Wednesday 29 January 2020


"Just 'cause millions of people aren't cheering when you do it, it doesn't mean it's not important"- Saraya

Plot 

Lahir dalam keluarga yang lekat dengan dunia gulat, Saraya (Florence Pugh) dan Zak (Jack Lowden) membantu promosi gulat independen kecil milik kedua orang tua mereka, Ricky (Nick Frost) dan Julia (Lena Headey) yang bernama World Association of Wrestling (WAW). Bersama Saraya, Zack juga ikut melatih anak-anak muda untuk bergulat di promosi tersebut, sembari tetap mengadakan event kecil-kecilan untuk menghasilkan uang. Keduanya ingin menggapai mimpi mereka untuk bisa tampil di event gulat terbesar di dunia, WWE (World Wrestling Entertainment). Rekaman bergulat Zak dan Saraya dikirimkan ke WWE, dan kesempatan tersebut datang ketika Hutch Morgan (Vince Vaughn), trainer yang bekerja untuk WWE, memanggil Zak dan Saraya untuk berpartisipasi di try out pada episode Smackdown di London.




Review

Dengan deretan film-film yang selama ini telah WWE produksi, setidaknya film seperti The Scorpion King dan Rundown yang cukup menghasilkan kesuksesan. Selebihnya, kebanyakan film-film tersebut harus dirilis langsung ke dalam bentuk DVD atau straight to video, bukti bila kebanyakan atau hampir semua film rilisan WWE berakhir dengan mengenaskan, entah itu karena pendapatan yang tidak balik modal atau ulasan "kejam" para kritikus yang bahkan mungkin malas untuk mereview film-film ini. Kendalanya adalah selama ini, WWE studios selalu memilih mengedepankan genre aksi yang disuntikkan kepada film-film mereka. Film seperti The Marines (yang gak tahu kenapa bisa sampai hingga sekuel ke 6), 12 Round, atau Vendetta, jelas sekali jika WWE Studios begitu mencintai film aksi. Hingga membuat mereka lupa jika sebenarnya ada kisah yang bisa lebih dieksplorasi pada perjalanan setiap wrestler yang mereka miliki. Diproduksi oleh legenda hidup dari WWE, Dwayne "The Rock" Johsnon, Fighting With My Family menceritakan perjalanan karir Saraya Knight, atau yang lebih populer kita kenali sebagai Paige, dalam meraih kesuksesan di dunia gulat bersama WWE dan nantinya berhasil menjadi salah satu pegulat wanita berpengaruh dalam memantik api membara dunia gulat wanita. 

Fighting With My Family mungkin formulaic. Ya, film ini bisa dibilang tidak terlalu mengambil langkah revolusioner dalam menceritakan kisah biografi nya. Ini bukan lah sajian biografi berani layaknya Straight Outta Compton, tetapi sebagai sutradara sekaligus penulis naskah, Stephen Merchant mengambil approach yang bijak dalam menggulirkan narasi nya. Merchant tampaknya meyakini jika Saraya/Paige akan berhasil menjadi top divas di WWE sudah diketahui atau bahkan ditebak oleh penonton kasual yang tidak mengikuti WWE. Ya film biografi mana yang pada akhir cerita nya tidak menampilkan momen klimaks atau keberhasilan tokoh yang diangkat? Maka dari itu, narasi nya benar-benar didominasi oleh perjuangan Saraya untuk bisa bertahan ketika harus berlatih fisik maupun mental di pengembangan karir yang dinamai NXT, dan yang pasti sesuai judulnya, konflik yang dialami Saraya dengan keluarganya, terutama dengan Zak. Justru untuk saya, kepingan-kepingan story arc milik Zak lah yang berhasil muncul menjadi pembeda di bagian narasi.

Dunia gulat memang tidak untuk semua orang, terutama di Indonesia. Walau sempat booming di periode awal 2000an, sajian wrestling cukup menjadi hal tabu ketika media di Indonesia menggembar-gemborkan korban-korban yang jatuh akibat mempraktekkan aksi-aksi gulat sehingga penayangan WWE (kala itu masih WWF) dihentikan sama sekali di tayangan televisi swasta. Wrestling gear para pegulat sendiri yang begitu menampilkan aurat juga sangat tidak cocok untuk Indonesia yang masih mengedepankan agama. Kondisi ini sih yang membuat saya secara sembunyi-sembunyi untuk mengikuti perkembangan dunia wrestling, apalagi kalau menonton pertarungan para pegulat wanita, udah deh, harus pintar-pintar mencari waktu dan kondisi. Ibarat kata, ketahuan menonton wrestling match sudah bisa disandingkan aib nya dengan menonton blue film.

Namun kecintaan saya yang telah tertanam di masa kecil susah untuk dihilangkan, tentu saja. Kenangan kala saya bermain gulat dengan dua kakak saya setelah menyaksikan Smackdown yang kala itu masih ditayangkan di R*TI terus terpatri di ingatan. Masih begitu lekat di ingatan ketika saya kecewa berat ketika The Rock gagal mengalahkan Triple H di event Judgement Day setelah berhasil comeback dalam pertarungan Iron Match nya. Mungkin dengan fakta ini lah, ikatan emosi telah terhubung dengan Zak dan Saraya kala di opening nya, kita menyaksikan Zak bersorak kala melihat wrestler idola nya meraih kemenangan, dan segera mempraktikkan salah satu move ke adiknya, Saraya.

Dengan berbagai momen sekilas, kita diajak Merchant untuk lebih mengenal keluarga Knight dalam mengelola bisnis gulat independen kecil milik mereka. Dari Zak yang menjadi pelatih untuk para pemuda berusia tanggung di kota Norwich, bahkan satu dari murid nya ada yang mengalami disabilitas, lalu Saraya, yang ternyata diambil dari nama panggung milik ibu nya kala berkarir di dunia gulat, juga ikut membantu Zak sebagai sparring partner baik ketika latihan atau di pertandingan resmi kecil-kecilan. Lalu tentunya ada Ricky dan Julia yang senantiasa membantu mereka berdua. Tidak ketinggalan Merchant membangun bumbu-bumbu konflik nya, seperti Saraya yang sempat dicemooh akibat penampilannya yang jauh dari kata feminim, Zak yang menanti kehadiran buah hati bersama pacarnya, Courtney (Hannah Rae) dan kesulitan finansial yang dialami keluarga Knight. Pembangunan konflik nya terasa straight to the point karena nanti kala film menginjak ke pertengahan durasi, semuanya menyatu dan memiliki pengaruh kala Fighting With My Family mulai menyentuh pada konflik utama nya, yaitu fakta dimana Zak harus menerima kenyataan jika ia tidak berhasil memenuhi kriteria standar yang dibutuhkan WWE. Dan lebih pahit nya lagi, adiknya sendiri ternyata merupakan satu-satunya kontestan yang direkrut oleh Hutch Morgan untuk bergabung dengan WWE dan mengikuti proses pengembangan bakat di NXT.

Bayangkan jika Anda di posisi Zak. Sebagai individu yang memiliki passion yang besar untuk dunia gulat, berlatih dari kecil hingga dewasa untuk meraih mimpi dan berharap akan tiba momen ribuan penonton menyerukan nama panggung Anda, harus menelan pil pahit kehidupan kala fakta tidak beriringan dengan harapan dan keinginan. Kesempatan satu kali seumur hidup gagal tercapai, ditambah harus menyaksikan adik nya sendiri yang tak disangka-sangka berhasil meraih kesempatan tersebut. Hal ini yang membuat Zak menjadi sympathetic character utama dalam kisah ini dan berhasil menjadi poin positif besar, setidaknya untuk saya. Walau cerita memang berfokus pada perjuangan kisah Saraya/Paige, namun saya senantiasa tidak sabar untuk melihat keadaan Zak. Ada rasa kekhawatiran jika ia akan mengambil langkah yang salah akibat kekecewaan yang mendalam dan menelantarkan keluarga nya, terutama Courtney dan anak nya yang baru lahir. Terlebih keluarga Knight sendiri mempunyai sejarah dengan dunia kriminal.

Untuk yang mengikuti dunia wrestling, pasti bisa memahami jika industri ini sangat lah kejam. Tidak semua orang bisa menjadi main event superstar. Kemampuan, bakat dan kerja keras tidak cukup, harus ada faktor X supaya seseorang berhasil menjadi seorang pegulat papan atas, terutama untuk perusahaan raksasa WWE. Banyak pegulat yang berbakat, namun tidak semuanya yang memiliki faktor X tersebut. Sang owner, Vince McMahon menyebutnya "brass ring", dan sekali lagi, tidak semua superstar yang memiliki itu. Bahkan top face dalam sejarah WWE seperti Stone Cold, The Rock hingga John Cena sebenarnya tidak lah memiliki skill bintang 5 jika berbicara pada aspek bergulat nya saja, namun nama-nama tersebut, di mata Vince McMahon, memiliki faktor X itu sehingga berhasil menjadi ikon dalam WWE. Hingga sekarang, WWE pun masih berusaha untuk mencari suksesor John Cena untuk menjadi top face besar layaknya dia. Naskah Merchant cukup berhasil menyinggung hal ini. Zak mungkin lebih memiliki teknik gulat lebih baik dibanding Saraya, namun bagi Hutch, Zak tidak memiliki faktor X yang bisa menghantarkannya menjadi bintang.

Berbanding terbalik dengan Saraya. Meskipun teknik nya biasa-biasa saja, tetapi Hutch melihat ada sesuatu dalam diri Saraya, yang membuatnya jauh lebih unik dibandingkan superstar wanita milik WWE lainnya. Sudah menjadi rahasia umum jika sebelum women's revolution dalam WWE, kebanyakan pegulat wanita milik WWE direkrut dari model yang diajarkan teknik-teknik bergulat, yang berfungsi untuk menjadi eye candy para penonton pria dewasa. Dari Sable, Torrie Wilson, Stacy Kiebler, divisi wanita didominasi dengan pegulat wanita yang pirang dan berbodi seksi. Bahkan living legend seperti Trish Stratus saja pada awal nya berkaris sebagai manajer seksi, sebelum akhirnya memiliki teknik wrestling yang memadai dan mendapatkan respect dari WWE Universe (sebutan WWE untuk para penggemar). Saraya berbeda karena dibanding wanita lainnya, teknik nya sudah di atas rata-rata karena telah berkarir di dalam dunia gulat semenjak dini. Mungkin karena ini lah, Hutch memilih Saraya tanpa ragu-ragu, karena ia meyakini, Saraya memiliki kapabilitas untuk menghadirkan sebuah gebrakan yang baru.

Konflik ini lah yang mengakibatkan kerenggangan akan hubungan antara Zak dan Saraya. Dari awal yang selalu berlatih bersama, mendadak hubungan antar keduanya mendingin. Terlebih Saraya harus berangkat ke negeri Amerika untuk mendapatkan pelatihan di developmental territory, NXT. Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi mental keduanya. Zak kehilangan semangat untuk melatih anak didiknya di WAW karena terlalu berfokus untuk kembali mendapatkan kesempatan untuk try out untuk WWE. Sedangkan Saraya yang sebenarnya memiliki kemampuan di atas rata-rata dibandingkan teman-teman wanita nya di NXT yang kebanyakan mantan model, justru mendapatkan kesulitan akibat kehilangan daya juang. Bahkan ia tidak sengaja mempermalukan dirinya sendiri ketika ia sadar jika orang yang selama ini ia remehkan, justru memiliki fighting spirit jauh lebih besar ketimbang dirinya. Secara terpisah, keduanya berperang terhadap diri sendiri. Zak dengan rasa iri dan cemburunya, dan Saraya yang merasa tidak enakan dengan saudara nya tersebut. Hingga pada di suatu titik, keduanya bertemu kembali di dalam ring, yang awalnya mereka dipertemukan untuk menjalani rutinitas acara wrestling untuk WAW pada umumnya, menjadi panggung puncak atas drama konflik yang terjadi antara keduanya.

Mungkin adegan yang terjadi di ring tersebut tidak lah terlalu melahirkan sebuah ironi yang luar biasa, namun sudah cukup untuk membuat saya sebagai penonton menyayangkan atas situasi yang terjadi. Semua ini tentu saja berkat pondasi naskah yang solid nan kokoh dari Merchant. Kita dibuat perduli akan hubungan persaudaraan mereka, dan kita pun bingung untuk mendukung siapa karena keduanya memang tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Yang lebih menarik bagi saya justru adu mulut yang terjadi antara Zak dan Saraya setelah turun dari ring. Kalimat dari Saraya begitu mengena untuk saya, bahwa kita telah memiliki peran ideal masing-masing. Mungkin peran tersebut tidak mendapatkan perhatian banyak orang, namun tidak melunturkan betapa penting nya peran tersebut. Tanpa Zak sadari jika ia sebenarnya secara tidak langsung telah memberikan sebuah harapan untuk anak didiknya yang mungkin saja bisa terjun ke dunia kriminalitas bila tanpa bimbingannya. Jujur saja,momen ini berhasil menyentil saya

Cukup disayangkan karena perseteruan batin antara keduanya tidak memiliki konklusi yang memuaskan. Ada kesan terburu-buru untuk akhirnya dua karakter ini kembali menemukan pijakannya dan bangkit kembali. Pergerakan narasi redemption nya pun terasa generik dan bergerak biasa saja tanpa terlalu meninggalkan kesan. Di adegan akhir pun, Merchant sebenarnya cukup berlebihan dalam hal menyuntikkan elemen dramatisasinya. Untungnya minor ini tertutupi berkat performa apik para pemeran utama. Tahun 2019 tampaknya menjadi tahun dimana nama seorang Florence Pugh patut menjadi salah satu rising star yang tak bisa diremehkan. Semenjak Midsommar, Pugh telah menyajikan salah satu kekuatannya, yaitu permainan emosi yang tidak terkesan berlebihan dan hal ini ia tunjukkan di film ini. Lihatlah ekspresinya kala menahan tangisan di adegan bandara. Atau kebisuan penuh arti saat ia gagal melakukan "promo" untuk pertama kali di depan penonton. Jack Lowden bermain pada ekspresi subtil untuk menggambarkan perasaan Zak dan ia melakukannya dengan baik. Dwayne Johnson tetaplah Dwayne Johnson, berkharisma dan selalu mencuri perhatian di setiap kehadirannya. Salah satu momen terbaik film ini pun ketika ia secara tiba-tiba melakukan persona nya sebagai The Rock yang kental mengandung unsur nostalgia. Vince Vaughn juga kembali menghadirkan performa solid sebagai trainer yang tegas.

Apakah film ini hanya diperuntukkan bagi penggemar wrestling? Tentu saja tidak. Baik anda merupakan penggemar atau bukan, Anda bisa menikmati film ini karena elemen-elemen wrestling nya disuntikkan sesuai dengan porsi nya. Bahkan bila Anda pun merupakan termasuk pihak yang meremehkan industri ini, justru Anda wajib menonton nya supaya setidaknya Anda mulai bisa mengapresiasi para "pelakon" yang terlibat di dunia wrestling. Mereka yang terlibat dengan dunia ini, tidak hanya mempertaruhkan badan mereka, namun juga kehidupan, keluarga serta mimpi hanya untuk menghibur para penggemar. Saya harap, dengan keberhasilan film ini mampu membuka mata WWE Studios supaya selanjutnya bisa membuat film-film yang mengedepankan hati, ketimbang sajian aksi.

8/10

0 komentar:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!