I've been here a long time. Out of Cuba. A lot of black folks are Cuban. You wouldn't know from being here now. I was a wild little shortie, man. Just like you. Running around with no shoes on, the moon was out. This one time, I run by this old... this old lady. I was running, howling. Kinda of a fool, boy. This old lady, she stopped me. She said... "Running around, catching a lot of light". "In moonlight, black boys look blue". "You're blue". "That's what I'm gonna call you: 'Blue'."- Juan
Story
Menceritakan karakter Chiron yang dibagi dalam 3 fase usia, yaitu kala masih anak-anak (Alex R. Hibbert), remaja (Ashton Sanders) dan dewasa (Trevante Rhoses) yang mana ia telah menjadi kurir narkoba di Miami, mengikuti jejak Juan (Mahershala Ali) yang merupakan pria yang dianggap sebagai ayah bagi Chiron. Juan adalah orang yang menyelamatkan Chiron ketika Chiron dikejar oleh anak-anak lainnya yang berniat membully Chiron yang memiliki postur tubuh yang kecil kala itu.
Review
Saya merupakan salah satu dari sekian banyak orang yang sedikit sensitif mengenai topik bully. Bagi saya, bully membuat para pelaku nya menjadi sangat hina dan tidak ada sama sekali simpati bagi saya untuk para pelakunya. Saat Moonlight yang ditulis juga oleh sang sutradara, Barry Jenkins, mengangkat tema bully, saya telah memprediksi bahwa saya akan menyukai karya keduanya ini. Tidak hanya itu, Jenkins menjadikan karakter berkulit hitam sebagai karakter sentral. Seakan kurang untuk mengaduk-aduk emosi penonton nya, karakter utama ini GAY!! Telah terlihat jelas bila konflik yang ada begitu rumit karena bagi pria-pria berkulit hitam, mengenai perihal gay adalah sesuatu yang sangat tabu dan merupakan aib bagi siapa pun yang memilikinya.
Kesampingkan gimmick yang dilakukan Linklater pada Boyhood, mudah untuk menyamakan kisah Moonlight pada masterpiece-nya Linklater itu. Keduanya sama-sama membahas karakter sentralnya dari kanak-kanak hingga dewasa, dan selain itu juga fokus narasi ada pada pencarian jati diri sang main character. Namun, walau pun memang saya menyukai Boyhood, tapi perihal emosi harus diakui Boyhood terasa hambar dan cukup datar. Berbeda dengan Moonlight, karena memang persoalan yang diangkat begitu sentimentil nan pelik yang harus dihadapi oleh Chiron. Jenkins memang memasukkan beberapa adegan emosional yang penuh drama, namun Jenkins menyajikannya sesuai dengan takaran. Begitu pas sehingga tidak terasa berlebihan. Dan juga berkat keputusan Jenkins dalam mengambil tiap karakter nya dengan pengambilan teknik kamera close up ke muka tiap karakter, penonton bisa dengan senantiasa memperhatikan ekspresi yang penuh kegetiran dari Chiron. Sifat diam juga jarang berbicaranya itu menggambarkan secara tersirat betapa berat takdir yang harus ia tanggung. Perpaduan dari kisah pencarian jati diri, bertahan hidup, cinta membuat durasi 110 menit yang dimiliki Moonlight begitu padat dan Jenkins menyajikannya begitu pelahan namun pasti untuk mengajak penontonnya tenggelam dalam narasi yang diceritakan. Hibbert, Sanders dan Rhoses bahu membahu menyuntikkan emosi pada karakter Chiron, sehingga walau memang karakter Chiron diperankan oleh 3 orang yang berbeda, penonton tetap melihat Chiron adalah Chiron, sama sekali tidak ada yang berbeda.
Bila harus memilih bagian cerita yang terbaik, saya memilih cerita "Black". Tidak hanya penampilan Rhoses begitu luar biasa dalam memperlihatkan ekspresi diamnya yang harus hidup dalam topeng sebagai pria berkulit hitam yang macho, dengan tatapan matanya yang sayu Rhoses mampu merepresentasikan karakter Chiron yang begitu tertekan akan semua kontradiksi kehidupan yang dialaminya. Dalam "Black" pun dipenuhi momen-momen sunyi namun terasa sekali akan pergolakan batin yang dialami tiap karakternya. Sebut saja obrolan Chiron dengan sang bunda, dan tentu yang pasti saat Chiron kembali bertemu dengan Kevin (Andre Holland) di restoran dimana Kevin berkerja. Dan Saya pun tidak bisa untuk tidak merasakan kegetiran ketika Chiron mengungkapkan sebuah kejujuran kepada sahabat lamanya, Kevin dirumah Kevin. Sebuah kejujuran yang begitu pahit dan sungguh tidak bisa dibayangkan bagaimana beratnya Chiron memendam itu semuanya dalam waktu sedemikian lama. Ketika Jenkins menutupnya dengan sebuah momen yang begitu hangat serta sunyi, saya pun tak ragu untuk memberikan tepuk tangan untuk karya hebat ini. Aura depresif memang senantiasa membingkai Moonlight setiap menitnya berlalu. Tapi entah kenapa dengan sebuah ending itu, saya merasakan sebuah rasa optimis.
Selain penampilan tiga aktor tersebut, Mahershala Ali dan Naomie Harris pun tidak bisa diremehkan. Walau memang saya sedikit menganggap dinominasikannya Mahershala Ali ke Oscar pada kategori Best Supporting Actor overrated, namun saya tidak menyangkal bila Ali selalu steal the show kala karakter Juan ada di layar. Harris lebih hebat karena begitu totalnya ia sebagai sang ibu Chiron, Paula, setiap meluapkan emosinya. Momen terbaiknya jelas saat ia bicara dengan Chiron. Tidak perlu teriakan berlebihan, percakapan itu begitu emosional berkat totalitas dari Harris. Dilengkapi pula dengan bagian teknis Moonlight baik dari sound atau juga penangkapan gambar nya semakin melengkapi yang mengukuhkan Moonlight menjadi salah satu film terbaik pada tahun 2016. Jujur, saya masih memiliki harapan bila Arrival lah yang akan membawa pulang piala Oscar pada kategori Best Picture yang dihelat 26 Februari nanti, namun saya sama lebih ikhlas bila piala itu "direbut" oleh Moonlight dibandingkan La La Land.
Kesampingkan gimmick yang dilakukan Linklater pada Boyhood, mudah untuk menyamakan kisah Moonlight pada masterpiece-nya Linklater itu. Keduanya sama-sama membahas karakter sentralnya dari kanak-kanak hingga dewasa, dan selain itu juga fokus narasi ada pada pencarian jati diri sang main character. Namun, walau pun memang saya menyukai Boyhood, tapi perihal emosi harus diakui Boyhood terasa hambar dan cukup datar. Berbeda dengan Moonlight, karena memang persoalan yang diangkat begitu sentimentil nan pelik yang harus dihadapi oleh Chiron. Jenkins memang memasukkan beberapa adegan emosional yang penuh drama, namun Jenkins menyajikannya sesuai dengan takaran. Begitu pas sehingga tidak terasa berlebihan. Dan juga berkat keputusan Jenkins dalam mengambil tiap karakter nya dengan pengambilan teknik kamera close up ke muka tiap karakter, penonton bisa dengan senantiasa memperhatikan ekspresi yang penuh kegetiran dari Chiron. Sifat diam juga jarang berbicaranya itu menggambarkan secara tersirat betapa berat takdir yang harus ia tanggung. Perpaduan dari kisah pencarian jati diri, bertahan hidup, cinta membuat durasi 110 menit yang dimiliki Moonlight begitu padat dan Jenkins menyajikannya begitu pelahan namun pasti untuk mengajak penontonnya tenggelam dalam narasi yang diceritakan. Hibbert, Sanders dan Rhoses bahu membahu menyuntikkan emosi pada karakter Chiron, sehingga walau memang karakter Chiron diperankan oleh 3 orang yang berbeda, penonton tetap melihat Chiron adalah Chiron, sama sekali tidak ada yang berbeda.
Bila harus memilih bagian cerita yang terbaik, saya memilih cerita "Black". Tidak hanya penampilan Rhoses begitu luar biasa dalam memperlihatkan ekspresi diamnya yang harus hidup dalam topeng sebagai pria berkulit hitam yang macho, dengan tatapan matanya yang sayu Rhoses mampu merepresentasikan karakter Chiron yang begitu tertekan akan semua kontradiksi kehidupan yang dialaminya. Dalam "Black" pun dipenuhi momen-momen sunyi namun terasa sekali akan pergolakan batin yang dialami tiap karakternya. Sebut saja obrolan Chiron dengan sang bunda, dan tentu yang pasti saat Chiron kembali bertemu dengan Kevin (Andre Holland) di restoran dimana Kevin berkerja. Dan Saya pun tidak bisa untuk tidak merasakan kegetiran ketika Chiron mengungkapkan sebuah kejujuran kepada sahabat lamanya, Kevin dirumah Kevin. Sebuah kejujuran yang begitu pahit dan sungguh tidak bisa dibayangkan bagaimana beratnya Chiron memendam itu semuanya dalam waktu sedemikian lama. Ketika Jenkins menutupnya dengan sebuah momen yang begitu hangat serta sunyi, saya pun tak ragu untuk memberikan tepuk tangan untuk karya hebat ini. Aura depresif memang senantiasa membingkai Moonlight setiap menitnya berlalu. Tapi entah kenapa dengan sebuah ending itu, saya merasakan sebuah rasa optimis.
Selain penampilan tiga aktor tersebut, Mahershala Ali dan Naomie Harris pun tidak bisa diremehkan. Walau memang saya sedikit menganggap dinominasikannya Mahershala Ali ke Oscar pada kategori Best Supporting Actor overrated, namun saya tidak menyangkal bila Ali selalu steal the show kala karakter Juan ada di layar. Harris lebih hebat karena begitu totalnya ia sebagai sang ibu Chiron, Paula, setiap meluapkan emosinya. Momen terbaiknya jelas saat ia bicara dengan Chiron. Tidak perlu teriakan berlebihan, percakapan itu begitu emosional berkat totalitas dari Harris. Dilengkapi pula dengan bagian teknis Moonlight baik dari sound atau juga penangkapan gambar nya semakin melengkapi yang mengukuhkan Moonlight menjadi salah satu film terbaik pada tahun 2016. Jujur, saya masih memiliki harapan bila Arrival lah yang akan membawa pulang piala Oscar pada kategori Best Picture yang dihelat 26 Februari nanti, namun saya sama lebih ikhlas bila piala itu "direbut" oleh Moonlight dibandingkan La La Land.
Klo sy lbh pilih yg ke2 Chiron. Lbh menunjukan proses penemuan jati diri, orientasi seksual serta luapan kemarahan yg kama terpendan krn bully. Best picture milik film ini, tp mata ini milik la la land :)
ReplyDeletecuma mata aja, hati gak gan? :D
Deletei love La La Land, too. but I think Moonlight deserved it :)
Jujur klo hati lbh pilih manchester by the sea gan, filmnya berasa sangat nyata dan membuat terbawa, teramat depresif
ReplyDelete