Saturday 31 December 2016


"Life isn't some cartoon musical where you sing a little song and all your insipid dreams magically come true. So let it go."- Chief Bogo

Plot


Memiliki impian ingin menjadi polisi kelinci yang pertama, tentu saja Judy Hopps (Ginnifer Goodwin) mendapatkan penolakan dari ayah dan ibunya. Namun keinginan Judy sudah sangat kuat. Walau harus kesusahan ketika menjalani pelatihan, namun dengan kerja kerasnya Judy mampu mewujudkan impiannya dan bertugas di Zootopia dimana pada kota tersebut memiliki berbagai jenis hewan yang hidup bersama. Namun masalah Judy belum selesai karena ketika dalam kepolisian pun, Judy masih dipandang sebelah mata oleh atasan serta rekan kerjanya. Hari pertama Judy pun hanya bertugas menjadi polisi yang mengatur parkir. Dalam tugas pertama itu pula ia bertemu dengan rubah bernama Nick Wilde (Jason Bateman), seekor rubah yang memiliki kemampuan berbicara yang apik. 







Review

Sulit memang menyaingi kedigdayaan Pixar dalam hal film animasi. Namun bukan berarti rumah produksi film animasi lainnya tidak memiliki usaha, dan tampaknya Disney kembali muncul sebagai saingan yang kuat untuk Pixar, setidaknya dalam tahun 2016 dimana dua film keluaran Disney, Zootopia dan Moana mendapatkan tanggapan yang sangat baik dalam segi kualitas maupun pendapatan pundi-pundi dollar nya. Karena saya belum menyaksikan Moana, maka pada kesempatan kali ini saya akan berbicara mengenai Zootopia yang pada awalnya sempat saya ragukan. Konsep di atas kertas Zootopia, dimana karakter utama ingin mendapatkan pengakuan dalam hal pekerjaan yang diimpikan nya bukanlah sesuatu yang fresh dan sudah banyak film animasi yang mengangkat tema serupa. Namun pepatah tua “Tonton dulu baru berkomentar” memang selalu benar adanya. Karena apa yang coba Zootopia narasikan jauh lebih luas dibanding hanya memperlihatkan karakter utama mendapatkan pengakuan.
Ya, saya tidak menyangka bila semenjak menit pertama Zootopia bergerak, tema diskrimasi lah yang diangkat. Atensi saya tentu telah direnggut karena saya selalu tertarik dengan permasalahan diskriminasi. Cerita teater yang diperankan oleh Judy pada awal film telah memberikan sebuah petunjuk bila walau film ini tetap dibingkai dengan misteri akan pencarian mamalia yang hilang, tema diskriminasi tetaplah yang akan menjadi fokus utama. Saya menyukai pilihan Byron Howard dan Rich Moore untuk lebih mengeksplorasi perihal diskriminasi tersebut disebabkan oleh memang permasalahan itu begitu dekat dengan penonton yang mungkin tergolong minoritas dalam kehidupan bermasyarakat, ketimbang menceritakan lebih akan aspek misteri atau kriminalnya.  Biarlah plot mengenai pencarian mamalia hilangnya dijadikan pondasi untuk sebuah masalah yang jauh lebih besar. Dan menurut saya penanganan cerita akan perbedaan jenis hewan ditangani dengan baik oleh Howard dan Moore yang juga ikut dalam penulisan naskah.
Walau memang dijadikan pondasi, namun bukan berarti kisah pencarian Judy dan Nick mamalia yang hilang menjadi tidak menarik. Misteri yang ditawarkan cukup untuk mengajak penonton menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi, tidak ketinggalan juga twist demi twist yang telah dipersiapkan guna membangun cerita.  Tidak hanya itu, kadar humor dan keseruan kala melakukan misi itu juga tidak menurun dosisnya yang membuat mata penonton tidak diizinkan untuk berpaling. Mengenai humor, Zootopia lebih menguatkannya akan pada interaksi tiap karakter, terkhusus untuk Judy dan Nick. Hal yang menarik akan kedua karakter utama jelas adalah fakta dimana mereka merupakan dua jenis hewan yang seharusnya bermusuhan dan memiliki rantai sejarah yang sulit dilupakan.  Bisa dilihat dimana ada suatu dialog yang dilontarkan ayah dan ibu Judy yang justru lebih mengkhawatirkan anaknya akan diganggu oleh rubah dibandingkan hewan-hewan yang jauh lebih berbahaya lainnya, Judy yang selalu waspada pada awalnya kala berdekatan dengan Nick, dan juga Nick yang menanggap remeh Judy karena, well, she’s just a rabbit. Namun lama kelamaan kedekatan mereka yang awalnya hanya keterpaksaan akan keadaan, menjadi pertemanan yang begitu dekat dan juga menjadi pembelajaran bagi masing-masing untuk lebih menerima perbedaan yang terjadi. Interaksi yang kuat serta dinamis antara Judy dan Nick mau tidak mau memaksa penonton untuk perduli dengan persahabatan mereka. Maka ketika persahabatan mereka terdapat sebuah konflik yang memaksa mereka berpisah, penonton pun juga ikut kehilangan dan saya pribadi pun sampai membatin “ayo dong baikan” sehingga ketika momen dibawah jembatan terjadi, penonton pun ikut merasa haru walau sebenarnya adegan tersebut klise. Sebagai karakter per individual pun Judy dan Nick sudah memiliki karakterisasi yang mumpuni. Judy adalah kelinci yang pantang menyerah, optimis, cerdas dan juga tekun, karakter wanita yang bersifat independen. Biasanya saya kurang begitu menyukai karakter yang begitu “putih”, tetapi Judy merupakan pengecualian. Begitu pula dengan Nick yang memiliki kemampuan bicara diatas rata-rata dan juga memiliki otak yang tidak kalah cerdasnya dengan Judy. Kudos untuk para dubber yang bekerja dengan baik, terutama Ginnifer Goodwin yang mampu membuat karakter Judy Hoops begitu manis dengan semua rasa optimisnya dan juga begitu mudah disukai kala menit pertama berjalan. Jason Bateman pun melakukan hal yang fantastis dalam mengisi suara Nick Wilde yang cerewet namun bukannya menjengkelkan malah berakhir lucu dan tetap menjadi karakter yang disukai.
Walau memang tidak menawarkan hal yang baru, tetapi tidak bisa dipungkiri Zootopia menawarkan tontonan yang begitu fun, menampilkan kedua karakter yang mengasyikkan juga jalinan cerita yang mampu membuat penonton tertarik untuk mengikuti hingga akhir. Tidak lupa juga momen-momen komedi nya yang efektif dalam mengajak tawa penonton (bagian Kungkang tetap yang terbaik). Dan ya, i love Shakira’s Try Everything.

8/10

Wednesday 28 December 2016



"What we lost in the fire, we found in the ashes"- Sam Chisolm

Plot


Emma Cullen (Haley Benett) adalah salah satu penduduk desa dari Rose Creek, dimana desa tersebut sedang dikuasai oleh pengusaha keji bernama Bartholomew Bogue (Peter Sarsgaard). Terbawa oleh keinginan dendam atas kematian suaminya, Emma meminta bantuan Sam Chisolm (Denzel Washington) untuk membantu penduduk desa menyingkirkan Bogue. Sam, yang menerima permintaan tersebut, mencoba mengumpulkan kenalan-kenalan nya yang dirasa mampu membantu misi mustahil itu.




Review


Dari judulnya saja bisa ditangkap bila film ini terinspirasi (atau remake) dari film klasik nan legendaris hasil polesan Akira Kurosawa yaitu Seven Samurai serta versi Hollywoodnya yang berjudul sama. Saya belum menonton kedua film tersebut sehingga saya pun tidak berani membandingkan kemiripan lainnya. Plot yang diangkat dalam garapan teranyar Antoine Fuqua sangatlah simple. Mengenai sebuah wilayah yang diduduki oleh penguasa kejam yang mengambil semua keuntungan sumber daya dari tempat tersebut, hingga timbul perlawanan dari penduduk wilayah yang bernama Rose Creek tersebut dengan menyewa 7 koboi (well, six actually) yang mahir dalam menggunakan senjata. Ya, sangat sederhana sehingga wajar apabila pada bagian third act nya menghabiskan hampir menyentuh durasi 45 menit. Tetapi sebelum menuju kesana, penonton akan diajak untuk melihat bagaimana kejamnya Bartholomew Bogue yang diperankan dengan baik oleh Peter Sarsgaard. Bogue merupakan karakter classic villain yang membuat penonton begitu muak ketika ia tampil di layar. Lihatlah dengan begitu dinginnya ia membunuh salah satu penduduk di depan rumah Tuhan dan di depan banyak orang. Dan sekali lagi, Sarsgaard berhasil dengan brilian memerankan Bogue. Selain Bogue, Haley Benett pun mencuri perhatian (no, i’m not talking about her cleavage) dimana Emma Cullen (nenek moyangnya keluarga Cullen, okay, i’m just playin’ with you) yang diperankannya memancarkan perempuan yang kuat, namun juga memiliki kerapuhan lewat sorot matanya. Emma pun memiliki momen-momen yang membuktikan bahwa dirinya bukanlah perempuan yang lemah, dimana dia juga turut membantu dalam perang melawan pasukan Bogue. Tak ayal, karakter Emma mengingatkan saya akan karakter Katniss Everdeen di The Hunger Games (terlepas dari kemiripan muka antara Haley Benett dan Jennifer Lawrence).

Permasalahan utama The Magnificent Seven jelas motivasi tiap karakter untuk membantu penduduk Rose Creek melakukan perlawanan kurang kuat. Kecuali Sam Chisolm (yang akan diungkapkan pada akhir cerita), naskah yang dibuat oleh Richard Wenk dan Nic Pizzolatto tidak mengajak penonton untuk menelusuri lebih jauh motivasi enam karakter lainnya. Untuk sebuah “misi” menyerahkan nyawa seperti itu (apalagi hampir semua anggota The Magnificent Seven sadar betapa hebat sumber daya yang dimiliki Bogue ), tentu diperlukan sebuah dorongan yang kuat, terutama untuk karakter-karakter yang sebelumnya tidak diperlihatkan memiliki hati bagai seorang ksatria . Walau tiap anggota The Magnificent Seven cukup likeable karena tiap anggota memiliki keunikan, tetapi dengan motivasi yang kuat tersebut penonton akan merasakan keterikatan yang jauh lebih dalam dengan mereka. Motivasi yang memutuskan Sam Chisolm meminta bantuan keenam karakter lainnya pun cukup dipertanyakan mengingat hanya dengan Goodnight Robicheaux saja ia memiliki hubungan pertemanan.
Tetapi mungkin hal-hal tersebut sengaja “dikorbankan” oleh Fuqua demi menampilkan adegan third act nya yang harus diakui sangatlah menghibur. Dengan diiringi scroing garapan Simon Franglen dan James Horner, desingan peluru, ledakan dinamit, aksi keren yang ditampilkan Billy Rocks serta karakter-karakter lainnya tentu memberikan pengalaman  menonton yang mengasyikkan. Dan mungkin saja gun fight sequence yang dimiliki The Magnificent Seven ini merupakan salah satu yang terbaik pada tahun ini. Sebelum menuju third act pun juga tidak kalah menariknya dimana Fuqua memilih untuk menggerakkan narasinya dengan mengajak kita melihat persiapan para penduduk untuk menghadapi perang melawan pasukan Bogue. Walau tidak berhasil secara optimal, tetapi apa yang diputuskan oleh Fuqua patut diapresiasi.
Sebagai karakter utama, Sam Chisolm sepertinya ingin diperlihatkan oleh Fuqua sebagai a badass hero with a silent type, apalagi ditambah dengan setelan baju hitamnya yang semakin menambah kesan tersebut. Ketika Denzel Washington yang mengemban tugas tersebut tentu saja penonton tak perlu cemas. Denzel Washington tak diragukan lagi memiliki seorang kharisma pemimpin sehingga tidak aneh apabila ia merupakan pemimpin di Magnificent Seven. Karakter Sam ini tentu mengingatkan saya akan peran Denzel lainnya yaitu Training Day sebagai Alonzo Harris, hanya ini adalah versi good guy.  Chris Pratt tentu tanpa kesulitan memerankan Joshua Faraday yang sedikit selengekan, walau harus diakui karakter ini mengingatkan kita akan peran yang membuat Chris Pratt menjadi hot komoditi di Hollywood saat ini, siapa lagi kalau bukan James Quill a.k.a Star Lord. Ethan Hawke, yang bekerja sama dengan Denzel Washington di Training Day yang keren itu, juga menarik perhatian dengan kalimat-kalimat sarkas nya. Menarik juga bila Goody yang walau memiliki kemampuan menembak yang jauh lebih baik dibanding lainnya, memiliki halusinasi dalam pikirannya yang memaksa dirinya untuk tidak menembakkan senjata lagi, dan Ethan Hawke tak kesulitan memerankan Goody yang memiliki paranoid itu.Karakter Jack Horne yang diperankan Vincent D’Onofrio pun tidak mengecewakan seperti banyak kata penikmat film. Mungkin hanya Vasquez yang terkesan biasa saja dan tidak menarik perhatian, kecuali bila ia berinteraksi dengan Chris Pratt. Dua karakter paling badass patut disematkan oleh Billy Rocks-nya Lee Byung-huun serta Red Harvest yang diperankan dengan baik oleh Martin Sensmeier, terutama Billy. Dari awal karakternya diperkenalkan saja, kita sudah tahu bila karakter ini akan menjadi karakter yang paling keren dalam film ini. Kalem, pendiam, dan juga dilengkapi dengan keahlian melempar pisau yang luar biasa. Dan benar saja, pada third act nya, Billy-lah yang paling mendapatkan banyak momen-momen badass.
Kesimpulannya, The Magnificent Seven tidak jauh berbeda dengan film-film popcorn lainnya. Sedikit menderita dalam penceritaan, dan juga overlong. Namun, dengan kerja bagus para castnya (terutama Halley Bennett yang membuat Emma Cullen adalah salah satu karakter perempuan terbaik tahun ini) serta third act nya yang luar biasa menghibur, The Magnificent Seven merupakan sajian western yang cukup menghibur walau kurang berkesan dan cukup pula mudah dilupakan.

7/10

 

Tuesday 27 December 2016




 "Look at you. Look at you. Sakit lo"- Bayu

Story

Nomura (Kazuki Kitamura) merupakan tipikal pria idaman para wanita. Dia eksekutif kaya, berkharisma dan juga pandai bergaul dengan wanita. Namun siapa yang menyangka bila ia memiliki hobi membunuh perempuan yang ia ajak ke rumahnya. Tidak hanya itu, setiap pembunuhan yang ia lakukan selalu ia unggah ke sebuah website. Salah satu penggemar Nomura adalah Bayu (Oka Antara), mantan jurnalis yang hancur karirnya akibat menulis artikel mengenai salah satu pejabat ternama, Dharma (Ray Sahetapy). Dampak akan dipecatnya Bayu berimbas akan ketidak harmonisan dengan sang istri, Dina (Luna Maya) sehingga mereka tinggal terpisah. Akibat suatu kejadian, Bayu terinspirasi akan "kegiatan" Nomura, dan mengeluarkan sisi gelap dalam dirinya.





Review


Bagaimana mendeskripsikan sebuah film yang bagus? Bila pertanyaan itu diajukan kepada saya, saya akan menjawab dengan sederhana, film yang mampu membuatmu tenggelam dalam ceritanya dan meninggalkan kesan ketika film berakhir. Dengan naskah cerita yang berkualitas, penonton pun akan merasa terikat sehingga tidak mempermasalahkan berbagai segi teknis lainnya, seperti sinematografi, CGI atau aspek lainnya. Walau durasi nya panjang pun, penonton tidak merasakan jenuh sedikitpun disebabkan bagaimana pintarnya sutradara merepresentasikan apa yang telah penulis naskah buat (Dwilogi The Godfather merupakan contoh yang bagus). Setelah naskah cerita yang jempolan, kesan yang akan didapatkan setelah menonton pun hampir pasti di dalam genggaman. Penonton akan mendiskusikannya, sehingga tidak jarang penonton rela menonton dua-tiga kali hanya ingin mendapatkan jawaban yang sebenarnya. Dan itu yang dimiliki Killers karya Mo Brothers yang brilian ini.

Sesuai dengan tag line di poster film, naskah yang ditulis Timo Tjahjanto dan Takuji Ushiyama ini mengajak penonton untuk melihat bahwa manusia pasti memiliki sisi buruk dalam dirinya, dan dalam film ini sisi buruk yang diangkat adalah keinginan untuk membunuh. Diperlihatkan juga kedua karakter utama dalam Killers memiliki motif berbeda dalam menjalankan “pekerjaan sampingan” mereka itu. Nomura memiliki masa lalu yang buruk sehingga ingin ia lampiaskan dengan membunuh setiap wanita yang ia ajak ke rumahnya. Rasa kesepian pun turut menyelimuti Nomura, dengan alasan itu pula ia sering meng-upload video membunuhnya untuk bisa menemukan seseorang yang sama atau bisa mengerti akan hobi nya tersebut. Berbeda dengan Bayu yang ingin menuntaskan dendam pribadinya sehingga ia bisa hidup tenang dengan keluarga kecilnya. Dalam menjalankan aksi membunuh pun kedua karakter begitu bertolak belakang. Nomura yang telah memiliki pengalaman sangat teliti ketika sebelum, saat atau pun sesudah membunuh korbannya. Bayu, yang sebelumnya hanya lah jurnalis biasa dan mulai melakukan aksi membunuh seperti Nomura karena suatu insiden, melakukan aksinya dengan natural dan selalu mengalami sebuah gangguan.

Sebagai film bergenre Psychological Thriller, tentu Mo Brothers tidak lupa untuk pula menyoroti keadaan psikis karakternya, dan dalam hal ini keadaan psikis Bayu yang disoroti lebih jauh. Aspek ini pula lah yang merupakan keunggulan utama Killers. Dihimpit oleh permasalahan keluarga, kerjaan dan ingin lepas dari pandangan sebelah mata dari ayahnya Dina, Bayu merasakan tekanan yang hebat hingga memaksa dirinya untuk mengambil jalan pintas demi keinginan yang selalu diidam-idamkan. Namun akibat pekerjaan barunya itu juga lah pikiran Bayu mulai terganggu yang membuatnya sering berhalusinasi dan kehidupannya pun mulai diambang kehancuran. Ketika semuanya telah berjalan terlalu jauh untuk kembali, orang-orang yang ada di sekitar Bayu pun ikut terseret akan apa yang telah Bayu perbuat. Third act yang ditampilkan Mo Brothers bisa jadi merupakan salah satu penutup terbaik yang dimiliki perfilman Indonesia. Susah dibayangkan bagaimana kondisi salah satu karakter setelah semuanya terjadi, dan hal itu pula yang cukup menghantui penonton kala black screen muncul di layar. Mengenai adegan thriller action nya, Mo Brothers juga tidak mengecewakan. Mo Brothers kembali membuktikan bila adegan mencekam dan mampu menggedor jantung penonton tidak perlu skala yang besar dan melibatkan budget tinggi. Terbukti hanya dengan memanfaatkan mobil taksi dan gedung tak terpakai ternyata telah lebih dari cukup untuk memperlihatkan sebuah sajian aksi yang berkelas, namun favorit saya adalah adegan on-foot chase scene yang terjadi dalam lorong hotel yang digarap dengan sederhana, namun begitu keren dan tentu nya menggedor jantung. Sangat Brilian. Semuanya semakin lengkap dengan musik hasil garapan Fajar Yuskemal dan Aria Prayogi yang mampu menaikkan adrenalin dan juga menambah kesan ironi untuk adegan di akhir nya.

Yang cukup mengejutkan adalah bagaimana Mo Brothers masih sempat-sempatnya memasukkan kritik akan fenomena masyarakat yang begitu tak terpisahkannya dengan gadget. Isu yang diangkat ini begitu dekat dengan apa yang terjadi sekarang dimana orang jauh lebih memilih untuk mengabadikan suatu kejadian, ketimbang memanggil pihak berwajib untuk menangani kejadian itu. Hebatnya lagi, adegan yang ditampilkan tidak maksa dan masuk dalam penceritaan.
Killers bukan tanpa kekurangan. Kekurangan terbesar adalah begitu flat nya Kazuki Kitamura ketika harus memerankan akting dalam kadar drama. Percakapannya dengan Rin Takanashi begitu datar sehingga tidak salah bila penonton jauh lebih memilih apabila sub plot untuk karakter Nomura dihilangkan saja. Namun tidak masalah karena Kitamura membayar lunas akan akting datarnya tersebut kala karakter nya masuk ke dalam mode pembunuh psikopat. Sentuhan black comedy yang ada di Killers juga semuanya melibatkan karakter Nomura. Selain adegan menit terakhir, adegan saat Nomura diinterogasi oleh polisi setempat pun mampu memunculkan kelucuan tersendiri.

Mengenai akting, Oka Antara tentu saja yang terbaik. Boleh saja Reza Rahardian atau Abimana Setya saat ini dianggap sebagai aktor kelas atas saat ini, namun bila berbicara akting, Oka mungkin tidak kalah bila dibandingkan dengan mereka berdua. Sebagus-bagusnya Reza Rahardian, dia belum terlalu menonjol kala harus bermain dalam film bernuansa thriller. Oka Antara telah menerjuni dunia akting film berbagai genre. Percintaan? Ada Hari untuk Amanda dimana ia berakting sangat baik disitu (ada Reza Rahardian juga). Thriller? Oka menunjukkan totalitasnya. Ketika adegan aksi dia perankan dengan brilian, pun juga dengan adegan drama nya dimana Bayu yang mulai terganggu keadaan psikisnya mampu dipresentasikan oleh Oka Antara dengan sangat bagus. Momen terbaik nya tentu saja ketika semua karakter utama dipertemukan dalam gedung tak terpakai itu. Marah, kesedihan, penyesalan, serta ketakutan semua terangkum dalam ekspresi Oka, menunjukkan bahwa akting nya patut diperhitungkan.

Tidak banyak film Indonesia yang mampu membuat saya terdiam, merenung, sembari membatin “bagaimana nasib si A ya?” setelah menonton. Mungkin baru Laskar Pelangi yang mampu membuat saya merasakan sensasi itu, dan list pun bertambah dengan judul film Killers yang dengan briliannya mampu membuat saya terikat akan cerita serta karakternya yang menyebabkan saya tidak mampu menahan diri untuk memberikan rating tinggi dibawah ini.

8,5/10





Plot

 Pada tahun 1920-an dimana Jepang menguasai wilayah Korea Selatan, terdapat sebuah kelompok bernama Righteous Brotherhood yang dipimpin oleh Jung Chae-san (Lee Byung-Hun) yang mampu memberikan perlawanan sengit akan pemerintahan Jepang sehingga pihak Jepang mengutus salah satu polisi kewarganegaraan Korsel yang bekerja pada Jepang, yaitu Lee Jung-Chol (Song Kang-Ho) untuk mendekati salah satu tangan kanan Chae-san, yaitu Kim Woo-Jin (Gong Yoo).








Review





Susah untuk menentukan mana film mengenai mata-mata terbaik di antara Infernal Affairs dan The Departed. Di satu sisi, Infernal Affairs tetaplah pelopor bagaimana sebuah film mengenai mata-mata harus dibuat sehingga berakhir dengan brilian, di sisi lain saya jauh lebih menikmati sajian yang dibuat ulang oleh Martin Scorsese dengan The Departed nya yang menurut saya jauh lebih emosional. Tetapi satu hal yang pasti, dua film tersebut telah memberikan sebuah standar yang begitu tinggi dalam hal spy movie. Maka dari itu, saya cukup menantikan sajian terbaru dari (sutradara I Saw The Devil) yang intinya mengenai pertikaian antara Korea Selatan dan Jepang dengan menempatkan informan dari satu pihak ke pihak musuh.
Berbeda dengan Infernal Affairs dan The Departed, dalam The Age of Shadows informan utama diemban oleh satu karakter, yaitu Lee Jeong Chul yang merupakan seorang inspektur polisi yang bekerja untuk Jepang. Film yang merupakan perwakilan dari negeri Ginseng di ajang Academy Awards dalam kategori Best Foreign Movies ini sedari awal film mengajak penonton secara perlahan bagaimana Jeong Chul bisa bersedia untuk membantu pihak pemberontak dalam misi untuk menyelundupkan bahan peledak dari Shanghai ke Gyeongsheong yang memiliki risiko yang begitu tinggi. Rasa simpati Jeong Chul yang muncul terhadap karakter Kim Woo Jin,yang awalnya hanya ingin dimanfaatkan nya, bisa dipahami setelah hubungan pertemanan antara dirinya dengan Woo Jin tercipta. Penonton bisa memaklumi alasan Jeong Chul yang akhirnya bersedia membantu Woo Jin berkat chemistry yang meyakinkan antara Song Kang-Ho dan Gong Yoo. Tak ayal dilematis pun membumbung tinggi kala Jeong Chul berdiri diantara pihak Jepang atau Korea, dimana kedua pihak tersebut membutuhkan bantuannya. Semua rasa kegelisahan serta dilema tersebut dipresentasikan dengan baik oleh Song Kang-Ho yang juga pernah bermain dalam film drama thriller kelas satu dari Korea Selatan pula yaitu Memories of Murder.
The Age of Shadows tentu memiliki flaw tersendiri. Yang cukup mengganggu tentu durasinya yang mencapai 140 menit dimana ada beberapa momen yang saya rasa sedikit keteteran dan kurang mengundang atensi sehingga pada pertengahan film saya merasakan sedikit kebosanan. Walau memang harus diakui Kim Jee-Woon cukup mampu mengikat atensi penonton dengan menciptakan atmosfir paranoid dalam pergerakan plot yang cukup lambat, namun sedikit kebosanan masih ada yang saya rasakan. Untungnya ada beberapa adegan aksi yang mampu membawa saya kembali untuk menikmati The Age of Shadows. Train sequence pada pertengahan film merupakan momen terbaik di film ini. Bukan perihal aksinya, namun bagaimana sang sutradara begitu piawai dalam membangun tensi yang membuat penonton bagaikan pemberontak itu sendiri yang sedang dalam penyamaran. Hingga puncaknya ketika ketiga karakter sentral dalam satu frame, saya tidak bisa untuk menahan diri saya untuk tidak teriak “WOW” karena durasi baru pertengahan film namun The Age of Shadows telah menampilkan momen yang seharusnya lebih layak untuk disimpan menjelang akhir film. Setelah adegan kereta api berakhir pun rasa suspense yang telah terlanjur membumbung tinggi pun tidak pernah terasa kendor karena selain keahlian Jee-woon membangun atmosfir suspense yang dirangkai dengan grafis kekerasan yang cukup mengganggu, penonton telah terikat dengan karakter nya yang turut menciptakan rasa peduli pada beberapa karakter. Karakter Hashimoto yang diperankan oleh Um Tae-Goo berhasil mencuri perhatian dengan karakternya yang di bumbui sociopath serta nuansa dingin yang senantiasa hadir kala karakternya muncul di layar. Lee Byung-hun pun selalu tidak mengecewakan dengan kharisma nya yang kuat.
Walau sedikit overlong, saya tidak menyangkal bila The Age of Shadows merupakan sajian spy movie yang berkualitas. Dibantu pula dengan production house yang berhasil menciptakan suasana vintage jaman dulu dengan meyakinkan, serta atmosfir paranoid yang dibumbui pula dengan tingkat kekerasan yang cukup tinggi, The Age of Shadows kembali membuktikan bahwa kini perfilman Korea Selatan adalah salah satu front runner  dalam  hal menciptakan film yang berkualitas di benua Asia.

7,5/10
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!