Friday, 10 March 2017


"Please, Lord. Help me get one more"- Dessmond Doss

Plot

Merasa memiliki kewajiban untuk melayani negara nya yang tengah terlibat dalam World War II, Dessmond Doss (Andrew Garfield) tergerak untuk mendaftarkan dirinya menjadi tentara, walau keinginannya itu mendapatkan respon negatif dari sang ayah, Tom Doss (Hugo Weaving) yang merupakan mantan prajurit perang dunia pertama. Dessmond sendiri merupakan pria yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap agama yang ia anut dan patuh terhadap segala peraturan agama. Keyakinan Dessmond itu nyatanya malah menyeretnya ke dalam berbagai masalah di pelatihan militer dimana ia menolak untuk mengangkat senjata, bahkan dalam perang sekalipun.





Review

One of the greatest heroes in American history never fired a bullet. Dengan sepenggal tag line itu saja sebenarnya telah cukup sukses untuk menjadikan Hacksaw Ridge sebagai tontonan yang tidak patut untuk dilewatkan. Memang susah untuk mempercayai bagaimana seorang prajurit mampu bertahan hidup di tengah berkecamuknya perang bagai neraka tanpa mengangkat senjata, walau untuk mempertahankan hidupnya sendiri. Tidak hanya selamat, namun juga sempat-sempatnya menyelamatkan beberapa puluh prajurit lainnya. Bila saya hanya mendengar cerita tersebut tanpa bukti konkrit, tentu yang ada di pikiran saya itu hanyalah bualan. Namun, kisah tersebut memang benar terjadi, dan saya bersyukur dalam comeback nya ini setelah "berlibur" hampir satu dekade, Mel Gibson mengangkat kisah yang mungkin akan mampu membuka batin bagi siapapun yang kesulitan untuk mempercayai keajaiban atau mukjizat dari Tuhan. 

Dalam 139 menit, Mel Gibson membagi cerita Hacksaw Ridge dengan dua bagian. Bagian pertama nya dipenuhi drama, dari sekilas cerita Dessmond pada kanak-kanak, kehidupan nya sebagai anak dari seorang ayah pemabuk serta abusive kepada istrinya, kejadian pertamanya dalam menolong seseorang yang menjadi awal dari keinginannya untuk bergabung dalam tentara Amerika sebagai tim medis, hingga percintaannya dengan Dorothy (Teresa Palmer). Tidak lupa juga kehidupan Dessmond dalam kamp militer pelatihan yang jelas harus berat dijalaninya akibat prinsip yang dianut. Tidak dipungkiri memang drama yang diangkat Gibson ini cukup esensial untuk membantu penonton memahami mengapa Dessmond begitu kuat dalam memegang prinsipnya, walau diterpa berbagai halangan-halangan berat yang senantiasa mengganggu keteguhannya untuk segera mengangkat senjata. Namun, saya juga tidak mengelakkan juga karena pada kenyataannya saya cukup diserang kebosanan cerita sebelum Dessmond berada di kamp pelatihan. Bahkan menurut saya, Gibson tidak lah seharusnya lebih mendalami percintaan antara Dessmond dan Dorothy karena tidak ada hal yang menarik terjadi, bahkan jatuhnya ke dalam keklisean yang sering terjadi dalam film romansa. Seharusnya hubungan Dessmond serta keluarganya yang lebih baik di eksplor lebih dalam lagi, terutama dengan sang ayah yang diperankan brilian oleh Hugo Weaving.

Tetapi atensi kembali terebut kala Dessmond mulai mengikuti kamp pelatihan. Tidak mudah simpati terenggut kala menyaksikan Dessmond yang begitu teguhnya dalam mempertahankan prinsip yang telah lama dianut. Disinilah letak peran durasi pertama, karena penonton pun mampu memahami mengapa Dessmond sangat patuh akan prinsipnya. Padahal yang dipinta oleh petinggi militer hanyalah mengangkat senjata, dan ia bisa bebas, namun Dessmond tetap patuh dengan pendiriannya. Mungkin akan ada sebagian penonton yang menganggap apa yang dilakukan Dessmond berlebihan, namun bagi saya hal itu bisa dimengerti. Bila Hugo Weaving sebelumnya mencuri perhatian, maka disini letak pertunjukan dari seorang Vince Vaughn yang sukses memerankan Sersan Howell. Dengan ini cukup membuktikan bila Vaughn bisa mampu berakting di luar jalur komedi. 

Dan tibalah di separuh durasi akhir, Hacksaw Ridge menunjukkan jati dirinya. Diawali dengan penampakan para mayat yang tidak lagi utuh, cacing-cacing serta usus menjadi pemandangan untuk penonton, Mel Gibson pun menyajikan sebuah pertempuran yang mampu membuat penonton menahan nafas. Ya, Gibson memang telah terkenal sebagai sutradara yang tidak segan-segan dalam menyajikan kekerasan dalam karyanya. Tidak perlu saya deskripsikan, cukup saksikan saja sendiri. Saya cukup yakin, kalian yang belum terbiasa mungkin akan mengalami mual melihat betapa kejamnya Gibson tampilkan di adegan perangnya. Namun, sehebat apapun perangnya, tetap hal itu bukanlah identitas sebenarnya yang ingin Gibson sampaikan dalam Hacksaw Ridge, karena setelah perang besar itu terjadi, sebuah momen terbaik di Hacksaw Ridge terjadi. Sangat menyenangkan melihat karakter Dessmond bergerilya dalam menyelamatkan rekan-rekannya yang tertinggal terlambat dalam menyelamatkan diri. Dibantu pula scoring heroik dari Rupert Gregson-Williams yang membantu mencekamnya suasana yang ada. Walau memang sempat diselingi berbagai dramatisasi yang tidak perlu, tapi tak terpungkiri ini lah highlight dalam Hacksaw Ridge. Momen tersebut juga menunjukkan akting kelas wahid dari Andrew Garfield yang tampaknya mulai mengalami pendewasaan dalam memilih karakter. Raut cemas hingga ketakutan tapi masih terlihat akan api keberanian dalam ekspresinya semuanya ditampilkan dengan brilian oleh Garfield yang membuat dinominasikannya ia dalam kategori Best Actor pada perhelatan Oscar kemarin bukanlah lelucon semata.

Hacksaw Ridge memang masih menunjukkan DNA dari Mel Gibson sebagai sutradara, Dari kuatnya unsur relijius serta kekerasan tidak setengah yang tampil pada layar, membuat Hacksaw Ridge merupakan comeback fantastis dari seorang Gibson. Sehingga tidak terlalu mengejutkan bila Academy Awards "memaafkan" Gibson dengan menominasikan Hacksaw Ridge di Best Picture kemarin. 

8,25/10
Categories: , ,

0 komentar:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!