Monday 31 December 2018


"Listen to me, we're going on a trip now, it's going to be rough."- Malorie

Plot

Virus misterius yang menyerang seluruh dunia, termasuk negeri Amerika (tentu saja) mengakibatkan Malorie (Sandra Bullock) terjebak di dalam rumah, bersama orang-orang lainnya yang secara beruntung belum ikut terkena virus tersebut, salah satunya adalah Tom (Trevante Rhodes) yang menyelamatkan Malorie. Virus yang tersebar itu memberikan gejala ke siapapun yang terkena melalui kontak mata untuk melakukan tindakan membunuh dirinya sendiri. 




Review

Film yang diadaptasi dari novel Josh Malerman dengan judul yang sama ini segera saja menjadi sebuah pop culture tersendiri berkat berpuluh gambar meme yang tersebar di internet. Konsep cerita nya memang tidak sepenuhnya original karena di tahun yang sama kita telah dihadiri A Quiet Place yang sama-sama memiliki genre horror. Bila pada film John Krasinki tersebut ancaman akan hadir bila para karakternya mengeluarkan suara sekecil apapun, karakter-karakter yang terlibat dalam Bird Box harus dipaksa harus menutup mata mereka demi menghindari virus misterius yang mengancam mereka. Bird Box pun membuka narasinya dengan langsung menghadirkan tragedi chaos yang langsung saja menyita perhatian saya. Saya yang awalnya hanya ingin melihat sekitar 15 menit di awalnya saja, seketika berniat untuk langsung melahap habis film produksi Netflix ini. Kalau di adegan awal nya saja sudah menghadirkan keseruan gila seperti itu, tentu saya akan mendapatkan hal lebih gila lagi di menit-menit sisanya. Dan sayangnya, keinginan tersebut berakhir dengan rasa yang sedikit kecewa karena di sisa menitnya, karena film dari Susanne Bier ini sama sekali tidak ada letupan konflik yang mampu menyaingi adegan chaos tersebut. Jangankan menyaingi, mendekati saja pun tidak.

Bier menyajikan dua cerita timeline yang berbeda. Yang pertama adalah perjuangan Malorie melakukan perjalanan dengan kedua anaknya ke suatu tempat, lalu yang kedua adalah cerita 5 tahun sebelumnya menceritakan kisah bertahan hidup Malorie dan Tom dimana Malorie yang saat itu masih dalam kondisi mengandung. Narasi yang kedua tentu diniati Bier untuk mengeksplorasi karakter Malorie serta pertemuannya dengan Tom yang merupakan love interest dari Malorie. Namun disinilah yang merupakan faktor terlemah Bird Box. Sama seperti The Purge (2013), potensi yang luar biasa menarik pada Bird Box tidak mampu dimanfaatkan secara maksimal oleh Bier. 

Tempo film yang begitu tinggi di awal film tidak bisa dijaga oleh Bier. Praktis, setelah Malorie harus terjebak di dalam rumah yang dimiliki Greg (BD Wong), tensi film melambat tanpa adanya konflik yang berarti. Tidak ada perdebatan hebat yang terjadi antar penghuni yang bertahan hidup, tidak ada juga ancaman dari luar rumah yang membuat penonton menahan nafas. Ada satu momen yang sebenarnya bisa dimaksimalkan oleh Bier meletupkan konfliknya saat para karakter harus keluar dari rumah tersebut akibat persediaan makanan di dalam rumah telah menipis. Namun kembali, potensi tersebut dilewatkan saja. Andaikan saja Bird Box memiliki sutradara seperti Ari Aster yang memiliki visi luar biasa dalam menakut-nakuti penontonnya. Saya masih berharap bila di akhir film, Bird Box akan menghadirkan momen ending yang powerful layaknya Hereditary (my favorite movie this year), tetapi kembali, saya dikecewakan akan ending nya yang tampaknya diniati untuk membuka potensi sekuel film ini. Saya mencoba mencari tahu di internet apakah memang Bird Box versi novel memiliki akhir yang sama, dan kenyataannya versi novel dari Malerman memiliki ending yang lebih disturbing dibandingkan filmnya.

Naskah Bird Box yang ditulis oleh Eric Heisserer juga tidak memberikan ruang eksplorasi dalam terhadap karakter-karakternya sehingga saya tidak menyalahkan Anda jika Anda tidak terlalu perduli karakter selain Malorie dan Tom, bahkan untuk Tom sendiri masih kurang digali dengan dalam walau memang ada beberapa dialog didalamnya yang menceritakan tentang dirinya. Interaksi antar karakter minim sekali akan nuansa yang berwarna, seolah memang perbincangan yang terjadi tampak diniati sebagai pembunuh waktu. Satu-satunya faktor yang membuat saya cukup bertahan mengikuti Bird Box tidak lain tidak bukan adalah karena adanya John Malkovich yang memerankan Douglas berkat karakternya yang tidak bisa ditebak akan kelakuannya. Karakter Douglas juga terasa manusiawi dibandingkan karakter lainnya. Terdapat ambiguitas yang tersimpan, dan hal ini seharusnya bisa dimanfaatkan oleh baik oleh Heisserer.

Sandra Bullock jelas telah melakukan tugasnya dengan baik. Bullock adalah salah satu aktris yang memiliki kharisma likeable yang terpancar. Berkatnya, Malorie terlihat sebagai wanita yang tidak lemah walaupun memerankan karakter yang tengah mengandung. Bullock mampu menghidupkan setiap kalimat yang terlontar dari mulutnya. Hal tersebut terlihat di bagian ending nya yang cukup emosional berkat delivery dari Bullock. Sayang memang, Bullock tidak dimodali dengan naskah yang brilian. Bird Box jelas memiliki semua potensi yang bisa memberikan teror yang tak terlupakan kepada penonton, namun sekali lagi, Bird Box hanya berakhir sebagai film penghasil ide untuk kreator meme. Tidak jelek, tetapi tentunya bisa berakhir jauh lebih memuaskan dengan semua potensi didalamnya.

7/10

Friday 28 December 2018



"We are alone. No matter what they tell you, we women are always alone."- Sra. Sofia

Plot 

Menceritakan kehidupan seorang pembantu rumah tangga, Cleo (Yalitzia Aparicio) di Mexico City pada tahun 1970an.




Review

Bagus atau tidaknya film tentu adalah jawaban subjektifitas dari masing-masing penonton, tidak perduli sebegitu kerasnya sangkalan sebagian besar dari mereka. Bagi saya, film akan saya katakan bagus bila film tersebut mampu memberikan pengalaman yang menyenangkan kala menyaksikannya. Kemudian, akan menjadi istimewa jika film menuturkan kisah yang relatable, atau/serta memberikan kesan mendalam sehingga susah dilupakan. Intinya, saya tidak akan terlalu memperhatikan hal-hal teknis dalam film. Ketika saya telah menikmati filmnya, saya tidak akan malu bilang bila saya suka film tersebut, entah kritikus bicara berbeda atau tidak. Sejauh ini, film guilty pleasure yang muncul di benak adalah Transformers: Dark of the Moon (karena kebetulan memiliki kesempatan menontonnya di bioskop), lalu American Pie dan Machete. Mungkin saya telah beberapa kali memberikan pernyataan di blog ini jika saya cukup kesulitan menyukai atau menikmati film yang memiliki pergerakan tempo yang cukup lambat, apalagi film nya minim akan letupan konflik yang mampu menyita perhatian. Namun, bukan berarti juga saya secara otomatis tidak akan menyukai film sejenis. Buktinya, saya mengagungkan There Will be Blood atau juga Taxi Driver. Film-film tersebut memiliki letupan konflik yang berhasil menyita perhatian saya atau karakter didalamnya yang compelling. Bahkan saya pun menyukai film yang baru saya review, Leave No Trace. Sayangnya, Roma tidak memiliki ini.

Judul "Roma" sendiri diambil dari nama kawasan di Mexico City, dimana sang sutradara, Alfonso Cuaron, menghabiskan masa kecilnya. Film Roma sendiri memang jenis film semi autobiografi yang didedikasikan Cuaron untuk Libo Rodriguez, yang merupakan pengasuh Cuaron di masa kecilnya. Ibarat kata, Roma adalah surat cinta dari Cuaron teruntuk Libo, maka tidak heran jika Roma menjadi karya yang personal untuk Cuaron. Cuaron seolah ingin memperlihatkan jasa besar seorang pembantu rumah tangga (PRT) yang kerap terlupakan. Berdasarkan hal itu pula tampaknya menjadi alasan Cuaron memilih untuk menyajikan rutinitas sehari-hari Cleo di menit-menit awal. 

Dari opening credit nya, Roma seolah telah memberikan clue akan jadi seperti apa film ini. Tempo berjalan lambat dengan teknik long take yang telah menjadi ciri khas dari Cuaron. Letupan konflik pun sangat minim sekali, sehingga saya pun masih menerka-nerka sebenarnya apa yang menjadi pusat cerita dari Roma. Pendekatan Cuaron ini seketika mengingatkan saya akan film Paterson. Dan percayalah, kesabaran tingkat tinggi memang sangat diperlukan. Entah berapa kali saya memeriksa durasi film yang telah berjalan karena saya merasa film seolah telah berjalan 1 jam lebih. Lambannya tempo film ini merupakan faktor terkuat mengapa saya kesulitan menikmati Roma. 

Pendekatan Cuaron ini memang bertujuan untuk menghasilkan keterikatan penonton dengan sentral karakter dalam Roma, yaitu Cleo. Dari bermacam tugas yang ia kerjakan, seperti membersihkan kotoran anjing di koridor, menemani 4 anak dari dr. Antonio (Fernando Grediaga) dan Sra. Sofia (Marina de Tavira), menjemur pakaian hingga mematikan semua lampu di setiap sudut rumah. Tak terpungkiri memang, secara tanpa sadar, rasa perduli atau keterikatan emosional telah tercipta. Dan ini akan mempengaruhi reaksi Anda saat konfliknya memuncak kala durasi mendekati 30 menit terakhir dalam film. Sebelumnya, sekali lagi, harap Anda bersabar mengikuti adegan-adegan lambat nya. Pada puncak konflik, ada satu adegan shocking yang mengingatkan saya akan karya Cuaron sebelumnya, Children of Men. Bila di film tersebut Cuaron menyajikan proses, maka disini yang lebih dieksploitasi adalah aftermath nya. Reaksi Anda mungkin akan sama seperti Cleo pada adegan itu, terutama jika Anda adalah perempuan.

Disajikan dengan layar hitam putih untuk menambah kesan "jadul" nya, serta penggunaan bahasa Spanyol, turut menjadi andil mengapa Roma begitu segmented. Cuaron sadar akan hal ini, untuk itulah, Cuaron menunjukkan kepiawaiannya sebagai sutradara untuk menyiasati kebosanan penonton. Dengan long take dibantu dengan pengambilan gambar wide angle, Cuaron berhasil menyapu setiap sudut ruangan kala mengikuti Cleo melakukan aktivitasnya, sembari melakukan observasi terhadap karakter yang sedang berada di dekat Cleo. Penyajian ini tentu memiliki esensi dan tidak sekedar show off dari Cuaron yang juga duduk di kursi sinematografi. Fokus terhadap Cleo tidak akan terpecah, sembari pembangunan sub plot pada karakter sekitar, terutama hubungan pernikahan dr. Antonio dan Sra. Sofia, yang mengabitkan tidak stabilnya emosi Sra. Sofia. Terkadang ia begitu baik kepada Cleo, namun tidak jarang, bentakan keluar dari mulutnya, yang diterima Cleo tanpa adanya bantahan. Kedekatan Cleo dengan setiap anggota keluarga tersebut pun juga ikut tercipta, sehingga menambah kesan emosional yang terjadi di akhir adegan kala Cleo dipeluk oleh masing-masing anggota keluarga ditepi pantai, yang menunjukkan bila Cleo tanpa mereka sadari telah menjadi bagian pondasi penting dalam keluarga mereka. Sebuah adegan yang cukup emosional juga indah. Sebelumnya pun, Cuaron menunjukkan adegan yang memiliki makna tersendiri terhadap kehidupan Cleo saat Cleo menerjang ombak pantai walau kenyataannya ia tidak bisa berenang. 

Lalu, apakah Roma film yang layak ditonton? Jawabannya, IYA, dengan catatan Anda telah memiliki minat lebih terhadap dunia film atau setidaknya selera Anda adalah jenis slow burning drama. Tetapi bila Anda tidak termasuk di salah satu kategori tersebut, saya sarankan Anda tidak usah repot-repot mencoba menonton Roma. Saya sendiri pun bila saya tidak ada dorongan ingin mencoba film unggulan Oscar ini, mungkin saya tidak akan repot-repot menyaksikan film yang sangat segmented ini. 

7,5/10



Friday 21 December 2018



"We can still think with our thoughts"- Will

Plot

Mengikuti kisah Will (Ben Forest) dengan putri nya, Tom (Thomasin Harcourt Mckenzie) yang hidup dengn cara "berkemah" ala pendaki gunung di suatu hutan atau taman umum di Portland, Oregon.



Review

Leave No Trace dibuka dengan sunyi, sembari mempertontonkan daily activity kedua protagonistnya. Dengan minim dialog, Debra Granik selaku sutradara memperlihatkan Will dan Tom mencari dedaunan yang layak makan, mengumpulkan kayu-kayu kering untuk dijadikan sumbu api, mengumpulkan jamur, dan pada malam hari, mereka tidur di tenda yang sering kali diganggu oleh kawanan hewan hutan. Disatu kesempatan kita juga melihat mereka bermain catur ataupun Will mengajari strategi bersembunyi dengan benar terhadap putri semata wayangnya tersebut. Granik menyajikan adegan tersebut dengan sangat minim dialog, dengan lebih memfokuskan kepada aktivitas demi aktivitas ayah dan anak tersebut untuk menumbuhkan kesan bila mereka telah terbiasa hidup dengan gaya yang tidak biasa ini, dilengkapi juga dengan penampakan-penampakan indah taman yang ditangkap begitu indah oleh sinematografer, Michel McDonough.

Pada adegan pembuka ini pun, pertanyaan langsung mencuat di benak saya. Apa yang mendasari mereka untuk hidup seperti itu, yang notabenenya cukup "merepotkan" di tengah zaman modern yang penuh dengan kemudahan? Granik, hingga akhir film, tidak memberikan jawaban secara gamblang, melainkan lebih memilih untuk menampakkan clue demi clue kepada penonton. Kita pun akhirnya mempelajari bila Will merupakan mantan veteran perang yang mengidap penyakit PTSD. Gejala tersebut bisa terlihat di setiap momen, seperti Will yang kesulitan tidur atau mengalami mimpi buruk dalam tidurnya. Dan juga, untuk mendapatkan penghasilan uang, Will menjual resep obat kepada orang yang senasib dengannya. Resep tersebut ia dapatkan setiap ia pergi ke kota ditemani Tom, sembari juga membeli alat persediaan selama hidup di taman. Saya yang memiliki ketertarikan lebih terhadap film yang memiliki inti cerita bertahan hidup tentu saja Leave No Trace telah berhasil menarik perhatian saya.

Namun, apakah Leave No Trace menceritakan kisah survival? Walau dari judul serta pada adegan awalnya mengindikasikan hal tersebut, namun pada kenyataan nya tidak lah demikian karena menit demi menit kita akan menyadari jika Leave No Trace sebenarnya adalah film coming of age dan pusat narasi berpusat pada Tom. Dalam film ini, tidak dijelaskan memang sudah berapa lama Tom hidup dengan gaya non konvesional tersebut bersama ayahnya. Namun dari setiap kekakuannya berinteraksi dengan orang lain, serta minimnya pengetahuan Tom terhadap dunia luar (terlihat dari momen dimana Tom bahkan terlihat begitu "mengagumi" pintu berputar di mall), kita bisa menduga bila Tom menjalani kehidupan seperti ini semenjak usia dini. Pada suatu kesempatan pun, Tom menyatakan dengan cukup tegas bila ia bahagia hidup dengan kondisi tersebut, bahkan menganggap taman tempat mereka menjalani hari demi hari merupakan rumah nya. Tanpa ia sadari jika dalam dirinya ada rasa penasaran terpendam.

Rasa penasaran tersebut semakin membuncah kala dirinya beserta Tom "ditangkap" oleh polisi hutan lalu dibawa ke 4-H (semacam lembaga mentoring di Amerika). Mereka pun terpaksa harus menghentikan kehidupan homeless dan hidup ditengah masyarakat. Dari sinilah secara perlahan Granik mulai menyajikan konfliknya. Memang tidak ada letupan pemicu adrenalin, karena konflik yang saya maksud di sini adalah berpusat pada psikologi dalam diri Will dan Tom. Will yang mengidap PTSD seolah hidup di masa lalu. Dirinya memiliki kepercayaan nol besar pada kehidupan modern sehingga bagi dirinya hidup berpindah-pindah jauh dari pusat keramaian merupakan pilihan terbaik baginya. Berbeda dengan Tom, karena pada dasarnya, Tom hanyalah gadis yang telah menginjak usia remaja. Kehidupan yang diinginkan Will bukanlah yang ia inginkan. Ia membutuhkan kehidupan bersosialisasi, memiliki teman serta menjalani kehidupan normal layaknya remaja pada umumnya.

Granik pun menjalankan narasinya dengan memanfaatkan ekspresi-ekspresi dari Will dan Tom, dimana penonton akan ditampakkan pemandangan yang berbeda. Bila Will tetap dihinggapi oleh kegelisahan, malah gejala-gejala PTSD nya semakin parah, walaupun ia tetap memiliki aktivitas bekerja. Sedangkan hal yang berbeda terjadi terhadap Tom. Perlahan, Tom mendapatkan apa yang selama ini ia butuhkan. Memiliki atap tempat berteduh, sembari mencoba menjalin pertemanan. Baik Foster maupun McKenzie memerankan karakternya masing-masing dengan brilian 

Hingga pada bagian konklusi, Granik menyajikan kenyataan pahit yang mampu mengucurkan air mata penonton. Kehidupan harus tetap berjalan, entah apapun alasannya. Dan manusia tetaplah berpijak pada hakikatnya, yaitu makhluk sosial yang memerlukan hidup berinteraksi dengan sesama dan tidak bisa hidup dengan sendirian. Walau pun begitu, ketika Leave No Trace menutup tirainya, masih terselip sebuah harapan bila yang terjadi adalah pilihan terbaik dalam melanjutkan kehidupan selanjutnya.

8.25/10



Monday 17 December 2018

"I'm no leader. I came because I have no choice. I came to save my home, and the people I love"- Arthur a.k.a Aquaman

Plot

Terlahir dengan darah setengah darat dan setengah lautan, Arthur (Jason Momoa) terpaksa harus pulang ke kampung halamannya, Atlantis, untuk menghalangi rencana adik tirinya, King Orn (Patrick Wilson), yang merupakan Raja Atlantis. Untuk melancarkan misi tersebut, Arthur membutuhkan Trident of Atlan, yang konon merupakan senjata milik Raja Atlantis pertama. Ditemani oleh Mera (Amber Heard) yang terpaksa "mengkhianati" kaumnya sendiri demi membantu Arthur, Arthur pun melakukan pencarian senjata tersebut sembari menghindari kejaran dari King Orm bersama pasukan Atlantis nya.






Review

Setelah hancur leburnya Suicide Squad (2016) yang diharapkan memberikan kualitas mumpuni dalam DCEU, rasanya bisa dimengerti jika setiap film DCEU yang dirilis akan mengundang kegelisahan, terutama pastinya dari fans DCEU. Terlebih dengan hasil akhir dari Justice League (2017) yang juga berakhir mengecewakan, sikap skeptis semakin melambung dan film DCEU yang bisa dibanggakan hanyalah Wonder Woman (2017). James Wan dengan Aquamannya ini tentu kembali menghadirkan kecemasan apakah DCEU kembali menghasilkan karya yang bisa menjadi momentum kebangkitan DCEU. Dan, here's my verdict, Aquaman is surprisingly good and so much fun, though it still has a many flaws, too.

Mari kita membahas hal negatif nya terlebih dahulu. Cerita Aquaman bisa dikatakan sudah sering Anda temui di film-film hollywood mainstream kebanyakan, ambil salah satu contoh adalah film Avatar (2009). Tanpa diberi spoiler pun saya yakin Anda bisa menebak bagaimana Aquaman akan berakhir, terlepas Anda telah melihat trailer nya atau belum. Aquaman jua memiliki build up narasi yang cukup membosankan, setidaknya untuk saya. Setelah adegan pembuka dan menyaksikan aksi pertama si manusia Aqua dalam kapal selam, narasi bergerak perlahan untuk menanamkan motif terhadap Arthur. Walau telah diselingi dengan jokes yang cukup efektif mengundang tawa, serta adegan "tsunami" nya yang memanjakam mata, ditambah kemunculan Amber Heard dengan green swimsuit nya yang sexy, nyatanya belum cukup mampu untuk melepaskan kebosanan saya. Hal itu diperparah pula dengan dialog-dialog nya yang kurang inovatif. Untungnya penceritaan mulai menarik kala petualangan Arthur dimulai di dunia Atlantis, kampung halaman Arthur.

Genderang perang yang ingin ditabuh oleh Orm sebenarnya tersimpan kompleksitas tersendiri. Seperti yang Orm nyatakan, perusakan laut yang dilakukan manusia daratan seperti sering membuang sampah, membuang cairan limbah, juga pemburuan-pemburuan terhadap hewan laut demi keuntungan pribadi yang tanpa henti. Hal ini berpotensi sekali menjadi sebuah aspek yang bisa memberikan kedalam motif untuk Orm sehingga membantu dirinya menjadi karakter antagonist yang memiliki pendalaman dan tidak one dimensional seperti karakter villain pada umumnya. Sayang memang, narasi ini hanya dilewatkan begitu saja meski menyimpan potensi, sehingga jatuhnya Orm hanya terlihat sebagai raja yang haus kekuasaan serta punya rasa benci terhadap Arthur. Justru kesan kompleks nan intimidatif berhasil dipancarkan oleh second villain nya, yaitu Black Manta yang diperankan oleh Yahya Abdul-Mateen II.

Penceritaan Aquaman pun cukup sederhana, tapi apakah itu menjadi keputusan yang jelek? Bila ada pembelajaran dari film Batman V Superman (2014), maka hal itu adalah tidak semua film superhero harus memiliki pendekatan realistis dan kelam seperti The Dark Knight trilogy jika anda bukan Christopher Nolan. Wan memahami hal ini sehingga untuk menutupi penceritaan simple tersebut, Wan memberikan sajian spectacle yang mengagumkan dan fun melalui adegan action nya, parade visual yang telah menanti Anda di bawah laut, terutama ketika kita singgah ke dunia Atlantis yang diciptakan Wan, dibantu oleh Bill Brzeski di bangku production design serta Don Bugess sebagai sinematografer. Dunia Atlantis ini seketika mengingatkan kita akan dunia Pandora nya Avatar, yang tampaknya memang langkah intensional dari Wan dan kru nya. Tentu nya Wan sudah berhasil dengan baik dalam memanfaatkan budget nya yang menyentuh $ 200 juta, membuktikan bila Wan telah terbiasa dalam memanfaatkan mega budget dalam suatu film.

Action secquence menjadi aspek terfavorit saya dalam Aquaman. Wan paham betul dalam melakukan pengambilan gambar yang keren tanpa menghilangkan nilai substansi nya. Ambil contoh adegan kejar-kejaran serta fight scene di kota Sisilia, Italia, yang dijadikan Wan sebagai panggung "show off" nya sebagai sutradara. Sering kali adegan aksi yang melibatkan dua protagonist utama di dua lokasi berbeda akan dibagi dengan beberapa cut dari satu karakter ke karakter lainnya. Memang masih digunakan oleh Wan disini, tetapi menjadi suatu sajian wah saat Wan melakukan teknik long take lengkap dengan pergerakan dinamis kameranya yang seolah enggan untuk diam dalam memperlihatkan karakter-karakter nya melakukan aksi. And trust me, it's so freakin' awesome!! Wan tidak berhenti disitu saja. Dari aksi badass Aquaman di dalam kapal selam, battle antara Aquaman dan Orm, serta tentu serbuan ribuan makhluk buas bernama Trench yang mampu membuatmu menahan nafas sembari berdecak kagum. 


Parade adegan aksinya berjalan dengan sukses tersebut juga berguna untuk mendistraksi penonton dari kenyataan bila kisah perjalanan (juga jalinan asmara) Arthur dan Mera yang kurang menarik, setidaknya itu yang saya rasakan. Jelas ini bukan kesalahan Momoa atau Amber  karena keduanya telah terlihat berusaha maksimal untuk membangun chemistry yang meyakinkan, namun memang naskah yang diberikan kepada mereka tidak memberikan ruang eksplorasi pendalaman. Saya juga tidak memahami keputusan Wan yang memutuskan untuk menghadirkan adegan corny seperti tidak sengaja menggenggam tangan, atau bertatap-tatapan lama. Ini tahun 2018, adegan semacam ini harusnya tidak perlu hadir lagi dalam dunia film.

Rasa yang berbeda justru datang dari hubungan terlarang antara Tom Curry (Temuera Morrison) dan Atlanna (Nicole Kidman). Kehangatan yang natural dan pancaran cinta sejati berhasil saya rasakan dari  pasangan ini. Air mata saya pun hampir mengalir pada saaat adegan Arthur menceritakan "kondisi" ayahnya. Memang klise, tetapi perhatian dan emosi saya telah terinvestasi kepada hubungan ini.

Aquaman juga diusung dengan casts yang bermain optimal. Momoa kembali menunjukkan dirinya adalah pilihan tepat dalam memerankan sosok manusia setengah laut ini. Patrick Wilson pun sudah bermain semaksimal mungkin untuk menumbuhkan kesan intimidatif dalam diri Orm. Abdul-Mateen berhasil menjadi scene stealer setiap kemunculannya sebagai Black Manta yang tidak kalah badass nya seperti Aquaman. Dirinya pun cemerlang saat memerankan adegan emosional. Namun MVP dalam film ini tidak lain tidak bukan adalah aktris senior Nicole Kidman. Walau screentime nya bisa dibilang singkat, namun Kidman berhasil memaksimalkan setiap kemunculannya dengan menawarkan kharisma sebagai ratu ataupun juga seorang ibu lewat tatapan mata nya yang begitu hangat sehingga tidak salah rasanya jika Atlanna yang diperankannya merupakan sumber emosi yang hadir di dalam Aquaman.

Walau penceritaan Aquaman sederhana ditambah durasinya yang cukup lama, namun Aquaman merupakan sajian yang sangat menghibur seperti yang kita inginkan. Kalimat penutup saya ini mungkin akan memunculkan perdebatan, but this is far better than Black Panther (most overrated movie this year).

8/10

Friday 14 December 2018


"Sometimes, I think that when I'm get older, I'll have a daughter of my own or something.. and I feel like if she was like me, then being her mum would make me sad all the time"- Kayla

Plot

Menceritakan kehidupan Kayla (Elsie Fisher) di kelas delapan, dimana ia ingin melakukan perubahan dengan mencoba untuk berteman dan lebih aktif di sekolahnya.




 Review

"The coolest girl in the world". Begitulah kalimat yang tertulis di kotak harapan milik Kayla yang ia simpan pada saat ia menginjak di bangku sekolah dasar. Di dalamnya terdapat beberapa barang kesukaannya, termasuk mainan Spongebob. Kehidupan eighth grade nya akan berakhir dan dirinya pun melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Dengan kenyataan tersebut lah, Kayla bertekad untuk mengubah situasi yang ia alami dengan mencoba lebih menjadi gadis periang serta berteman lebih banyak. Masalahnya, Kayla sendiri adalah gadis pendiam serta sangat canggung bila berinteraksi dengan teman sebayanya. Yak, ini adalah film The Edge of Seventeen versi dari Bo Burnham dalam karya debut nya sebagai sutradara. Eighth Grade merupakan kisah gadis awkward berumur 13 tahun dalam menjalani kehidupannya di kelas pendidikan menengah yang diisi dengan penuhnya situasi kecanggungan akibat dari usaha transformasi dari gadis pendiam dengan tujuan memenuhi harapannya, yaitu menjadi gadis terkeren atau terpopuler di dunia.

Di setiap konten video yang Kayla upload di kanal Youtube miliknya, seringkali Kayla memberikan saran kepada siapapun yang menonton video nya untuk menjadi diri sendiri. Namun, menjadi sebuah pertanyaan sebenarnya bagaimana sebenarnya menjadi diri sendiri tersebut. Disinilah terjadi konflik batin dalam diri Kayla untuk mencari tahu jati diri sebenarnya. Dirinya begitu mengusahakan (atau memaksakan) supaya menjadi gadis seasyik mungkin, padahal pada kenyataannya sifat yang dimiliki Kayla begitu bertolak belakang dengan keinginannya tersebut. Ironisnya, usaha nya tersebut juga tidak memberikan kenyamanan bagi Kayla. Bukankah untuk menjadi diri sendiri tersebut satu-satunya tujuan adalah menemukan kenyamanan?

Setiap usaha Kayla untuk "memberontak" keluar dari zona nyaman nya ini lah menjadi panggung penuh kecanggungan yang terjadi di layar. Sering kali adegan cringeworthy (dalam artian yang bagus) yang ada memaksa saya memicingkan mata sembari mengeluarkan senyum tidak nyaman walau mata saya tetap terpaku untuk menyaksikan Kayla apakah ia selamat atau tidak dari situasi tidak mengenakkan tersebut. Disinilah sumber komedi canggung terjadi yang menjadikan Eighth Grade adalah tontonan yang menarik. Mungkin saya tidak terlalu merasakan apa yang dialami oleh Kayla, karena saya sendiri bukanlah tipe memaksakan diri seperti Kayla. Saya lebih memilih untuk tidak mengeluarkan sepatah kata pun dengan orang yang tidak terlalu saya kenal. Toh, saya memang tidak memiliki ambisi sama sekali untuk menjadi anak paling populer di satu sekolahan, apalagi di dunia. Namun saya bisa memahami bagaimana tidak mengenakkannya menjadi seorang penyendiri, terlebih di usia labil seperti Kayla yang seharusnya sangat membutuhkan teman yang bisa diajak bercerita atau setidaknya teman yang bisa diajak hang out ke mall atau coffee shop, bukan sekedar hanya memiliki kanal youtube sebagai tempat pencurahan hati. Sebagai sesama introvert, saya mampu memahami betapa tertekannya Kayla.

Bo Burnham berhasil menyajikan beberapa detil kehidupan masa remaja zaman now, seperti mereka yang lebih asik berinteraksi dengan gadget, serta hal apa saja yang menjadi ketertarikan anak-anak masa pre teen, contoh nya adalah kehidupan sex, walau memang hal tersebut tidak terlalu dieksplor lebih dalam oleh Burnham. Toh, memang fokus Burnham disini adalah mengeksplorasi kisah coming of age nya Kayla. Dan mengenai sex life, Burnham menyajikan sebuah adegan yang cukup mengganggu disini. Sebuah momen kenyataan bagi Kayla bahwa sebenarnya dewasa sebelum waktu nya belum tentu menjadi hal yang menarik. Elsie Fisher sempurna menjadi Kayla disini, seolah Kayla adalah Elsie Fisher itu sendiri. Banyak film sejenis ini karakter utamanya terlalu cantik sehingga mengundang pertanyaan bagaimana mungkin dengan fisik yang menjual tersebut bisa tidak populer di sekolahnya, contoh saja seperti Mean Girls. Namun, hal itu tidak berlaku untuk Elsie Fisher. Bukan berarti Fisher tidak cantik, tetapi ketika melihat sosok nya di film ini, kita bisa mengerti mengapa dirinya terlihat begitu rendah diri, terlepas kenyataan dirinya adalah gadis pendiam yang kurang bisa berinteraksi secara nyaman dengan orang lain, terkecuali mungkin dengan ayah nya. Fisher begitu natural dalam memperlihatkan sikap canggung dari sosok Kayla, seperti bagaimana gagap nya ia dalam berbincang dengan temannya sehingga sering terlontar kata yang absurd dan kocak.

8/10




Friday 7 December 2018


"If she's there, I'll get her back"- Joe

Plot

Joe (Joaquin Phoenix) diberikan tugas oleh senator Albert Votto (Alex Manette) untuk menyelamatkan putrinya, Nina Votto (Ekaterina Samsoniov) dari jeratan kasus pelacuran anak di bawah umur.



Review

Biasanya, film yang menceritakan seorang hitman tentu memiliki genre action didalamnya. Namun, silahkan cek di situs imdb, bila You Were Never Really Here sama sekali tidak tercantum label "action" pada bagian genre nya. Cukup aneh nan menarik karena bukan rahasia umum untuk film sejenis ini, action adalah sajian utama yang mampu menggaet penonton, sebut saja salah satunya adalah John Wick. Lalu, sebenarnya apa yang ditawarkan oleh Lynne Ramsay dalam karya keempatnya ini?

Serupa dengan karya Ramsay yang paling populer juga kontroversial tujuh tahun lalu, apa lagi kalau bukan We Need to Talk About Kevin, You Were Never Really Here (YWNRH) adalah sajian psychological thriller dengan mengeksplorasi karakterisasi sang tokoh utama, yaitu si Hitman itu sendiri, Joe. Joe memiliki trauma dari perlakuan abusif sang ayah di masa kecil. Dengan kilasan masa lalu yang kerap hadir tiba-tiba, jelas sekali Joe belum bisa sepenuhnya melupakan masa lalu kelamnya tersebut. Ditambah pengalamannya sebagai veteran perang, praktis psikologi Joe mengalami ketidakstabilan. Hal tersebut membuat Joe menjadi seorang yang memiliki adiksi sendiri untuk mengakhiri hidupnya. Bahkan, di adegan pembuka saja kita telah diperlihatkan sosok Joe dengan kantong plastik yang ia gunakan untuk menutup mukanya. Kondisi traumatis pada diri Joe tersebut seolah merupakan jembatan bagi penonton untuk mampu memahami mengapa Joe begitu ingin menyelamatkan Nina. Bagi Joe, perintah dari senator Albert Votto bukanlah hal utama, namun telah menjadi misi yang personal untuknya.

Ramsay memilih melakukan pergerakan narasi film nya dengan cukup perlahan. Di menit-menit awal pun alih-alih kita diperlihatkan Joe melakukan suatu pekerjaannya, tetapi lebih memperlihatkan kehidupan sehari-hari Joe. Bagaimana ia merawat ibunya yang telah tua renta (diperankan oleh Judith Roberts), bertemu dengan kolega nya, dan yang pasti kebiasaannya dalam usaha untuk bunuh diri. Saya menyukai keputusan Ramsay untuk memperlihatkan kedekatan Joe bersama ibunya yang terasa begitu hangat. Iya, siapa yang menyangka dibalik dirinya yang begitu dingin dalam menjalani hari-harinya serta sering mengeluarkan aura intimidatif tersebut sangat perhatian dalam mengurus seorang ibu. Bahkan momen paling hangat dalam YWNRH terjadi di meja makan. Narasi ini berpengsruh besar untuk memberikan nilai appealing tersendiri dalam karakter Joe. Sehingga tidak sadar penonton pun menginvestasikan rasa perduli mereka kepada Joe.

Tensi film sedikit meninggi ketika film menyentuh durasi pertengahan, dimana terjadi sedikit twist cerita yang disediakan Ramsay untuk melontarkan kritik sosial di film ini. Saya yang jujur sedikit mengalami kebosanan di pertengahan durasi akibat dari lambannya pergerakan menit ke menit di film ini, harus dipaksa kembali untuk memfokuskan perhatian kepada film. Saya dibuat penasaran bagaimana Joe bisa selamat dari ancaman yang datang dari sosok yang lebih memiliki sumber daya jauh lebih besar dibandingkan Joe yang hanya bekerja seorang diri. Dari sini lah film tidak mengendurkan tensi nya, walau memang pergerakan narasi masih bisa dibilang cenderung lambat. Tidak hanya itu, YWNRH juga cukup minim akan dialog. Mungkin hal ini lah yang membuat YWNRH menjadi tontonan yang cukup segmented.

Seperti yang saya nyatakan sebelumnya, saya sedikit mengalami kebosanan akibat lambannya penceritaan bergerak, lalu faktor apa yang kemudian membuat saya berhasil mengakhiri YWNRH? Tidak lain tidak bukan jawabannya adalah Joaquin Phoenix. Tentu bagi Phoenix bukanlah hal yang sukar dalam memerankan Joe, karena Phoenix adalah salah satu aktor di Hollywood yang bisa memerankan karakter jenis apapun. Phoenix berhasil mengeluarkan aura intimidatif di setiap kehadirannya. Sosoknya bagaikan monster raksasa yang mampu memberikan tekanan kepada siapapun hanya dengan menatap matanya (terlepas dari karakternya yang memiliki jenggot yang lebat). Karakternya yang jarang berbicara pun menambah kesan menyeramkan pada sosok Joe. Selain itu, Phoenix juga berhasil mengaplikasikan sempurna akan kerapuhan Joe, serta kompleksitas pada diri Joe pun membuat penonton penasaran apa yang akan diperbuat selanjutnya. Entah bagaimana hasil akhir pada film Joker nanti, namun yang pasti tidak salah rasanya pilihan disematkan kepada Phoenix untuk memerankan the prince of crime tersebut.

YWNRH memiliki ending yang membuka interpretasi dari penonton sendiri, setelah Ramsay memberikan juga sebuah adegan yang cukup disturbing bila ditilik dari konsekuensi yang akan terjadi selanjutnya. Pada paruh akhir nya pun, tampak Ramsay menjabarkan secara subtil mengapa ia memilih judul You Were Never Really Here. Masalah dalam film YWNRH tentu adalah pendekatan non konvensional yang dilakukan Ramsay. Narasi yang bergerak begitu perlahan, miskin dialog dan juga sangat minim akan adegan action. Segmented, tapi YWNRH jelas jauh dari mengecewakan.

7,75/10





Thursday 29 November 2018

"It's heartening to see so many strange, new faces here today. I know my mom would be very touched, and probably little suspicious."- Annie

Plot

Keluarga Graham yang terdiri dari Steve (Gabriel Byrne), Annie (Toni Collette) beserta kedua anak mereka yaitu Peter (Alex Wolff) dan Charlie (Milly Saphiro) tengah dirundung duka atas kematian ibu dari Annie yang sebelumnya tinggal bersama mereka. Satu hal yang mereka tidak ketahui adalah bahwa kematian tersebut merupakan tirai dari beberapa hal aneh dan mencekam yang akan terjadi selanjutnya.





Review

Setelah saya menonton Hereditary, saya seketika menyesali keputusan saya mengapa memilih waktu malam hari untuk menyaksikan Hereditary. Dipastikan, harapan untuk bisa tertidur nyenyak setelah menonton film ini tentu saja hilang. Entah karena tidak mengantuk, namun bisa dipastikan, semua momen menyeramkan yang ada di film ini seolah di rewind secara otomatis dalam benak. Sensasi menonton seperti ini tentu tidak selalu saya dapatkan dari film horor. Praktis, film-film bergenre serupa yang mampu memberikan sensasi yang sama adalah Rosemary's Baby (sang sutradara, Ari Aster, sepertinya mencintai film klasik tersebut karena atmosfir yang dibangun sekilas hampir sama seperti film karya dari Roman Polanski itu), The Witch, The Blair Witch Project, atau yang paling memorable adalah film Suzanna: Bernafas dalam Kubur. Just kidding, maksud saya adalah film mendiang Suzanna yang mana ada adegan kepala Suzanna gemetar, lengkap dengan mata melototnya yang ikonik saat paku ditancapkan di ubun-ubun kepalanya. Ada yang masih ingat? Percayalah adegan tersebut masih menghantui saya hingga saat ini.

Hereditary akan memberikan kesan tidak mengenakkan yang akan menepel pada diri Anda dalam kurun waktu yang cukup lama. Saya sendiri, di usia 25 tahun ini, bahkan tidak berani menatap plafon kamar saya sendiri setelah menyaksikan sajian film debut dari Ari Aster ini. Dan seperti The VVitch (yang juga diproduksi oleh A24), Hereditary juga menyerang aspek psikologis Anda yang diakibatkan dari berbagai momen-momen disturbing dalam film ini.

Momen-momen tersebut bekerja tentunya dikarenakan Hereditary memiliki fondasi cerita yang kuat. Mental illnes dan keluarga disfungsional menjadi dasar penceritaan Hereditary. Penonton sudah bisa merasakan ada yang tidak beres pada keluarga Graham, terutama Annie dan Charlie. Annie sendiri sama sekali tidak merasakan kesedihan atas meninggalnya sang ibu, bahkan pada saat ia berpidato pada acara pemakaman yang ia sampaikan pun sedikit banyak didominasi Annie menceritakan keburukan sifat yang dimiliki oleh mendiang ibunya dibanding dengan kebaikannya. Sedangkan Charlie merupakan gadis pre-teen tidak biasa, dengan sifatnya pendiam, bahkan cenderung ke arah freak. Bayangkan saja, dikala gadis seusianya bermain sosial media ataupun tik tok, Charlie lebih asik memutilasi kepala bangkai burung. Bahkan, lewat dialog yang disampaikan Annie, dari ketika ia dilahirkan, Charlie sama sekali tidak pernah menangis! Goks gak tuh? Hubungan antara anggota keluarga pun terlihat renggang.

Ari Aster mencoba membangun konflik demi konflik di awal dengan penceritaan yang cukup sunyi dan pergerakan narasi yang bisa dibilang cukup lambat, setidaknya di awal 30-40 menit nya. Saya berasumsi, selain untuk pembangunan karakter, Ari Aster menyajikan pergerakan narasi sedemikian rupa untuk mengajak penonton lebih memiliki waktu optimal untuk memperhatikan kepingan-kepingan puzzle yang disebarkan oleh Aster. Aster pun juga tidak pelit untuk menghadirkan tease yang cukup memacu adrenalin dalam setiap pergerakan lambat narasinya. Barulah setelah film beranjak ke durasi selanjutnya, Aster menaikkan tensi cerita. Penonton langsung diberikan momen shocking yang berhasil memaksa saya berteriak mengeluarkan kata sumpah serapah di tengah malam. Aster tidak sungkan-sungkan melakukan suatu hal tabu dalam dunia perfilman bergenre horor. Momen tersebut dan aftermath nya bisa dibilang merupakan adegan terbaik dalam tahun 2018. Perpaduan sempurna antara cemerlangnya penyutradaraan dari Aster, serta scoring dari Colin Stetson yang memberikan atmosfir dingin dan mencekam, juga penampilan dari Toni Collette dan Alex Wolff (we'll talk about it later). Ditutup pula dengan pemandangan yang diberikan Aster yang saya jamin mampu membuatmu tidak nyaman di tempat duduk Anda.

Usaha Aster dengan memberikan kesempatan pendekatan pada karakter di awal-awal durasi hingga pertengahan melahirkan hasil yang sesuai diharapkan Aster. Penonton memiliki keterikatan terhadap keluarga Graham, berharap segala tragedi yang dialami mereka segera berakhir dan akhirnya mereka bisa melalui semuanya tanpa mengalami kerugian apapun. Tema mental illness yang diangkat Aster pun melahirkan sebuah ambiguitas tersendiri karena penonton seolah diajak untuk membuat asumsi apakah setiap kejadian yang menimpa keluarga Graham murni akibat dari spirit yang menghantui keluarga Graham, atau tanpa sengaja dilakukan oleh salah satu anggota keluarga tersebut. Terlebih memang, di dalam narasinya terdapat satu karakter yang memiliki kebiasaan sleepwalking dimana pada saat sleepwalking tersebut, karakter itu bisa melakukan hal yang tak terduga, bahkan mampu menyakiti anggota keluarga lainnya. Apakah hal tersebut memang dilakukan tanpa sengaja atau ketidaksengajaan tersebut terlahir akibat kegelapan yang dimiliki karakter tersebut.

Hereditary adalah jenis film yang bisa menguras emosi. Untungnya Hereditary memiliki jajaran cast yang brilian. Alex Wolff berhasil secara meyakinkan memerankan karakter yang dilanda rasa traumatis serta bersalah. Tak jarang, Aster sering memberikan fokus pada ekspresi Wolff, sehingga penonton pun ikut tertular perasaan yang sedang dirasakan oleh karakter Wolff. Gabriel Byrne sendiri memang cukup jarang untuk mengeluarkan emosi nya disini, namun hal itu ditutupi dengan gestur subtil nya disini. Kredit lebih juga selayaknya diberikan kepada Milly Saphiro yang selalu berhasil memberikan atmosfir misterius nan creepy di setiap kehadirannya. Namun tentunya penampilan terbaik jatuh kepada Toni Collette. Saya sempat beranggapan bahwa Julianne Moore adalah aktris Hollywood terbaik dalam memperlihatkan akting yang histeris nan emosional tanpa ada kesan berlebihan, namun melihat penampilan Toni Collette disini, rasanya Moore memiliki pesaing yang sulit. Collette benar-benar mencurahkan segala kemampuan terbaiknya dalam film ini. Dari ekspresi kegelisahan maupun ketakutan seolah ia baru saja mengalami mimpi terburuknya, lalu tangisan parau nya yang mampu mencabik-cabik hati Anda, diiringi juga tatapan mata kosongnya yang sering ia perlihatkan, rasanya sebuah kejahatan atau kriminalitas sendiri dari pihak Academy bila Toni Collette setidaknya tidak mendapatkan nominasi Best Actress di pegelaran Oscar tahun depan.

Mengenai minor Hereditary sendiri saya hanya merasa bila Hereditary sedikit lambat di awal-awal filmnya bergerak. Tentu nya penonton yang sering menonton film horror seperti The Conjuring ataupun Insidious, pendekatan seperti ini membutuhkan kesabaran. Namun percayalah, kesabaran tersebut akan berbuah "manis". Editing yang dilakukan oleh Lucian Johnston dan Jennifer Lame pun terasa sedikit kasar di beberapa adegan. Kemudian mengenai endingnya pun sedikit bertele-tele dengan penjabaran monolog di akhir yang disampaikan oleh salah satu karakternya. Tidak masalah rasanya bila Aster sedikit pelit untuk membiarkan endingnya diakhiri tanpa adanya monolog tersebut. Yap, hanya itu saja kekurangan yang saya rasakan dari film yang berdurasi 127 menit ini. Hereditary berhasil memberikan sebuah showcase teror itu sendiri dengan kisah tragedi nan mencekam yang rasanya susah untuk dilupakan. Tidak berlebihan bila menurut saya, Hereditary adalah salah satu film terbaik yang dirilis pada tahun 2018.

9/10

Thursday 22 November 2018


"What's the law on what ya can and can't say on a billboard? I assume it's ya can't say nothing defamatory, and ya can't say, 'Fuck' 'Piss' or 'Cunt'. That right?:- Mildred

Plot

Merasa kasus pemerkosaan serta pembunuhan terhadap putrinya tidak jua menemukan pelakunya, sang ibu, Mildred (Frances McDormand), akhirnya melakukan perbuatan nekad dengan menyewa jasa pemasangan billboard untuk menanyakan seraya memberikan kritik keras kepada kepolisian setempat, yang dipimpin oleh Chief Willoughby (Woody Harelson). Tidak tanggung-tanggung, 3 billboard yang disewa oleh Mildred dengan masing-masing bertuliskan "How Come, Chief Willoughby, Raped While Dying, And Still No Arrests"

Review





Adegan awal telah dibuka dengan sosok Mildred dengan penampilannya yang eksentrik, dengan muka tanpa ekspresi, mendatangi tempat penyedia jasa billboard dan meminta Red Welby (Caleb Landry Jones). Dari adegan awal tersebut saja, penonton telah mampu mempelajari bagaimana karakter Mildred tersebut. Ucapan kasar mudah terucap dari mulutnya, sosoknya yang begitu intimidatif walau dia hanyalah seorang perempuan berusia senja, penonton akan sadar bila pada film ini kita akan diberikan sosok protagonist yang tidak biasa.

Suatu film secara umumnya memiliki sebuah konflik utama dalam menggerakkan narasi. Dalam Three Billboards Outside Ebbing, Missouri, tentu konfliknya adalah berpusat pada tindakan nekad dari Mildred untuk mengningatkan kepada penduduk setempat kota Ebbing, terutama kepolisisan setempat yang pernah terjadi di kota kecil tersebut. Sang sutradara, Martin McDonagh menjadikan konflik tersebut rupanya menjadikan konflik tersebut sebagai eksplorasi karakter yang ada pada film ini. Mungkin penonton mengharapkan bila narasi mengenai "siapa pelaku sebenarnya" adalah fokus utama narasi, yang mana nyatanya tidak sepenuhnya terjadi. Kenyataannya, McDonagh memperlihatkan bagaimana reaksi dari karakter-karakter yang terlibat, terutama tentu Mildred, Willoughby dan polisi kasar nan seenaknya saja yang memiliki reputasi sering melakukan tindakan kasar kepada orang berkulit hitam, Dixon (Sam Rockwell). 

Mildred seolah membuang semua nuraninya sebagai manusia (setidaknya di awal-awal penceritaan) demi mendapatkan keadilan untuk putri tercintanya. Ia sudah tidak perduli lagi dengan norma yang ada, bagaimana pandangan penduduk setempat yang kini berbalik memusuhinya, serta menganggap orang yang tidak menyetujui tindakan nya adalah sosok musuh. Pada awalnya, mudah untuk menjustifikasi tindakan Mildred. Ibu mana yang tidak terpukul serta murka akan tragedi yang ditimpa putrinya, sehingga bisa dimengerti ia akan mengambil cara apapun untuk mendapatkan apa yang ia cari. Menjadi masalah adalah orang yang "diserang" Mildred adalah sosok polisi bertanggung jawab, memiliki citra baik di pandangan penduduk, serta memiliki keluarga yang harmonis. McDonagh pun mengekspos bagaimana penilaian publik bisa berubah 180 derajat akibat suatu kejadian. Awalnya, penduduk kota Ebbing memberikan simpati sepenuhnya kepada Mildred, namun simpati tersebut seketika memudar setelah apa yang Mildred perbuat. Simpati tersebut berpindah kepada sasaran utama yang disuarakan Mildred, yaitu Willoughby. Terlebih Willoughby sendiri tengah mengalami kondisi tertentu.

Pada awal cerita, saya berasumsi jika Chief Willoughby tidak lebih dari polisi korup tak bertanggung jawab yang menyalahkan jabatan yang diembankan kepadanya. Tetapi anggapan tersebut patah ketika kita diperlihatkan bagaimana Willoughby adalah seorang family man yang begitu menyayangi keluarganya. Dirinya pun diperlihatkan begitu dihormati oleh rekan polisi lainnya, termasuk Dixon. Dixon sendiri memiliki reputasi buruk sebagai seorang polisi. Selain dirinya adalah polisi rasis, sosoknya pun seolah sebagai polisi yang memiliki masalah akan kecanduan pada minuman alkohol. Dirinya adalah orang yang tepat dalam menghadapi Mildred karena memiliki persamaan pada attitude mereka. McDonagh memberikan treatment yang begitu manusiawi terhadap 3 karakter utama tersebut. Tidak ada sosok protagonist putih seutuhnya, semuanya memasuki dalam lingkaran karakter abu-abu. Memang beginilah asyiknya ketika sutradara seolah menghapus konsep protagonist-antagonist seutuhnya dalam film. Anda ingin memberikan dukungan kepada siapa, itu sepenuhnya keputusan Anda sendiri, dan percayalah hal tersebut tidaklah mudah. Three Billboards mungkin memiliki dasar cerita yang kelam, namun McDonagh menolak untuk menjadikan karya nya ini kelam seutuhnya, karena selipan dark comedy bertebaran di sini, baik itu merupakan dialog yang diucapkan maupun perilaku karakternya yang tidak jarang memberikan kekonyolan sendiri. 

Mudah untuk langsung jatuh hati pada film ini karena di pertengahan durasi awal, McDonagh menggulirkan konflik demi konflik cerita dengan cepat. Ditambah soundtrack-soundtrack country nya yang catchy sangat membantu atmosfir western nya. Cukup disayangkan memang pada pertengahan durasi akhir, tepatnya ketika film memasuki third act nya, Three Billboards seolah kehabisan bensin. Atmosfir tegang di awal cukup hilang dimana McDonagh memilih untuk menyajikan di durasi akhir-akhir filmnya dengan atmosfir yang cukup sendu serta lamban. Saya sendiri sekali dua kali memeriksa durasi filmnya berjalan, menunjukkan kebosanan telah menghampiri. Untungnya, McDonagh dibantu 3 aktor pengalaman yang menunaikan tugasnya dengan sangat brilian.

Tidak salah jika pihak Academy memberikan Oscar masing-masing untuk McDormand dan Sam Rockwell. Entah ini berlebihan atau tidak, namun saya cukup yakin, dua karakter yang diperankan mereka berdua menjadi karakter yang memorable. McDormand begitu sempurna dalam memerankan karakter Mildred yang terlihat begitu kacau, dingin tapi di dalamnya terdapat sebuah kemarahan yang begitu besar akan tragedi serta ketidak adilan yang dialaminya serta kerapuhan yang memberikan kesan bila Mildred masih memiliki hati yang tersisa di dalam dirinya. Rockwell juga berhasil memerankan Dixon yang tampak begitu bengis, kasar serta slengean. Pada awalnya mungkin sosok Dixon sangat dibenci penonton, tetapi saat narasi nya bergerak kepada transformasi karakter kepada Dixon, sungguh mudah untuk mengubah benci tersebut menjadi simpati dan perduli terhadap karakter Dixon. Karakter ini juga menjadi favorit saya di dalam film ini. Harrelson juga mengesankan dalam menghidupi karakter Willoughby, walau memang bila dibanding dengan karakter Mildred dan Dixon, sosok Willoughby cukup tenggelam. Walau memang sedikit melambat dan sendu di paruh akhir, serta endingnya yang cukup mengundang pertanyaan, Three Billboards tetaplah film yang memuaskan dan tidak sulit untuk menobatkan bila Three Billboards Outside Ebbing, Missouri adalah salah satu film terbaik di tahun lalu.

8,25/10




Friday 27 April 2018


"In time, you will know what it's like to lose. To feel so desperately that you're right. Yet to fail all the same. Dread it. Run from it. Destiny still arrives"- Thanos

Plot

Thanos (Josh Brolin) akhirnya mulai bergerak dan menginvasi planet demi planet untuk mendapatkan lima Infinity Stones. Kehadiran Thanos ke planet bumi tinggal menunggu waktu saja karena salah satu infinity stones ada pada di kepala Vision (Paul Bettany). The Avengers yang sebelumnya hiatus bertahun-tahun, harus beraksi kembali untuk menghentikan Thanos mendapatkan kelima infinity stones, karena bila Thanos memiliki kelima batu tersebut, maka keinginan Thanos untuk menghancurkan setengah populasi alam semesta bisa ia lakukan hanya dengan menjentikkan jari saja.



Review

18 film dalam kurun waktu lebih kurang 1 dekade. Build up yang panjang, dengan pengenalan masing-masing karakter, semuanya dilakukan demi film ini. Kesabaran dari pihak Marvel tersebut tentunya memberikan dampak yang luar biasa positif. Setiap penonton memiliki favorit superheronya masing-masing, atau bahkan karakter sampingan belaka, yang artinya telah tercipta ikatan batin yang dalam antara penonton dan karakter di layar. Saya yang bukanlah penggemar dari Marvel saja masih bisa merasakan rasa emosional kala menginjakkan kaki ke dalam teater bioskop. Ada rasa tidak percaya karena sesaat lagi saya akan menyaksikan salah satu film yang paling dinantikan sepanjang sejarah perfilman ini, apalagi ditambah soundtrack Time nya Hans Zimmer yang saya dengarkan saat memasuki bioskop, menjadikan momen memasuki teater bioskop tadi malam menjadi momen yang paling susah dilupakan untuk saya.

Sempat ada rasa khawatir saat mengetahui akan pernyataan dari Russo Brothers bila kadar humor yang ada Infinity War akan lebih kental dibandingkan Civil War ataupun Winter Soldier. Namun tampaknya, bila pun pernyataan itu benar keluar dari Russo Brothers, itu hanyalah salah satu dari strategi marketing dari pihak Marvel untuk menipu penontonnya, karena kekhawatiran itu seketika lenyap dari semenjak opening dibuka. Tidak hanya beratmosfirkan rasa keputusasaan yang kental akan pembantaian yang ada, namun juga Russo Brothers tidak segan-segan "menghilangkan" salah satu karakter paling disukai dalam MCU. Dan juga menjadi momen perkenalan yang sebenarnya akan sosok Thanos. Sebuah opening yang seolah-olah menegaskan jika film Infinity War akan kental dengan sebuah rasa depresi dan juga roller coaster emosi yang tidak akan kita temukan di film-film MCU sebelumnya. Masih ada humor ala Marvel, tapi tidak seperti yang dilakukan Taika Waititi, Russo Brothers sadar akan timing sehingga humornya tidak lah merusak tone akan filmnya.

Ada dua hal yang paling saya tunggu dari Infinity War. Yang pertama, ingin melihat bagaimana Russo brothers yang kini dibantu oleh Christopher Marcus dan Stephen McFeely di kursi penulis naskah membagi-bagi kisahnya diantara karakter yang begitu banyak. Bisa dibilang, Infinity War terbagi 4 sesi. Pertama, kelompok Iron Man yang menunggu di planet Titan, perjuangan di bumi yang dipimpin Captain America untuk menjaga Mind Stone atau lebih tepatnya Vision yang menjadi incaran Thanos. Kemudian kita pun melihat usaha Thor, Rocket dan Groot untuk menciptakan senjata demi melawan Thanos dan tentunya kita melihat perjalanan Thanos dalam menyebar teror kepada alam semesta dengan terus mencari 5 infinity stones. Bukan hal yang mudah memang membagi-bagi cerita dengan memiliki konflik masing-masing. Dragging pun cukup terasa kala film memasuki pertengahan, walau tidak terasa terlalu mengganggu. Untungnya, kembali lagi berkat penokohan yang telah kokoh buah hasil kesabaran selama 1 dekade, tidak ada rasa bosan sedikitpun mengikuti kisah masing-masing karakter. Sehingga kita menuju ke askep kedua yang paling saya nantikan, yaitu interaksi pertama kali antar karakter maupun reuni antar anggota The Avengers. Yang paling saya nantikan tentu saja pertemuan antara para The Guardians dengan tokoh-tokoh The Avengers lainnya, juga tidak lupa reuni antara Steve Rogers dan Tony Stark. Bila membicarakan favorit, mungkin interaksi antara Thor dan para Guardians lah yang paling memorable untuk saya. Dan berbicara tentang Thor, saya tidak menyangka akan tiba suatu hari saya akan menyukai karakter ini. Beginilah seharusnya Thor ditampilkan. Dengan semua kehilangan yang telah Thor rasakan, mudah sekali bila kita menganggap bila Thor memiliki penderitaan paling mendalam di antara para tokoh The Avengers lainnya. Namun Thor tetaplah Thor, dirinya tidak ingin terlihat menderita. Namun namanya juga manusia yang punya hati, rasa kehilangan yang telah begitu banyak yang ia alami akhirnya juga tak terbendung. Percakapan Thor dan Rocket merupakan momen yang hampir membuat saya meneteskan air mata. Terlebih lagi akting prima dari Chris Hemsworth yang membuktikan bila aktor satu ini semakin matang saja dalam berakting. Hasilnya, Thor berhasil menjadi karakter dari tim Avengers yang paling mencuri perhatian disini berkat pendekatan humanis yang diambil,sehingga ketika momen kebangkitannya yang telah begitu saya nantikan, mampu membuat saya tepuk tangan sendiri di dalam bioskop (sial, penonton-penonton tadi malam pada jaim semua!!). Dipenuhi banyak karakter tentu saja mengakibatkan porsi antar karakter tidak seimbang, seperti Captain America yang tidak terlalu berkesan kehadirannya, Black Panther yang kembali mengecewakan untuk saya, ataupun Black Widow yang kembali tenggelam. Namun jangan khawatir, mereka semua tetaplah memiliki momen-momen tersendiri. Seperti pertemuan pertama antara Groot dan Captain America yang berhasil meledakkan tawa setiap penonton.

Cerita Infinity War tidak lah spesial memang, namun rasanya itu bisa dimaafkan karena rasanya hanya sedikit yang berharap Infinity War memiliki cerita yang kompleks. Infinity War bagaikan selebrasi dari "perayaan" 10 tahun berjalannya MCU, jadi sudah selayaknya lah kita mengharapkan sebuah sajian aksi yang super menghibur. Dan itu lah yang persis kita dapatkan. Baik dari adegan aksi yang memiliki skala yang masif maupun minor sekalipun, disajikan dengan begitu luar biasa menghibur disini. Pertempuran di Wakanda terlihat spektakuler dimana kita mendapatkan pertempuran kolosal layaknya film The Lord of the Ring, kemudian pertarungan di planet Titan yang memperlihatkan kerja sama para superhero melawan Thanos. Susah rasanya untuk bilang tidak menghibur akan sajian semua itu, dan karena saya tidaklah pintar menjabarkan keunggulan mengenai suatu aksi berdasarkan kacamata dari teknis, saya hanya bisa menyatakan bila kalian cukup lihat saja dan buktikan sendiri.



Saya bukanlah pengikut komik superhero Amerika Serikat, sehingga saya tidak tahu bagaimana Thanos versi komik. Namun MCU memberikan contoh bagaimana seorang villain yang memiliki kekuatan yang overpowered. Sepanjang durasi film, saya bertanya-tanya bagaimana Thanos akan dikalahkan, dan MCU memberikan jawaban yang memberikan kepuasan luar biasa untuk saya (apalagi endingnya yang berhasil membuat saya menganga senang). Sering kali villain yang semacam ini memiliki akhir yang antiklimaks, dan X-Men Apocalypse merupakan bukti terbaik bagaimana buruknya mereka menangani supervillain mereka. Setiap kehadiran Thanos digambarkan bagaikan seorang legenda yang hanya ada di dalam mitos. Kesan spesial tidak pernah luntur setiap kali ia muncul di layar. Seperti Tony Stark, Thanos adalah mimpi buruk bagi para penonton karena tebaran ancaman setiap kali ia tampil. Terlebih lagi, Russo brothers masih sempat memberikan kedalaman terhadap Thanos. Kita diajak untuk mengetahui apa sebenarnya motivasi dasar dari Thanos ingin menghancurkan setengah alam semesta. Dan siapa yang menyangka, kita diberi kesempatan untuk melihat sisi sentimentil dari Thanos! Tidak salah jika kita menganggap jika Thanos adalah karakter utama dalam Infinity War, terlepas perannya sebagai antagonis.

Apakah ini adalah film superhero terbaik? Jelas tidak, karena bagi saya, Infinity War belumlah mencapai level klasik seperti Trilogy The Dark Knight. Namun saya lebih menganggap Infinity War adalah sebuah hasil sukses dari sebuah kesabaran yang begitu panjang. Mungkin tanpa itu semua, Infinity War tidaklah terlalu jauh berbeda dengan Justice League yang mengecewakan itu. Kedekatan penonton dengan antar karakter yang ada telah tercipta, sehingga kita perduli dengan keselamatan atau eksistensi mereka. Ditambah dengan kehadiran supervillain terbaik dalam sejarah MCU, serta adegan aksi demi aksi yang semuanya menghibur, Infinity War tentu adalah selebrasi 10 tahun akan perjalanan MCU yang menyenangkan dan spesial.

8,5/10

Sunday 18 March 2018

"Los Angeles. Everybody want to be star. All the pretty boys. They're lining up for the big shot"- Tommy Wiseau

Plot

Impian Greg (Dave Franco) untuk menjadi aktor besar harus terhalang akibat kekakuan nya dalam berakting. Kesulitan Greg mengeluarkan seluruh ekspresinya di atas panggung terus menerus terjadi, bahkan kala berlatih akting. Hal yang berbeda justru diperlihatkan oleh Tommy (James Franco) yang juga ikut kelas yang sama dengan Greg, dimana ia berhasil mengeluarkan seluruh ekspresi di atas panggung, walau cenderung berlebihan. Penampilan gila-gilaan dari Tommy sontak mencuri perhatian Greg, dan tidak lama setelah itu, mereka pun berteman dekat. Keduanya sama-sama memiliki impian untuk menjadi artis besar dan terkenal. Untuk mengejar impian tersebut, Tommy mengajak Greg pindah ke Los Angeles, yang tentu saja langsung diterima oleh Greg. Perjalanan mengejar mimpi mereka pun dimulai.




Review

Tidak semua aktor memiliki talenta luar biasa layaknya Marlon Brando, Robert De Niro, Al Pacino ataupun Daniel Day Lewis. Tidak juga semua sutradara selalu menelurkan karya masterpiece dan sukses layaknya Steven Spielberg, James Cameron, Martin Scorsese dan Christopher Nolan. Lalu, apakah dengah kenyataan tersebut kita berhenti untuk mengejar mimpi untuk berkarya di panggung sebesar Hollywood? Dunia Hollywood itu kejam dan keras, semua orang tahu akan kenyataan tersebut. Maka, tentu bukan sembarang orang yang berhasil berkarier begitu panjang di hingar bingar dunia tersebut.  Tidak cukup hanya mengandalkan talenta berakting ataupun faktor fisik yang menjual. Butuh dedikasi yang tinggi, pengorbanan yang tidak sedikit, serta tidak jarang faktor keberuntungan pun ikut mempengaruhi. Pertanyaannya, bagaimana jika ada orang yang minim akan bakat berakting, memiliki perawakan yang cenderung menyeramkan, namun tetap berusaha menggapai mimpinya untuk memiliki karir di dunia Hollywood?

Tommy Wiseau adalah orang tersebut, dan untuk kalian yang masih terdengar asing akan nama tersebut, saya bisa mengerti karena memang Tommy Wiseau tidak lah memiliki nama besar layaknya Tom Hanks, Johnny Depp atau Will Smith. Nama Tommy Wiseau terangkat berkat karya "one hit wonder" nya yaitu The Room, film keluaran 15 tahun lalu yang berhasil mendapatkan status cult classic dan melahirkan banyak penggemar akan film tersebut. Jika Anda juga belum pernah mendengar film tersebut apalagi menontonnya, lebih baik saya beritahu sekarang. The Room is  really, really, really, really terrible. Saking jeleknya, adegan yang diniati emosional dalam film tersebut menjadi terlihat konyol serta cringeworthy. Tapi tak disangka-sangka, film tersebut memiliki magis yang luar biasa, yang membuat para penonton terus menerus ingin membicarakannya dan mungkin juga ingin kembali menyaksikan film buruk tersebut. Dengan alasan ini lah, The Room menyandang status klasik di kategori film "it's so bad, it's so good". Mungkin tidak akan ada lagi film yang mampu menyaingi The Room dalam kategori ini. 

Setelah menyaksikan The Room untuk pertama kali, saya memiliki begitu banyak pertanyaan. Bagaimana Tommy Wiseau terpikir menciptakan film seperti ini? Bagaimana proses pembuatannya? Apa yang dipikirkan tiap aktor maupun para kru kala menjalankan proses syuting? Dan yang paling utama, Apa yang membuat Tommy Wiseau begitu pede nya dengan mendanai seluruh dana pembuatan untuk karya yang maaf saja sangat amburadul tersebut? Dari mana sumber biaya yang dimiliki Tommy Wiseau? Siapa sebenarnya Tommy Wiseau? James Franco pun mencoba memberikan jawaban nya atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dengan mengadaptasi dari buku yang ditulis juga oleh sahabat Tommy Wiseau, Greg Sestero, yaitu "The Disaster Artist: My Life Inside the Room, The Greatest Bad Movie Ever Made", James Franco memperlihatkan bagaimana proses The Room dibuat. Namun sebelum kesana, kita diajak untuk berkenalan dulu dengan dua pihak yang paling bertanggung jawab akan lahirnya The Room, siapa lagi kalau bukan Tommy Wiseau dan Greg Sestero

Tommy dan Greg pada dasarnya tidak lah berbeda dengan para pemimpi lainnya yang mendapati jalan terjal untuk mendapatkan mimpi tersebut. Tommy dan Greg tidak memiliki bakat dalam berakting. Greg yang senantiasa kaku untuk berekspresi, dan Tommy yang selalu kesulitan menjalankan peran akibat aksen yang ia keluarkan terdengar begitu aneh. Pada akhirnya, keduanya pun menemukan jalan buntu dalam mengejar mimpi mereka. 

Dari sini lah kita diajak untuk mengenal sosok Tommy Wiseau. Kita memahami motivasi yang mendorongnya hingga akhirnya ia tergerak untuk membuat film sendiri. Tommy adalah korban dari orang yang hanya menilai dari penampilan. Tommy berpenampilan begitu eksentrik, dengan rambut panjang yang menjadi ciri khasnya, ditambah pula aksennya yang terdengar begitu asing dan aneh, kesan "villain" tentu mudah didapat dari sosok Tommy yang memang memancarkan akan kesan seperti itu. Hal itu lah yang hendak dilawan oleh Tommy dan ingin membuktikan jika ia bukanlah "villain". Dengan alasan itu pula, Tommy menolak memerankan karakter penjahat dalam suatu kesempatan. Ia ingin dunia mengenal nya sebagai sosok yang penuh kasih sayang, cinta damai, dan berharap publik tidak hanya menilainya dari penampilan. Alasan ini lah yang melatarbelakangi karakter Johhny yang ia perankan dalam film The Room.

Sentuhan yang diberikan James Franco terhadap karakter Tommy yang begitu manusiawi adalah poin unggulan dalam The Disaster Artist. Kita melihat sosok Tommy yang begitu berdedikasi tinggi untuk mendapatkan apa yang ia mau, tidak perduli berapa dana yang harus ia keluarkan. Sayang memang, tidak semua orang yang mengerti akan visi dari Tommy. Dirinya kesepian karena absennya seseorang yang mendampingi karena orang lain memandangnya hanyalah sebagai orang yang aneh dan terlalu narsis. Bahkan para kru atau artis yang bekerja dengannya tidak mempercayai Tommy, bahkan tidak menyukai Tommy. Proses syuting pun sering terhambat didasari akan keegoisan seorang Tommy. Tidak jarang ia memperlakukan para aktor maupun krunya dengan tidak manusiawi. Hal tersebut lah yang mendasari mengapa dirinya sedikit over protektive terhadap Greg. Baginya, Greg adalah teman pertamanya. Greg juga lah yang bisa mengerti akan keeksentrikan seorang Tommy. Untuk Greg sendiri, Tommy adalah sosok yang berhasil mengeluarkan segala kemampuan aktingnya. Berkat Tommy, Greg lebih mudah mendapatkan kepercayaan diri. Jalinan persahabatan ini terasa kuat berkat kesan saling mengisi satu sama lain, terlebih lagi chemistry meyakinkan dari Franco's brothers. Sebagai catatan, ini untuk pertama kalinya mereka bekerja sama dalam satu film.

James Franco kerap dikritik karena dirinya begitu fluktuatif dalam berakting. Kadang ia memberikan performa yang mengagumkan, namun tidak jarang juga ia tampil mengecewakan atau biasa-biasa saja. Namun di The Disaster Artist, James Franco memberikan penampilan terbaik nya sepanjang karirnya sebagai aktor. Tentu bukan pekerjaan mudah untuk meniru seseorang hingga ke detil-detil kecil, namun James Franco melakukan hal tersebut dalam film ini. Lihatlah bagaimana ia mereplika sosok Tommy Wiseau, dari tawa canggung, berjalan, berbicara dengan aksen yang aneh, bahkan detil kecil seperti mata lusuh seperti orang lagi mabuk, semuanya terlihat begitu mirip. Bahkan ketika gambar di ambil dari belakang karakter Tommy, kita benar-benar melihat sosok Tommy Wiseau. Sebuah pekerjaan brilian yang sayangnya tidak dilirik oleh pihak Academy Awards. Sebagai sutradara pun, James Franco juga melakukan pekerjaan yang mengagumkan, dengan mengusahakan setiap adegan pada film The Room terlihat persis sama dalam The Disaster Artist. Beberapa adegan "ikonik" dalam film The Room pun ikut ditampilkan disini. Tidak hanya itu, cerita dibalik setiap adegan tersebut juga diangkat oleh James Franco, yang juga menunjukkan bagaimana peliknya para aktor dan kru untuk bekerja dengan Tommy. Tentu saja merupakan hiburan tersendiri bagi penonton saat film berakhir, penonton diperlihatkan pada sebuah momen komparasi antara The Room dan The Disaster Artist. Lihatlah bagaimana James Franco telah melakukan pekerjaan yang begitu fantastis dan total kala mengusahakan adegannya terlihat semirip mungkin sesuai dengan original nya.

Momen terbaik The Disaster Artist tentu adalah ketika The Room diputar dalam gala premiere yang diadakan oleh Tommy sendiri. Ada perasaan tak menentu yang hadir kala melihat adegan ini. Sebagai penonton yang telah menikmati The Room, kita telah tahu bagaimana hasil akhirnya, dan tentu saja, atmosfir kecanggungan (in positive way) begitu kuat terasa ketika The Room akhirnya diputar dalam layar lebar. Setiap reaksi penonton akan setiap adegan berhasil beberapa kali membuat saya tertawa. Namun, kala kamera menyorot muka Tommy, tawa itu lenyap karena perasaan miris dan ironi yang hanya saya rasakan. Kesan tersebut hadir karena sebelumnya kita telah diajak bagaimana Tommy mengorbankan semuanya demi satu film ini. Seperti apa yang ia bilang, The Room adalah hidupnya. Tidak terbayang bagaimana rasa pedih yang dirasakan Tommy saat karya nya berakhir jauh dari harapan dan bahkan menjadi bahan tertawaan semua orang. 

Sebelum The Disaster Artist hadir, mungkin bagi kita, Tommy Wiseau hanyalah sosok lelucon akibat The Room. Namun, saya yakin, paska penonton melihat karya James Franco ini, kita melihat sosok Tommy Wiseau berbeda. Dedikasi dan tekadnya patut ditiru untuk kita para pemimpi. Tommy Wiseau jelas lebih dari sekedar becandaan, karena pada akhirnya, berkat kelapang dadaan Tommy dan menerima segala olokan dari penonton maupun kritikus terhadap filmnya, The Room mendapatkan status klasik dan masih tetap diperbincangkan oleh banyak orang hingga kini. Sebuah film biografi yang luar biasa menginspirasi.

8,75/10

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!