"Untung ya, kamu cuma anjing, Bagong. Anjing tidak pernah merasakan kesepian, karena hanya memberikan kesetiaan"- Jaya
Plot
Untuk menjalankan wasiat sang ibu demi mendapatkan hak sepenuhnya rumah yang diwariskan sang ibu kepadanya, Larasati (Julie Estelle) bersedia jauh-jauh terbang ke Praha. Wasiat dari ibunya hanya menginginkan satu hal kepada Laras, yaitu mengantarkan sebuah kotak kecil dan tanda tangan dari yang bersangkutan sebagai tanda terima. Namun siapa sangka, orang yang harusnya menerima kotak tersebut malah menolak mentah-mentah "hadiah" itu. Orang itu bernama Jaya (Tio Pakusadewo), pria yang telah termakan usia, memiliki profesi janitor di suatu opera besar di Praha. Karena telah jauh-jauh berangkat dari Indonesia, Laras pun tetap berusaha untuk mendapatkan tanda tangan dari Jaya, sembari mengisi hari-harinya di Praha untuk mencari jawaban siapa sebenarnya Jaya tersebut.
Review
Kala menyaksikan trailernya di bioskop dan mengetahui bila aktor Tio Pakusadewo menjadi pusat penceritaan, saya pun tidak berpikir panjang memasukkan Surat Dari Praha ke dalam film yang harus saya tonton karena dengan keberadaan Tio Pakusadewo berada di garda terdepan dalam menggerakkan cerita, itu saja telah menjadi jaminan bila Surat Dari Praha bukanlah sajian sembarangan. Walau memang sempat khawatir Surat Dari Praha hanya akan berakhir menjadi film yang terlalu mengeksploitasi keindahan-keindahan kota Praha saja, seperti film-film Indonesia lainnya yang menjadikan kota di luar negeri sebagai setting filmnya. Namun tampaknya saya terlalu meremehkan sosok sutradara Angga Dwimas Sasongko. Bukan seperti film lainnya yang hanya memanfaatkan nama kota luar negeri sebagai usaha untuk menyedot perhatian masyarakat Indonesia, Angga memilih kota Praha dikarenakan kebutuhan dari penceritaan, dengan mengaitkan pula akan sejarah yang pernah terjadi di Indonesia.
Pekerjaan Angga sebenarnya tidak mudah. Bagaimana tidak, cerita yang ditulis M. Irfan Ramli memasukkan tema cinta, kerinduan, pengorbanan, sejarah, politik, dan juga idealisme ke dalam film yang hanya memiliki durasi yang lumayan singkat, hanya 91 menit. Bila tidak mempelajari naskah yang ada dengan baik, mudah saja Surat Dari Praha malah berakhir mengecewakan akibat penceritaan yang tumpah tindih serta kehilangan fokus. Tetapi sekali lagi Angga membuktikan dirinya merupakan salah satu sutradara terbaik di Indonesia generasi sekarang. Angga tahu betul kapan momen yang tepat untuk membahas cinta, begitu juga sejarah, dan seperti itu seterusnya tanpa sekalipun perpindahan yang terjadi terasa dipaksakan. Semuanya berjalan mulus dan tepat waktu. Sekali lagi, itu bukanlah pekerjaan yang mudah, sehingga cukup mengherankan kenapa sutradara satu ini tidak mendapatkan piala sutradara terbaik di ajang Indonesia Movie Awards tahun lalu.
Surat Dari Praha memang dipenuhi berbagai macam topik, namun jelas yang mendominasi tetaplah cerita cintanya. Dan percayalah, Surat Dari Praha akan berhasil membuatmu terbawa perasaan kala menyaksikannya, apalagi untuk orang yang posisinya sama seperti Jaya, rasa cinta yang harus bertemu dengan hasil akhir yang pilu akibat keadaan yang tak memungkinkan, sehingga tak pelak menghasilkan rasa rindu. Surat Dari Praha mengajak kita ke dalam kisah cinta Jaya dan Sulastri baik lewat surat yang Jaya tulis, ataupun cerita dari Jaya sendiri, tanpa sekalipun diperlihatkan keduanya memadu kasih secara fisik. Hanya tersampaikan dengan kata-kata. Tetapi dengan dua pendekatan unik tersebut tampaknya telah lebih dari cukup untuk menciptakan imaji di benak penonton bagaimana besar nan indah cinta yang tumbuh dari mereka berdua. Sehingga saya pribadi mengutuk akan situasi yang menghalangi mereka untuk menyatukan perasaan mereka. Ya, lewat kisah cinta yang pahit namun manis ini, Angga tampaknya melontarkan kritik serta kemarahan pula pada pemerintahan kala itu yang mengambil langkah begitu ekstrim dengan mengusir setiap orang yang menolak rezim orde baru.
Surat Dari Praha berjalan begitu tenang, lembut bahkan dengan konflik yang terjadi sekalipun tidak pernah melunturkan kehangatan yang ada. Kentalnya perasaan rindu pun sontak membuncah setiap kali soundtracknya mengalun lembut melengkapi adegan yang terjadi di permukaan layar. Baik suara lembut Glenn Fredly, Julie Estelle maupun suara serak Tio Pakusadewo, semuanya berhasil membuat saya ikutan baper dengan cerita cintanya. Rasa nasionalis pun juga tidak ketinggalan bergelora kala lagu Indonesia Pusaka sukses meruntuhkan tembok pertahanan terakhir saya untuk tidak menjatuhkan air mata.
Berbagai kelebihan di atas dilengkapi pula dengan performa kuat Julie Estelle dan Tio Pakusadewo. Chemistry yang mereka tampilkan hadir begitu natural, tanpa sedikitpun dipaksakan (terbantu juga akan naskah yang tidak mengharuskan mereka mengeluarkan dialog-dialog lebay). Namun walau Julie Estelle bermain bagus (and gorgeus like usual, of course), tetap susah memang tidak terpesona dengan kharisma serta penampilan memikat Tio Pakusadewo. Ekspresi yang ia keluarkan kebanyakan subtil, menahan gelora rasa cinta yang tidak pernah padam dan juga kerinduan yang tak terhalang. Disisi bersamaan ia juga memerankan sosok ayah yang sedang menemani putrinya mencari jawaban. Tidak semua aktor yang mampu mengucapkan kalimat cheesy seperti "saya akan mencintai dia, selama-lamanya" terdengar berkelas dan memiliki arti sesungguhnya seperti bung Tio lakukan. Semoga saja Tio akan sering bermain sebagai tokoh utama dibanding hanya pendukung di film-film yang ia bintangi selanjutnya.
Tidak mudah memang mendampingkan unsur sejarah atau politiknya dengan kisah cinta yang manis, dan telah banyak bukti yang gagal kala mencobanya (bahkan Habibie & Ainun terlalu melodrama buat saya), namun Angga membuktikan lewat Surat Dari Praha bahwa tidak perlu terlau mengeksploitasi nuansa cintanya demi mendapatkan hasil yang maksimal, karena dengan jalan penceritaan sederhana, tema cinta di dalam Surat Dari Praha masih terasa powerful, diiringi pula akan nilai sejarah dan politiknya yang melengkapi pilunya kisah cinta yang ada.
0 komentar:
Post a Comment