Thursday, 23 February 2017



"Today her name is Jess. Tomorrow it could be Lisa or Amber - it all depends on the day. It depends on my mood. The truth is, I don't know her name."- Rachel

Plot

Gadis tersebut bernama Rachel, wanita penggemar minuman keras yang kerap menghilangkan kesadarannya sehingga menyebabkan ingatan nya sering kali samar. Rachel sendiri merupakan mantan istri dari Tom Watson (Justin Theroux) yang kini telah beristrikan Anna (Rebecca Ferguson). Akibat dirinya belum bisa melupakan Tom, Rachel menghabiskan hari-harinya dengan menaiki kereta yang melintas di depan rumah Tom untuk paling tidak mengamati keseharian Tom dan Anna dari jauh. Namun, tidak hanya mereka yang diperhatikan Rachel, tetangga Tom dan Anna pun juga tidak luput dari mata Rachel. Tetangga tersebut adalah Megan (Haley Bennett) yang memiliki pasangan Scott (Luke Evans). Tidak jarang juga Rachel memperhatikan kemesraan Megan dan Scott yang membuat Rachel iri. Suatu hari, Rachel tanpa ia sadari terlibat kasus hilangnya Megan. Sayangnya, walau Rachel berada di TKP, ingatan Rachel samar disebabkan pengaruh dari minuman keras yang ia teguk. 




Review

The Girl on the Train merupakan adaptasi novel berjudul sama karya dari Paula Hawkins. Novelnya sendiri memiliki setebal 325 halaman, yang tentu saja jumlah tersebut cukup banyak dan padat bila ditranslansikan ke dalam media film. Perlu ketelitian dan pemahaman lebih akan sumbernya demi mendapatkan hasil yang optimal dan mampu memuaskan penonton yang baik belum maupun yang telah membaca novelnya. Di atas kertas, The Girl on the Train yang memiliki genre psychological thriller tentu saja berpotensi menjadi sajian yang mendebarkan dan mengajak penonton untuk memutar otak memecahkan segala misterinya. The Girl on the Train pun digawangi oleh 3 aktris yang sedang dalam puncak karir. Ada Emily Blunt yang jarang mengecewakan, Haley Bannett yang sukses menjadi scene stealer di remake The Magnificent Seven, dan ada juga Rebecca Ferguson yang berhasil angkat nama berkat penampilan memikatnya di instalmen kelima Mission Impossible. Dengan segala potensi yang ada, bisa dimengerti bila ekspektasi penonton sedikit tinggi. Namun sayang, hasil akhir yang ada cukup mengecewakan walau memang tidak bisa disebut berantakan juga.

Mencoba setia pada novelnya, Sutradara Tate Taylor yang dibantu juga oleh screenplay garapan Erin Cressida Wilson membagi ceritanya berdasarkan 3 Point of View, yaitu Rachel, Anna dan Megan. Semua POV masing-masing karakter tersebut disebar dalam pergerakan narasi, dimana khusus cerita Megan, semuanya berasal dari flashback. Sebenarnya esensi membagi 3 point of view seperti ini adalah memberikan kedalaman karakterisasi supaya penonton pun bisa relate dan simpati kepada karakternya. Namun, tampaknya dengan durasi "hanya" 112 menit, Tate Taylor harus mengorbankan 2 karakter nya untuk menjadikan Rachel sebagai karakter sentral. Bukan pilihan yang salah karena memang dibanding karakter yang lain, Rachel adalah karakter yang begitu kompleks dengan segala problematika yang ia alami. Imbasnya, karakter yang lain pun menjadi korban dan jatuhnya mereka pun hanya sebagai penghias, bahkan Ana dan Megan. Khusus untuk Megan, sebenarnya ada usaha dari Wilson untuk memberikan pendalaman dengan tragedi hidupnya yang diungkapkan pada pertengahan cerita, tetapi sayang, penonton telah menginvestasikan kepedulian mereka kepada karakter Rachel sehingga karakter Megan hanya menjadi penghias layar belaka. Ana jauh lebih mengenaskan, dimana karakternya disini hanyalah diperlihatkan sebagai ibu rumah tangga yang memiliki kecurigaan akan tingkah suaminya. Praktis, film ini memang berpusat pada karakter Rachel saja.

Bagian terbaik The Girl on the Train adalah sebelum terungkapnya masalah utama, dimana kita diajak melihat kehidupan Rachel yang begitu berantakan. Atmosfir dingin pun senantiasa menemani kala perilaku Rachel yang seolah senantiasa meneror keluarga baru dari Tom. Intinya poin utama disini penonton diajak untuk mempercayai bahwa Rachel adalah karakter yang kacau serta memiliki sifat yang unpredictable berkat kecanduannya pada alkohol. Sehingga ketika cerita mulai memasuki bagian utamanya, timbul pertanyaan dari penonton setelah melihat semua kelakuan dari Rachel tadi. Nah, disini lah letak flaw terbesar dari Tate Taylor. Alangkah baiknya bila 3 chapter yang ada tidak dicampur leburkan menjadi kisah non linier, karena bukannya pilihan tersebut membuat penonton semakin menggelitik untuk memecahkan misterinya, sebaliknya karena kurang piawainya Wilson dalam bercerita dalam non linier. Akibatnya bisa jadi penonton malah hilang fokus atau rasa tertariknya dalam pertengahan cerita. Dalam esensi menyajikan cerita yang "berantakan" ini sebenarnya adalah tetap menjaga atensi penonton hingga menciptakan pertanyaan yang ada di benak "apa yang sebenarnya terjadi". Contoh terbaik bisa dilihat di ending Jackie Brown- nya Quentin Tarantino yang digarap begitu apik karena setiap narasi yang ada membuat penonton begitu candu untuk mengikutinya, dan ketika jawaban diungkapkan, ada rasa puas tertinggal dalam benak penonton. Hal itu yang kurang ada di dalam The Girl on the Train. Hanya twist pertengahan saja yang memang cukup memberikan rasa puas, namun selebihnya tidak terlalu begitu sukses karena Tate Taylor seolah-olah ingin bermain-main lebih lama lagi dengan penonton padahal jawaban yang ada sebenarnya telah dimiliki oleh penonton. Sebuah hal yang fatal bagi film yang bergenre Psychological Thriller. Jadi, jangan heran bila parade twist menjelang akhir tersebut justru tidak meninggalkan kesan. Apalagi mungkin karena perihal waktu yang singkat, begitu banyak momen yang sebenarnya dijelaskan namun dibuat praktis sehingga meninggalkan plot hole yang cukup mengganggu.

Namun, The Girl on the Train bukan tidak memiliki kelebihan. Dari segi teknis, seperti sound atau cinematography nya cukup berhasil dalam membangun nuansa atmosfir dingin nya. Dan tentu saja lakon dari pemain-pemainnya cukup cemerlang, terutama Emily Blunt dan Haley Bennett. Haley Bennett begitu meyakinkannya sebagai Megan yang rapuh namun juga memiliki sex appeall yang begitu menggoda nan seduktif sehingga bukan mustahil mampu membuat laki-laki manapun khilaf berada di dekatnya. Blunt jauh lebih hebat dimana ia mampu merepresentasikan kekacauan dari karakter Rachel. Blunt sangat meyakinkan menutupi wajah manisnya dengan muka depresif, lengkap dengan lingkaran hitam di matanya yang menunjukkan betapa kosongnya hidup Rachel. Sebenarnya susah untuk bersimpati akan karakter Rachel dengan plot atau background yang ada (meneror keluarga mantan suami?), namun berkat pendekatan dari Blunt, penonton pun mau tidak mau untuk memberikan simpati mereka kepada Rachel. Alasan utama saya untuk tetap menikmati film ini pun faktor utamanya adalah penampilan dari Blunt itu tersendiri. Semoga Blunt tetap pintar dalam memilih peran sehingga pihak Academy pun akan melirik kemampuannya. Sayangnya potensi Rebecca Ferguson yang kurang termaksimalkan disini. Bukan salah dari Rebecca nya juga, karena memang ruang yang diberikan cukup sempit bagi Rebecca untuk menunjukkan kapasitas aktingnya. Paling tidak lewat film ini, Rebecca menunjukkan bila ia pun piawai dalam berakting drama thriller seperti ini.

Berpotensi menjadi sajian thriller yang memikat, nyatanya Tate Taylor tampak kewalahan dalam menerjemahkan lembar demi lembar dari novel yang dijadikan sumber adaptasi. Begitu lemah dalam mencengkram atensi lewat penceritaan ataupun kejutannya yang diungkap menjelang akhir, The Girl on the Train sangat terselamatkan berkat penampilan meyakinkannya Emily Blunt dan Haley Bennett.

6,75/10

0 komentar:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!