"I have my belief, and in all its simplicity that is the most powerful thing"- Bobby Sands
Plot
Memperlihatkan para pejuang aktivis kemerdekaan Irlandia yang ditahan di dalam Maze Prison akibat aksi pemberontakan yang mereka lakukan terhadap pemerintahan Inggris. Walau tengah mendekam di bui, ternyata tidak menyurutkan dan menghentikan perlawanan mereka. Dimulai pada tahun 1978, mereka menolak untuk dibersihkan (no wash protest) dan berpakaian (blanket protest). Tidak hanya itu, para pejuang kemerdekaan ini pun mengotori ruangan penjara mereka dengan kotoran, air kencing dan bekas-bekas makanan. Seolah tuntutan mereka tak didengar, dua aksi protes itu mereka hentikan dan beralih ke aksi mogok makan (hunger strike) yang diketuai oleh Bobby Sands (Michael Fassbender).
Review
Hunger yang dirilis pada tahun 2008 ini mungkin lebih dikenal akan penampilan total dan mengagumkan dari seorang aktor yang telah mencapai popularitasnya sekarang, yaitu Michael Fassbender. Totalitas ditunjukkan Fassbender dengan rela melakukan penurunan berat badan secara drastis supaya terlihat meyakinkan dalam memperlihatkan penderitaan Bobby Sands dalam melakukan aksi mogok makannya. Saya kurang tahu berapa berat badan yang harus diturunkan oleh Fassbender, namun hal itu telah cukup untuk dirinya terlihat bagaikan tengkorak hidup dalam film ini (seperti yang dilakukan Christian Bale dalam The Machinist 4 tahun sebelumnya). Dengan melakukan pengorbanan itu juga lah, menurut saya, sedikit banyak membantu Fassbender untuk mengeluarkan ekspresi deritanya dalam melakukan hunger strike. Bahkan kesakitan terpancar dari mukanya saat melakukan hal yang sangat sepele sekalipun, seperti menolehkan kepalanya. Dan kualitas aktingnya juga terlihat kala ia beradu akting dengan Liam Cunningham yang memerankan Priest Dominic dalam one continuous shot selama hampir 18 menit. Bukan hal yang mudah tentu saja untuk harus berakting dalam one take yang lama serta tetap mempertahankan peran yang sedang dimainkan. Hal itu pun terlihat dari persiapan antara Fassbender dan Cunningham yang melakukan latihan selama beberapa hari dan melakukan latihan adegan tersebut sebanyak 12-15 kali per hari (Terima kasih, IMDB).
Namun, adegan panjang tersebut tidak hanya mempertontonkan penampilan cemerlang dari Fassbender dan Cunningham (yang mengikuti Game of Thrones pasti segera tahu aktor ini memerankan siapa dalam serial tersebut), tetapi juga membuktikan jika Steve McQueen bukanlah sutradara yang hanya pintar berbicara lewat visual saja, namun cukup piawai dalam merangkai dialog panjang yang tidak membosankan. Inti pada adegan ini adalah pernyataan "perang" dari Bobby yang ia sampaikan pertama kali kepada Priest Dominic, namun alih-alih untuk langsung kepada poin utama, dua tokoh ini mengawalinya dengan berbasa-basi seperti Priest Dominic yang membicarakan adiknya yang memiliki profesi lebih baik dibandingkan dirinya, kebiasaan melinting Bobby dalam penjara, sedikit masa lalu keduanya, sebelum akhirnya pembicaraan menyentuh akan tujuan utama Bobby memanggil Priest Dominic. Transisi demi transisi dilalui tanpa terkesan dipaksa, dan juga berkat dialog itu pun memberikan pengembangan karakter pada Bobby, bahkan Priest Dominic, yang kehadirannya bagaikan mewakili penonton yang mungkin menganggap aksi yang dilakukan Bobby itu bodoh dan terlalu berlebihan. Ya bayangkan saja, melakukan aksi mogok makan dalam kurun waktu tak ditentukan? Jangankan manusia, setan aja gak bisa bertahan lama dalam kondisi lapar. Namun kita tidak mengalami apa yang dialami Bobby, sehingga benar apa kata Bobby, kita tidak bisa mengerti seutuhnya akan keputusan yang telah diambil Bobby. Dialog-dialog yang dikeluarkan Bobby pada adegan tersebut juga menunjukkan karakter pada diri Bobby yang rela berkorban demi kemerdekaan Irlandia dan begitu menjunjung tinggi akan prinsip dan keyakinan yang ia pegang.
Steve McQueen juga sedikit mengeksplor akan dampak konflik yang dinamai The Troubles ini. Selain para tahanan yang mengalami kekerasan di luar manusiawi dari penjaga penjara, konflik juga turut memberikan teror pada pihak polisi sendiri. Terlihat seperti salah satu penjaga penjara yang harus menghadapi konflik batin akibat pekerjaannya yang harus mengamankan tahanan dengan kekerasan, serta polisi muda yang belum kuat mental untuk melakukan kekerasan fisik pada tahanan yang melawan. Salah satu adegan favorit saya dalam film ini adalah ketika si polisi muda ini menangis dalam diam, dan di sisi lain terdapat Bobby Sands yang dihujani akan pukulan-pukulan dari pentungan keras belasan polisi. Sebuah adegan yang sangat ironi nan disturbing.
Hunger memang karya debut dari Steve McQueen, namun Hunger saya tonton setelah saya lebih dulu menyaksikan karya McQueen setelah Hunger yaitu Shame dan 12 Years a Slave (film yang menghantarkan McQueen mendapatkan piala Oscar pada kategori Best Picture). Keputusan yang keliru mungkin, namun berkat itu juga lah saya bisa beradaptasi dengan cepat akan gaya penyutradaraan McQueen yang tidak biasa, yang juga diaplikasikan McQueen dalam dua film tersebut, seperti long take yang panjang dan kekerasan yang sulit dipandang (dear God, adegan cambuk di 12 Years a Slave itu merupakan salah satu alasan kuat mengapa saya tidak berani lagi menyentuh film ini). Harus diakui, berkat itu Shame dan 12 Years a Slave juga bukan film yang mudah untuk diikuti, namun dua film tersebut memiliki tema yang kuat sehingga mudah untuk saya terikat dan mengikuti hingga akhir (terutama tema perbudakan dalam 12 Years a Slave). Di Hunger, Steve McQueen justru lebih "seenaknya" dalam menunjukkan gaya penyutradaraannya. Banyak long take, bahkan ada di antaranya kurang jelas apa maksudnya dan adegan-adegan bisu yang hanya memperlihatkan karakter nya melakukan peran. McQueen seolah ingin menyampaikan maksud lewat tampilan visual, dan puncaknya terlihat pada 20 menit terakhir. Minim sekali dialog dan hanya mengeksplor penderitaan dari Bobby Sands.
Luka di sekujur tubuh, ekspresi kosong, dan daya tahan serta fisik tubuh lemah yang bahkan berdiri pun tidak sanggup tentu bukanlah sajian yang mudah untuk dilihat. Dari sini, tanpa adanya dramatisasi tidak perlu, penonton (setidaknya saya) mengagumi bahkan mengidolai karakter Bobby Sands yang sangat berpegang teguh dengan prinsipnya, tidak perduli akan fisik yang semakin lemah dan semakin dekat dengan kematian, tetapi itu tetap tidak menghentikannya untuk berjuang. Tidak heran jika aksi ini melahirkan pengaruh yang besar dalam konflik Irlandia Utara dimana aksi Bobby ini mendapatkan perhatian dari dunia dan memaksa pemerintah Inggris untuk menyetujui tuntutan dari Bobby. Hasil dari perjuangan mati-matian Bobby ini secara tidak langsung juga berdampak pada melejitnya Fassbender sebagai aktor. Tercatat, setelah film Hunger, Fassbender mendapatkan peran-peran besar seperti Magneto dalam franchise X-Man, bekerja sama dengan Quentin Tarantino dalam Inglourious Basterds hingga dirinya mendapatkan nominasi Oscar pertamanya dalam film 12 Years a Slave (yang banyak dinilai pihak harusnya ia dapatkan dalam film Shame, 3 tahun sebelumnya).
Hunger jelas bukanlah film yang bisa dimakan oleh semua penikmat film. Grafis kekerasan yang keras, full nudity yang turut memperlihatkan totalitas nya para pemeran disini, terutama Fassbender, serta gaya sutradara McQueen dalam menghadirkan long take di setiap adegan sederhana, berisiko akan mendatangkan kebosanan pada penikmat film yang belum terbiasa akan pendekatan yang diambil oleh sutradara. Namun, jika kalian sedikit bersabar, maka Hunger akan menjadi sajian yang cukup berpengaruh. Dengan durasi 90 menit, Hunger memperlihatkan kekuatan niat dan pengorbanan besar dari seorang (atau beberapa) pria yang mempertaruhkan hidupnya demi kepentingan negara, yang membuatnya menjadi sajian yang tidak mudah terlupakan. Dan juga menjawab mengapa Fassbender sekarang adalah salah satu aktor terbaik pada generasi saat ini.
0 komentar:
Post a Comment