"I'm letting life hit me until it gets tired. Then I'll hit back. It's a classic rope-a-dope."- Sebastian
Story
Mia (Emma Stone), seorang barista cafe bermimpi menjadi artis. Namun sayang dari sekian banyak audisi, ia selalu gagal. Di lain sisi, Sebastian (Ryan Gosling), seorang pianis yang juga memiliki mimpi ia ingin menyelamatkan musik jazz dengan membuka cafe yang akan memainkan musik jazz kapanpun ia mau. Takdir mempertemukan mereka dan tidak butuh waktu lama mereka pun menjadi pasangan, dimana mereka saling bahu membahu untuk mewujudkan mimpi masing-masing
Review
Setelah karya debutnya, Whiplash, berhasil baik kritik maupun materil, tentu para penonton akan kembali menantikan karya selanjutnya dari Damien Chazelle (yang baru berusia 31 tahun). Butuh waktu 2-3 tahun penikmat film menantikan karya selanjutnya, dan percayalah penantian itu tidak sia-sia karena La La Land kembali menunjukkan visi luar biasa dari Chazelle dimana ia menyulap kisah yang begitu sederhana menjadi mewah, megah dan berkelas, seperti musik jazz itu sendiri yang Chazelle begitu cintai.
Ya, sederhana. La La Land hanyalah menceritakan dua insan yang berusaha mewujudkan mimpi, dan seperti yang kita duga jalan mereka tidak mulus, yang mana pasti akan ada halangan yang membuat mereka mempertanyakan apakah perlu untuk tetap mewujudkan mimpi serta idealisme yang mereka anut kala semua halangan begitu menggoda untuk memaksa menyerah. Apa yang membuat La La Land begitu beda dengan film-film yang menceritakan narasi utama yang sama adalah kehebatan dari Chazelle itu sendiri. Dengan begitu piawainya Chazelle membuat adegan-adegan yang watchable dengan memasukkan unsur musikal, juga tidak ketinggalan koreografi-koreografi yang bahkan bisa membuat saya tersenyum. Adegan Mia dan Sebastian bernyanyi bersama untuk pertama kalinya di pinggir jalan juga diterangi lampu taman itu sungguh membuat candu serta memanjakan mata. Tidak hanya karena lagu yang mereka dendangkan begitu memanjakan telinga hingga memaksa penonton nya (baca:saya) juga ikut menggoyangkan badan tanda menikmati musiknya, namun juga koreo yang dilakukan Emma Stone dan Ryan Gosling yang bersinergi dengan lagunya, membuat momen ini adalah momen favorit saya dalam film ini. Tentu saja selain momen itu, masih banyak momen musikalnya yang begitu menunjukkan bahwa Chazelle itu memiliki visi sutradara yang tidak bisa diremehkan. Disokong pula dengan visual memanjakan mata dari Linus Sandgren yang "show off" di adegan planetarium yang begitu indah itu.
Namun, sebagus apapun film nya bila tidak memiliki ending yang kuat tetap juga akan menjadi hambar kualitasnya. Untungnya Chazelle memahami ini. Di karya sebelumnya pun, Whiplash, Chazelle telah menampilkan sebuah ending yang begitu dinamis. La La Land pun seperti itu, namun lewat kesan yang lebih lembut serta indah lewat momen "what if" nya, yang mengajak penonton bermelankolis ria akibat sebuah kenyataan pahit akan semua pengorbanan demi mewujudkan mimpi. Tentu momen itu akan sia-sia bila penonton tidak perduli dengan karakter Mia dan Sebastian. Disinilah fungsi dari Emma Stone dan Ryan Gosling berbicara. Emma Stone dan Ryan Gosling menurut saya memiliki satu kesamaan, yaitu mereka bisa mewujudkan chemistry yang meyakinkan dengan siapapun lawan main mereka. Dan jangan tanya lagi betapa meyakinkannya mereka menjadi pasangan kala mereka dipadukan dalam satu layar. Tidak hanya berhasil menjadi pasangan, namun setiap individu pun Stone dan Gosling juga berhasil. Siapa wanita yang tidak jatuh hati melihat Gosling bermain piano dengan lightning yang redup itu? Siapa pula pria yang tidak tersenyum manis melihat begitu luwesnya Stone kala ia menari juga bernyanyi? Kudos besar untuk Ryan Gosling yang rela untuk berlatih memainkan piano demi mendapatkan peran sebagai Sebastian.
Chazelle, yang juga menulis cerita La La Land sendiri, pula memasukkan unsur subjektifitas dari dirinya mengenai musik jazz yang kini seolah kehilangan penggemarnya serta sulit untuk memasuki dunia industri lewat karakter Sebastian. Karakter Sebastian adalah seperti kebanyakan musisi yang masih memperjuangkan semua idealisme nya yang tentu akan bertubrukan dengan dunia industri yang tidak sejalan dengan segala mimpi nya itu. Semua kecintaan Chazelle tidak ia tumpahkan semuanya lewat musiknya saja, namun juga dari setiap dialog yang dikeluarkan Sebastian kala ia menceritakan semua mimpinya. Sebuah surat cinta dari Chazelle terhadap musik jazz yang tampaknya pula akan kembali ia tumpahkan dalam karya-karya berikutnya.
Walau dengan segala kelebihan di atas, saya tidak memungkiri bila memang La La Land sedikit overrated dengan segala pujian-pujian serta jumlah nominasi Oscar yang film ini dapatkan. La La Land film yang bagus, namun mungkin bagi saya film ini tidak akan terlalu membekas nan terkenang hingga dalam waktu yang lama. La La Land sangat terbantu dengan tangan emas dari Chazelle yang sangat jeli dalam merangkai tiap momen-momennya yang menyulap La La Land menjadi sajian yang begitu berkelas dan membuai penontonnya akibat sajian visual dan musik-musik yang sukses memanjakan telinga.
Walau dengan segala kelebihan di atas, saya tidak memungkiri bila memang La La Land sedikit overrated dengan segala pujian-pujian serta jumlah nominasi Oscar yang film ini dapatkan. La La Land film yang bagus, namun mungkin bagi saya film ini tidak akan terlalu membekas nan terkenang hingga dalam waktu yang lama. La La Land sangat terbantu dengan tangan emas dari Chazelle yang sangat jeli dalam merangkai tiap momen-momennya yang menyulap La La Land menjadi sajian yang begitu berkelas dan membuai penontonnya akibat sajian visual dan musik-musik yang sukses memanjakan telinga.
8,25/10
0 komentar:
Post a Comment