Thursday 28 February 2019


Oh boy, what an interesting story we got here. Cerita yang begitu menarik sehingga mampu memaksa saya yang pemalas ini rela untuk membuat suatu tulisan untuk film yang bahkan belum dirilis. Kalau Anda mengikuti perkembangan dari film superhero wanita pertama dari MCU ini, Anda pasti telah mengetahui berbagai kontroversi yang mengitari Captain Marvel sehingga melahirkan backlash dari kalangan penggemar MCU sendiri. Dari trailer-trailer nya yang dinilai kurang meyakinkan, aroma propaganda SJW, fans yang menolak bila nanti Captain Marvel lah yang diisukan merupakan pahlawan yang menyelamatkan The Avengers dan mampu mengalahkan Thanos, hingga yang paling mengganggu fans adalah pernyataan kontroversi dari pemeran Captain Marvel itu sendiri, Brie Larson. Dan yang terbaru adalah situs Rotten Tomatoes memutuskan untuk menghilangkan skor "Want to see" di website tersebut.


Saya merupakan tipe penonton  yang tidak terlalu mengandalkan sebuah trailer untuk mematok sebuah ekspektasi. Kecuali trailer Super Bowl dari Captain Marvel yang cringeworth tersebut, saya tidak terlalu mempermasalahkan trailer-trailer nya yang lain. Betul memang bila dari trailer tersebut kita belum bisa menebak sepenuhnya narasi dari Captain Marvel. Tetapi akan menjadi tindakan teledor pula menurut saya jika pihak Marvel memberikan clue yang banyak di dalam trailer nya. Saya masih ingat bagaimana geramnya saya atas kebodohan pihak Warner Bros atau DC yang menghadirkan sosok Wonder Woman pada trailer film Batman V Superman. Para fans juga mengkritik (atau lebih tepatnya khawatir) akan kapabilitas akting dari Brie Larson yang minim ekspresi pada trailer nya hingga ada yang membandingkan dirinya dengan karakter Bella Swan dari Twilight franchise. Dan disini saya juga kurang sependapat dan sepenuhnya masih mempercayai bila Brie Larson akan memberikan penampilan yang prima nantinya. Kapabilitas akting Brie Larson bagi saya cukup mumpuni, hell, she's already got an Oscar on her pocket. Lihatlah bagaimana meyakinkannya dia memerankan seorang ibu yang hopeless juga depresif pada film Room (2015).




Namun rasa optimis saya mulai memudar kala muncul rumor jika Captain Marvel akan dijadikan kampanye isu politik dari pihak SJW dan ingin menjadikan sosok Captain Marvel adalah ikon dari feminis. Dan isu inilah yang berhasil membuat saya mulai ragu apakah saya masih bisa menyukai film ini atau tidak nanti. Tampaknya pihak Disney masih belum belajar dari bagaimana para fans Star Wars yang sangat kecewa akan hasil akhir dari The Last Jedi maupun Solo. Pihak Disney masih juga belum menyadari jika para fans sama sekali tidak ingin franchise kesayangan mereka dilibatkan dalam politik SJW.

Franchise MCU memang tidaklah setua Star Wars, namun lebih dari satu dekade semenjak Iron Man dirilis, franchise ini berhasil melahirkan para fans yang loyal dan mencintai MCU. Para fans begitu perduli pada karakter-karakter nya, bahkan hingga karakter minor seperti Ned, Maria Hill dan tentunya Phil Coulson. Selain itu, Marvel juga berhasil menaikkan derajat superhero mereka seperti Ant-Man, Dr. Strange, dan The Guardians of the Galaxy. Bayangkan saja, sebuah franchise yang dibangun perlahan namun meyakinkan dengan karakter-karakter yang dicintai di dalamnya, harus tercoreng akibat kepentingan politik semata. Bayangkan rasa kesal nan kecewa yang harus dirasakan para penggemar MCU.


Kondisi yang sudah tidak mengenakkan ini, diperparah pula akan pernyataan-pernyataan tidak penting dari Brie Larson. Sudah bukan rahasia umum lagi bila Brie Larson adalah salah satu "agen" feminis layaknya Amy Schumer, tapi apakah begitu sulitnya untuk menahan pandangan idealisme pribadi terlebih dahulu setidaknya sampai filmnya benar-benar dirilis nanti? Bukan langkah yang bijak tentu saja mengeluarkan komentar berbau diskriminasi nan sexist sebelum film yang dibintangi bahkan belum menghiasi layar-layar bioskop. Tentu saja para penggemar semakin antipati akan sosok Brie Larson. Antipati yang dikhawatirkan akan menghasilkan ketidak sukaan juga terhadap karakter yang diperankan. Andai nanti hasil pendapatan Captain Marvel dibawah ekspektasi (I doubt it, though), maka tidak salah jika Brie Larson menjadi faktor utama.

Hingga yang menjadi perbincangan hangat dalam satu minggu terakhir adalah rating "Want to see" di website Rotten Tomatoes dihilangkan. Terakhir kali, sebelum pembaharuan, skor persentase Want to see untuk film Captain Marvel anjlok hingga 27%!!! "Loh, terus kenapa? Bukan masalah besar kan. Toh, film nya belum keluar. Gw yakin filmnya masih banyak ditonton. Skor "Want to see" mah gak terlalu penting." Benar, skor tersebut bukanlah patokan kuat apakah nanti film ini sukses atau tidak dari segi finansial. Namun, sekali lagi, Captain Marvel bukanlah film sembarangan. Film ini adalah bagian dari MCU, salah satu franchise tersukses dalam satu dekade belakangan. Film yang diharapkan menjadi simbol feminis bagi sebagian orang. Film ini diakuisisi oleh Disney, salah satu studio film terbesar sepanjang masa. Tentunya dengan kenyataan tersebut merupakan hal yang tidak diinginkan.

Penghapusan skor "Want to see" ini dianggap oleh sebagian kalangan penggemar merupakan sebuah langkah desperate untuk "menyelamatkan" citra film Captain Marvel. Tidak hanya itu, langkah ini semakin menguatkan dugaan jika situs Rotten Tomatoes selama ini menganak emaskan film-film keluaran MCU atau dari Disney. Sudah banyak yang mengkritik situs ini dalam pemberian rating nya yang selalu tinggi untuk film-film dari MCU. Kritikus dianggap terlalu jinak pada film-film MCU. Contoh terkuat silahkan lihat begitu tingginya rating yang diterima Thor Ragnarok dan Black Panther yang dirasa tidak terlalu spesial. Awalnya dugaan konspirasi ini terkesan membual dan sekilas hanyalah pernyataan butthurt dari pihak oposisi Marvel (Baca: Fans DCEU). Namun dengan adanya pengupdatean ini, mau tidak mau, dugaan tersebut menguat dan bisa jadi adalah kebenaran. Pihak MCU belum pernah menghadapi situasi seperti ini sebelumnya. Semua film MCU sebelumnya begitu dinantikan, termasuk Captain Marvel bahkan. Maka ketika ada satu film yang untuk pertama kalinya mendapatkan backlash luar biasa seperti ini, terlihat sekali jika pihak Marvel atau Disney mencoba melakukan segala cara untuk mempertahankan reputasi MCU. Sebuah keputusan yang seolah menyiramkan bensin di tengah kobaran api.

Segala kejadian tidak mengenakkan yang mengitari Captain Marvel ini jelas sekali menjadi hembusan angin segar untuk DC. Bila DC mampu memanfaatkan situasi ini, bukan tidak mungkin film bertemakan superhero yang selama ini dikuasai oleh Marvel, berpindah tangan ke pihak DC. Terlebih film rilisan DC, Aquaman (2018), cukup mendapatkan tanggapan positif baik dari segi kualitas maupun finansial. Bukan tidak mungkin ini adalah awal dari runtuhnya kedigdayaan MCU. Lalu pertanyaannya, apakah saya tetap akan menonton film ini? Kemungkinan besar, iya. Karena harus diakui, film Captain Marvel memiliki poin penting untuk film The Avengers selanjutnya, Endgame. Saya hanya berharap, dengan adanya backlash seperti ini, mampu menyadarkan pihak Disney jika para penggemar sama sekali tidak perduli akan agenda politik yang mereka simpan, dan juga tidak rela jika franchise kesayangan mereka dijadikan sebagai wadah propaganda politik SJW.


Wednesday 13 February 2019


"I do not stand by in the presence of evil!"- Alita

Plot

Setting cerita terjadi 300 tahun setelah peristiwa "The Fall", dimana bumi sudah bukan tempat yang nyaman lagi untuk dihuni. Satu-satunya tempat impian bagi mayoritas orang adalah Zalem, kota yang mengambang di langit, yang dipercayai merupakan kota yang dipenuhi kebahagiaan. Di suatu hari, Dr. Ido (Christoph Waltz) membawa pulang bagian inti bermukakan wanita muda di kumpulan barang bekas, tepat di bawah Zalem. Dengan kemampuannya dalam mereparasi, Ido pun memberikan tubuh baru kepada gadis tersebut yang sebenarnya ingin diberikan kepada putrinya. Gadis cyborg ini kelak diberi nama Alita (Rosa Salazar). Alita sendiri sebenarnya memiliki kehidupan sebelumnya, namun sayangnya Alita tidak mampu mengingatnya dengan jelas. Alita pun menjalani kehidupan baru nya bersama Ido, sembari perlahan waktu berjalan, kelak Alita akan menyadari masa lalu serta identitas diri sebenarnya.



Review

Astro Boy dengan bernarasikan Elysium. Hal ini seketika saja terlintas di benak saat Alita terbangun di pagi hari dengan tubuh barunya, serta saat Ido menceritakan mengenai kota mengapung, Zalem. Nuansa cyberpunk jelas begitu kental terasa dengan banyaknya orang yang bagian tubuhnya terdiri dari mesin ditambah kondisi dystopia nya. Organ tubuh mesin tersebut jelas bukan untuk sekedar gaya-gayaan, tetapi telah menjadi kebutuhan primer bagi mereka dalam bertahan hidup. Baik sebagai pekerja, tukang kebun, atau para kriminal. Tidak hanya itu terdapat pula dunia hiburan olahraga bernama Motorball, yang tampaknya dikhususkan untuk mereka, para cyborg, akibat dari permainannya yang brutal dan mempertaruhkan nyawa.

Dunia Battle Angel memang menyimpan banyak sekali layer yang bisa diceritakan. Namun sutradara, Robert Rodriguez, yang kini bekerja sama dengan James Cameron yang membantu dalam penulisan naskah juga produser, memilih untuk lebih memfokuskan cerita pada protagonist utama kita, Alita. Kita akan diajak untuk berkenalan dengan Alita yang seolah baru lahir kembali dengan tubuh barunya. Seraya menjalani hidup nya dengan Dr. Ido, Alita secara perlahan mencoba mengingat masa lalunya. Rodriguez-Cameron pun menceritakan hubungan Alita bersama Ido yang seketika saja menganggap Alita sebagai pengganti anaknya, serta Hugo (Keean Johnson) yang kelak akan menjadi kekasihnya. Bersamaan pula, ancaman mengintai Alita, dimana Vergo (Mahershala Ali), orang yang paling berpengaruh di kota Iron City, yang menganggap keberadaan Alita mulai mengancam. Lambat laun, Alita akan menyadari bila masa lalunya berkaitan erat dengan kota Zalem.

Battle Angel begitu ambisius untuk mengangkat semua isu tersebut, yang menyebabkan penceritaan kurang fokus dan semuanya terasa tanggung atau hambar. Hubungan Alita bersama Ido dan Hugo pun tidak berhasil hingga mampu membuat penonton perduli dan terikat emosi, walau sebenarnya kisah mereka memiliki potensi yang besar sekali untuk membuat penonton terhanyut ke dalam dramanya, terutama hubungan ayah-anak pada kisah Ido dan Alita. Hadirnya Alita diharapkan mampu menggantikan peran sebagai putrinya yang tewas akan suatu kejadian. Walau hanya sekedar "pengganti", namun Ido memberikan kasih sayang dan perhatian sepenuhnya kepada Alita. Bisa dimengerti, bila Ido tidak ingin mengalami kehilangan untuk kedua kalinya sehingga menciptakan sikap protektif terhadap Alita, walau secara subtil, Ido telah mengetahui siapa sebenarnya Alita. Tentu saja sikap protektif Ido tersebut tidak bisa menghentikan rasa ingin tahu Alita, apalagi kenangan masa lalu nya mulai merasuki sistem inti dari Alita. Narasi ayah-anak ini tentu bukan hal baru, tetapi masih lah efektif untuk menghadirkan cerita yang mengikat nan sentimentil. Bayangkan saja gejolak perasaan yang harus Ido tanggung setiap kali Alita menghadapi kondisi yang membahayakan dirinya. Saya begitu mengharapkan adanya momen-momen kedekatan mereka berdua sehingga membuat saya dan npenonton lainnya perduli akan hubungan mereka berdua. Sayang sekali, potensi drama ini tersia-siakan. Cameron yang dibantu oleh Laeta Kalogridis juga di kursi penulis naskah seolah enggan untuk memperdalam hubungan mereka berdua demi narasi-narasi lainnya. 

Praktis, keputusan ini pun mengorbankan pula karakter Dr. Ido yang seolah terlupakan ketika film mulai bergerak lebih dari setengah durasi. Minim letupan konflik atau adu mulut antara mereka berdua. Bentrokan rasa kasih sayang dari Ido yang menghadirkan sikap protektif dan jati diri sebenarnya Alita ini sebenarnya mampu memperkaya ceritanya, tetapi sekali lagi sayang, tidak ditampilkan. Bila kisah Ido-Alita saja tidak mampu mengikat saya, maka saya rasa tidak perlu diperjelas lagi bagaimana pendadapat saya akan kisah romansa Alita dan Hugo. Universe dalam kisah Alita memang belum dieksplor terlalu dalam oleh Rodriguez karena cerita ini tampaknya akan diceritakan kembali di sekuelnya. Maka dari itu, saya bisa mengerti jika penjelasan mengenai The Fall, kota Zalem, kondisi kehidupan sosial saat itu dan tetek bengek lainnya hanya diceritakan sekilas saja.

Karakter Alita disini sudah barang pasti akan membuat para feminisme orgasme. Walau dengan sosoknya yang kecil tersebut, Alita mampu mengajar musuh-musuhnya yang mungkin ukuran tubuhnya berkali-kali lipat dari dirinya. Dengan sejarah hidup Alita sebelumnya, mudah saja untuk memahami mengapa begitu luar biasa kemampuan bela dirinya. Rosa Salazar mungkin kurang mulus dalam memerankan Alita di porsi drama. Ekspresi dari Alita juga cukup mengganggu untuk saya, mungkin hal ini dipengaruhi pula oleh kenyataan bila muka dari Alita merupakan balutan dari CGI. Namun dalam memerankan adegan aksi, Rosa Salazar berhasil menjalankan tugasnya dengan brilian, yang seketika saja mengingatkan saya pada karakter Laura di film Logan. Rodriguez begitu paham dalam menerapkan sekuen aksi yang menghibur. Ambil contoh seperti debut Alita di arena Motorball, yang dilanjutkan ke adegan kejar-kejaran ala parkour. Minor complaint disini mungkin adalah minimnya ketegangan yang tercipta karena penonton merasa sangat yakin Alita lah yang akan muncul sebagai pemenang di setiap konflik pertarungan. Bahkan rasa terancam pun sama sekali tidak terasa ketika Alita beradu jotos dengan Grewishka (Jackie Earle Haley) yang konon merupakan anak buah terkuat Nova, pemimpin kota Zalem. SPOILER AHEAD!!!!*** Disini Alita begitu overpowered sehingga musuh-musuhnya terlihat begitu lemah sekali, bahkan Grewishka. Literally, Alita mampu menguasai kota Iron City dengan kekuatan dirinya sendiri, yang sekali lagi, mengurangi ketegangan setiap adegan laga nya. ***SPOILER END!!!! Tetapi dengan melihat hasil akhir disini, saya bisa bilang Rodriguez telah menciptakan adegan-adegan aksinya yang memanjakan mata. Hal ini tentu dibantu pula dengan penggunaan bijak akan CGI nya sehingga menampilkan kualitas special effect yang mengagumkan berkat budget nya yang "hanya" $ 200 juta.

Dunia dalam kisah Alita masih menyimpan banyak sekali kisah yang bisa diangkat. Dengan hal tersebut pula berimbas pada naskah nya yang mencoba mengangkat beberapa isu sekaligus, sehingga tidak fokusnya cerita begitu terasa. Hal ini mungkin menjadi kelemahan yang cukup mengganggu, namun untuk sajian film aksi yang dibingkai dengan kualitas special effect kelas wahid, Battle Angel tetaplah sajian yang menghibur. Potensi sekuel pun sudah pasti telah direncanakan dengan endingnya yang menggantung dengan menyimpan kisah pemberontakan atau revolusi di film selanjutnya. Tentu saja saya berharap di film selanjutnya, Nova serta kekuasaan atau kekuatannya merupakan lawan yang setara untuk Alita. 

7/10



Thursday 7 February 2019


"Tell you what it is, Mr. Reid. Now, we're four misfits who don't belong together, we're playing for the other misfits. They're the outcasts, right at the back of the room. We're pretty sure they don't belong either. We belong to them."-Freddie Mercury

Plot

Menceritakan perjalanan karir dari seorang Freddie Mercury (Rami Malek) bersama band nya, Queen, beserta kehidupannya yang kontroversial.




Review

Kurang lebih sudah 4 bulan film nya turun dari layar bioskop Indonesia. Euforianya tentu telah lama berlalu dan here I am, dengan tanpa malunya baru menulis kesan menyaksikan drama kehidupan salah satu (jika bukan) vokalis band terbaik sepanjang masa, yaitu Freddie Mercury. Saya menyadari rasanya telah telat sekali membahas film satu ini yang diangkat dari judul lagu monumental milik Queen ini. Tetapi mau bagaimana lagi, perasaan berdosa rasanya akan menghantui saya jika saya lancang untuk tidak menggambarkan kesan saya akan film ini karena saya sangat mengagumi band Queen dengan semua hits nya yang sukar dilupakan, band yang berpengaruh besar dalam menjadikan saya mencintai dunia musik. Sama seperti sosok Freddie Mercury, Film Bohemian Rhapsody memang tidaklah sempurna, tetapi saya rasa film ini telah berhasil dalam "mempromosikan" kembali kepada penikmat musik, terutama untuk kaum milenial kelahiran tahun 2000-an jika di dunia ini, sempat terlahir band ikonik dan memorable yang begitu di cintai pada zamannya.

Bohemian Rhapsody dibuka dengan persiapan Freddie untuk menghadiri salah satu konser termegah yang pernah dilaksanakan, Live Aied. Apakah penampilan Freddie bersama band nya merupakan adegan opening film ini? Tentu tidak, karena film pun bergerak mundur sebelum Freddie menaiki panggung nya. Narasi mundur ke belakang, tepatnya pada tahun 1970, dimana sosok Freddie yang masih menyandang nama kelahirannya, Faroukh Bulsara. Freddie pun masih tinggal bersama keluarganya. Dari momen singkat, kita bisa melihat bila Freddie memiliki konflik dengan ayahnya, Bomi (Ace Bhatti). Tidak lama setelah itu, narasi mulai menceritakan bagaimana awal mula band Queen berdiri. Dari Freddie yang "mengaudisikan" dirinya sendiri di hadapan Brian May (Gwilyn Lee) dan Roger Taylor (Ben Hardy) yang baru saja ditinggalkan penyanyi bnd mereka, kemudian penampilan perdana Freddie hingga akhirnya memutuskan membuat album untuk Queen dan seterusnya. Hingga tirai panggung pertama dituutp dengan lahirnya sebuah lagu yang tidak akan pernah habis di makan zaman, apalagi kalau bukan Bohemian Rhapsody. Sebuah lagu yang kerap dinobatkan sebagai lagu terbaik sepanjang masa.

Penceritaan yang masih terpusat pada awal mula karir Queen ini jelas telah memikat perhatian saya. Naskah yang ditulis oleh duo Anthony McCarten dan Peter Morgan mengajak kita untuk melihat interaksi antar anggota band, juga tidak lupa cerita dibalik lagu BoRhap yang sempat mendapatkan kendala akibat pihak produser label yang merasa lagu tersebut terlalu aneh dan durasinya cukup lama untuk diputar di radio. FYI, di momen ini, duo McCarten-Morgan menyelipkan meta jokes yang melibatkan karakter Mike Myers. Konflik kecil seperti pemilihan lagu yang layak dimasukkan kedalam album pun tidak lupa di sisipkan, yang disajikan dengan cukup jenaka, terutama mengenai judul lagu "I'm In Love With My Car" hasil karya dari Taylor.

Harus diakui, untuk ukuran film biografi keluaran tahun 2018, Bohemian Rhapsody menggunakan formula yang cukup klasik. Apalagi sebelumnya kita telah menyaksikan film biografi yang jauh lebih berani macam Straight Outta Compton (2015). Hal ini cukup menjadi kontradiksi sendiri karena, hey, ini film tentang Queen, tentang Freddie Mercury, yang telah dikenal akan keberanian mereka dalam bereksperimen nya dalam musik. Bahkan, maha karya Bohemian Rhapsody pun terlahir dari keberanian Queen untuk melakukan gebrakan di dunia musik, seperti adanya unsur opera, istilah-istilah asing yang mungkin hanya Tuhan dan Freddie saja yang mengetahui mengapa dimasukkan dalam lagu tersebut, dan pastinya panjang durasinya. Bryan Singer (yang digantikan oleh Dexter Fletcher) seolah enggan untuk menampilkan kisah Freddie Mercury lebih berani.

Fokus penceritaan pun menjadi persoalan tersendiri, terutama kala film mulai memusatkan penceritaan kepada Freddie Mercury. Ada beberapa persoalan yang ingin diangkat, dari kehidupan pribadi, mulai retaknya hubungan Freddie bersama anggota Queen lainnya, orientasi seksual hingga pesta seks Freddie yang terpengaruh oleh Paul Prenter (Allen Leech) sehingga hubungannya bersama Mary (Lucy Boynton) mulai goyah, namun semuanya tidak terlalu dikulik lebih dalam. Bahkan kisah asmara Freddie-Mary pun urung mendapatkan momen personal sehingga tidak salah bila penonton sedikit melupakan hubungan mereka berdua. Konflik nya bersama mantan manajer John Reid (Aidan Gillen) dan Paul pun hanya sebatas lewat saja. Padahal konflik ini mampu menjembatani pandangan media terhadap orientasi seksual Freddie yang tentunya masih menjadi isu yang tabu pada periode 70-80an sehingga mampu memperkaya konfliknya. Penanganan akan momen reuni Freddie bersama Brian May, Roger Taylor dan John Deacon pun terasa terburu-buru, meski tidak ditampik ketika Freddie menyatakan kondisinya di depan mereka bertiga cukup emosional.

Namun lemahnya narasi di pertengahan sanggup dibayar tuntas oleh Singer di bagian penutupnya, ketika Queen akhirnya berhasil manggung di konser Live Aid. Mustahil rasanya untuk tidak emosional kala melihat sosok Freddie yang menumpahkan segala emosinya di setiap gerakan maupun mimik muka dalam penampilannya. Hal itu pun ikut dibantu pula akan penyutradaraan Singer yang menggerakkan kamera begitu dinamis yang mampu menangkap setiap detik penampilan Queen. Keputusan Singer yang tidak mencampur adukkan momen-momen flashback pada penampilan tersebut juga patut diapresiasi sehingga penonton pun mudah untuk memusatkan perhatian kepada aksi panggung Queen saja. Air mata saya pun terpaksa tumpah kala track ikonik milik Queen lainnya yaitu We Are The Champions mulai berkumandang. Semua pahitnya kehidupan yang telah dilalui Freddie tercurahkan dengan satu lagu tersebut berhasil memberikan dampak beberapa kali lipat kepada penontonnya yang telah ikut menjadi saksi kehidupan Freddie.

Keputusan pihak Academy Awards untuk menyertakan Bohemian Rhapsody di nominasi Best Picture tahun ini mungkin patut dipertanyakan, namun rasanya tidak ada yang protes dengan masuknya Rami Malek di nominasi Best Actor, bahkan dirinya berhasil menjadi unggulan utama untuk merebut piala Oscar. Walau dari tampilan muka Malek tidak terlalu mirip dengan Freddie, namun kekurangan tersebut berhasil ia tutupi dengan berusaha untuk bisa semirip mungkin dengan sosok mendiang Freddie dari gestur tubuh maupun mimik muka. Lihatlah bagaimana dengan secara meyakinkannya ia menghidupkan kembali seorang Freddie Mercury di atas panggung. Malek pun berhasil memerankan Freddie yang mudah dicintai ataupun dimaklumi, terlepas dari segala flaw nya sebagai manusia.

Bohemian Rhapsody memiliki potensi untuk menjadi film biografi yang jujur serta ikonik layaknya Freddie ataupun Queen, serta melihat lebih jauh akan sosok Freddie Mercury, sayang memang potensi tersebut tidak mampu di manfaatkan secara maksimal. Kelemahan narasi di pertengahan tentu tidak bisa diabaikan, namun rasanya mudah untuk memaafkan segala minus tersebut setelah third act nya yang luar biasa menghibur.

8/10 

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!