Wednesday, 25 September 2019


"I guess, no matter how much you try to ignore all these things that are really happening, sometimes they just find a way to creep in"- Celeste

Plot

Berawal dari tragedi penembakan yang terjadi di sekolahnya, Celeste (versi remaja diperankan Raffey Cassidy), yang merupakan salah satu korban yang selamat walaupun sempat terkena tembakan di leher, malah menjadi pusat perhatian nasional ketika ia unjuk suara di momen memorial para korban. Dalam waktu singkat, Celeste menjadi penyanyi pop yang memiliki masa depan yang cerah. Dibantu oleh manajernya (Jude Law) serta saudari nya, Eleanor (Stacy Martin), langkah Celeste terlihat begitu mudah untuk menjadi bintang muda. Tanpa ia sadari bila dunia industri yang tengah ia jalani malah menjadi bumerang akan dirinya sendiri.




Sutradara Brady Corbet membuka Vox Lux dengan meyakinkan. Saya sudah tahu jika plot dasar cerita nya akan mengangkat tragedi penembakan, namun tetap saja adegan yang disajikan Corbet mampu memberikan kesan menegangkan serta mencekam. Atmosfir thriller begitu tebal, dan tak terpungkiri, atensi saya sepenuhnya telah terenggut. Namun sayangnya, atensi ini semakin lama semakin tergerus akibat penceritaan yang membosankan dan tiada momen-momen perebut atensi kembali untuk durasi kurang lebih 1 jam kemudian. 

Percayalah, saya pun mengira jika Vox Lux merupakan cerita yang diadaptasi dari kisah nyata berkat dasar ceritanya mengangkat tragedi yang sering terjadi di negara Amerika Serikat, dan setelah saya gugling, ternyata cerita dalam Vox Lux sepenuhnya adalah fiktif. Kenyataan ini seketika memberikan tanda tanya besar, mengapa Corbet memberikan pendekatan narasinya begitu minim dramatisasi di paruh awal? Padahal, Corbet menceritakan kisah seorang remaja yang berhasil selamat dari kejadian traumatis. Namun, penonton sama sekali tidak diajak untuk melihat pergulatan batin Celeste, yang notabenenya adalah gadis remaja berumur 13/14 tahun! Rasanya hampir mustahil untuk bisa menerima jika disini sang gadis remaja diperlihatkan masih bisa hidup dengan normal, meniti karir nya tanpa ada konflik berarti. Diperparah lagi dengan keputusan Corbet untuk meringkas momen-momen yang terjadi pada kehidupan Celeste hanya dibantu dengan narasi voice over yang disuarakan oleh Willem Defoe. 

Sebenarnya Vox Lux memiliki sub plot yang berpotensi memperkaya cerita, seperti hubungan kakak beradik Celeste dan Eleanor, yang diceritakan ternyata memiliki bakat yang lebih baik dibanding Celeste. Namun karena Celeste lebih memiliki background cerita yang lebih bisa dijual, talenta Eleanor tak terlalu tampak, bahkan dirinya harus rela berakhir hanya menjadi "the guardian angel" nya Celeste. Hubungan keduanya memiliki peranan penting nanti di paruh kedua, tetapi jatuhnya menjadi datar karena ketiadaan konklusi yang memuaskan antar keduanya. Padahal cerita keduanya cukup memiliki fondasi yang lumayan. Kisah Celeste yang menolak hubungan asmara antar Eleanor dan sang manajer pun terbilang dibiarkan lewat begitu saja tanpa pendalaman.

Saya juga mempertanyakan mengapa begitu nihilnya peran media di paruh awal. Bila ditilik bagaimana kerja media entertainment dalam memburu kisah-kisah selebritis, terutama yang tengah menanjak popularitasnya dalam dunia nyata, rasanya sukar dipercaya sama sekali tidak ada media yang membuat teori praduga, seperti misal Celeste memanfaatkan tragedi untuk ketenaran. Tentu saja jika Corbet mau memberikan sedikit konflik Celeste di mata publik akan memberikan daya tarik supaya penonton tetap mau menghabiskan waktu di sisa durasi film. Tetapi sekali lagi, Corbet lebih memilih untuk mengangkat kehidupan Celeste yang terlalu terbawa arus oleh kebebasan. Bukannya saya menganggap pilihan Corbet tidak penting, karena narasi ini akan berpengaruh di paruh kedua, namun pada narasi ini pun, Corbet seolah setengah-setengah dalam mengangkat isu nya. Praktis, parahnya narasi cerita di 1 jam awal ini memberikan kebosanan yang luar biasa untuk saya. Ditambah lagi akting biasa saja dari para pelakon, terutama Raffey Cassidy yang cenderung senantiasa bermuka datar. 

Beruntung film ini memiliki Natalie Portman dalam jajaran aktor nya. Perannya disini seketika cukup mengingatkan saya akan performanya di Black Swan (2010) sebagai Nina, yang mana Portman memerankan Celeste yang terkesan eksentrik, fucked up, sosiopat, aktris yang seenaknya sendiri, dan begitu lekat dengan sensasi serta kontroversi. Tentu Celeste versi dewasa ini merupakan hasil dari terlalu cepatnya ia mengalami ketenaran sehingga ia begitu tenggelam dengan dunia selebritas yang penuh intrik dan tekanan. Bila saja Corbet di paruh awal lebih memilih untuk mengeksplorasi karakter Corbet, penonton pasti akan memiliki keterikatan emosional terhadap Celeste di paruh akhir. Namun tanpanya, disini Celeste hanya terkesan wanita dewasa yang menyebalkan serta kekanak-kanakan. Mudah bagi saya untuk tidak menyukai Celeste, ANDAI saja aktris yang memerankannya bukanlah Portman.

Bukan hal baru lagi untuk aktris peraih satu kali Oscar ini dalam memerankan karakter yang memiliki gangguan psikis. Apalagi untuk karakter Nina dan Celeste tidaklah jauh berbeda. Keduanya berambisi besar, hidup dalam dunia entertain, dan selalu memiliki kecemasan berlebihan. Bedanya, Celeste disini jauh lebih "cerewet" dibanding Nina. Sekali lagi, mudah untuk penonton tidak menyukai Celeste, namun berkat pendekatan Portman, penonton tidak merasakan hal tersebut. Iya, Celeste merupakan wanita menyebalkan, namun ia juga begitu perduli dengan putri semata wayangnya, Albertine (yang juga diperankan oleh Raffey Cassidy). Disinilah Portman memberikan pendekatan hati dan rasa setiap kali Celeste menunjukkan perhatiannya kepada Albertine. Selain itu, Portman juga melakukan pekerjaan hebat setiap kali karakter nya harus menunjukkan kegelisahan. Puncaknya kala Celeste tengah mengalami mental breakdown di ruang wardrobe. Bagi saya, keberadaan Natalie Portman tidak hanya memberikan performa mengagumkan, tetapi ia juga berhasil menyelamatkan penonton dari rasa bosan dalam menikmati Vox Lux. Paruh akhir menjadi menarik dan jauh lebih berwarna dibanding paruh awal nya. Rating yang saya berikan tentu jauh akan lebih rendah andai Vox Lux tidak dibintangi oleh Portman. Apalagi kala ending nya yang saya anggap sebagai momen redemption untuk Celeste, nyatanya berujung datar dan memberikan kesan "lah, begini aja?" kala closing credits hadir.

6,75/10


0 komentar:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!