"Better to be king for a night than schmuck for a lifetime."- Rupert Pupkin
Plot
Meski telah berusia 30an, nyatanya Rupert Pupkin (Robert De Niro) masih memiliki mimpi untuk menjadi komedian terkenal. Kesempatan untuk menggapai mimpi itu seolah menemukan jalan, kala di suatu malam, Rupert berhasil memanfaatkan kesempatan di tengah keriuhan puluhan penggemar dari host talk show terkenal, Jerry Langford (Jerry Lewis), yang ingin meminta tanda tangan idola nya. Rupert sendiri sukses menyelinap masuk ke dalam mobil Jerry dan tanpa basa basi, mengutarakan niatnya untuk bisa hadir di acara talk show dari Jerry.
Review
Sebenarnya saya udah lama memendam keinginan untuk segera menonton film kolaborasi kelima antara Scorsese dan De Niro ini, tapi beneran deh, susah sekali nyari versi downlodan nya. Sempat terlupakan, baru-baru ini tetiba saja saya mendapatkan rekomendasi dari teman jika film ini bagai hidden gems dari Scorsese. Semangat untuk menyaksikan The King of Comedy pun akhirnya kembali hadir. Setelah berusaha cukup lama, saya akhirnya mendapatkan downloadan nya. Dan siapa yang menyangka, meski memiliki kata "Comedy" di judul nya, namun film ini didominasi akan tamparan ironi realita bagi pemimpi layaknya Rupert Pupkins. Anggap saja saya berlebihan, namun karena kisahnya begitu relatable, The King of Comedy adalah film yang paling tidak mudah dinikmati dari Scorsese setelah Silence.
Kisah berpusat pada karakter Rupert Pupkins. Ia pria lajang, berumur 34 tahun dan masih tinggal dengan ibunya di apartemen sederhana. Memiliki impian untuk menjadi komedian besar, Rupert sering berlatih bermonolog di dalam kamar nya, yang sering pula mengganggu ketenangan ibu nya. Melalui perspektif penonton, kita bisa mengetahui jika Rupert bukanlah pria tanpa bakat. Setidaknya bagi saya, Rupert sadar akan bakatnya tersebut dan tidak salah jika ia bermimpi untuk menjadi komedian. Menjadi permasalahan adalah Rupert kesulitan untuk mendapatkan kesempatan, sehingga talenta komedinya tersebut sama sekali tidak mampu menghantarkan dirinya kepada kesuksesan. Maka ketika akhirnya ia menemukan setitik harapan cerah supaya bisa berkarir di dunia komedi saat ia berhasil berbincang dengan Jerry, disitulah ia rela melakukan apa saja untuk menggapai mimpinya. I mean, literally, apa saja.
Lebih dari itu, Rupert adalah seseorang yang naif nan polos. Dirinya bagai anak kecil yang masih dipenuhi api semangat membara demi mengejar impiannya yang terjebak dalam tubuh pria dewasa. Di kala kebanyakan pria dewasa seperti dirinya untuk lebih memilih realistis dan mengubur impiannya, Rupert menolak. Dengan cara apapun, ia akan mengabulkan mimpinya. Pada akhirnya, ia ingin kelihaian komedinya disadari dan dinikmati oleh banyak orang. Namun, asumsi saya, yang terpenting untuk Rupert adalah ia mampu membuktikan kepada orang sekitarnya jika ia bukanlah omong kosong dan bodoh seperti anggapan orang banyak. Penggambaran karakter Rupert ini lah yang senantiasa memberikan kesan tidak nyaman untuk saya sebagai penonton.
Melihat sosok Rupert yang begitu optimis di tengah kondisi minim harapan, tak ketinggalan sering kali senyum yang ia lontarkan, tentu saja memberikan kesan pedih dan miris. Ditambah lagi Rupert adalah sosok yang berdedikasi, dimana ia terus berlatih dan berlatih di apartemen sederhananya, tidak perduli jika latihannya tersebut rupanya mengganggu ketenangan ibu nya yang tinggal bersama dirinya. Terpenting bagi Rupert, ia akan selalu berlatih sembari menanti kesempatan akhirnya datang kepadanya. Rasanya tidak mungkin Anda tidak bersimpati pada karakter ini setelah melihat berbagai usahanya untuk menjemput kesempatan tersebut. Saya jujur hampir meneteskan air mata pada adegan "laugh scene", dimana Rupert berlatih monolog di depan gambar penonton yang tertempel di dinding, kamera menyorot dari belakang Rupert, sambil bergerak perlahan menjauhi Rupert, untuk menangkap kesepian dan betapa ironis nya kehidupan yang dijalani Rupert. Pada adegan ini pula kita bisa merasakan sensitivitas rasa dari Scorsese.
Kritik terhadap dunia hiburan pun tidak ketinggalan disuarakan oleh Scorsese. Dan disinilah fungsi karakter Jerry Langford. Jerry boleh saja merupakan entertainer yang sukses, namun kesuksesan tersebut malah memberikan tekanan pada Jerry. Tidak hanya itu, Jerry pun juga harus pandai dalam menghadapi penggemarnya yang banyak, terutama bagaimana ia harus menghadapi penggemar militan layaknya Masha (Sandra Bernhard). Bukannya memberikan kebahagiaan, kesuksesan yang ada justru menghadirkan kehampaan dalam diri Jerry. Tak dieksplor terlalu dalam memang, namun apa yang dihadirkan Scorsese disini sudah cukup efektif. Penonton, seperti saya, memang sering kali seenak jidat menilai kepribadian para aktor/entertainer seperti Jerry, padahal apa yang kita lihat hanya lah dari layar, tanpa memikirkan bagaimana kehidupan mereka ini kala layar kamera tidak menyorot mereka.
Meski sudah berumur lebih dari 3 dekade, nyatanya The King of Comedy masih memiliki tingkat relevansi yang tinggi jika ditonton pada zaman sekarang. Hal ini tidak terlepas dari fakta bagaimana industri hiburan zaman dahulu hingga sekarang bekerja tidak lah terlalu jauh berbeda. Talenta dan integritas bukan menjadi faktor utama dari kesuksesan, melainkan aspek non teknis seperti skandal, riwayat buruk dari entertainer lah yang malah menjadi sorotan sehingga lebih berpengaruh besar dalam mendongkrak nama dari artis itu sendiri. Lihat saja sekarang, banyak sekali talenta-talenta berbakat namun seolah tenggelam dengan mereka yang lebih mengandalkan kontroversi maupun konflik demi mendapatkan jatah spotlight. Scorsese seolah menampar keras sistem ini melalui ending gelap yang hadir pada film ini. Kala akhirnya nama Rupert Pupkin menjadi headline di seluruh wilayah, namun harus dibayar mahal akibat kenekadannya.
Sudah begitu banyak film-film hebat yang tercipta dari kolaborasi Scorsese dan De Niro, seperti Casino, Raging Bull dan tentu saja Goodfellas. De Niro pun senantiasa bermain cemerlang di bawah arahan Scorsese, namun bagi Scorsese, penampilan terbaik De Niro selama bekerja sama dengannya adalah pada film ini, dan saya sepertinya sepakat dengan Scorsese. Patut diingat, De Niro sebelumnya telah memerankan karakter anti hero berkharisma yang dekat dengan kriminal seperti Vito Corleone , Travis Bickle dan Jake Lamotta. Namun, sosok De Niro yang selalu memerankan pria karismatik sepenuhnya hilang disini. De Niro bermain luar biasa dalam memberikan performanya sebagai Rupert yang polos, naif, always thinking "everything is gonna be fine", clumsy, terkesan bodoh dan mudah ditipu. Seperti yang saya tulis sebelumnya bila Rupert bagaikan anak kecil yang terjebak dalam tubuh orang dewasa, dan De Niro berhasil merepresentasikannya dengan brilian. Dengarkan saja teriakan "Maaaaaa!!!" setiap kali ia dibentak oleh sang ibu. Jika Anda ingin melihat betapa luasnya range akting dari De Niro, maka The King of Comedy adalah pilihan yang tepat. Puncaknya kala De Niro melakukan stand up comedy di akhir. Kaya akan gestur tubuh, ekspresi muka yang tepat sasaran, dan kejutannya, stand up yang ia lakukan benar-benar lucu secara alami. Ya, kelucuan yang hadir tanpa kita sadari adalah sebagai distraksi bila sebenarnya bit demi bit yang dibawakan oleh Rupert adalah pengalaman hidupnya sendiri. Bravo!
Sayang memang, film ini tenggelam jika dibandingkan film-film masterpiece Scorsese lainnya. Mungkin karena pada saat itu, The King of Comedy tidak berhasil meraih kesuksesan jika ditilik dari pendapatan uang, bahkan bisa dibilang cukup gagal besar, walau para kritikus menyukai nya. Padahal bila dilihat dari kualitas, The King of Comedy jelas bisa disandingkan dengan Goodfellas, Raging Bull atau Taxi Driver sekalipun, lewat performa luar biasa dari De Niro (yang secara mengejutkan tidak mendapatkan nominasi aktor terbaik versi Oscar!!) serta begitu dekatnya kisah yang diangkat oleh Scorsese. Masterpiece tersembunyi dari Scorsese berkat tamparan realita dunia hiburan yang begitu penuh ironi, dibalut komedi hitam yang tidak akan membuat mu tertawa, melainkan malah trenyuh dan hati tercabik kala melihat perjalanan sosok Rupert Pupkin.
0 komentar:
Post a Comment