Thursday, 7 February 2019


"Tell you what it is, Mr. Reid. Now, we're four misfits who don't belong together, we're playing for the other misfits. They're the outcasts, right at the back of the room. We're pretty sure they don't belong either. We belong to them."-Freddie Mercury

Plot

Menceritakan perjalanan karir dari seorang Freddie Mercury (Rami Malek) bersama band nya, Queen, beserta kehidupannya yang kontroversial.




Review

Kurang lebih sudah 4 bulan film nya turun dari layar bioskop Indonesia. Euforianya tentu telah lama berlalu dan here I am, dengan tanpa malunya baru menulis kesan menyaksikan drama kehidupan salah satu (jika bukan) vokalis band terbaik sepanjang masa, yaitu Freddie Mercury. Saya menyadari rasanya telah telat sekali membahas film satu ini yang diangkat dari judul lagu monumental milik Queen ini. Tetapi mau bagaimana lagi, perasaan berdosa rasanya akan menghantui saya jika saya lancang untuk tidak menggambarkan kesan saya akan film ini karena saya sangat mengagumi band Queen dengan semua hits nya yang sukar dilupakan, band yang berpengaruh besar dalam menjadikan saya mencintai dunia musik. Sama seperti sosok Freddie Mercury, Film Bohemian Rhapsody memang tidaklah sempurna, tetapi saya rasa film ini telah berhasil dalam "mempromosikan" kembali kepada penikmat musik, terutama untuk kaum milenial kelahiran tahun 2000-an jika di dunia ini, sempat terlahir band ikonik dan memorable yang begitu di cintai pada zamannya.

Bohemian Rhapsody dibuka dengan persiapan Freddie untuk menghadiri salah satu konser termegah yang pernah dilaksanakan, Live Aied. Apakah penampilan Freddie bersama band nya merupakan adegan opening film ini? Tentu tidak, karena film pun bergerak mundur sebelum Freddie menaiki panggung nya. Narasi mundur ke belakang, tepatnya pada tahun 1970, dimana sosok Freddie yang masih menyandang nama kelahirannya, Faroukh Bulsara. Freddie pun masih tinggal bersama keluarganya. Dari momen singkat, kita bisa melihat bila Freddie memiliki konflik dengan ayahnya, Bomi (Ace Bhatti). Tidak lama setelah itu, narasi mulai menceritakan bagaimana awal mula band Queen berdiri. Dari Freddie yang "mengaudisikan" dirinya sendiri di hadapan Brian May (Gwilyn Lee) dan Roger Taylor (Ben Hardy) yang baru saja ditinggalkan penyanyi bnd mereka, kemudian penampilan perdana Freddie hingga akhirnya memutuskan membuat album untuk Queen dan seterusnya. Hingga tirai panggung pertama dituutp dengan lahirnya sebuah lagu yang tidak akan pernah habis di makan zaman, apalagi kalau bukan Bohemian Rhapsody. Sebuah lagu yang kerap dinobatkan sebagai lagu terbaik sepanjang masa.

Penceritaan yang masih terpusat pada awal mula karir Queen ini jelas telah memikat perhatian saya. Naskah yang ditulis oleh duo Anthony McCarten dan Peter Morgan mengajak kita untuk melihat interaksi antar anggota band, juga tidak lupa cerita dibalik lagu BoRhap yang sempat mendapatkan kendala akibat pihak produser label yang merasa lagu tersebut terlalu aneh dan durasinya cukup lama untuk diputar di radio. FYI, di momen ini, duo McCarten-Morgan menyelipkan meta jokes yang melibatkan karakter Mike Myers. Konflik kecil seperti pemilihan lagu yang layak dimasukkan kedalam album pun tidak lupa di sisipkan, yang disajikan dengan cukup jenaka, terutama mengenai judul lagu "I'm In Love With My Car" hasil karya dari Taylor.

Harus diakui, untuk ukuran film biografi keluaran tahun 2018, Bohemian Rhapsody menggunakan formula yang cukup klasik. Apalagi sebelumnya kita telah menyaksikan film biografi yang jauh lebih berani macam Straight Outta Compton (2015). Hal ini cukup menjadi kontradiksi sendiri karena, hey, ini film tentang Queen, tentang Freddie Mercury, yang telah dikenal akan keberanian mereka dalam bereksperimen nya dalam musik. Bahkan, maha karya Bohemian Rhapsody pun terlahir dari keberanian Queen untuk melakukan gebrakan di dunia musik, seperti adanya unsur opera, istilah-istilah asing yang mungkin hanya Tuhan dan Freddie saja yang mengetahui mengapa dimasukkan dalam lagu tersebut, dan pastinya panjang durasinya. Bryan Singer (yang digantikan oleh Dexter Fletcher) seolah enggan untuk menampilkan kisah Freddie Mercury lebih berani.

Fokus penceritaan pun menjadi persoalan tersendiri, terutama kala film mulai memusatkan penceritaan kepada Freddie Mercury. Ada beberapa persoalan yang ingin diangkat, dari kehidupan pribadi, mulai retaknya hubungan Freddie bersama anggota Queen lainnya, orientasi seksual hingga pesta seks Freddie yang terpengaruh oleh Paul Prenter (Allen Leech) sehingga hubungannya bersama Mary (Lucy Boynton) mulai goyah, namun semuanya tidak terlalu dikulik lebih dalam. Bahkan kisah asmara Freddie-Mary pun urung mendapatkan momen personal sehingga tidak salah bila penonton sedikit melupakan hubungan mereka berdua. Konflik nya bersama mantan manajer John Reid (Aidan Gillen) dan Paul pun hanya sebatas lewat saja. Padahal konflik ini mampu menjembatani pandangan media terhadap orientasi seksual Freddie yang tentunya masih menjadi isu yang tabu pada periode 70-80an sehingga mampu memperkaya konfliknya. Penanganan akan momen reuni Freddie bersama Brian May, Roger Taylor dan John Deacon pun terasa terburu-buru, meski tidak ditampik ketika Freddie menyatakan kondisinya di depan mereka bertiga cukup emosional.

Namun lemahnya narasi di pertengahan sanggup dibayar tuntas oleh Singer di bagian penutupnya, ketika Queen akhirnya berhasil manggung di konser Live Aid. Mustahil rasanya untuk tidak emosional kala melihat sosok Freddie yang menumpahkan segala emosinya di setiap gerakan maupun mimik muka dalam penampilannya. Hal itu pun ikut dibantu pula akan penyutradaraan Singer yang menggerakkan kamera begitu dinamis yang mampu menangkap setiap detik penampilan Queen. Keputusan Singer yang tidak mencampur adukkan momen-momen flashback pada penampilan tersebut juga patut diapresiasi sehingga penonton pun mudah untuk memusatkan perhatian kepada aksi panggung Queen saja. Air mata saya pun terpaksa tumpah kala track ikonik milik Queen lainnya yaitu We Are The Champions mulai berkumandang. Semua pahitnya kehidupan yang telah dilalui Freddie tercurahkan dengan satu lagu tersebut berhasil memberikan dampak beberapa kali lipat kepada penontonnya yang telah ikut menjadi saksi kehidupan Freddie.

Keputusan pihak Academy Awards untuk menyertakan Bohemian Rhapsody di nominasi Best Picture tahun ini mungkin patut dipertanyakan, namun rasanya tidak ada yang protes dengan masuknya Rami Malek di nominasi Best Actor, bahkan dirinya berhasil menjadi unggulan utama untuk merebut piala Oscar. Walau dari tampilan muka Malek tidak terlalu mirip dengan Freddie, namun kekurangan tersebut berhasil ia tutupi dengan berusaha untuk bisa semirip mungkin dengan sosok mendiang Freddie dari gestur tubuh maupun mimik muka. Lihatlah bagaimana dengan secara meyakinkannya ia menghidupkan kembali seorang Freddie Mercury di atas panggung. Malek pun berhasil memerankan Freddie yang mudah dicintai ataupun dimaklumi, terlepas dari segala flaw nya sebagai manusia.

Bohemian Rhapsody memiliki potensi untuk menjadi film biografi yang jujur serta ikonik layaknya Freddie ataupun Queen, serta melihat lebih jauh akan sosok Freddie Mercury, sayang memang potensi tersebut tidak mampu di manfaatkan secara maksimal. Kelemahan narasi di pertengahan tentu tidak bisa diabaikan, namun rasanya mudah untuk memaafkan segala minus tersebut setelah third act nya yang luar biasa menghibur.

8/10 

0 komentar:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!