Friday 14 February 2014


I'm somebody now, Harry. Everybody likes me. Soon, millions of people will see me and they'll all like me. I'll tell them about you, and your father, how good he was to us. Remember? It's a reason to get up in the morning. It's a reason to lose weight, to fit in the red dress. It's a reason to smile. It makes tomorrow all right. What have I got Harry, hm? Why should I even make the bed, or wash the dishes? I do them, but why should I? I'm alone. Your father's gone, you're gone. I got no one to care for. What have I got, Harry? I'm lonely. I'm old. -Saea Goldfarb



Plot

Menceritakan kisah 4 manusia yaitu Sara Goldfarb (Ellen Burstyn), Harry Goldfarb (Jared Leto, gak kenal? Kemana aja lo???), Marion Silver (Jennifer Connelly), dan Tyrone (Marlon Wayans). Sara Goldfarb merupakan seorang ibu rumah tangga yang telah memasuki usia senja, dan dia juga telah ditinggal selamanya oleh suaminya. Sedangkan Harry telah memiliki tempat tinggal sendiri dan hanya sesekali datang kerumah Sara, itupun Cuma mau ngegadaiin TV kesayangan Sara. Sara yang kesepian hanya bisa mengisi waktu luangnya dengan menonton TV dan bercengkerama dengan teman-temannya. Semua dijalankannya dengan tanpa harapan, sampai suatu ketika dia mendapatkan telepon, dan Sara diundang untuk mengikuti sebuah acara, namun tidak tahu kapan waktu nya. Sara tentunya gembira dengan ajakan itu, dan berencana untuk memakai gaun merah kesayangannya. Sayangnya gaun tersebut adalah gaun yang dia pakai ketika masih muda dan itu sudah berpuluh-puluh tahun yang dulu. Sekarang badan Sara tidaklah selangsing saat itu sehingga gaun tersebut tidak muat lagi di tubuhnya yang renta. Dengan saran dari tetangganya, Sara pun menjalankan program diet natural dengan mengurangi penggunaan gula. Namun Sara tidak tahan dengan program tersebut sehingga dia pun menghubungi dokter ahli diet dan menerima pil-pil yang akan merubah kehidupannya. Sedangkan Harry, dan sahabatnya Tyrone serta kekasih Harry yaitu Marion merupakan sesosok remaja yang telah terjebak dengan penggunaan narkoba, bahkan mereka adalah junkies yang telah memasuki level ‘gak-ada-narkoba-sama-dengan-gak-ada-oksigen’. Harry dan Tyrone pun memiliki rencana untuk tidak hanya menjadi user, namun mereka ingin menjadi seller juga untuk merubah kehidupan mereka dan mencoba mengais asa untuk meraih mimpi mereka juga. Beberapa benang merah yang mengaitkan kisah diatas adalah mimpi, obsesi, dan tentunya candu obat-obatan.
 










Review

Semua manusia di muka bumi ini pasti memiliki harapan dan impian untuk mencapai kesuksesan, terlepas apa yang mereka definisikan apa itu kesuksesan bagi mereka. Tinggal bagaimana cara kita untuk mewujudkan mimpi tersebut. Pilihannya ada dua, melalui jalan pintas atau jalan yang benar. Jelas kita dianjurkan untuk memilih jalan yang benar untuk meraih kesuksesan tersebut, namun seringkali jalan yang benar tersebut dikelilingi dengan cobaan-cobaan yang mencoba untuk menggoyahkan kita, sedangkan jalan pintas dikelilingi dengan hasutan-hasutan yang juga menggoda kita untuk lebih memilih jalan tersebut. Namun, jalan pintas tersebut tidak selamanya menyenangkan. Mungkin kita akan meraih kesuksesan, namun apakah kesuksesan tersebut memberikan kita sebuah akhir yang bahagia pula? Nah hal tersebut lah yang Darren Aronofsky coba uraikan dalam film keduanya setelah Pi pada tahun 1998.
Istilah Requiem sendiri ketika gw searching di google.com merupakan istilah yang sering dipakai untuk sesi penguburan. Jadi bisa kita artikan dari judul ini adalah Penguburan Mimpi. Tuh, dari judul aja udah depresif banget tuh.
Film yang diadaptasi dari novel karangan Hubert Selby, Jr. Ini terdiri dari 3 fase yaitu Summer, Fall dan terakhir Winter. Diawal film saja kita telah disuguhkan scene dimana Harry dan Tyrone membawa paksa tv kesayangan sang ibu yaitu Sara yang diiringi dengan score fenomenal milik Clin Mansell. Dari situ saja kita telah dikasih gambaran bahwa film ini akan depresif dan tragis. Dan benar saja, hampir tidak ada sama sekali kebahagiaan dalam film ini. Sang sutradara membingkai film ini sepenuhnya dengan depresif, kisah tragis juga ironis. Mungkin bila Anda adalah penikmat film yang kurang terbiasa dengan hal tersebut Anda mungkin akan tidak tahan, namun bila Anda tahan dan menikmati suguhan dari Darren Aronofsky, gw jamin film ini akan memberikan pengaruh yang nyata buat Anda. Gw gak bohong. Sampe detik ini, gw masih mengingat gimana scene akhir dari film ini yang sangat menyedihkan, mengiris hati, dan memaksa bibir gw mengucapkan kalimat istighfar!! Sangat sedikit film yang mampu membuat gw mengeluarkan kalimat tersebut.
Gw mengapresiasi keberhasilan dari Darren Aronofsky menggambarkan ke dalam bentuk visual bagaimana efek drugs tersebut bila telah mengikat para pemakainya. Dengan jujur, beliau mampu menjabarkan apa saja sebab akibat yang akan terjadi bila kita telah terikat dan tak mampu lepas dari barang haram tersebut, sehingga kita para penonton pun juga akan ikut merasakan apa yang dirasakan keempat karakter utama dalam film ini. Lebih hebatnya lagi, Darren Aronofsky tidak hanya menceritakan tentang junkie terhadap obat, namun juga terhadap pil diet, kopi bahkan acara tv. Acara tv yang ditonton oleh Sara Goldfarb entah kenapa memberikan teror tersendiri ke gw. Dalam film ini juga terdapat teknik-teknik kamera yang digunakan Darren Aronofsky, seperti split screen, fast forward, dan lain-lain yang makin menambah kesan suram dan depresinya namun juga indah diliat mata, serta membuat film ini berbeda dari film-film yang lain. Oh dan jangan lupa dengan scoring Lux Aeterna yang menyayat hati yang selalu mengiringi adegan-adegan suramnya. Gw yang awalnya penasaran dengan scoring legendaris ini pun mengakui bahwa scoring ini sangat luar biasa. Scoring ini benar-benar berhasil merasuki kita sebagai penonton. Gak heran bila Lux Aeterna sering di recycle ulang dan digunakan oleh pihak-pihak lain. Film fenomenal Lord of the Ring pun sempat memakai scoring ini.
Bila kita melihat plot utamanya yang terbagi dua, mungkin semua sepakat bila cerita tentang Sara Goldfarb sangat menarik diikuti. Cerita akan kesendiriannya, menjalani hidup tanpa harapan setelah semua yang disayanginya meninggalkannya, hanya menjalani hari demi hari membereskan rumah, bercengkerama dengan tetangga, serta pastinya menikmati acara favoritnya. Dan harapan pun kembali datang ketika mendapatkan tawaran untuk menjadi bintang tamu di dalam acara favoritnya tersebut. Dengan memakai gaun merah kesayangan nya dan suaminya, Sara berharap bila dia tampil di acara tersebut, Sara mampu menyatakan kepada khalayak walau kini dia janda dan hanya tinggal seorang diri, dia masih bisa merasakan bahagia dan anak satu-satunya mampu membuatnya bangga kedua orang tuanya. Gw sangat terharu ketika dia mengutarakan hal tersebut kepada Harry di pertengahan film. Namun sayangnya obsesi yang tinggi tersebut membimbingnya menuju ke jalan yang tidak akan pernah terbayangkan dalam kehidupannya.
Oh ya, Saatnya kita memasuki ke departemen akting dalam film ini. Dari mana dulu? Dari Marlon Wayans dulu ya. Gw kenal Marlon Wayans ketika do’i main di franchise Scary Movie. Akting do’i disitu konyol dan mampu membuat ketawa. Makanya gw terkejut melihat akting dia disini dimana dia bermain dengan serius dan juga depresif. Mungkin bila porsinya ditambah serta kedalaman karakternya juga ada, bisa aja dia mampu mengeluarkan akting nya yang maksimal. Tapi overall penampilannya memuaskanlah. Jennifer Connelly sebagai love interest dari Harry yang diperankan Jared Leto juga membuat gw terkejut. Gw tahunya ini cewek Cuma bisa main aman serta hanya bisa berakting menjadi cewek-cewek normal aja. Namun dia bermain disini dengan gila, serta lumayan total. Benar-benar ya Darren Aronofsky, mampu membuat aktris-aktris yang bermain dalam filmnya mengeluarkan akting maksimal dari sang aktris tersebut. Kemudian kita beralih ke Jared Leto. Menurut gw akting dia dalam film ini merupakan salah satu akting terbaik dari dia. Gw belum nonton film nya yang terbaru yaitu Dallas Buyers Club. Disini Jared mampu mengekspresikan orang yang sedang junkie dengan meyakinkan. Momen terbaiknya ketika rasa sakit nya memuncak di akhir film ini. Namun tentu saja yang terbaik ada pada akting dari Ellen Burstyn sebagai Sara Goldfarb. Obsesi serta kecanduan dari Sara Goldfarb berhasil diinterpretasikan dengan hampir sempurna oleh Ellen Burstyn. Ekspresi kesepiannya, kerapuhannya, ah, kenapa kualitas akting seperti ini masih gak bisa menghasilkan Oscar sih?? Liatlah ekspresinya ketika scene percakapan dengan Jared Leto sebagai Harry di pertengahan film.. Sangat memukau..
Kekurangan film ini mungkin konten yang ada film ini hanya bisa dinikmati oleh orang dewasa dan menganggap kalo konten tersebut hanyalah sebagai kebutuhan dari cerita saja. Dan juga tone depresif yang beredar di film ini juga mungkin kurang bisa dinikmati oleh para penonton awam. Kemudian adegan repetitif juga cukup banyak seperti teknik ketika para pemeran utama nya sedang memakai obat-obatan, acara tv yang ditonton Sara. Gw jujur lumayan terganggu dengan adegan acara tv yang diulang-ulang tersebut. Meneror banget dah buat gw, nggak tau kenapa -__-
Kesimpulannya, Requiem for a Dream adalah sebuah film yang mampu memberikan pengaruh kepada kita setelah menontonnya dengan seksama. Bagaimana sebuah obsesi atau mimpi yang kita ingin capai bisa menjadi racun bila kita tidak mencapainya dengan cara yang bijaksana dan lebih memilih cara yang salah. Dengan performa yang total dari masing-masing pemeran utamanya, terutama Ellen Burstyn, serta kejujuran dari film ini, dan pengarahan yang hampir sempurna dari seorang Darren Aronofsky, Requiem for a Dream berhasil menjadi salah satu film bertemakan drugs terbaik saat ini.

8,75/10

0 komentar:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!