Tuesday 14 March 2017

"This fucking life... oh, it's so fucking hard. So long. Life ain't short, it's long. It's long, goddamn it. Goddamn."- Earl Partridge

Plot

San Francisco, Valley. Menceritakan berbagai karakter dengan konfliknya masing-masing. Dari seorang Frank T.J Mackey (Tom Cruise), yang memiliki profesi sebagai ahli hubungan antara pria dan wanita, Claudia (Melora Walters) yang kecanduan akan narkoba dan juga memiliki hubungan yang buruk dengan sang ayah, Jimmy Gator (Philip Baker Hall) yang juga berprofesi sebagai host puluhan tahun dalam acara What do Kids Know? Salah satu peserta yang ikut kuis tersebut adalah bocah jenius, Stanley (Jeremy Blackman), juga mantan pemenang dari acara yang sama, Donnie Smith (William H. Macy) yang memiliki kehidupan tak selancar yang ia bayangkan, lalu ada Earl Partridge (Jason Robards), pria yang sebagai produser dari acara What do Kids Know? yang tengah mengalami masa akhir nya, yang dirawat oleh Phil Parma (Philip Seymour Hoffman). Sang istri, Linda Partridge (Julianne Moore) juga tidak ketinggalan dalam merawat Earl walauh ia harus tertekan dengan konflik batinnya akibat penyesalan masa lalu. Dan terakhir sebagai benang penghubung ada seorang polisi yang taat agama, Jim Kurring (John C. Reilly) yang jatuh hati pada Claudia.



Review

Oh my God. What a magnum opus from Paul Thomas Anderson. Entah apa yang berada dipikiran saya yang memutuskan untuk terus menerus untuk menunda menyaksikan maha karya dari salah satu sutradara terbaik saat ini. Sebuah perjalanan 188 menit yang begitu menyenangkan, penuh akan pembelajaran, renungan serta yang pasti turut pula dilengkapi lautan emosi dilibatkan. Banyak memang yang mengatakan dekade emas perfilman adalah tahun 90an, and I couldn't agree more. Pulp Fiction, Schindler's List, Terminator 2: Judgement Day, The Shawsank Redemption dan masih banyak lagi. Dan setelah menyaksikan karya kedua PTA pada dekade tersebut, saya pun tak ragu menyejajarkan Magnolia di posisi film klasik yang hadir pada dekade 90an.

Membicarakan Magnolia itu bagaikan menceritakan sebuah karya yang abstrak, karena pada dasarnya Magnolia memang begitu adanya. Susah untuk menceritakan plot Magnolia yang saling berkaitan dengan begitu indahnya. Magnolia telah menunjukkan tajinya kala masuk pada sequence pertama yang memperlihatkan kepingan-kepingan footage akan mengenai peristiwa-peristiwa yang semuanya berkaitan, saling mengisi bagaikan yin dan yang, dimana pada intinya maksud dari PTA untuk menghadirkan sequence tersebut adalah memberikan clue kepada para penonton mengenai apa inti dari Magnolia. Tidak hanya itu, saya juga menangkap bila sequence awal itu adalah sebuah pelatihan dari PTA untuk kita sebagai penikmat dalam mengikuti pergerakan narasi yang ada di dalam Magnolia. Karena percayalah, pada pertengahan film begitu Magnolia mulai masuk akan bagian konfliknya, Magnolia bergerak layaknya rollercoaster yang melaju kencang tanpa bisa terhenti hingga mampu membuatmu menahan nafas. Tidak hanya satu, tetapi dua sesi yang melibatkan pula musik menghentak memacu adrenalin tetapi merdu dari Jon Brion. Editing yang dilakukan Dylan Tichenor pun turut membantu menambah mencekamnya adegan tersebut dengan cut nya yang begitu rapih yang memperlihatkan dari karakter A berpindah ke karakter lainnya dan begitu seterusnya dengan begitu mulus. Bila diibaratkan ke dalam olahraga, apa yang terjadi sama saja dengan rally panjang yang terjadi dalam Volley atau pun Badminton. Jangan harap mampu bernafas dengan mudah, sekali lagi, percayalah. What a sequence

Magnolia pun dipadati dengan karakter utama yang begitu banyak diiringi pula akan konfliknya masing-masing, yang membuatnya kembali mungkin bagi sebagian penonton akan kewalahan mengikutinya. Saya pun turut merasakan hal itu pada 20 menit awal ketika PTA memperkenalkan mereka baik dari karakterisasi maupun pondasi dari tiap konflik. Saya sarankan cukup sabar kan hati Anda karena hal itu memiliki maksud tersendiri, sebab di tiap-tiap menitnya PTA pun dengan sabar serta ketelitian untuk mengeksplorasi setiap konflik yang ada dan jujur walau diceritakan sekaligus tanpa terpisah dengan chapter demi chapter layaknya karya Tarantino, tidak semenit pun saya merasa plot nya saling timpa tindih yang membuat saya kebingungan. Disinilah letak kejeniusan PTA dalam meracik naskah nya hingga membuat saya bergumam bagaimana PTA bisa menghasilkan hasil cerita yang begitu mengagumkan seperti ini. Tidak berlebihan tampaknya bila saya membandingkan hasil kerja PTA ini sama dengan apa yang telah dilakukan Francis Ford Coppola di dwilogi The Godfathernya. Lalu, apa sebenarnya inti cerita dari Magnolia dalam setiap konflik yang ada?

Jelas yang pertama paling tampak adalah Penyesalan. Bagaimana mayoritas karakter yang memeran sebagai orang tua di sini memiliki konflik yang sama. Dalam suatu adegan monolog yang dibawakan sangat fantastis oleh Jason Robards pun kalimat "The Goddamn Regret" diulang hingga beberapa kali. Kemudian memaafkan, baik memaafkan kepada orang lain atau pun diri sendiri. Hal ini juga saya tangkap akan monolog yang dibawakan oleh karakternya John C. Reilly memasuki menit-menit akhir yang pada intinya bila memaafkan adalah hal tersulit bagi seseorang. Maka, ketika terjadi momen "itu", terjadi pula di sekililingnya berbagai keajaiban yang mampu mengubah hati maupun keadaan seseorang. Saya tidak tahu apa maksud sebenarnya dari PTA dalam menyajikan momen yang bisa dikatakan cukup supernatural tersebut dalam film nya ini, tetapi yang saya tangkap memang PTA ingin menyampaikan hal yang mustahil bisa saja terjadi, begitu pula dengan berbagai turning point yang terjadi kala beriringan peristiwa itu muncul.

Satu lagi yang membuat Magnolia adalah sebuah masterpiece jelas adalah ensemble cast nya yang mungkin adalah salah satu ensemble cast terbaik yang terjadi dalam sejarah perfilman. Sekali lagi, mungkin sedikit berlebihan, tapi tampaknya para karakter utama yang terlibat di Magnolia layak untuk diganjar paling tidak nominasi Oscar di kategori akting. Serius, semuanya mampu menampilkan kadar emosi yang sesuai dengan perannya. Ditambah pula PTA kerap kali melakukan teknik zoom in secara perlahan memperlihatkan mimik ekspresi para artis nya, serta juga tidak ketinggalan PTA mengambil long take yang tentu menuntuk akan kepiawaian akting dari jajaran artis yang terlibat. Tapi kalau harus dibuat pilihan mana yang terbaik dari yang terbaik, pilihan saya jatuh pada Jason Robards, Tom Cruise dan Julianne Moore. Jason Robards tampil begitu meyakinkan dalam memerankan pria yang telah berusia renta yang tinggal menantikan ajalnya. Ia tampak begitu menderita sehingga berbicara pun dirinya kesulitan, tetapi kala ada adegan melakukan dialog panjang, he freakin' nailed it. Julianne Moore tentu tidak perlu diragukan lagi kapasitas aktingnya di dalam genre drama. Cara meluapkan emosinya di setiap adegan entah bagaimana bisa begitu pas tanpa terasa berlebihan. Tapi memang yang paling mencuri spotlight adalah Tom Cruise yang mampu membungkam para kritik yang menyatakan dirinya tidak mampu berakting yang melibatkan emosi. Sebagai Frank yang tampak begitu percaya diri nan flamboyan, ia tanpa kesulitan, dan ketika harus beradegan emosional, dia melakukannya dengan brilian. Salah satu momen heartbreaking yang terjadi dalam film ini pun berkat akan improvisasi nya yang juga turut berpengaruh akan genuiene nya reaksi dari Phillip Seymour Hoffman. Mengenai Hoffman, sebenarnya saya ingin memilihnya sebagai yang terbaik, tetapi dengan karakter yang tidak pernah menjadi pusat cerita, susah bagi saya untuk melakukannya, walau memang akting beliau tidak pernah mengecewakan, sejauh yang saya tonton. 

Magnolia itu film yang berat, dengan karakter penting yang begitu banyak serta konflik yang mengiringi. Ditambah pula dengan durasinya yang menyentuh 3 jam (walau bagi saya malah masih kurang itu #sok). Tetapi bagi saya ini adalah masterpiece nya dari PTA, dan bagaimana kenyataannya PTA tidak menerima piala Oscar pada kategori penulisan pun saya juga tidak mengerti. 

9/10

2 comments:

  1. 90an film2nya emang bagus2 dan mengandalkan cerita dan akting karena pada waktu itu cgi belum canggih2 amat... jadi film-maker tidak bergantung pada cgi sprti skrng..

    salah satu film 90an terbaik adalah leon the profesional http://hilmansky.com/review-movie/review-leon-the-professional-1994-sisi-lain-si-pembunuh-bayaran/

    ReplyDelete
  2. kalopun ada pake cgi, dipake dgn bener untk bantu cerita.

    ReplyDelete

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!