"So, this is what it feels like."- Logan
Plot
Bersamaan dengan para mutan semakin terancam akan kepunahan, Wolverine a.k.a Logan (Hugh Jackman) mencoba bersembunyi di suatu daratan Mexico dengan bertahan hidup bekerja sebagai supir limosin. Dari hasi kerjanya itu juga, Logan mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk bisa membeli kapal pribadi supaya bisa hidup tenang di lautan bersama sang mentor, Profesor Charles Xavier (Patrick Stewart) yang kini kondisinya tengah mengidap ganasnya penyakit alzheimer. Namun ternyata rencana Logan tidak semulus yang ia harapkan ketika dirinya bertemu dengan gadis misterius, Laura (Dafne Keen).
Review
Tak diragukan lagi, diantara mutan-mutan lainnya dalam X-Men Universe, Wolverine a.k.a Logan merupakan karakter yang memiliki basis fanbase terbesar dan juga paling populer yang mungkin hanya bisa tersaingi oleh Magneto. Maka tidak heran jika dirinya selalu menjadi protagonis utama di film-film X-Men plus dua film solo mengenai dirinya telah ditelurkan sebelumnya. Bukan hanya karena ingin mengeruk uang lewat memanfaatkan nama besar Wolverine, tetapi dilihat dari karakter juga Wolverine yang paling kaya akan kompleksitas dan tidak one dimensional. Belum lagi membicarakan tentang design character serta signature nya yang makin menobatkan Wolverine adalah mutan paling keren. Namun sayang, dua film tentang Wolverine sebelumnya belum mampu memuaskan para penggemar. Film Wolverine pertama terlalu lembek, dengan mengorbankan karakter Wolverine nya yang garang, sedikit bermelow drama dengan unsur romance nya. Sedangkan film keduanya terlalu berpusat kepada aksi seperti film superhero generik lainnya sehingga melupakan pendalaman karakter pada sang titular karakter. Para penggemar, termasuk saya, tentu mengharapkan sebuah film Wolverine yang memenuhi ekspektasi tanpa harus menghilangkan jati diri Wolverine itu sendiri. Dan hadirlah Logan di tahun ini, yang bukan hanya menjadi kado perpisahan yang manis untuk Logan serta si pemeran karakter ikonis ini, Hugh Jackman, yang tidak bisa membohongi usianya sehingga harus meletakkan cakar adamantiumnya untuk diserahkan kepada generasi selanjutnya.
Bila The Dark Knight menjadi pelopor pendewasaan pada genre superhero, maka tidak berlebihan rasanya bila Deadpool, film superhero R-rated pertama, tahun lalu menjadi bukti shahih bila genre superhero tidaklah harus PG-13 untuk menyenangkan penggemar serta meraup kesuksesan. Keputusan untuk mengikuti jejak Deadpool sangatlah tepat dikarenakan kekuatan tebasan Wolverine itu sendiri, juga ditilik dari watak Wolverine yang kasar, juga beringasan layaknya binatang buas. Dengan rating R nya itu pun memberikan keleluasaan bagi James Mangold untuk menghidangkan aksi yang penuh darah akibat sayatan-sayatan cakar tajam Wolverine, dialog-dialog yang menyelipkan sumpah serapah dan tema cerita dewasa pula. Namun cukup di ranah aksinya saja Mangold bersenang-senang berkat rating R nya, karena dengan rating R nya pula lah penonton melihat sisi lain dari sang pahlawan tercinta ini, dan jujur itu merupakan pengalaman menonton yang memilukan. Ya, siapa yang tidak heartbreaking melihat jagoan masa kecil kebanyakan orang ini terlihat begitu lemah akibat kondisi fisiknya yang terlalu tua, sehingga mengalahkan tiga berandal amatiran saja dirinya begitu kesusahan?
Salah besar jika kalian mengharapkan sosok Wolverine yang badass dan ganas seperti biasanya di dalam Logan, karena apa yang kita saksikan adalah sosok pria dewasa biasa yang menghabiskan hari-harinya dengan minum-minuman beralkohol. Dirinya juga harus menerima kenyataan bila fisiknya telah termakan usia, sehingga setiap kali datangnya musuh, Wolverine mengambil langkah realistis dan mencoba kabur dari kejaran mereka. Bahkan akibat faktor usia pula lah, kemampuan memulihkan diri Wolverine menurun drastis, dimana biasanya dia mampu memulihkan diri dari luka secara total hanya memakan wakut beberapa detik saja, sekarang bukan hanya pemulihannya memakan waktu lama, namun juga meninggalkan bekas di tubuhnya. Terlebih setiap kali dirinya terlihat menderita akibat serangan-serangan yang ia terima, yang tidak jarang mengundang raut muka kesedihan saya setiap kali menyaksikannya.
Rasa trenyuh juga membuncah kala menyaksikan Profesor X yang tampak begitu memprihatinkan akibat penyakit yang dideritanya sehingga ia tidak mampu lagi mengendalikan kekuatan pikirannya. Tidak ketinggalan dari situ saja, Mangold pun menyelipkan sebuah info kecil yang mampu menghancurkan masa kecilmu, apalagi bila kalian adalah penggemar berat X-Men. Semua aura depresif itu terbantu pula dengan suasana gersang nan tandus kota Meksiko, menjadikan Logan bukanlah tontonan bagi penonton yang telah terbiasa dengan formula superhero biasanya. Untuk pertama kalinya lewat film solo nya, Wolverine mendapatkan perlakuan yang layak, dengan memperdalam karakterisasi tanpa harus melepaskan atribut garangnya, itu juga mungkin alasan Mangold lebih memilih judul Logan tanpa embel-embel Wolverine nya yang harus diakui jauh lebih dikenal luas oleh publik.
Dalam Logan, screenplay yang ditulis pula oleh Mangold memang menekankan pada sisi drama, tetapi bukan berarti Mangold melupakan kadar aksinya. Dan disinilah peran aktris cilik Dafne Keen yang menjadi highlight tersendiri berkat kebengisan dia kala beraksi, yang menjadikan sosok Hit Girl-nya Chloe Grace Moretz hanya tampak bagai putri Disney kala harus bersanding dengannya. Sifatnya yang pendiam juga berhasil menyuntikkan dosis badass kedalam diri Laura. Saya juga menyukai keputusan Mangold untuk tidak mengistimewakan Laura hanya disebabkan dirinya adalah gadis kecil. Dia tetap mendapatkan treatment yang sama dengan menerima serangan-serangan brutal dari musuhnya. Setiap adegan aksi pun nihil dengan kesan bombastis dan juga efek CGI untuk tetap menjaga fokus kesan realistisnya. Dafne Keen mungkin tampil meyakinkan sebagai Laura, sang mutan baru penerus Wolverine, namun ini adalah film Wolverine a.k.a Logan, yang juga berarti ini adalah filmnya Hugh Jackman.
Hugh Jackman beruntung sebelum memerankan Logan yang harus mengeluarkan humanisme dan kerapuhannya, Jackman sempat memerankan peran yang memang menuntut ia untuk mengeluarkan akting yang emosional seperti di dalam film Les Miserable dan Prisoners, sehingga range akting Jackman pun meluas yang membuat dirinya tidak kesulitan dalam memerankan Logan yang depresif, renta dan tidak powerful seperti dulu lagi. Totalitas aura depresif yang ditawarkan selalu terlihat baik dari caranya berjalan, berbicara dengan nafas yang ngos-ngosan, diikuti juga tatapan lusuhnya, seolah penderitaan yang tampak cukup untuk dirasakan dan menular kepada penonton. Ya, dalam peran terakhirnya sebagai Logan ini pula lah, Jackman mengeluarkan akting berkelas Oscar di ranah superhero, yang menambah rasa emosional kala film berakhir. Patrick Stewart pun memberikan persembahan terakhirnya sebagai Charles Xavier dengan manis berkat sentuhannya yang bagaikan mentor dan seorang ayah untuk Logan. Interaksi mereka maupun omelan Charles tidak jarang memberikan comic relief sejenak melepaskan diri dari atmosfir kental depresifnya.
Kisah adaptasi lepas ini akhirnya berhasil memenuhi rasa dahaga para fans, dengan penceritaan yang sangat membumi, memperlihatkan sisi lain Wolverine yang sangat tidak nyaman untuk diikuti, terutama untuk pecintanya. Sebuah "upacara" perpisahan berdurasi 142 menit yang sangat layak namun emosional. Dan semoga film ini tidak membuat kapok anak-anak kecil yang terlanjur menikmati film ini untuk menyaksikan kembali film superhero yang makin lama makin meninggalkan pangsa pasar demografi anak kecil.
8/10
Bila The Dark Knight menjadi pelopor pendewasaan pada genre superhero, maka tidak berlebihan rasanya bila Deadpool, film superhero R-rated pertama, tahun lalu menjadi bukti shahih bila genre superhero tidaklah harus PG-13 untuk menyenangkan penggemar serta meraup kesuksesan. Keputusan untuk mengikuti jejak Deadpool sangatlah tepat dikarenakan kekuatan tebasan Wolverine itu sendiri, juga ditilik dari watak Wolverine yang kasar, juga beringasan layaknya binatang buas. Dengan rating R nya itu pun memberikan keleluasaan bagi James Mangold untuk menghidangkan aksi yang penuh darah akibat sayatan-sayatan cakar tajam Wolverine, dialog-dialog yang menyelipkan sumpah serapah dan tema cerita dewasa pula. Namun cukup di ranah aksinya saja Mangold bersenang-senang berkat rating R nya, karena dengan rating R nya pula lah penonton melihat sisi lain dari sang pahlawan tercinta ini, dan jujur itu merupakan pengalaman menonton yang memilukan. Ya, siapa yang tidak heartbreaking melihat jagoan masa kecil kebanyakan orang ini terlihat begitu lemah akibat kondisi fisiknya yang terlalu tua, sehingga mengalahkan tiga berandal amatiran saja dirinya begitu kesusahan?
Salah besar jika kalian mengharapkan sosok Wolverine yang badass dan ganas seperti biasanya di dalam Logan, karena apa yang kita saksikan adalah sosok pria dewasa biasa yang menghabiskan hari-harinya dengan minum-minuman beralkohol. Dirinya juga harus menerima kenyataan bila fisiknya telah termakan usia, sehingga setiap kali datangnya musuh, Wolverine mengambil langkah realistis dan mencoba kabur dari kejaran mereka. Bahkan akibat faktor usia pula lah, kemampuan memulihkan diri Wolverine menurun drastis, dimana biasanya dia mampu memulihkan diri dari luka secara total hanya memakan wakut beberapa detik saja, sekarang bukan hanya pemulihannya memakan waktu lama, namun juga meninggalkan bekas di tubuhnya. Terlebih setiap kali dirinya terlihat menderita akibat serangan-serangan yang ia terima, yang tidak jarang mengundang raut muka kesedihan saya setiap kali menyaksikannya.
Rasa trenyuh juga membuncah kala menyaksikan Profesor X yang tampak begitu memprihatinkan akibat penyakit yang dideritanya sehingga ia tidak mampu lagi mengendalikan kekuatan pikirannya. Tidak ketinggalan dari situ saja, Mangold pun menyelipkan sebuah info kecil yang mampu menghancurkan masa kecilmu, apalagi bila kalian adalah penggemar berat X-Men. Semua aura depresif itu terbantu pula dengan suasana gersang nan tandus kota Meksiko, menjadikan Logan bukanlah tontonan bagi penonton yang telah terbiasa dengan formula superhero biasanya. Untuk pertama kalinya lewat film solo nya, Wolverine mendapatkan perlakuan yang layak, dengan memperdalam karakterisasi tanpa harus melepaskan atribut garangnya, itu juga mungkin alasan Mangold lebih memilih judul Logan tanpa embel-embel Wolverine nya yang harus diakui jauh lebih dikenal luas oleh publik.
Dalam Logan, screenplay yang ditulis pula oleh Mangold memang menekankan pada sisi drama, tetapi bukan berarti Mangold melupakan kadar aksinya. Dan disinilah peran aktris cilik Dafne Keen yang menjadi highlight tersendiri berkat kebengisan dia kala beraksi, yang menjadikan sosok Hit Girl-nya Chloe Grace Moretz hanya tampak bagai putri Disney kala harus bersanding dengannya. Sifatnya yang pendiam juga berhasil menyuntikkan dosis badass kedalam diri Laura. Saya juga menyukai keputusan Mangold untuk tidak mengistimewakan Laura hanya disebabkan dirinya adalah gadis kecil. Dia tetap mendapatkan treatment yang sama dengan menerima serangan-serangan brutal dari musuhnya. Setiap adegan aksi pun nihil dengan kesan bombastis dan juga efek CGI untuk tetap menjaga fokus kesan realistisnya. Dafne Keen mungkin tampil meyakinkan sebagai Laura, sang mutan baru penerus Wolverine, namun ini adalah film Wolverine a.k.a Logan, yang juga berarti ini adalah filmnya Hugh Jackman.
Hugh Jackman beruntung sebelum memerankan Logan yang harus mengeluarkan humanisme dan kerapuhannya, Jackman sempat memerankan peran yang memang menuntut ia untuk mengeluarkan akting yang emosional seperti di dalam film Les Miserable dan Prisoners, sehingga range akting Jackman pun meluas yang membuat dirinya tidak kesulitan dalam memerankan Logan yang depresif, renta dan tidak powerful seperti dulu lagi. Totalitas aura depresif yang ditawarkan selalu terlihat baik dari caranya berjalan, berbicara dengan nafas yang ngos-ngosan, diikuti juga tatapan lusuhnya, seolah penderitaan yang tampak cukup untuk dirasakan dan menular kepada penonton. Ya, dalam peran terakhirnya sebagai Logan ini pula lah, Jackman mengeluarkan akting berkelas Oscar di ranah superhero, yang menambah rasa emosional kala film berakhir. Patrick Stewart pun memberikan persembahan terakhirnya sebagai Charles Xavier dengan manis berkat sentuhannya yang bagaikan mentor dan seorang ayah untuk Logan. Interaksi mereka maupun omelan Charles tidak jarang memberikan comic relief sejenak melepaskan diri dari atmosfir kental depresifnya.
Kisah adaptasi lepas ini akhirnya berhasil memenuhi rasa dahaga para fans, dengan penceritaan yang sangat membumi, memperlihatkan sisi lain Wolverine yang sangat tidak nyaman untuk diikuti, terutama untuk pecintanya. Sebuah "upacara" perpisahan berdurasi 142 menit yang sangat layak namun emosional. Dan semoga film ini tidak membuat kapok anak-anak kecil yang terlanjur menikmati film ini untuk menyaksikan kembali film superhero yang makin lama makin meninggalkan pangsa pasar demografi anak kecil.
0 komentar:
Post a Comment