Friday, 28 December 2018



"We are alone. No matter what they tell you, we women are always alone."- Sra. Sofia

Plot 

Menceritakan kehidupan seorang pembantu rumah tangga, Cleo (Yalitzia Aparicio) di Mexico City pada tahun 1970an.




Review

Bagus atau tidaknya film tentu adalah jawaban subjektifitas dari masing-masing penonton, tidak perduli sebegitu kerasnya sangkalan sebagian besar dari mereka. Bagi saya, film akan saya katakan bagus bila film tersebut mampu memberikan pengalaman yang menyenangkan kala menyaksikannya. Kemudian, akan menjadi istimewa jika film menuturkan kisah yang relatable, atau/serta memberikan kesan mendalam sehingga susah dilupakan. Intinya, saya tidak akan terlalu memperhatikan hal-hal teknis dalam film. Ketika saya telah menikmati filmnya, saya tidak akan malu bilang bila saya suka film tersebut, entah kritikus bicara berbeda atau tidak. Sejauh ini, film guilty pleasure yang muncul di benak adalah Transformers: Dark of the Moon (karena kebetulan memiliki kesempatan menontonnya di bioskop), lalu American Pie dan Machete. Mungkin saya telah beberapa kali memberikan pernyataan di blog ini jika saya cukup kesulitan menyukai atau menikmati film yang memiliki pergerakan tempo yang cukup lambat, apalagi film nya minim akan letupan konflik yang mampu menyita perhatian. Namun, bukan berarti juga saya secara otomatis tidak akan menyukai film sejenis. Buktinya, saya mengagungkan There Will be Blood atau juga Taxi Driver. Film-film tersebut memiliki letupan konflik yang berhasil menyita perhatian saya atau karakter didalamnya yang compelling. Bahkan saya pun menyukai film yang baru saya review, Leave No Trace. Sayangnya, Roma tidak memiliki ini.

Judul "Roma" sendiri diambil dari nama kawasan di Mexico City, dimana sang sutradara, Alfonso Cuaron, menghabiskan masa kecilnya. Film Roma sendiri memang jenis film semi autobiografi yang didedikasikan Cuaron untuk Libo Rodriguez, yang merupakan pengasuh Cuaron di masa kecilnya. Ibarat kata, Roma adalah surat cinta dari Cuaron teruntuk Libo, maka tidak heran jika Roma menjadi karya yang personal untuk Cuaron. Cuaron seolah ingin memperlihatkan jasa besar seorang pembantu rumah tangga (PRT) yang kerap terlupakan. Berdasarkan hal itu pula tampaknya menjadi alasan Cuaron memilih untuk menyajikan rutinitas sehari-hari Cleo di menit-menit awal. 

Dari opening credit nya, Roma seolah telah memberikan clue akan jadi seperti apa film ini. Tempo berjalan lambat dengan teknik long take yang telah menjadi ciri khas dari Cuaron. Letupan konflik pun sangat minim sekali, sehingga saya pun masih menerka-nerka sebenarnya apa yang menjadi pusat cerita dari Roma. Pendekatan Cuaron ini seketika mengingatkan saya akan film Paterson. Dan percayalah, kesabaran tingkat tinggi memang sangat diperlukan. Entah berapa kali saya memeriksa durasi film yang telah berjalan karena saya merasa film seolah telah berjalan 1 jam lebih. Lambannya tempo film ini merupakan faktor terkuat mengapa saya kesulitan menikmati Roma. 

Pendekatan Cuaron ini memang bertujuan untuk menghasilkan keterikatan penonton dengan sentral karakter dalam Roma, yaitu Cleo. Dari bermacam tugas yang ia kerjakan, seperti membersihkan kotoran anjing di koridor, menemani 4 anak dari dr. Antonio (Fernando Grediaga) dan Sra. Sofia (Marina de Tavira), menjemur pakaian hingga mematikan semua lampu di setiap sudut rumah. Tak terpungkiri memang, secara tanpa sadar, rasa perduli atau keterikatan emosional telah tercipta. Dan ini akan mempengaruhi reaksi Anda saat konfliknya memuncak kala durasi mendekati 30 menit terakhir dalam film. Sebelumnya, sekali lagi, harap Anda bersabar mengikuti adegan-adegan lambat nya. Pada puncak konflik, ada satu adegan shocking yang mengingatkan saya akan karya Cuaron sebelumnya, Children of Men. Bila di film tersebut Cuaron menyajikan proses, maka disini yang lebih dieksploitasi adalah aftermath nya. Reaksi Anda mungkin akan sama seperti Cleo pada adegan itu, terutama jika Anda adalah perempuan.

Disajikan dengan layar hitam putih untuk menambah kesan "jadul" nya, serta penggunaan bahasa Spanyol, turut menjadi andil mengapa Roma begitu segmented. Cuaron sadar akan hal ini, untuk itulah, Cuaron menunjukkan kepiawaiannya sebagai sutradara untuk menyiasati kebosanan penonton. Dengan long take dibantu dengan pengambilan gambar wide angle, Cuaron berhasil menyapu setiap sudut ruangan kala mengikuti Cleo melakukan aktivitasnya, sembari melakukan observasi terhadap karakter yang sedang berada di dekat Cleo. Penyajian ini tentu memiliki esensi dan tidak sekedar show off dari Cuaron yang juga duduk di kursi sinematografi. Fokus terhadap Cleo tidak akan terpecah, sembari pembangunan sub plot pada karakter sekitar, terutama hubungan pernikahan dr. Antonio dan Sra. Sofia, yang mengabitkan tidak stabilnya emosi Sra. Sofia. Terkadang ia begitu baik kepada Cleo, namun tidak jarang, bentakan keluar dari mulutnya, yang diterima Cleo tanpa adanya bantahan. Kedekatan Cleo dengan setiap anggota keluarga tersebut pun juga ikut tercipta, sehingga menambah kesan emosional yang terjadi di akhir adegan kala Cleo dipeluk oleh masing-masing anggota keluarga ditepi pantai, yang menunjukkan bila Cleo tanpa mereka sadari telah menjadi bagian pondasi penting dalam keluarga mereka. Sebuah adegan yang cukup emosional juga indah. Sebelumnya pun, Cuaron menunjukkan adegan yang memiliki makna tersendiri terhadap kehidupan Cleo saat Cleo menerjang ombak pantai walau kenyataannya ia tidak bisa berenang. 

Lalu, apakah Roma film yang layak ditonton? Jawabannya, IYA, dengan catatan Anda telah memiliki minat lebih terhadap dunia film atau setidaknya selera Anda adalah jenis slow burning drama. Tetapi bila Anda tidak termasuk di salah satu kategori tersebut, saya sarankan Anda tidak usah repot-repot mencoba menonton Roma. Saya sendiri pun bila saya tidak ada dorongan ingin mencoba film unggulan Oscar ini, mungkin saya tidak akan repot-repot menyaksikan film yang sangat segmented ini. 

7,5/10



0 komentar:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!