"Life's better with company"- Ryan Bingham
Plot
Ryan Bingham (George Clooney) memiliki pekerjaan yang mungkin banyak dibenci oleh karyawan-karyawan perusahaan. Bagaimana tidak, Ryan bekerja di suatu perusahaan yang menyediakan jasa kepada perusahaan yang tidak memiliki keberanian dalam memecat karyawan mereka sendiri. Ryan adalah salah satu karyawan eksekutif dari perusahaan tersebut, dimana Ryan berpergian dari satu kota ke kota lainnya untuk memecat karyawan dari perusahaan lain. Butuh keberanian serta kemampuan yang di atas rata-rata memang untuk bisa betah menjalani pekerjaan itu, namun ternyata Ryan malah menikmatinya. Bekerja dengan berpindah-pindah kota bukanlah problem yang besar untuknya, bahkan Ryan menganggap bandara serta pesawat yang ia tumpangi telah menjadi rumah baginya. Namun kesenangan Ryan tampaknya harus berakhir akibat kehadiran karyawan muda bernama Natalie Keener (Anna Kendrick). Natalie memilliki gagasan bila pekerjaan yang dilakukan Ryan dan lainnya bisa dituntaskan lewat saluran internet yang mampu membuat mereka langsung berkomunikasi dengan calon karyawan yang akan di pecat (intinya kayak Skype). Tanpa perlu melakukan perjalanan dan cukup hanya dengan laptop saja, mereka tetap bisa melakukan pemecatan. Gagasan Natalie ini tentu saja diterima oleh bos Ryan, Craig (Jason Bateman), karena bisa menekan anggaran pengeluaran perusahaan. Namun tidak untuk Ryan, yang menganggap Natalie belum memahami pekerjaan yang ia lakukan. Sebagai win-win solution, Craig meminta Ryan untuk menjadi pembimbing untuk Natalie dan membiarkan Natalie mengikuti Ryan dalam melakukan pekerjaan. Di satu sisi, di tengah perjalanan sebelumnya, Ryan sempat bertemu dan dekat dengan wanita yang sama persis pekerjaannya seperti Ryan bernama Alex (Vera Farmiga).
Review
Bagi pekerja kantoran, pemecatan tentu bagaikan akhir dunia untuk mereka. Ya bayangkan saja, kehidupan sehari-hari yang biasanya di habiskan bekerja lalu sumber pendapatan mereka tiba-tiba lenyap begitu saja dalam hidup mereka. Saya pernah merasakan bagaimana tidak enaknya tidak di pecat, dan memang benar, seolah tiada hari esok dalam pikiran. Dan saya pun bisa memahami, bukanlah pekerjaan yang enteng melakukan apa yang dilakukan Ryan di dalam film ini. Saya juga rasanya tidak habis pikir jika memang jenis pekerjaan ini benar-benar ada di dunia nyata. Pekerjaan yang dilakukan Ryan memang seolah menjadi pusat cerita dalam Up in the Air, bahkan di awal film saja telah disajikan kilasan para karyawan yang protes atau tidak terima dirinya dipecat. Namun sang sutradara, Jason Reitman (yang mengangkat namanya lewat film Juno) ternyata memiliki pesan cerita utama yang sempat tersembunyi di awal-awal film. Kisah pekerjaan Ryan dihadirkan sebagai jembatan untuk mempelajari akan pentingnya nilai keluarga dalam kehidupan.
Fokus utama penceritaan tentu adalah Ryan. Dari awal penonton diajak mengetahui bagaimana perspektif Ryan mengenai menjalani hidup, termasuk penilaiannya dalam membangun keluarga. Ryan tidak memiliki rumah, dan juga tidak ingin menikah. Intinya, Ryan tidak ingin ada kata "komitmen" hadir dalam hidupnya, dan prinsip itu juga lah yang mungkin membuatnya begitu ringan dalam menjalankan pekerjaannya sehari-hari. Bahkan mungkin saja berkat kehidupannya yang seakan tidak memiliki keterikatan dengan orang lain, membuat dirinya tidak memiliki kepekaan terhadap orang-orang yang nantinya akan ia pecat. Secara tidak langsung, prinsip tersebut membantunya dalam berkarir. Namun, Ryan tetaplah manusia pada umumnya, manusia sosial yang membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Dan disinilah peran karakter Alex dan Natalie.
Natalie dan Alex merupakan dua wanita yang berbeda. Natalie yang "hijau", tentu masih memiliki kenaifan dalam dirinya sedangkan Alex yang jauh berpengalaman, ya tidak jauh berbeda dengan Ryan, yang lebih menganggap santai akan apa yang terjadi pada hidup nya. Namun dua wanita ini memberikan pengaruh akan character development dalam diri Ryan. Siapa yang menyangka bila pendapat-pendapat naif dalam diri Natalie perlahan merasuki dalam diri Ryan, Ketika Ryan mulai menyadari akan kekeliruannya, disitulah karakter Alex mengambil peranan. Kembali lagi, Ryan dan Alex bagaikan dua sisi koin, mereka memilki pekerjaan serta pandangan yang sama. Bisa dimengerti apabila mereka tertarik satu sama lain, apalagi Ryan yang mungkin telah lama tidak ada perempuan yang mampu menggetarkan hatinya. Ketika dua karakter ini berpengaruh untuk Ryan, tinggal momen nya saja yang pada akhirnya akan meruntuhkan segala prinsip yang Ryan anut selama hidupnya. Momen yang telah disiapkan Reitman tersebut memang harus diakui sederhana, namun begitu mengena hingga mampu membuat penonton memaklumi bila Ryan akhirnya mengubah pola pikirnya selama ini.
Di atas kertas, mungkin kita menganggap bila Ryan adalah karakter yang menyebalkan. Disinilah fungsi seorang George Clooney Clooney adalah aktor yang memiliki kharisma yang luar biasa, baik kala ia berbicara ataupun hanya berdiam diri, sehingga Clooney telah memiliki standar yang tepat unutk memerankan seorang Ryan Bingham. Tidak cukup hanya itu, Clooney menambahinya dengan sentuhan hati pada karakter Ryan. Ryan diperankannya tidak menjadi robot berjalan, dengan subtil ia bisa menunjukkan kekecewaan seorang Ryan, salah satu contohnya adalah ketika ia menempel foto-foto yang ia susah payah dapatkan demi sang adik. Tidak perlu ekspresi berlebihan, hanya subtil yang ia tunjukkan, namun itu telah cukup mengena ke penonton dan penonton tahu bila apa yang Ryan rasakan adalah sedikit kekecewaan. Penampilan mengesankan juga ditampilkan oleh Vera Farmiga dan Anna Kendrick. Khusus Anna Kendrick, apa yang ia tampilkan disini begitu mengejutkan karena saya yakin, aktingnya sebagai Natalie disini jauh melampaui ekspektasi para penonton. Kendrick membuat karakter Natalie begitu menyenangkan. Dengan kenaifannya lalu cerdas, mudah penonton untuk menyenangi Natalie. Puncaknya ketika ia menangis dengan cara yang begitu kekanak-kanakan, namun cukup untuk membuat kita ingin segera memeluk dan menenangkannya.
Up in the Air memang memiliki dasar cerita yang berat, namun Reitman tetaplah Reitman. Dengan naskah yang ia buat, Up in the Air terasa ringan berkat interaksi antar karakternya yang menarik sekali untuk diikuti. Tidak jarang dari interaksi mereka, muncul kalimat yang menggelitik, seperti sindiran Ryan terhadap Natalie kala ia curhat dengan Alex. Hal ini juga yang berpengaruh besar mengapa Up in the Air yang memiliki durasi 109 menit terasa begitu cepat berlalu.
Lalu, apa korelasinya dengan pekerjaan Ryan yaitu memecat orang dengan nilai keluarga yang diangkat oleh Reitman? Sebagian besar ketika karyawan dipecat, apa yang terlintas di benak pertama kali adalah raut kekecewaan keluarga. Merasa diri tak berguna, juga tidak sanggup untuk menatap wajah orang yang kita kecewakan tersebut. Namun, disitulah poinnya, disaat tersulit, disaat diri menyentuh titik nadir, akan selalu ada kehadiran dan kehangatan keluarga yang siap menampungmu dan membawa diri kita untuk bangkit kembali. Itulah keluarga. Mungkin kita sering bertengkar dengan ayah ataupun ibu, saudara, namun mereka akan selalu ada, tidak perduli kita sedang berbahagia ataupun sedih. Dengan dasar cerita mengenai akan pemecatan itu pula, kilasan testimoni di akhir begitu bermakna. Kredit lebih juga rasanya layak diberikan kepada aktor-aktor figuran yang memerankan karyawan-karyawan yang dipecat dalam film ini.
Up in the Air itu bagaikan film mengenai studi karakter. Menceritakan pria yang tidak ingin menanggung komitmen dalam hidupnya, namun perlahan-lahan mulai merenungi bila dirinya tetaplah membutuhkan seseorang disampingnya dan tetap tidak mampu melawan serangan dari yang namanya kesepian. Memiliki pesan yang begitu bermakna di dalamnya, namun tetap Reitman membawakan filmnya ini dengan santai ya setidaknya kala seorang Ryan belum diserang baper di 3/4 akhir film.
0 komentar:
Post a Comment