Saturday 8 April 2017


"Do you guys feel like this whole process is kinda like, life telling us to just maybe move on?" -Bill

Plot

The Commune merupakan grup improvisasi komedi yang telah 11 tahun berdiri dan melakukan pertunjukan di gedung Improve America Theater. Grup tersebut beranggotakan Jack (Keegan-Michael Key), Miles (Mike Birbiglia), Bill (Chris Gethard), Sam (Gillian Jacobs), Allison (Kate Micucci) dan Lindsay (Tami Sagher). Pada suatu kesempatan, perwakilan dari acara tv terkenal, This Weekend Live, menyaksikan performa mereka dan ternyata tertarik dengan penampilan Jack dan Sam sehingga mereka pun berniat mengaudisi Jack dan Sam supaya bisa bergabung di acara tv tersebut.




Review


Berbagai profesi memang memiliki tantangan serta kesulitannya tersendiri, bahkan pekerjaan yang kita pandang terlihat mudah tetap saja ada rintangan nya. Dan salah satu profesi yang paling sukar untuk dikerjakan adalah pelawak atau komedian. Bukan hanya mereka harus selalu menciptakan materi-materi lawakan yang baru dan fresh, mereka juga harus memperhatikan timing, mengerti selera penontonnya dan terakhir cara delivery nya, dengan sejenak melupakan problematika kehidupan yang mereka alami demi menghibur penonton yang menyaksikan mereka. Semakin sulit lagi bila komedi nya dilakukan secara improvisasi, atau dengan kata lain tanpa script sama sekali. Dalam Don't Think Twice, kita diajak menjadi saksi kehidupan di balik layar para anggota The Commune, kelompok komedian berisikan 6 orang yang melakukan pertunjukan komedi lewat improvisasi. Bahan dasar materi yang selalu mereka bawakan adalah jawaban dari penonton kala Sam melontarkan pertanyaan "Has anybody out here had a particularly hard day?"

Komedi yang ditawarkan selalu berhasil. Improvisasi komedi yang tiap karakternya bawakan terasa natural, mereka terlihat sangat kompak dalam menyambut improve dari tiap anggotanya, belum lagi impersonate yang mereka lakukan, baik di atas panggung maupun diselingi dalam percakapan sehari-hari. Setiap kita menyaksikan aksi komedi yang The Commune lakukan, disitu juga muncul benih-benih keterikatan penonton dengan kelompok ini. Ditambah juga kedekatan mereka di luar panggung yang terlihat seperti keluarga. Saya pribadi begitu mencintai mereka sehingga kala konfliknya menyeruak ke permukaan, saya tahu arahnya ke mana dan tidak ingin ketakutan saya benar-benar terjadi menimpa The Commune. 

Komedinya pun terkadang muncul kala momennya tengah berduka, ataupun saat berseteru. Salah satu contohnya adalah pada puncaknya konflik dan terlibat adu mulut antara Miles dan Lindsey, yang saya pun pertama kali tidak aware dengan komedinya tetapi beberapa detik kemudian baru lah saya menyadari maksud jawaban dari Lindsey.

Premis dari naskah yang ditulis juga oleh Mike Birbiglia mengundang pertanyaan apakah impian perlu dikejar bila kita telah mendapatkan apa yang sebenarnya telah membuat kita nyaman dan bahagia. Perlukah meninggalkan itu semua demi keinginan pribadi? Mungkin pertanyaan itu sulit dijawab karena setiap individu pasti memiliki impian dan telah sewajarnya ketika ada kesempatan untuk mendapatkannya, kita harus memanfaatkannya. Tetapi apakah kenyamanan yang ada layak untuk dikorbankan? Naskah nya memang tidak menawarkan hal yang baru. Bila kalian memiliki pengalaman menonton cukup banyak, saya yakin kalian telah bisa menebak jalan ceritanya akan mengarah ke mana dan berakhir seperti apa. Tetapi ceritanya tetap menarik diikuti karena Mike Birbiglia telah berhasil membuat penonton perduli dengan kebersamaan The Commune. 

Penceritaan tetap terfokus kepada konflik yang terjadi di dalam The Commune, walau memang tetap ada sub plot masing-masing karakter, namun Mike Birbiglia menjadikan sub plot tersebut sebagai pondasi dalam konflik utamanya, sehingga dalam durasi 92 menit jalannya narasi sama sekali tidak pernah terasa melebar. Dan sebenarnya dalam durasi yang cukup singkat itu, cukup sulit untuk membuat tiap karakter yang terbilang cukup banyak ini tidak terlupakan. Tetapi ternyata Mike Birbiglia berhasil membagi porsi nya dengan lumayan adil. Memang tetap akan ada yang mendominasi, tetapi karakter yang lain tidak dikorbankan sehingga penonton tidak melupakan kehadiran mereka berkat di eksplornya konflik pribadi masing-masing dari mereka.

Minor komplain dari saya mungkin keputusan Birbiglia yang terlalu terburu-buru dalam mengakhiri filmnya, dengan menggunakan loncatan waktu yang bagi saya memberikan pertanyaan begitu banyak setelah konflik terjadi sebelumnya. Saya merasa aneh melihat semuanya tampak lancar-lancar saja namun beberapa menit sebelumnya belum hilang di ingatan bagaimana mereka terlibat dalam perseterusan mengenai ego masing-masing. 

Don't Think Twice memperlihatkan kembali begitu susahnya manusia dalam menerima kesukesan yang didapatkan oleh orang yang kita kenal begitu dekat. Rasa senang atau juga rasa iri melebur menjadi satu yang otomatis pula menjadi faktor utama yang mempengaruhi hubungan pertemanan dengan orang sukses tersebut. Tidak menawarkan hal yang baru memang, tetapi Don't Think Twice tetaplah sajian 92 menit yang menghibur juga powerful dengan memperlihatkan susahnya berprofesi menjadi komedian, komedi yang selalu berhasil dan pembagian porsi yang adil terhadap 6 karakter utamanya. 

8/10

0 komentar:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!