elis di akhir, malah harus mendapatkan kekecewaan akibat karena sekali lagi, semuanya tidak ada kaitannya sama sekali dengan Elis. Otomatis, segala ketegangan yang hadir di akhir cerita tampak kosong tanpa arti di mata saya.
Jumpscare tentu menjadi salah satu elemen yang begitu dinantikan untuk para penonton yang berniat untuk ditakuti. Dan dari sini terlihat jelas bagaimana pengaruh James Wan begitu kuat dalam franchise ini karena sang sutradara, Adam Robitel, bisa dibilang meniru Wan untuk menghadirkan jumpscare nya. Jumpscare terbaik pada adegan interogasi di dalam film ini pun bagaikan hanya hasil copas dari Wan. Robitel juga entah kenapa merasa perlu untuk menyelipkan berbagai lelucon di setiap menitnya. Bukanlah keputusan yang baik rasanya menghadirkan suatu kelucuan saat di tengah momen menegangkan karena itu jelas merusak tensi mencekamnya. Untung saja Robitel cukup memiliki kapabilitas dalam hal menghadirkan atmosfir horor yang tidak kalah kentalnya seperti apa yang dilakukan oleh Wan sebelumnya.
Walau cukup dicederai dengan narasi yang hadir di pertengahan cerita, namun untungnya Robitel memiliki cast yang tampil dengan cemerlang. Lin Shaye jelas harus mendapatkan pujian pertama karena telah berhasil melakukan tugasnya dengan baik sebagai protagonist utama dalam Insidious: The Last Key. Perfilman horor biasanya menggunakan wanita muda nan cantik sebagai motor utama, namun tidak dalam film ini karena protagonist utamanya adalah nenek-nenek berusia lebih dari setengah abad. Tidak ada hal lain yang bisa ditawarkan oleh Shaye kecuali performa aktingnya dan Shaye bermain dengan memuaskan. Emosi yang ia tampilkan meyakinkan, ditambah juga kehadirannya sangat mudah disukai berkat halusnya pengucapan yang ia keluarkan tanpa harus melucuti ketegaran seorang perempuan berusia senja. Ava Kolker juga layak mendapatkan sorotan lewat aktingnya sebagai Elis kecil mampu mengingatkan saya akan sensasi menonton Arie Hanggara ketika kecil. Cast lainnya juga bermain tidak mengecewakan seperti Josh Stewart yang berhasil menghadirkan aura jahat di setiap penampilannya dan Angus Sampson menunaikan tugasnya dengan baik sebagai comic relief.
0 komentar:
Post a Comment