Monday 22 January 2018



"I'm not saying women are better. I've never said that. I'm saying we deserve some respect. More than Bobby Riggs or you are giving us." - Billy Jean King

Plot

Billy Jean King (Emma Stone) merupakan petenis perempuan yang mendominasi olahraga tersebut pada awal 70an. Tetapi baginya hal itu belumlah cukup, sebelum ia mendapatkan apa yang ia harapkan, yaitu persetaraan antara pria dan perempuan. Perjuangan itu pun tampaknya harus ia lakukan setelah Jack Kramer (Bill Pullman) mengadakan turnamen tenis dimana harga utama pria lebih tinggi 8 kali lipat dibandingkan perempuan. Jean memberontak, dan tidak bersedia untuk ikut turnamen tersebut. Ia lebih memilih untuk mengadakan turnamen dengan petenis-petenis perempuan lainnya, walaupun akhirnya ia harus menerima kenyataan jika ia dan kolega-kolega lainnya dikeluarkan dari organisasi tenis resmi yang diketuai oleh Jack. Namun, hal itu tetap tidak menghentikan Jean dalam memperjuangkan hak perempuan. Di tengah-tengah tur yang diadakan, Jean malah terlibat hubungan cinta terlarang antara dirinya dengan Marilyn (Andrea Riseborough). Hubungan ini tentu saja bisa mengancam karir, dan kehidupan keluarganya bersama sang suami, Larry (Austin Stowell). Di sisi lain, perjuangan Billy Jean menarik perhatian mantan petenis ternama, Bobby Riggs (Steve Carell) yang ingin segera menantang Billy Jean dalam permainan tenis dengan tujuan utama ingin membuktikan jika pria memang layak mendapatkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan perempuan.

Review






Well, rasanya setelah menyaksikan film yang disutradarai oleh Jonathan Dayton dan Valerie Faries ini, tidak berlebihan jika saya menganggap Billy Jean King adalah Kartini-nya negara Amerika Serikat. Untuk generasi yang lahir di awal 90an, tentu saja nama Billy Jean King sangat asing untuk saya. Apalagi beliau merupakan atlit dari olahraga yang tidak terlalu saya ikuti. Sesuai judulnya, Battle of the Sexes mengambil plot utama dari perjuangan Billy Jean dalam mengupayakan hak perempuan supaya dapat disetarakan dengan kaum pria. Tetapi, Dayton-Valerie juga ikut memasukkan konflik-konflik kehidupan pula sebagai bumbu mengiringi perjuangan Billy Jean sebelum nanti di akhir film, ia akan berhadapan dengan Bobby Riggs dalam pertandingan yang diberi nama Battle of the Sexes. Disini, Billy Jean ditaruh sebagai protagonist utama berkat segala perjuangannya, namun sebagai seorang pria, jelas saja saya lebih memilih mendukung Billy Riggs. Apalagi kenyataannya sekarang, rasanya tuntutan untuk para perempuan dalam penyetaraan hak antara pria sudah sedikit berlebihan, dimana sekarang banyak sekali profesi-profesi pekerjaan yang diisi oleh perempuan.

Segala konflik yang menaungi kehidupan Billy Jean memang diperlukan untuk mengingatkan kepada penonton jika Billy Jean bukanlah sosok malaikat. Karena walaupun dirinya mungkin layak dianggap sebagai panutan dan pahlawan bagi para perempuan, dirinya tetaplah memiliki kekurangan akibat kelainan seks yang mengidap pada Billy Jean. Memanusiakan sosok Billy Jean inilah yang mungkin menjadi tujuan Dayton-Valerie sehingga mereka memfokuskan konflik ini pada 1 jam pertama, sebelum nanti 1 jam setelah nya, build up menuju pertandingan antara Jean vs Riggs mendominasi penceritaan. 

Sebenarnya hal ini tidak lah salah, bahkan hal itu memang harus ada dalam sebuah biografi yang memiliki durasi yang tidak singkat. Penonton, terutama bagi yang mengenal atau bahkan mengidolai Billy Jean maupun Bobby Riggs, bisa melihat dari sudut pandang yang berbeda dan tentu juga lebih dalam lagi mengenal sosok Billy atau Bobby. Tetapi sayangnya, segala permasalahan pribadi Billy Jean kurang mampu mengikat untuk saya. Terbukti ketika film baru berdurasi 20 menit, saya merasakan film seolah telah berjalan 1 jam. Keinginan untuk menghentikan menonton film ini bisa saja saya lakukan apabila tidak ada adegan bercinta antara Billy dan Marilyn. Adegan yang dilakukan oleh dua aktris jelita tersebut pastinya sangat ampuh untuk menggoda saya untuk tetap menyaksikan film ini hingga akhir. 

Sosok Billy Jean sendiri tidak terlalu menarik untuk saya. Padahal dengan segala sikapnya yang baik, memiliki paras yang cantik (karena diperankan oleh Emma Stone, tentu saja) dan posisinya sebagai rebel woman, seharusnya mudah untuk saya mendukung Billy Jean. Namun rupanya dengan segala atribut tersebut, tidak cukup menjadi alasan untuk saya menyukai Billy Jean. Bahkan pada momen terakhirnya yang seharusnya menjadi momen emosional bagi penonton (terutama para perempuan), saya tidak merasakan apapun, bahkan ada sedikit kekecewaan yang timbul melihat itu.

Dan kalau boleh jujur, saya lebih tertarik untuk mengenal sosok Bobby Riggs yang katanya kontroversial itu. Ya, kepribadian Bobby jelas jauh lebih compelling dibandingkan Billy Jean. Bobby merupakan pria yang karismatik dengan kemampuan bicaranya yang memiliki magnet tersendiri, namun selain itu ia juga merupakan gamble addicted, dan memiliki hubungan yang tidak terlalu baik dengan sang istri, Priscilla (Elizabeth Shue) dan anaknya, Larry (Lewis Pullman). Bahkan pada kehidupan Bobby pun terjadi ironi tersendiri. Dirinya menentang keinginan Billy Jean supaya perempuan bisa equal dengan kaum pria, tetapi disisi lain, kehidupan Bobby Riggs malah didominasi secara tidak langsung oleh istrinya sendiri. Sub plot ini bagi saya bisa lebih mengikat andai saja Bobby Riggs menjadi main focus nya disini. Tetapi karena film ini menceritakan sosok Billy Jean, maka sub plot dari Bobby Riggs hanya tampil di permukaan saja karena tidak ada waktu untuk mengeksplorenya lebih lanjut.

Steve Carell patut diberikan apresiasi akibat penampilan memikatnya sebagai Bobby Riggs. Tidak hanya memiliki muka yang begitu mirip dengan Bobby Riggs yang asli, namun Carell berhasil membuat sosok Bobby Riggs mudah disukai dengan segala flaws yang Bobby miliki. Bahkan ada satu momen yang berhasil membuat hati saya tersentuh berkat ekspresi yang dimainkan oleh Carell. Emma Stone juga tidak kalah cemerlangnya dengan membuat sosok Billy Jean lebih mudah menuai simpati dengan segala problematika yang melingkarinya. Kredit lebih juga harus kita berikan kepada Stone dan Carell yang mampu memainkan permainan tenis dengan baik sehingga terlihat mereka memang atlet yang sesungguhnya.

Battle of the Sexes mengambil penceritaan pada medio awal 70-an, dan mungkin memang pada periode itu, penyetaraan gender masih terlihat mimpi untuk para perempuan sehingga andai saja film ini hadir lebih awal, seperti 10-15 tahun sebelumnya, film ini masih lah relevan. However, Fast forward to present day, well, everything is change. Untuk kalian yang sedang mencari pekerjaan, tentu kalian menyadari jika saat ini dunia kerja tengah sedikit didominasi oleh perempuan, baik dari low level hingga pada top level management. Bahkan pada lowongan kerja, banyak sekali lowongan untuk para perempuan sehingga membuat perempuan lebih tinggi persentase mereka untuk mendapatkan pekerjaan dibandingkan para pria. Saya tidaklah menentang penyetaraan gender, bahkan saya pun merasa pernyataan Bobby Riggs dalam film ini yang menyatakan jika perempuan hanya ahli di ranjang dan dapur itu sangat merendahkan nilai perempuan. Tetapi bukan berarti pula keinginan perempuan untuk tidak terus berada di bayang-bayang laki-laki malah berubah seolah mereka menjadi pemimpin saat ini. Kenyataan yang terjadi di periode sekarang lah yang membuat saya tidak terlalu mendukung segala perjuangan Billy Jean (apalagi pada narasi terakhrinya, Billy Jean juga merupakan tokoh perjuangan  pro LGBT. Well, Billy, how about no, please?). Dari segala kenyataan ini lah rasanya, film biografi yang sebenarnya berfungsi mengingatkan kita betapa pentingnya penyetaraan gender ini tidaklah terlalu relevan lagi, dan hal ini pula yang menjadi alasan mengapa saya tidak terlalu tersentuh ataupun merasa perlu mendukung sosok Billy Jean dalam film ini.

7/10

Saturday 13 January 2018

"To end this evil, I need to go deeper into the Further"- Elis Rainier

Plot

Memiliki kemampuan supernatural semenjak kecil ternyata malah memberikan pengalaman masa kecil tidak menyenangkan untuk Elis (Lin Shaye/Ava Kolker). Akibat kemampuannya tersebut, Elis harus menerima hukuman demi hukuman dari ayahnya yang abusif, Gerald Rainier, yang juga merupakan salah satu mantan tentara Nazi. Puncaknya adalah ketika salah satu roh "menerima" undangan Elis membunuh sang ibu, Audrey Rainier, yang tentunya menambah kebencian sang ayah terhadap Elis. Pengalaman pahit tersebut ternyata harus kembali dihadapi oleh Ellis karena orang yang kini menempati tempat tinggal masa kecilnya tersebut, Ted Garza (Kirk Avacedo), memohon bantuan Elis untuk mengusir roh jahat yang kerap mengganggunya.




Review

Mungkin sedikit yang menyangka bila proyek "kecil-kecilan" James Wan dan Leigh Whanell (dua orang yang paling bertanggung jawab dalam menciptakan film horor klasik, SAW, 18 tahun lalu) yaitu Insidious di tahun 2011, mampu menjadi film yang meraup untung besar sehingga Insidious bisa menelurkan film hingga ke instalmen keempat. Bahkan menurut saya, Wan dan Whanell sendiri tidak menduganya sedikitpun. Hanya dengan budget tidak sampai $ 2 Juta, Insidious sanggup meraih keuntungan berkali-kali lipat hingga sampai hampir menyentuh angka $ 100 Juta.  Tidak hanya meraih kesuksesan masif, Insidious pun juga mendapatkan beberapa penggemarnya tersendiri. Terbukti, saat sahabat saya yang niat awalnya ingin menonton Jumanji: Welcome to the Jungle bersama adik nya, harus mengubur keinginan tersebut karena sang adik ternyata tanpa berpikir panjang langsung menjatuhkan pilihan untuk menonton Insidious: The Last Key setelah mengetahui film tersebut telah hadir di bioskop.

Raihan kesuksesan masif yang didapat Insidious 8 tahun lalu bisa saya mengerti. Dengan atmosfir horor yang kental, diikuti pula cerita sederhana yaitu memperlihatkan usaha satu keluarga untuk menyelamatkan roh anak yang tersesat di dunia lain yang dibalut pula akan elemen supernaturalnya, Insidious memang cukup mudah untuk bisa membuat penonton jatuh cinta. Belum lagi performa mengikat dari Rose Byrne dan Patrick Wilson serta masih efektifnya James Wan dalam menakuti penontonnya (jumpscare di tengah perbincangan Josh dan Lorraine masih lah yang terbaik dalam franchise ini). Tentu bukan pekerjaan mudah dalam menghadirkan sekuel demi sekuel yang kualitasnya bisa duduk sejajar dengan film original. Sekuel kedua yang hadir 3 tahun setelah Insidious yang pertama memang tidak terlalu jauh mengalami pemunduran karena James Wan masih duduk di kursi sutradara. Namun, setelah Wan meninggalkan proyek Insidious, franchise ini pun mulai kehilangan arah dan seolah kehabisan bensin, walaupun sang penulis naskah, Leigh Whanell masih bertahan di franchise ini. Insidious: Chapter 3 mulai terbaca alur nya dan meninggalkan ketidakpuasan mendalam bagi yang telah mengikuti franchise ini dari film pertama. Dan sayangnya, hal ini ikut terulang kembali di sekuel keempat.

Insidious: The Last Key sebenarnya diawali dengan start yang meyakinkan. Cerita masa lalu Elis yang tragis cukup bisa mengikat penonton dan rasanya mudah sekali untuk bisa memberikan simpati terhadap Elis, yang kini menjadi fokus utama penceritaan. Siapa yang tidak trenyuh kala melihat Elis yang masih kecil harus menerima pukulan keras dari sang ayah dengan tongkatnya. Diiringi juga dengan teriakan serta tangisan parau dari Ava Kolker yang memerankan Elis kecil, Insidious: The Last Key berhasil merenggut atensi saya yang sebelumnya sedikit kecewa karena kembali gagal dalam usaha untuk menyaksikan Jumanji. Narasi nya yang masih ditulis Whanell pun berpotensi menjadi kisah yang emosional karena mengikuti perjuangan Elis yang kini tidak hanya berjuang untuk mengusir roh jahat, namun juga harus memaksa dirinya berperang dengan kisah masa lalunya.

Seperti pendahulu-pendahulunya, Insidious: The Last Key pun memiliki berbagai twist yang tidak terduga. Yang bagi saya terbaik adalah ketika Elis akhirnya mendapatkan jawaban di ruangan rahasia yang tidak berhasil ia buka saat masih kecil dahulu. Sebuah adegan yang memutar balik persepsi penonton dengan cara yang cukup cerdas, bersamaan dengan rasa cemas dari penonton akibat tensi yang telah menaik. Namun twist brilian itu menyimpan risiko dan disinilah untuk saya, Insidious: The Last Key menampakkan kelemahannya karena Whanell memutuskan untuk menghadirkan satu kembali sub plot yang tidak diiringi dengan pondasi sebelumnya.

Sub plot ini sangat terasa hadir dengan dipaksakan dan terkesan hanya ingin untuk memperpanjang durasi filmnya. Baik dari selipan dialog ataupun kejadian, tidak ada yang menunjukkan jika twist ini memiliki benang merah dengan dasar cerita. Bila hanya ingin menunjukkan sisi kebencian atau kejahatan dari manusia rasanya itu juga tidak perlu, karena dengan melihat bagaimana ayah dari Elis yang selalu menghukum Elis saja itu pun telah lebih dari cukup. Ah, mengenai kebencian Gerald terhadap kemampuan Elis pun disini tidak disebutkan apa alasan yang mendasari mengapa Gerald begitu anti dengan kemampuan supernatural Elis. Dibandingkan untuk memperpanjang permasalahan dengan sebuah plot baru yang tidak memiliki benang merah, mungkin akan lebih baik jika cerita ini saja yang dihadirkan. Kekecewaan kembali diperparah dengan bagaimana kisah ini ditutup. Saya yang telah mencoba memberikan kesempatan dan mengharapkan sebuah jawaban yang memiliki benang merah dengan Elis di akhir, malah harus mendapatkan kekecewaan akibat karena sekali lagi, semuanya tidak ada kaitannya sama sekali dengan Elis. Otomatis, segala ketegangan yang hadir di akhir cerita tampak kosong tanpa arti di mata saya.

Jumpscare tentu menjadi salah satu elemen yang begitu dinantikan untuk para penonton yang berniat untuk ditakuti. Dan dari sini terlihat jelas bagaimana pengaruh James Wan begitu kuat dalam franchise ini karena sang sutradara, Adam Robitel, bisa dibilang meniru Wan untuk menghadirkan jumpscare nya. Jumpscare terbaik pada adegan interogasi di dalam film ini pun bagaikan hanya hasil copas dari Wan. Robitel juga entah kenapa merasa perlu untuk menyelipkan berbagai lelucon di setiap menitnya. Bukanlah keputusan yang baik rasanya menghadirkan suatu kelucuan saat di tengah momen menegangkan karena itu jelas merusak tensi mencekamnya. Untung saja Robitel cukup memiliki kapabilitas dalam hal menghadirkan atmosfir horor yang tidak kalah kentalnya seperti apa yang dilakukan oleh Wan sebelumnya.

Walau cukup dicederai dengan narasi yang hadir di pertengahan cerita, namun untungnya Robitel memiliki cast yang tampil dengan cemerlang. Lin Shaye jelas harus mendapatkan pujian pertama karena telah berhasil melakukan tugasnya dengan baik sebagai protagonist utama dalam Insidious: The Last Key. Perfilman horor biasanya menggunakan wanita muda nan cantik sebagai motor utama, namun tidak dalam film ini karena protagonist utamanya adalah nenek-nenek berusia lebih dari setengah abad. Tidak ada hal lain yang bisa ditawarkan oleh Shaye kecuali performa aktingnya dan Shaye bermain dengan memuaskan. Emosi yang ia tampilkan meyakinkan, ditambah juga kehadirannya sangat mudah disukai berkat halusnya pengucapan yang ia keluarkan tanpa harus melucuti ketegaran seorang perempuan berusia senja. Ava Kolker juga layak mendapatkan sorotan lewat aktingnya sebagai Elis kecil mampu mengingatkan saya akan sensasi menonton Arie Hanggara ketika kecil. Cast lainnya juga bermain tidak mengecewakan seperti Josh Stewart yang berhasil menghadirkan aura jahat di setiap penampilannya dan Angus Sampson menunaikan tugasnya dengan baik sebagai comic relief.

6,75/10

Thursday 11 January 2018

Plot

Kaiji merupakan seorang pengangguran. Tentu ini bukanlah hal yang ia harapkan ketika dirinya memutuskan untuk pindah ke Tokyo setelah lulus dari sekolah. Ia sempat bekerja, namun tidak ada yang bertahan lama. Kondisi yang dipenuhi akan ketidak pastian dan tidak memiliki uang ini pastinya membuat Kaiji merasakan depresi. Hiburannya adalah merusak mobil-mobil mahal dan bermain judi bersama teman-temannya. Namun, suatu hari, Kaiji didatangi tamu yang tak terduga bernama Endo. Endo mengungkapkan bila mantan teman satu kerjanya, Furuhata, memiliki hutang terhadap perusahaan misterius yang mempekerjakan Endo. Hutang tersebut memiliki bunga yang sangat besar sehingga totalnya adalah hampir menyentuh 4 Juta Yen. Masalahnya, Furuhata telah mencantumkan nama Kaiji sebagai jaminan nya jika suatu hari ia menghilang. Tentu saja jumlah ini sangat besar untuk seorang Kaiji yang saat itu tidak memiliki pemasukan dari apapun. Maka dari itu, Endo pun memberikan tawaran kepada Kaiji untuk mengikuti acara judi yang dilaksanakan di atas kapal bernama Espoir. Dari sinilah petualangan Kaiji di dunia judi akan dimulai.





Review

Saya memiliki fetish tersendiri terhadap cerita yang bertemakan survivor atau bertahan hidup. Mungkin faktor utamanya adalah karena kehidupan saya sendiri pun tidak terlalu begitu lancar, banyak kepelikan dibanding kebahagiaan, tertimpa banyak masalah dibandingkan jalan keluar, intinya hidup saya jauh dari kata bahagia. Namun di tengah semua hal itu, saya mencoba bertahan, bersabar dan terus menerus berusaha untuk mengubah nasib saya. Untuk itulah, cerita bertemakan survivor mudah untuk mendapatkan tempat di hati saya. Karena itu juga, Guts, karakter utama dari Berserk, adalah karakter paling terfavorit, terkeren di dunia animanga dan bahkan Guts saya nobatkan menjadi role model dalam hidup saya untuk terus maju dan tidak pantang menyerah. Saya kira, tidak ada lagi karakter yang bisa membuat saya berteriak untuk mendukung suatu karakter dalam cerita fiksi selain Guts atau karakter protagonist favorit saya lainnya, sebelum saya menyaksikan karakter utama dari hasil karya Nobuyuki Fukumoto ini, yaitu Kaiji.

Beda dengan Guts ataupun Naruto, kita tidak diperlihatkan kisah masa lalu Kaiji (mungkin ada di dalam manga, tetapi saya belum menyentuhnya). Keluarganya tidak diperlihatkan, hanya diceritakan sedikit saja mengenai ibu serta saudara Kaiji. Dalam anime, Kaiji langsung diperkenalkan kepada penonton ketika ia telah menjadi pengangguran, tanpa aktivitas juga uang dan tinggal di apartemen yang kecil. Dan yang juga membuat Kaiji lebih mudah menjalin ikatan kepada penonton adalah ia tidak hidup di dalam dunia fantasi, melainkan di dunia yang sebenarnya, dunia yang juga sama seperti kita. Tentu ini sangat membantu dalam hal membuat karakter ini menjadi realistis dan menarik. Penonton bisa memahami kehidupan yang dialami Kaiji, karena ya siapapun pasti pernah mengalami masa nganggur yang lama dan tidak tahu arah tujuan hidupnya kemana.

Jarang saya temukan ada suatu pertunjukan ataupun hiburan fiksi yang benar-benar bergantung pada satu karakter, dan sajian fiksi tersebut adalah animanga ini. Karakter Kaiji begitu kuat, compelling, dan yang paling utama, terasa sekali manusiawi. Ia bukanlah karakter the chosen one, tidak memiliki bakat spesial, dan tidak berada didalam keluarga unggulan. Sederhananya, ia hanyalah individu yang mencoba memperbaiki hidup, mencoba bertahan di dalam kondisi yang tak tentu arah dan berusaha sebaik mungkin untuk mengubah kehidupannya. Kaiji terasa spesial bagi saya. Saya pernah mengalami apa yang dialami Kaiji. Bahkan kondisi saat tidak memiliki uang sesenpun di dalam kantong hingga memaksa seseorang menangis tanpa sadar pun juga saya alami. Hal ini lah yang membuat saya ingin sekali melihat Kaiji berhasil dalam usaha apapun yang tengah ia lakukan. Dan juga ini lah yang menurut saya salah satu aspek terkuat di dalam cerita Kaiji.

Mengenai cerita dimana selain bertahan hidup, cerita Kaiji juga bermain pada ranah perjudian. Ya, judi memang adalah salah satu cara ilegal yang sering menjadi jalan keluar yang pintas untuk seseorang dalam usahanya keluar dari kesulitan. Terlihat juga sang kreator, Fukumoto, memiliki ketertarikan lebih akan dunia judi karena selain karyanya yang satu ini, manga-manga hasil ciptaannya juga bermain-main di dunia judi. Selain itu, Fukumoto pun menyajikan permainan judi nya disini dengan begitu teliti dan berusaha untuk tidak membingungkan penikmat animanganya yang satu ini. Permainan judi yang ada di Kaiji bagi saya tidak ada yang sulit, bahkan malah cenderung ke arah yang sangat sederhana. Seperti permainan Jan Ken Po, bahkan hanya menarik undian saja pun menjadi permainan judi terakhir di anime ini. Tetapi, segala permainan judi yang sederhana itu menjadi terasa menegangkan akibat dari segala konsekuensi yang membelakangi permainan tersebut. Konsekuensi apabila mengalami kekalahan tidak lah main-main, dari hutan yang akan semakin bertambah berkali-kali lipat, di tangkap untuk dijadikan budak beberapa tahun, hingga bagian tubuh dan nyawa yang harus dikorbankan. Segala konsekuensi inilah yang membuat permainan yang sederhana itu menjadi terasa mendebarkan dan tidak mudah untuk diikuti.

Yang menambah kadar ketegangan adalah kemampuan dari sang tokoh utama, Kaiji, tidak didukung akan kemampuan judi yang bisa dikatakan sangat hebat. Kaiji bisa kalah, bahkan sesekali ia melakukan keputusan yang bisa dibilang ceroboh. Tidak sering bukan kita mendapatkan karakter yang begitu realistis seperti ini? Kaiji bukanlah seperti Yugi, yang bisa terjamin kemenangannya walaupun terdesak akan situasi apapun. Hal ini pula lah yang menjadikan pertunjukan ini berhasil memaksa saya untuk tidak cukup hanya menonton satu episode saja. Kita sangat ingin sekali Kaiji merasakan kemenangan dan akhirnya mampu terlepas dari lilitan segala kesusahan yang tengah dirasakannya. Seolah-olah kita berada di samping Kaiji dan langsung mendukungnya. Yah, paling tidak sampai arc terakhir yang menurut saya adalah kelemahan dalam anime ini.

2 arc terakhir memang cukup dicederai dengan pacing yang cukup lambat dan menurut saya, cukup mengganggu. Kaiji: Ultimate Survivor menyajikan setidaknya ada 4 arc. Dalam 2 arc pertama bisa saya bilang semuanya berjalan memuaskan dan bahkan fantastis. Terutama arc pertama yang ditutup dengan pertunjukan cara bertahan hidup yang memukau dari Kaiji. Tapi hal itu tidak tampak di 2 arc terakhir. Apalagi 2 episode terakhir. SPOILER: Pertempuran antara Kaiji dan Tonegawa berjalan sangat menghibur walau memang sedikit rusak akibat pacing yang lambat, namun hal itu tidak lah mengganggu karena Tonegawa adalah karakter yang muncul dari arc pertama dan lumayan menarik berkat pandangannya terhadap hidup. Monolognya berkenaan pada orang yang mengorbankan waktu yang banyak demi kesuksesan pada arc kedua sangat fantastis. Tentunya adu pintar antara Kaiji dan Tonegawa dalam permainan Raja, Prajurit dan Budak di arc ketiga sangat lah menarik untuk diikuti. Namun, hal itu tidak berlaku ketika Kaiji menantang orang yang mempekerjakan Tonegawa, otak dibalik semua permainan berbahaya yang diikuti Kaiji. Karakter orang yang dipanggil "Ketua" ini bagi saya cukup mengesalkan. Dan menurut saya pertempuran antara Kaiji dan dirinya tidak terlalu menarik atensi, walau bila ditilik dari penceritaan, hal itu cukup masuk akal. Ditambah lagi, lumayan banyak pembicaraan yang berulang-ulang yang disajikan begitu lambat, yang sering membuat saya ingin menghentikan petualangan saya bersama Kaiji. SPOILER END

Beruntung sekali, anime Kaiji: Ultimate Survivor diproduksi oleh rumah animasi Madhouse. Madhouse memang telah terkenal akan sajian animasi nya yang tidak hanya memukau, namun juga berhasil membangun hype dari setiap adegan, bahkan adegan sesederhana seperti karakter sedang menulis sambil makan keripik kentang (anime Death Note) , ataupun melemparkan kartu di atas meja. Yang paling memukau adalah berhasilnya Madhouse dalam memperlihatkan rasa frustrasi Kaiji dan karakter lainnya, yang tentu saja membuat penonton ikut merasakan apa yang dirasakan karakter yang terlibat. Pekerjaan brilian yang dilakukan Madhouse ini mampu menutupi segala design character yang mungkin tidak lah terlalu menarik untuk para penikmat animanga yang lain.

Walau pada akhirnya Season pertama Kaiji: Ultimate Survivor ini ditutup dengan cukup tidak memuaskan, namun tidak dipungkiri, hal itu tertutupi dengan 2 arc nya di awal yang brilian. Kaiji: Ultimate Survivor, sesuai judulnya, memperlihatkan upaya atau perjuangan seorang pemuda yang mencoba mengais segala kemungkinan untuk bisa hidup lebih baik di tengah kesulitan-kesulitan yang tengah dihadapinya. Seperti keinginan saya terhadap karakter Guts di Berserk, saya sangat ingin melihat senyuman kebahagiaan tersungging di wajah Kaiji. Saya ingin melihat hidup Kaiji akhirnya bahagia. Alasan ini telah lebih dari cukup untuk saya ingin menyaksikan petualangan Kaiji di season 2 nya.

8,25/10

Tuesday 2 January 2018


"If this is a surprise party, somebody missed the cue"- Bradley Thomas

Plot

Satu hari yang sial untuk Bradley Thomas (Vince Vaughn), dimana ia harus kehilangan pekerjaan, sekaligus menghetaui istrinya, Lauren (Jennifer Carpenter), bermain api di belakangnya. Namun, dua kejadian yang tak diinginkan itu tidak membuat Bradley (yang tidak ingin dipanggil "Brad") buta dan masih mampu mencari jalan keluar dari kondisi yang tak mengenakkan itu. Ia memaafkan Lauren, dan berencana untuk mendapatkan anak bersamanya. Ia juga memutuskan untuk bekerja dengan Gil (Marc Blucas), seorang pengedar narkoba yang dikenalnya dengan baik. Selama 18 tahun, keadaan tampak berjalan lancar, sebelum akhirnya Bradley bertemu dengan Eleazar (Dion Mucciacito) yang memiliki bisnis seperti Gil dan ingin bekerja sama dengan Gil.




Review

Selain Wedding Crasher, coba sebut satu film dimana seorang Vince Vaughn melakukan performa meyakinkan dan filmnya disukai penonton banyak atau pun juga kritikus sebelum Hacksaw Ridge. I'll wait. 
Tidak ada? Yup, that's exactly my point. Setelah Wedding Crasher, nama aktor satu ini memang bisa dikatakan cukup tenggelam dan seolah tidak relevan lagi untuk dibicarakan. Apalagi di dalam resumenya, ia juga terlibat remake gagal total dari film yang dicintai oleh sebagian besar penikmat film, yaitu Psycho, 19 tahun lalu, satu alasan yang membuat dirinya sebagai aktor yang cukup tidak disukai dan diragukan kapabilitas aktingnya. Pemulihan karir sepertinya tengah dilakukan oleh Vince Vaughn, ketika pada tahun 2016, ia membintangi Hacksaw Ridge yang disukai oleh kritikus. Tidak hanya itu, penampilan Vince Vaughn sebagai Sgt. Howell mendapatkan perhatian serta pujian oleh penikmat film. Namun, bisakah hal itu kembali ia ulang ketika dirinya diposisikan sebagai fokus utama dalam satu film? Brawl in Cell Block 99 adalah lapangan bermain untuk Vaughn selanjutnya, bedanya kali ini dia adalah karakter utama. 

Apa yang dilakukan Vaughn disini bisa saya katakan seperti yang dilakukan oleh Steve Carrel. Carrel melucuti identitas nya sebagai aktor komedi dengan memerankan karakter yang benar-benar berhasil membuat pangling para penonton. Begitu juga yang dilakukan Vaughn. Karakter Bradley yang ia mainkan disini jelas bukanlah untuk bahan tertawaan orang banyak, bahkan kehadirannya saja rasanya cukup untuk membuat orang bergidik ngeri bila berdiri di dekatnya. Badannya yang tinggi cukup untuk mengintimidasi orang, belum lagi kita membicarakan soal ketenangan serta matanya yang tajam. Vaughn sukses meyakinkan penonton jika Bradley bukanlah orang yang tepat untuk kita ajak berkelahi. Untuk lebih meyakinkan sebagai Bradley yang diceritakan sebagai mantan petinju, Vaughn pun melakukan latihan tinju 3 bulan dan menaikkan berat badannya. Bahkan, para produser film ini,menyatakan bila adegan ketika Bradley menghancurkan mobil istrinya benar-benar dilakukan oleh Vaughn, menggambarkan betapa seriusnya Vaughn dalam memerankan karakternya.

Performa Vaughn sebagai Bradley tampaknya akan sangat berbekas di benak penonton, termasuk saya. Saat pertama kali muncul saja, Vaughn telah memunculkan aura yang sangat berbeda. Tanpa harus melakukan kekerasan atau aksi kriminal, cukup dengan turun dari mobilnya dan melihat raut mukanya saja telah meyakinkan saya jika Bradley bukan orang yang biasa dan memiliki bom waktu dalam dirinya. Intimidatif, menyeramkan, pembunuh, bahkan mungkin psikopat, sebutan-sebutan berbentuk spekulasi tersebut muncul di benak saya ketika melihat Bradley pertama kali. Pertanyaan mengenai performa Vaughn pun juga langsung terjawab seketika. Ya, ini adalah performa terbaik Vaughn sebagai aktor dalam karirnya, berkat penambahan gesture kecil nya yang mampu membuat penonton mengerti apa yang sedang dirasakan Bradley. Bahkan, pengalaman panjangnya sebagai aktor yang bermain dalam film bergenre komedi pun turut membantu Vaughn dalam melayangkan one liner yang cukup menggelitik (pernyataannya akan dirinya malas menonton film dengan subtitle berhasil membuat saya tertawa). Namun bukan berkat Vaughn saja yang membuat karakter Bradley bagi saya akan menjadi salah satu karakter terbaik di tahun 2017, tetapi juga suntikan karakterisasi dari sutradara juga penulis naskah, S. Craig Zehler, tidak bisa kita kesampingkan.

Zehler begitu memperhatikan karakternya, terlihat dari bagaimana ia menghidupkan karakter Bradley. Zehler memberikan sentuhan akan seorang family man terhadap Bradley. Ia mencintai istrinya, bahkan memaafkan Lauren yang ketahuan telah selingkuh dengan pria lain dan tidak serta merta menyalahkan Lauren seorang. Kepedulian terhadap Lauren dan sang calon anak diperlihatkannya dengan memperhatikan keamanan sang istri. Hal ini tentu saja membuat karakter Bradley cukup mudah untuk disukai, dan penonton mau tidak mau merasakan simpati akan takdir Bradley yang mengharuskan dirinya mendekam di penjara. Zehler pun menjadikan karakter Bradley tidak hanya jago dan kuat luar biasa dalam bertarung, namun dirinya juga cukup cerdas nan taktikal dalam melaksanakan pekerjaannya. Terlihat di akhir film yang memperlihatkan strateginya, yang secara tidak langsung menjawab bagaimana Bradley bisa melakukan pekerjaannya sebagai drug dealer dengan lancar, yah paling tidak selama 18 tahun. 

Setelah menyaksikan film ini, saya yakin akan terdapat beberapa penonton yang misleading akibat judul yang dipasang, apalagi ada kata Brawl di judul yang seolah menggambarkan bila film ini akan menyajikan adegan perkelahian antar tahanan dalam skala masif di dalam penjara. Maka saya akan bisa memahami jika ada penonton yang tidak menyukai dari hasil akhir Brawl in Cell Block 99 karena tidak sesuai dengan ekspektasi di awal. Jangankan didominasi sajian aksi, kisah Bradley harus hidup di dalam penjara saja baru bergerak ketika film menyentuh durasi kurang lebih 1 jam. Saya mengakui jika saya juga termasuk di antara penonton yang "tertipu", namun saya malah menyukai apa yang disajikan Zehler. Dan ketika mengetahui jika Zehler juga adalah orang yang paling bertanggung jawab di balik hebatnya film Bone Tomahawk, maka saya pun mengerti dengan apa yang menjadi keputusan Zehler dalam menggerakkan Brawl in Cell Block 99. Yap, tampaknya ini adalah gaya penyutradaraan Zehler, yang lebih memilih menggerakkan plot nya perlahan, cenderung lamban untuk memberikan kesempatan penonton lebih mengenal karakternya. Bedanya, Brawl in Cell Block 99 lebih mudah dikonsumsi walau dengan pergerakan plotnya yang pelan karena segala adegan yang terjadi di dalam Brawl in Cell Block 99 memiliki poin sendiri sehingga tidak sulit untuk menjaga atensi. Satu poin ini pula yang membuat saya lebih menyukai film ini dibanding Bone Tomahawk yang sedikit berat untuk diikuti akibat pelannya pergerakan plot.

Dan jika kalian juga telah menonton Bone Tomahawk, maka kalian pasti bisa mengantisipasi akan adanya beberapa adegan brutal atau gore disini. The Bone Tomahawk pun mungkin akan lebih dikenal berkat adegan ini yang sukses memaksa saya teriak layaknya gadis 14 tahun. Zehler tidak setengah-setengah dalam menyajikan adegan brutalnya, dan tidak hanya itu, Zehler menyajikannya dengan serealistis mungkin dan hadir pada timing yang tidak diduga-duga atau dengan kata lain on time, yang berhasil membuat adegan-adegan gore nya tidak mudah terlupakan, dan juga sukar untuk dilihat, tentu saja.

Lewat Brawl in Cell Block 99, Zehler ingin memperlihatkan pengorbanan seorang pria yang rela melakukan apapun, termasuk mengorbankan dirinya demi keselamatan orang yang ia sayangi, bahkan bila harus mengorbankan dirinya. Setiap pengenalan karakter yang Zehler lakukan di 1 jam sebelumnya berdampak pada momen ending yang bisa dicap sebagai salah satu momen paling menyentuh di 2017. Dan juga Brawl in Cell Block 99 adalah pembuktian dari seorang Vince Vaughn bila ia adalah aktor yang memiliki kapabilitas akting yang tidak bisa kita remehkan lagi.

8,5/10



Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!