"Black Phillip, I conjure thee to speak to me. Speak as thou dost speak
to Jonas and Mercy. Dost thou understand my English tongue? Answer me.- Thomasin
Plot
Mengambil setting pada tahun 1630 di New England, Michael (Ralph Ineson) beserta istri, Katherine (Kate Dickie) harus menerima kenyataan bila keluarga nya harus diusir dari wilayah perkebunan akibat keteguhannya akan ilmu agama yang ia pegang. Mereka harus hidup di pondok kecil yang dikelilingi akan hutan yang lebat. Keputusan tersebut harus dibayar mahal karena tidak lama setelah mereka menempati tempat tinggal baru itu, kejadian aneh nan memilukan dimana sang bungsu, Samuel, hilang kala bermain dengan Thomasin (Anya Taylor-Joy). Peristiwa demi peristiwa tragis yang menerpa keluarga tersebut mulai memberikan dampak akan psikis serta keyakinan mereka yang selalu diyakini.
Review
The VVitch (well, the title of
this movie is written like that for real and i dunno what that means),
berdasarkan penjelasan di awal film, adalah dongeng yang berasal dari New
England, dan setelah menonton film ini, percayalah, kisah dongeng ini tidak
akan pernah Anda biarkan diceritakan oleh siapapun kepada anak Anda. Bisa jadi,
The VVitch merupakan The Excorcist-nya film horor pada dekade ini.
Dari setting tahun serta tempatnya
saja sebenarnya telah sangat membantu nuansa horor yang mencekam. Rumah pondok
yang dikelilingi akan hutan belantara serta masih kuatnya akan rasa percaya
penduduk setempat pada legenda penyihir dalam hutan, semuanya membantu
membangun atmosfir horor yang sangat kuat. Belum lagi scoring memekakkan
telinga yang digarap Mark Korven yang selalu berhasil memberikan teror kepada
saya, terutama kala scoring tersebut menghentak di menit-menit akhir yang berhasil membuat saya kaget. Yang menjadi masalah kecil, mungkin bila ditonton pada periode sekarang,
penjelasan-penjelasan yang dilontarkan oleh tiap karakter yang terlibat mungkin
terdengar absurd serta menggelitik logika. Saya saja sempat ingin tertawa
mendengar Thomasin melontarkan penjelasan yang tidak masuk akal kepada ayahnya pada
salah satu momen menegangkan di pertengahan film. Maka hal yang cukup penting
untuk penonton supaya bisa menempatkan persepsi penonton pada setting yang
dipakai.
The VVitch tidak perlu menunggu
waktu lama dalam menunjukkan taring horornya. Belum beranjak sepuluh menit
saja, penonton telah disajikan akan momen yang memberikan petunjuk bila The
VVitch tidak setengah-setengah dalam menebarkan terornya. Ya, siapa saja bisa
menjadi korban kesadisan si penyihir. Setelah momen itu, barulah pergerakan
naskah yang ditulis juga oleh sang sutradara, Robert Eggers, mengajak kita
untuk ‘berkenalan’ dengan keluarga yang mengalami kesialan ini. Bagaimana ayah
mereka yang begitu taat, juga sosok ibu yang rapuh ketika peristiwa pertama
terjadi, juga karakter sentral kita yaitu Thomasin yang begitu dewasa serta
penyabar. Walau tempo nya cukup lambat, tetapi saya sama sekali tidak merasakan
kebosanan karena Robert Eggers tidak lupa untuk memberikan letupan-letupan
konflik kecil pada perkenalan itu. Tentu juga rasa penasaran akan apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga tersebut yang membuat penonton untuk bersabar untuk menemukan jawabannya. Dan dari menit ke menit pula lah,
transformasi akan degradasi kepercayaan tiap karakter mulai nampak dan hal itu
terjadi begitu meyakinkan tanpa adanya paksaan. Saya juga menyukai setiap
konflik yang terjadi memiliki sebab-akibat yang jelas, walau memang kehadiran
kelinci hitam di awal-awal film masih menjadi misteri buat saya. Bahkan salah
satu momen paling menegangkan akan film ini disebabkan oleh suatu candaan yang
bahkan menurut saya pada awalnya tidak akan menjadi penunjang plot. Bukti bila
Robert Eggers begitu jeli dalam merangkai ceritanya.
The VVitch itu menyeramkan, itu sudah pasti, namun hebatnya setelah menyaksikan "kesialan" yang menimpa keluarga Michael selama 93 menit, penonton juga merasakan rasa terganggu akan psikis pula. Hal itu tidak terlepas dari atensi penonton yang telah terebut dimana penonton telah merasakan simpati kepada keluarga yang sebenarnya tidak layak menerima segala teror yang ada. Bukan tidak mungkin apabila ada penonton yang terganggu keyakinannya setelah menyaksikan pagelaran horor ini.
Saya belum pernah mendengar nama
Anya Taylor-Joy, namun melihat apa yang ia tampilkan di film ini, tampaknya
karir Anya sangat cemerlang ke depannya. Seperti yang saya bilang di awal,
Thomasin adalah gadis yang begitu dewasa nan penyabar. Namun, akibat semua
masalah yang seolah disebabkan oleh kehadirannya, tentu Thomasin merasakan
tekanan yang berat dan Anya mampu memberikan performa yang gemilang dalam
menampilkan itu semua. Ekspresi muka nya di menit-menit akhir pun membuat saya
tidak bisa untuk tidak memberikan tepuk tangan untuk aktris muda ini.
Didukung dengan production design
yang meyakinkan, scoring yang menghantui juga begitu telitinya sang sutradara
dalam menjahit setiap narasi, The VVitch berhasil menjadi film horor yang mungkin
paling mencekam pada tahun 2016. Lupakan segala hal yang mungkin menurut kita
menggelikan akan penjelasan yang ada pada film ini serta sinopsis yang terasa familiar, The VVitch bukanlah pilihan
yang tepat untuk menonton pada malam hari.
0 komentar:
Post a Comment