"Tidak semua kebenaran bisa dikonsumsi oleh publik"
Sebenarnya saya telah menonton film dokumenter garapan Joshua Oppenheimer ini 4 tahun yang lalu, namun dikarenakan pada tahun ini film propaganda dari Arifin C. Noer yaitu Pengkhianatan G30SPKI kembali tersebar luas dan menjadi konsumsi untuk publik, dan melihat kenyataan masih banyaknya orang yang begitu mempercayai apa yang ditampilkan film tersebut, saya pun merasa perlu untuk membahas film ini supaya, paling tidak, bagi yang membuka blog ini (jika ada) akan tahu bila ada sebuah film yang sebenarnya perlu untuk dikonsumsi sebagai wadah penyeimbang akan sejarah PKI yang masih diliputi akan banyak tanda tanya. The Act of Killing adalah sajian yang kembali membuktikan pernyataan bila fakta tidak selamanya indah, dan membuka wawasan bagi mereka yang selama ini senantiasa mengecap pihak konsumis sepenuhnya merupakan pelaku antagonist pada periode 1965-1966. Bila film Pengkhianatan G30SPKI tampak sangat brutal dalam bentuk visual, The Act of Killing lebih ke arah mengganggu akan nilai moral yang selama ini kita pegang dengan mendengarkan langsung pernyataan dari pelaku pembantaian pada pihak yang dianggap memiliki korelasi dengan pihak komunis. Inilah psychological thriller dalam bentuk film dokumenter.
Kita diajak berkenalan dengan Anwar Congo, pria berusia senja namun masih tampak prima dengan rambut yang memutih serta keriput yang memenuhi bagian mukanya. Dari tampilan luar, tidak ada masalah akan sosok Anwar, sebelum kita mengetahui kenyataan bahwa dirinya adalah salah satu preman yang ditugaskan sendiri oleh pemerintah untuk membantai orang yang diyakini sebagai komunis. Anwar sendiri mengaku bila dirinya telah membunuh ribuan komunis dengan tangannya sendiri. Hal mengerikan yang mengganggu penonton adalah Anwar menceritakan itu semua dengan bentuk kebanggaan, bahkan di suatu momen, Anwar mengaku bila ia sering membunuh dalam pengaruh alkohol, bahkan mariyuana, sambil berjoged di tengah mayat-mayat bergelimpangan. Bisa bayangkan betapa menyeramkannya kala imajinasi kita melanglang buana, mencoba menerka-nerka serta menggambarkan sendiri bagaimana disturbing nya saat Anwar melakukan pekerjaannya tersebut. Anwar Congo pun ternyata merupakan salah satu anggota paramilitier yang bernama Pemuda Pancasila yang hingga kini pun masih beroperasi dan diakui oleh pemerintah yang menganggap mereka, termasuk Anwar Congo, merupakan pahlawan di masa 1965-1966.
Apa yang ditampilkan oleh Joshua Oppenheimer disini benar-benar membuka mata saya. Selama ini saya dan juga sebagian besar masyarakat Indonesia yang sedikit sekali mengetahui sejarah mengenai pemberontakan yang dilakukan PKI selalu menganggap bila pihak PKI lah yang benar-benar salah. Ternyata orang komunis pun juga banyak yang menjadi korban akan "perang" ini. Pemerintah melibatkan preman-preman untuk melakukan tindakan yang tidak kalah keji untuk membabat habis para komunis demi menghilangkan ajaran komunis di Indonesia. Bahkan ada suatu momen, teman dari Anwar Congo mengklaim bila pihak mereka lah yang jauh lebih sadis ataupun kejam dibandingkan komunis tersendiri. Penilaian kejam dan sadis memang relatif, namun bila mendengar dari pengakuan teman Anwar Congo yang sempat-sempatnya melakukan pemerkosaan pada wanita yang ia anggap cantik sebelum akhirnya dibunuh, pernyataan itu bisa saja benar.
Mungkin apa yang mereka lakukan 5 dekade lalu adalah suatu kewajiban, dan tidak bisa ditampik pula mereka memiliki andil dalam menciptakan keamanan pada Indonesia. Tapi bayangkan saja bila orang seperti Anwar Congo ini tinggal di dekat lingkungan kalian? Memikirkannya saja telah membuat bulu kuduk saya merinding. Hal ini lah yang menurut saya, The Act of Killing wajib untuk dikonsumsi publik. Biar pun pahit, namun ini lah kenyataan dan saya harap juga mampu mengubah sedikit pandangan kita mengenai komunis. Tidak, film ini sama sekali bukanlah media untuk membela komunis dan membenarkan mereka, namun orang komunis yang telah disiksa sebelum dibunuh ini juga manusia, sama seperti pahlawan-pahlawan revolusi kita. Paling tidak, kedepannya masyarakat bisa sedikit fair dan lebih banyak mencari tahu sejarah akan G30SPKI. Ingat kan apa kata Presiden pertama kita, Ir. Soekarno? "Jasmerah", Jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Aksi-aksi yang pernah Anwar Congo dkk. lakukan pada masa nya juga di perlihatkan dalam bentuk reka ulang, bukan hanya dalam cerita saja dari pihak Anwar Congo. Seperti mencekik korban dengan kawat, interogasi korban, maupun yang paling disturbing saat membakar rumah penduduk. Cukup hanya dengan reka ulang ini saja bisa tergambar akan kekejaman yang mereka lakukan saat itu, serta muka-muka takut yang diperlihatkan oleh figuran. Bahkan kala reka ulang membakar rumah penduduk yang dipercayai komunis, tampak bocah yang menangis hingga sesenggukan, juga seorang ibu yang tampak trauma tanpa bisa berkata apa-apa. Dari deskripsi verbal saja juga tidak kalah mengganggunya, seperti saat tetangga Anwar Congo yang menceritakan saat ayah tiri nya ditangkap oleh pihak Anwar. Tercipta momen awkward saat itu, apalagi Suryono menceritakan semua itu dengan gamblang seolah lupa di depan dirinya adalah pelaku-pelaku yang ikutan terlibat. Kritik secara tidak langsung pun terarah kepada media juga yang pasti pemerintah yang berusaha menutupi hal ini. Ibrahim Sinik, selaku publisher Medan Pos menceritakan pada saat itu korannya cukup untuk menjelek-jelekkan komunis. Kita mendapatkan satu pembelajaran bila sejarah bisa dimain-mainkan oleh pihak pemenang. Siapa? Ya pastinya adalah pemerintah saat itu. Bukti? Film yang ditonton bareng kita pada 30 September kemarin.
Film ini tidak hanya mengajak kita untuk mengetahui kebenaran, namun juga mempelajari sosok Anwar Congo tersendiri. Film ini bersikap netral, bahkan untuk pihak Anwar Congo. Interaksi mereka dengan keluarga di perlihatkan, seperti momen Anwar yang melarang cucu-cucunya menyakiti hewan, atau nasihat yang dikeluarkan Herman Koto pada gadis kecil nya di kamar. Tercipta suatu koneksi dan kedekatan penonton dengan mereka. Mereka bukanlah monster, hanya lah pria yang di masa mereka melakukan pembunuhan demi pembunuhan diberikan tugas oleh atasan. Mungkin saja kala itu mereka menikmati, namun seiring bertambah usia dan memiliki keluarga sendiri, bisa saja akan tercipta rasa penyesalan yang tidak terpikirkan sebelumnya. Disinilah terjadi adanya komparasi antara Anwar Congo dan teman seperjuangannya, Adi Zulkadry. Adi Zulkadry mengaku bangga dengan apa yang telah dilakukannya, dan ia sama sekali tidak menyesal. Berbeda dengan Anwar Congo yang pada proses syuting mengaku bila dirinya sering didatangi oleh para korban dalam mimpinya sehingga tidurnya pun sering tidak nyenyak. Ketika adegan melakukan reka ulang membakar rumah penduduk pun, Anwar mengaku tidak tega melihat anak kecil dan ibu-ibu yang ketakutan. Puncaknya adalah ketika dirinya merasakan sendiri bagaimana disiksa kala diinterogasi. Shock, ketakutan, bahkan mungkin saja trauma, begitu terpancar dari mukanya. Susah untuk tidak meletakkan simpati pada sosok Anwar Congo, apalagi saat sesudah ia menonton rekaman ulang adegan ia disiksa melalui televisi. Hal ini lah yang membuat The Act of Killing terasa spesial.
Apakah pandangan kalian berubah atau pun tidak setelah menonton The Act of Killing atau yang memiliki judul lain Jagal ini, sepenuhnya diserahkan kepada kalian. Namun tidak ada salahnya untuk mengetahui hal baru dalam sejarah dari negara sendiri lewat film ini. Kenyataan memang tidak selamanya indah, tetapi dengan mengetahuinya, pandangan bisa berubah dan pengetahuan pun sedikit bertambah, bila memang sejarah akan mudah dipermainkan oleh pihak yang meraih kemenangan. Udah liat Pengkhianatan G30SPKI? Yuk di tonton film ini. Gak sampe 3 jam kok.
0 komentar:
Post a Comment