Monday 9 September 2019

"He's my good friend, and I like him, but, Dani, do you feel held by him? Does he feel like home to you?"- Pele

Plot 

Dani (Florence Pugh) dan Christian (Jack Reynor) sama-sama mempertimbangkan untuk mengakhiri hubungan mereka. Jika Dani merasa tertekan karena beranggapan dirinya terlalu membebani Christian, di sisi lain, Christian juga merasa terpenjara atas kecemasan berlebihan dari Dani. Namun, niat putus dari keduanya harus tertunda akibat tragedi yang menimpa Dani, dimana ia harus menerima fakta adiknya yang bunuh diri dan "mengajak" kedua orang tua nya untuk ikut bersama. Di tengah rasa duka, Dani pun mendapat kabar pula jika Christian hendak mengunjungi Swedia demi mengerjakan tesisnya bersama teman-temannya, yaitu Mark (Will Poulter), Josh (William Jackson Harper) dan Pelle (Vilhelm Blomgren). Tak tega meninggalkan sang kekasih sendirian yang tengah bersedih, Christian akhirnya mengajak Dani juga untuk ikut bersamanya dengan harapan, wisata yang mereka lakukan mampu menggerus rasa kehilangan Dani.




Review

Melalui teror mencekam yang saya saksikan dari Hereditary (2018), yang merupakan film panjang pertama dari Ari Aster, telah cukup bagi saya untuk memperhitungkan nama sutradara satu ini dan tentunya menantikan karya-karya Aster selanjutnya. Hereditary jelas merupakan sajian film yang spesial untuk saya, dimana hanya Hereditary yang berhasil memaksa saya untuk tidak berani beranjak dari kasur tidur saya untuk sekedar ke kamar mandi. Hereditary pula yang sukses membuat saya paranoid dengan plafon rumah sehingga saya tak memiliki keberanian untuk menatapnya. Tidak ragu saya menobatkan Hereditary adalah film terbaik tahun 2018 versi saya. Maka ketika mendapatkan berita jika Aster, kembali dengan naungan rumah produksi A24, merilis film bergenre horor lagi di tahun 2019, jelas saya tidak sabar untuk menyaksikannya.

Elemen-elemen dari Hereditary masih kita temui di film terbaru Aster ini, seperti hubungan disfungsional, rasa duka atas kehilangan, dan tidak lupa ritual. Jika pada Hereditary kita menyaksikan drama disfungional keluarga, dalam Midsommar, kita diajak untuk melihat retaknya hubungan asmara Dani dan Christian. Memang terdengar sepele, namun permasalahan generik kaum remaja ini seketika berubah menjadi tragedi mencekam sesaat unsur ritual keagamaan warga setempat turut mengambil peranan. Kala Dani beserta Christian dan teman-temannya berkenalan dengan komunitas Harga di Halsingland, perlahan namun pasti kita pun akan menangkap ada yang tidak beres dengan komunitas ini. Hingga pada puncaknya ritual Attestupa dijalankan (one of the most haunting moment in the film), para karakter utama kita pun menyadari jika mereka tengah "terperangkap" dalam komunitas yang fucked up.

Jujur, Midsommar bukan film yang mudah dinikmati jika mengambil dari perspektif penonton yang belum terbiasa akan film keluaran A24. Seperti film dari A24 lainnya, Midsommar menggulirkan narasi nya dengan tempo yang cenderung lambat. Tidak jarang Aster menyajikan suatu adegan yang seolah akan di akhiri dengan momen shocking berkat pengambilan gambar melalui long take nya, namun nyatanya adegan tersebut terasa menggantung seperti lewat begitu saja. Momen hening tanpa terjadinya apa-apa juga tidak sedikit. Bukan berarti adegan-adegan seperti ini tidak memiliki esensi sendiri karena ketika film berakhir, saya pun menyadari terdapat banyak foreshadowing atau petunjuk yang diberikan oleh Aster. Namun bagi mereka yang belum familiar akan pendekatan slow burning ini, pendekatan Aster akan memberikan kebosanan serta tidak bisa menangkap apa yang diniati oleh Aster. Sekali lagi, dan mungkin Anda bosan mendengarnya, film-film keluaran dari A24 memiliki pendekatan non konvensional dan untungnya saya sudah mulai terbiasa style seperti ini.

Jika berbicara mengenai permasalahan Midsommar, secara pribadi saya cukup kesulitan untuk mengikuti ritual keagamaan yang dilakukan oleh komunitas Harga. Lebih ke arah gak ngerti dan awkward gitu karena terkesan konyol. Secara tidak sadar, saya serasa diajak menjadi remaja kurang ajar layaknya Mark yang tidak menghormati tradisi kepercayaan agama atau komunitas ini. Pengenalan tradisi demi tradisi dalam komunitas Harga pun bagi saya cukup kelamaan. Saya rasa jika disingkat pun tidak terlalu masalah

Namun memang, dengan pendekatan perlahan pada proses pengenalan ini, Midsommar berhasil menebarkan aura creepy di tiap menitnya, terutama setiap kali komunitas Harga melakukan kegiatan ritual nya. Sensasi halusinasi yang dialami tiap karakter nya pada suatu kegiatan ritual memberikan efek mencekam nan melelahkan seolah kita ikut menjadi bagian pada ritual tersebut. Salah satu kekuatan penyutradaraan Aster ya itu tadi, pendekatan perlahan serta realistis. Gaya penyutradaraan Aster dalam menebar horor nya itu layaknya Anda sedang naik gojek untuk diantar ke suatu tempat, namun driver membawa anda melewati jalan yang asing untuk Anda. Dihinggapi rasa cemas, Anda pun memiliki banyak pertanyaan, hingga bahkan ingin segera diturunkan. Meski pun secara aman Anda tiba di tujuan, saya jamin sensasi perjalanan yang telah Anda lalui susah dilupakan akibat rasa cemas. Yap, analogi nya ngaco, tetapi contoh ini saya rasa tepat menggambarkan pendekatan yang dilakukan Aster dalam menebarkan terornya. Dalam Midsommar, teror dari Aster kali ini diimbangi pula oleh scoring indah namun mencekam juga dari Bobby Krlic/The Haxan Cloak. 

Pada opening scene, keduanya telah menunjukkan kolaborasi nya dimana Aster menyajikan adegan panjang percakapan melalui telpon antara Dani dan Christian untuk memberikan kita konteks akan kegelisahan Dani, sebelum kita nanti akan diberikan sebuah pemandangan tragis. Kamera bergerak lambat, diiringi perasaan penonton tersayat berkat tangisan parau dari Dani, dan tak lupa scoring dari Bobby untuk memberikan atmosfir kelam dan horornya. Viola, salah satu adegan pembuka film tahun 2019 terbaik tengah anda saksikan. Saya sendiri kala melihat adegan pembuka ini, hanya bisa teriak "HOLY SHIT" dalam diam seraya menantikan tragedi-tragedi apa lagi yang disuap Aster untuk saya. Dengan pendekatan realis ini pula, Aster tidak terlalu bergantung dengan visual gelap minim pencahayaan layaknya Hereditary untuk memberikan sensasi tidak nyaman untuk penonton.

Saya rasa disini Aster cukup sadar jika lambat nya plot narasi bergulir akan memberikan masalah bagi penonton yang telah terbiasa akan film horor mainstream. Untuk itu, ia menyiasati nya dengan memberikan gambar-gambar visual pemandangan indah layaknya lukisan daerah Halsingland. Sebagai Sinematografer, Pawel Pogorzelski jelas telah melakukan pekerjaan brilian dalam menangkap seluruh gambar-gambar indah memanjakan mata. Setidaknya dengan visual indah ini, cukup bisa mengobati rasa suntuk yang mungkin menghinggapi penonton.

Disfungsional antara Dani dan Christian pun bagi saya menarik karena di antara keduanya, masing-masing tidak berada di zona putih sepenuhnya. Pada awalnya, saya dan mungkin sebagian besar penonton mudah saja menaruh simpati pada Dani. Tragedi yang menimpanya menjadi faktor terbesar mengapa penonton berharap Dani akan baik-baik saja, setidaknya hingga credit roll di akhir nanti. Sebaliknya, rasa tidak suka mulai menghinggapi penonton terhadap Christian semenjak ia mengutarakan keinginan putus di awal film. Namun seiring berjalannya film, kita pun mempelajari sebenarnya Christian bukanlah pria brengsek sepenuhnya. Ok, dia memang terasa cuek dan tidak terlalu perduli pada Dani, bahkan melupakan momen terpenting bagi Dani, namun selebih itu, he's fine. At least, saya merasa ia tidak layak mendapatkan apa yang kelak nanti menimpanya.

Performa mengagumkan diberikan Florence Pugh. Aster kerap memfokuskan kamera dengan teknik long take terhadap muka Pugh demi menangkap apa yang Dani rasakan. Tentu harus memiliki teknik akting memadai dimana seorang aktor harus senantiasa mengeluarkan akting pergulatan emosi kala kamera tepat dihadapan Anda. Namun sedari awal kala Dani terlibat percakapan di telpon dengan Christian, saya telah dibuat terpana akan luwesnya Pugh dalam mengekspresikan rasa cemas pada karakter Dani.  Dari obrolan biasa, bahkan sempat ceria, bertransformasi menuju kegelisahan, rasa sedih terpendam, diakhiri dengan rasa sedikit kecewa. Semuanya ditampilkan meyakinkan oleh Pugh, dan ingat, ini baru beberapa menit Midsommar berjalan. Sebelum nantinya kita menyaksikan tangisan memilukan dari Dani, yang tidak kalah pedih nya seperti yang dilakukan Toni Collette dalam Hereditary. Menit demi menit berlangsung, performa Pugh senantiasa stabil dan tidak pernah mengecewakan. Paling berkesan tentu saja setiap Pugh menampilkan sisi emosional dari Dani, seperti setiap kali ia menahan tangis yang mana ia terlihat sekali tersiksanya.

Dari total durasi original 147 menit (versi Director's Cut malah 171 menit), akhirnya Midsommar masuk ke bioskop Indonesia dengan total durasi 138 menit. Tentunya pemotongan durasi 9 menit cukup banyak, dan hal ini cukup terasa di berbagai adegan, seperti contoh utama ya di tradisi ritual Attestupa, yang saya cukup sayangkan karena momen kesadisan yang ada sebenarnya bisa menjadi momen shocking supaya penonton bisa lebih terpaku untuk menikmati Midsommar hingga akhir. Namun setelah momen ini, LSF telah bekerja cukup baik untuk meminimalisir terganggunya penonton akan sensor yang ada. Palingan pada adegan sex scene saja kembali sensor begitu terasa, tetapi bagi saya, cukup mengetahui konteksnya, saya tidak terlalu keberatan atas peniadaan adegan ini. Yang jelas, saya jauh lebih bersyukur Midsommar akhirnya bisa rilis di Indonesia, setelah tersiar kabar jika film ini batal tayang di bulan Agustus lalu, sehingga saya pun memiliki kesempatan untuk menikmati sajian teror mencekam dari Ari Aster, yang melalui karya teranyar nya ini, semakin menegaskan jika ia adalah sineas horor yang patut diperhitungkan di era perfilman generasi saat ini.

8/10

0 komentar:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!