"Some people build fences to keep people out, and other people build fences to keep people in"- Bono
Plot
Troy Maxson (Denzel Washington) merupakan pria yang berprofesi sebagai pengangkut sampah bersama dengan temannya, Bono (Stephen Henderson). Troy hidup bersama sang istri, Rose Lee (Viola Davis) beserta dua putranya yaitu Lyons (Russel Hornsby) dan Cory (Jovan Adepo). Troy sendiri memiliki permasalahan dengan kedua anaknya, seperti dengan Lyon yang kerap meminjam uang dari ayahnya dan Cory yang ingin menjadi pemain football tetapi mendapatkan larangan keras dari sang ayah.
Review
Dari judulnya seolah menggambarkan bila konflik demi konflik yang terdapat di dalam film yang disutradarai pula oleh Denzel Washington ini memang hanya berpusat pada keluarga Troy. Fences sendiri merupakan film hasil adaptasi panggung teater karya August Wilson yang telah meraih berbagai penghargaan semenjak diputar perdana di Broadway pada tahun 1987. Maka merupakan hal yang wajar bila ketika durasinya berjalan, Fences dipenuhi dengan berbagai dialog yang seolah tanpa henti. Dialognya pun tidak terpungkiri sangat berasa teaternya sehingga saya yang belumlah terlalu sering melahap karya sejenis Fences cukup kesulitan untuk beradaptasi menangkap hujan dialog pada awal durasinya berjalan. Tidak bohong ada beberapa momen saya sedikit terlena untuk menghentikan perjalanan saya menikmati Fences karena faktor kesulitan tadi, namun setelah cukup beradaptasi dengan gaya ceritanya, saya pun tenggelam dengan cerita yang ditawarkan.
Seperti yang saya utarakan sebelumnya bila Fences berpusat pada penceritaan mengenai konflik yang dialami Troy dan keluarganya. Dari hubungannya dengan kedua anaknya dimana Troy ingin mereka memiliki pekerjaan sesuai keinginannya yang berbentrokan dengan keinginan masing-masing sang anak. kesulitannya dalam mengurus saudara nya, Gabriel (Mykelti Wiliamson) yang mengalami gangguan kejiwaan akibat luka yang diterimanya saat perang, hingga ketika film beranjak ke pertengahan durasi ada sedikit kejutan yang menambah pula konflik yang ada. Semua konflik seolah terjaga tetap berada di perkarangan sempit rumah Troy, yang tidak jarang menciptakan atmosfir claustrophobic tersendiri. Rentetan dialog yang ada tidak hanya mengeksplorasi permasalahan-permasalahan yang ada, juga berfungsi untuk menambah kedalaman karakter yang terlibat, terutama Troy. Dialognya membiarkan penonton untuk dapat mengobservasi karakter Troy seperti apa, Troy yang memiliki pemikiran keras, out of date dimana dalam pikirannya Troy seperti membangun pagar yang mencegah akan perubahan-perubahan yang terjadi sehingga ia tidak merasakan hal tersebut.
Namun bukan berarti kuatnya karakterisasi yang ada pada diri Troy membuat karakter sampingannya terlupakan karena masih ada character development kepada Rose, Lyons dan Cory lewat perseteruannya dengan sang ayah. Tak jarang, para artis nya melakukan monolog yang cukup panjang yang tentunya menuntuk kapabilitas kemampuan akting dari aktor yang bersangkutan. Saya juga menyukai lewat konflik Cory dan Troy, Fences mengangkat isu ras yang memang masih cukup kental terjadi pada tahun 1950an. Denzel Washington yang juga terjun dalam memperubah sedikit naskah aslinya tampaknya memang telah begitu mengenal Fences layaknya ia mengenal telapak tangannya sendiri (kabarnya Washington telah ikut terlibat dalam karya teater Fences sebanyak 114 kali). Hal ini juga ikut berpengaruh akan perannya sebagai Troy. Tidak ada lagi tampaknya karakter yang tepat memerankan Troy selain dirinya, karena menurut saya Denzel Washington adalah salah satu aktor yang semakin bersinar kala diberikan dialog-dialog yang panjang. Saya selalu betah melihat dirinya bercerita, atau pun ketika melakukan percakapan dengan karakter lainnya. Kharisma Washington masih sulit tertandingi, sehingga di dalam film ini hanya satu yang mampu menyaingi sinar terang Washington ketika harus satu layar dengannya, tidak lain tidak bukan adalah Viola Davis yang memberikan performa terbaiknya sebagai Rose Lee. Cukup perhatikan bagaimana lihainya Davis memerankan adegan yang menuntut emosi dari sang aktris, dan dengan satu scene nya di akhir, disitu juga Davis membuktikan bahwa ia memang berhak mendapatkan piala Oscar di kategori Supporting Actrees, walau sebenarnya perannya disini jauh lebih layak sebagai pemeran utama. Namun tampaknya pihak Academy menaruh Davis di kategori serupa karena terlalu berat untuk melihat salah satu dari Davis atau Emma Stone pulang tanpa piala di tangannya. Walau keputusan tersebut harus mengorbankan Michelle Williams yang juga sebenarnya bermain cemerlang di Manchester by the Sea.
Walau begitu saya juga merasakan ketika memasuki pertengahan cerita, Fences sedikit kedodoran yang membuat atensi saya tidak terlalu antusias seperti pada awal. Mungkin karena di saat yang sama juga dialog-dialog yang terlontar dari karakternya ikut dikurangi. Interaksi antar karakter pun tidak memenuhi durasi layaknya sebelum memasuki pertengahan dimana bisa mungkin 3 hingga 4 karakter berada di satu layar dan secara dinamis melakukan pertukaran dialog. Flaw ini yang membuat Fences tidak lah terlalu meninggalkan kesan meski di akhir durasi Fences ditutup dengan emosional lewat kesunyiannya.
0 komentar:
Post a Comment