Friday, 25 October 2019



"Kamu....adalah kesalahan yang harus aku hapus"- Nyi Misni

Plot

Disebabkan faktor keuangan yang menipis, Maya (Tara Basro) pun memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya, Desa Harjosari, dengan niatan menjual rumah yang diyakini milik orang tua Maya.  Maya sendiri sama sekali tidak ada ingatan mengenai kedua orang tuanya karena semenjak ia kecil, Maya diasuh oleh bibi nya. Ditemani Dini (Marissa Anita), Maya rela melakukan perjalanan jauh ke desa tersebut, tanpa menyadari jika mereka berdua akan disambut dengan teror yang mengancam nyawa mereka.



Review

Nama Joko Anwar semakin dikenal luas berkat fenomena film remake nya 2 tahun lalu, Pengabdi Setan. Keberhasilan luar biasa film tersebut pun membuat penonton Indonesia mengantisipasi film-film Joko Anwar selanjutnya. Tentu saja sambutan penuh antusias dari penonton hadir ketika tersiar kabar Joko Anwar kembali akan merilis film horor lainnya berjudul Perempuan Tanah Jahanam pada tahun ini. 

Faktor mengapa Joko Anwar memiliki penggemar yang cukup besar dan sering diklaim sebagai sebagai salah satu sutradara Indonesia terbaik saat ini adalah visi nya sebagai sutradara maupun penulis naskah yang out of the box, cenderung berani serta terasa fresh sehingga terlihat berbeda dibandingkan film-film Indonesia lainnya. Ide dasar Joko Anwar memang selalu menarik, namun sayang, sering kali fondasi dasar tersebut juga tidak jarang tidak diimbangi dengan eksekusi yang memadai, seperti Kala dan Modus Anomali, yang terlihat sekali akan ambisiusnya Joko Anwar dalam memasukkan ide-ide liar miliknya. Menariknya, visi Joko Anwar selalu berhasil di dalam filmnya yang jauh lebih sederhana, seperti Janji Joni dan A Copy of Mind. Lalu, ada Pintu Terlarang yang masih menjadi film Joko Anwar terfavorit versi saya, yang menyeimbangkan ide gila serta eksekusi nya yang over the top namun berhasil. Lalu, bagaimana dengan Perempuan Tanah Jahanam sendiri?

Perempuan Tanah Jahanam (PTJ) masih menghadirkan ide liar dari sang sutradara. Saya cukup yakin sutradara Indonesia lain mungkin gak akan kepikiran untuk menghadirkan cerita horor berani seperti ini. Dengan setting film yang bertempat di dalam hutan belantara, PTJ begitu terasa atmosfir  mistis yang mencekam. Ditambah lagi Joko Anwar begitu pelit dalam menghadirkan cahaya terang di setiap menit PTJ bergulir. Rumah besar yang menjadi alasan utama mengapa Maya dan Dini rela mengunjungi desa Harjosari yang terpencil pun di garap Joko Anwar dengan teliti untuk menghadirkan kesan angker nya, seperti akar pohon yang menempel di dinding dan juga lukisan fotografi berukuran raksasa yang membuat saya berpikir betapa beraninya Maya dan Dini menatap lukisan tersebut dalam durasi yang cukup lama di tengah situasi rumah angker tersebut. 

Joko Anwar pun pintar dalam menghadirkan kisah misterius nya. Salah satu nya adalah apa yang terjadi di desa Harjosari. Semenjak Maya dan Dini menginjakkan kaki mereka di desa tersebut, penonton sudah bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres di desa itu. Ya, jika kota Palembang diserang dengan kabut asap, maka desa Harjosari memiliki kabut misterius yang sangat pekat. Selain itu, dari adegan pembuka pun Joko Anwar telah menebarkan pertanyaan mengenai identitas Maya, yang mendadak mendapatkan teror kala ia sedang melakukan tugasnya sebagai petugas karcis tol di malam hari. 

Menit-menit awal ketika Joko Anwar tengah membangun narasinya saat Maya dan Dini memulai kisah mereka di desa Harjosari memang sedikit cenderung monoton. Meski aura horor cukup kental, namun selain itu sama sekali tidak ada momen yang spesial. Joko Anwar tampaknya menyadari ini, sehingga ia pun menyiasati permasalahan ini dengan menyisipkan beberapa momen yang diniati untuk menakuti penonton. Namun untuk saya sendiri, yang memang sudah cukup berpengalaman dalam hal ditakuti dalam media bergenre horor, strategi ini pun mudah saya baca sehingga punchline nya sudah bisa saya tebak (dan sering kali benar). Untungnya saja misteri yang disimpan oleh Joko Anwar yang saya nyatakan sebelumnya telah berhasil merenggut atensi saya sehingga monotonnya pergerakan narasi di awal bisa saya maafkan. Ditambah adegan pembuka bersetting di gerbang tol sudah lebih dari cukup untuk mencengkeram atensi penonton, termasuk saya. Adegan ini pun juga berhasil menjadi favorit saya, karena luwesnya Joko Anwar dalam menghadirkan transisi momen santai, bahkan cenderung komedi, lalu seketika menjadi intens akibat hadirnya satu karakter.

Intensitas mulai memuncak di pertengahan film, ketika sesuatu terjadi pada satu karakter. Dari sini, kegilaan Joko Anwar mulai nampak. Seperti film-film Joko Anwar sebelumnya, ia sama sekali tidak malu dalam menampakkan adegan-adegan kekerasan, bahkan jika melibatkan karakter wanita sekalipun. Tidak tanggung-tanggung, Joko Anwar pun menjadikan tubuh manusia sebagai media  bermainnya dalam usaha menakuti penonton. Saya yakin, body horor yang dilakukan Joko Anwar disini merupakan salah satu yang terbaik dalam sepanjang sejarah perfilman Indonesia. Tidak hanya disturbing, namun juga memberikan efek miris dan tak tega dari penonton akibat keberanian Joko Anwar.  By the way, kreativitas Joko Anwar juga terlihat saat ia begitu pintar nya dalam melibatkan seni pertunjukan asli Indonesia, yaitu wayang, untuk menjadi key point sebagai jawaban akan misterinya. Berkat ini pula saya yakin penonton akan merasakan hal yang berbeda kala melihat wayang selanjutnya.

Walau begitu, PTJ memiliki beberapa permasalahan yang membuat film ini bisa dikatakan adalah salah satu film terlemahnya Joko Anwar. Pertama adalah karakterisasi dari Maya yang terasa dangkal dan kurang menarik. Karakter Maya ini mudah sekali kita temukan di film-film horor lainnya. Tidak ada pendalaman karakter, tidak ada juga narasi yang kuat sebagai pembenaran mengapa Maya mengambil keputusan berani untuk mengunjungi desa kelahirannya. Saya rasa hanya karena kesulitan uang "saja" kurang cukup untuk mendorong seseorang mengambil keputusan yang seperti dilakukan Maya, apalagi tidak ada ikatan batin sama sekali yang tercipta pada diri Maya terhadap desa Harjosari, sehingga bagi saya keputusan Maya ini tidak hanya nekad, tetapi juga bodoh. Oh ya, kebodohan karakter utama dalam film horor untuk mengambil keputusan bukanlah suatu dosa, namun dikarenakan ini adalah film Joko Anwar, yang notabenenya dikenal sebagai sutradara yang out of the box, maka maaf saja, saya harus buat pengecualian. 

Kedua, dan bagi saya ini cukup fatal, adalah pilihan Joko Anwar dalam mengungkapkan jawaban sebenarnya akan kisah misteri yang menaungi desa Harjosari. Tidak hanya terlalu gamblang, namun juga merusak intensitas ketegangan yang tengah berlangsung akibat terlalu lama nya adegan ini berjalan. Padahal dalam Pintu Terlarang, Joko Anwar mampu memaparkan plot twist nya dengan cemerlang, karena Joko Anwar mau bersabar menunggu setelah intensitas yang terjadi sebelumnya telah berakhir. Kelemahan rutin milik Joko Anwar dalam menghadirkan beberapa baris dialog yang terdengar kaku pun juga masih hadir dalam PTJ.

Sebagai Maya, Tara Basro sudah berusaha seoptimal mungkin untuk menghidupkan karakter ini karena perihal naskah mengenai karakterisasi Maya yang cukup dangkal. Untung saja, Tara Basro cukup memiliki aura likeable sebagai protagonist utama. Lemahnya karakter Maya juga berhasil ditutupi oleh hadirnya Dini sebagai sahabatnya, yang berhasil menjadi scene stealer akibat penampilan memukau dari Marissa Anita. Ia berhasil menjadi comic relief utama dalam PTJ berkat paparan dialog nya yang seolah tanpa filter, dan juga memberikan ekspresi ketakutan meyakinkan sehingga membuat penonton perduli akan keselamatannya. Akting dari aktris senior, Christine Hakim pun tampak seolah ingin menasbihkan dirinya sebagai aktris terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. 

Meski memiliki beberapa permasalahan yang cukup mengganggu, namun tak terelakkan jika PTJ adalah bukanlah film horor yang sembarangan. Totalitas diberikan baik dari Joko Anwar dan kru nya yang harus berpindah kesana kemari untuk pengambilan gambar bersetting hutannya, juga dari barisan pemeran yang harus beradaptasi melakukan akting di medan yang cenderung sulit. PTJ pun ditutup dengan ending miris nan mencekam, yang membuat saya bersimpati banget sama penduduk Harjosari. 

7,5/10

1 comment:

  1. hadir sob salam kenal follow blog sya nanti sya follback

    ReplyDelete

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!