Friday, 21 December 2018



"We can still think with our thoughts"- Will

Plot

Mengikuti kisah Will (Ben Forest) dengan putri nya, Tom (Thomasin Harcourt Mckenzie) yang hidup dengn cara "berkemah" ala pendaki gunung di suatu hutan atau taman umum di Portland, Oregon.



Review

Leave No Trace dibuka dengan sunyi, sembari mempertontonkan daily activity kedua protagonistnya. Dengan minim dialog, Debra Granik selaku sutradara memperlihatkan Will dan Tom mencari dedaunan yang layak makan, mengumpulkan kayu-kayu kering untuk dijadikan sumbu api, mengumpulkan jamur, dan pada malam hari, mereka tidur di tenda yang sering kali diganggu oleh kawanan hewan hutan. Disatu kesempatan kita juga melihat mereka bermain catur ataupun Will mengajari strategi bersembunyi dengan benar terhadap putri semata wayangnya tersebut. Granik menyajikan adegan tersebut dengan sangat minim dialog, dengan lebih memfokuskan kepada aktivitas demi aktivitas ayah dan anak tersebut untuk menumbuhkan kesan bila mereka telah terbiasa hidup dengan gaya yang tidak biasa ini, dilengkapi juga dengan penampakan-penampakan indah taman yang ditangkap begitu indah oleh sinematografer, Michel McDonough.

Pada adegan pembuka ini pun, pertanyaan langsung mencuat di benak saya. Apa yang mendasari mereka untuk hidup seperti itu, yang notabenenya cukup "merepotkan" di tengah zaman modern yang penuh dengan kemudahan? Granik, hingga akhir film, tidak memberikan jawaban secara gamblang, melainkan lebih memilih untuk menampakkan clue demi clue kepada penonton. Kita pun akhirnya mempelajari bila Will merupakan mantan veteran perang yang mengidap penyakit PTSD. Gejala tersebut bisa terlihat di setiap momen, seperti Will yang kesulitan tidur atau mengalami mimpi buruk dalam tidurnya. Dan juga, untuk mendapatkan penghasilan uang, Will menjual resep obat kepada orang yang senasib dengannya. Resep tersebut ia dapatkan setiap ia pergi ke kota ditemani Tom, sembari juga membeli alat persediaan selama hidup di taman. Saya yang memiliki ketertarikan lebih terhadap film yang memiliki inti cerita bertahan hidup tentu saja Leave No Trace telah berhasil menarik perhatian saya.

Namun, apakah Leave No Trace menceritakan kisah survival? Walau dari judul serta pada adegan awalnya mengindikasikan hal tersebut, namun pada kenyataan nya tidak lah demikian karena menit demi menit kita akan menyadari jika Leave No Trace sebenarnya adalah film coming of age dan pusat narasi berpusat pada Tom. Dalam film ini, tidak dijelaskan memang sudah berapa lama Tom hidup dengan gaya non konvesional tersebut bersama ayahnya. Namun dari setiap kekakuannya berinteraksi dengan orang lain, serta minimnya pengetahuan Tom terhadap dunia luar (terlihat dari momen dimana Tom bahkan terlihat begitu "mengagumi" pintu berputar di mall), kita bisa menduga bila Tom menjalani kehidupan seperti ini semenjak usia dini. Pada suatu kesempatan pun, Tom menyatakan dengan cukup tegas bila ia bahagia hidup dengan kondisi tersebut, bahkan menganggap taman tempat mereka menjalani hari demi hari merupakan rumah nya. Tanpa ia sadari jika dalam dirinya ada rasa penasaran terpendam.

Rasa penasaran tersebut semakin membuncah kala dirinya beserta Tom "ditangkap" oleh polisi hutan lalu dibawa ke 4-H (semacam lembaga mentoring di Amerika). Mereka pun terpaksa harus menghentikan kehidupan homeless dan hidup ditengah masyarakat. Dari sinilah secara perlahan Granik mulai menyajikan konfliknya. Memang tidak ada letupan pemicu adrenalin, karena konflik yang saya maksud di sini adalah berpusat pada psikologi dalam diri Will dan Tom. Will yang mengidap PTSD seolah hidup di masa lalu. Dirinya memiliki kepercayaan nol besar pada kehidupan modern sehingga bagi dirinya hidup berpindah-pindah jauh dari pusat keramaian merupakan pilihan terbaik baginya. Berbeda dengan Tom, karena pada dasarnya, Tom hanyalah gadis yang telah menginjak usia remaja. Kehidupan yang diinginkan Will bukanlah yang ia inginkan. Ia membutuhkan kehidupan bersosialisasi, memiliki teman serta menjalani kehidupan normal layaknya remaja pada umumnya.

Granik pun menjalankan narasinya dengan memanfaatkan ekspresi-ekspresi dari Will dan Tom, dimana penonton akan ditampakkan pemandangan yang berbeda. Bila Will tetap dihinggapi oleh kegelisahan, malah gejala-gejala PTSD nya semakin parah, walaupun ia tetap memiliki aktivitas bekerja. Sedangkan hal yang berbeda terjadi terhadap Tom. Perlahan, Tom mendapatkan apa yang selama ini ia butuhkan. Memiliki atap tempat berteduh, sembari mencoba menjalin pertemanan. Baik Foster maupun McKenzie memerankan karakternya masing-masing dengan brilian 

Hingga pada bagian konklusi, Granik menyajikan kenyataan pahit yang mampu mengucurkan air mata penonton. Kehidupan harus tetap berjalan, entah apapun alasannya. Dan manusia tetaplah berpijak pada hakikatnya, yaitu makhluk sosial yang memerlukan hidup berinteraksi dengan sesama dan tidak bisa hidup dengan sendirian. Walau pun begitu, ketika Leave No Trace menutup tirainya, masih terselip sebuah harapan bila yang terjadi adalah pilihan terbaik dalam melanjutkan kehidupan selanjutnya.

8.25/10



0 komentar:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!