Thursday 26 September 2019


"As a species we're fundamentally insane. Put more than two of us in a room, we pick sides and start dreaming up reasons to kill one another. Why do you think we invented politics and religion?"- Ollie

Plot

Kota kecil, Maine Town, secara tiba-tiba saja diserang kabut misterius. David Drayton (Thomas Jane) beserta putranya terjebak di dalam mall beserta penduduk lainnya. Pada suatu kejadian, David mengetahui jika didalam kabut tersebut, mereka ikut kedatangan tamu yang siap memangsa mereka.




Review

The Mist yang disutradarai oleh Frank Darabont ini, mungkin lebih dikenal disebabkan oleh endingnya. Walau memang endingnya merupakan aspek utama yang akan membuat The Mist susah terlupakan, namun secara keseluruhan, The Mist memiliki berbagai aspek positif yang mengantarkan film ini sebagai salah satu film alien invasion terbaik yang pernah saya saksikan.

Aspek terkuat yang membuat film yang diadaptasi dari novel Stephen King ini cukup spesial di mata saya adalah karena realistisnya Darabont dalam menggambarkan ketakutan-ketakutan dari warga Maine Town. Darabont menunjukkan jika karakter manusia yang sebenarnya akan terlihat kala berada dalam situasi yang mengancam nyawa mereka. Diperlihatkan disini penduduk yang terkurung dalam grocery store terbagi menjadi tiga yang diwakili oleh satu karakter masing-masing. Ada hardcore denial yang diketuai oleh Brent Norton (Andre Braugher), lalu David yang memilih berusaha sebisa mungkin untuk mencoba menyelamatkan diri, dan terakhir ada Mrs. Carmody (Marcia Gay Harden) yang berpendapat jika tragedi ini adalah hasil dari campur tangan Tuhan. Tinggal nantinya warga lainnya memilih berdiri di pihak mana, sesuai dengan apa yang mereka yakini demi bertahan hidup. Disinilah, bagi saya, pusat konflik dan sumber utama yang menyebarkan horor yang mengancam penduduk Maine Town yang terjebak.

Di tengah kesulitan yang menempatkan diri dalam posisi ujung tanduk, manusia akan menunjukkan diri sebenarnya demi bertahan hidup. Hal ini yang tampaknya ingin dieksplorasi oleh Darabont. Peristiwa kabut dan monster misterius yang terselubung di dalamnya, rupanya menjembatani akan tergerusnya kesabaran penduduk Maine Town yang terperangkap. Apapun dilakukan supaya bisa tetap menghembuskan nafas, tidak memperdulikan lagi nilai-nilai moral. Elemen ini jelas menimbulkan pertanyaan, siapa monster yang sesungguhnya?

Thomas Jane cukup baik dalam memerankan karakter alpha male, namun scene stealer dan paling membekas dalam benak penonton adalah karakter Mrs. Carmody yang diperankan secara menakjubkan oleh Marcia Gay Harden. Siapa yang sangka jika karakter ini nantinya lebih mampu memberikan ancaman bagi David dan kerabatnya. Penggambaran karakter nya pun cukup membantu, dimana ia cerewet, lalu tiap kata keluar dari mulutnya tidak jauh dari "konspirasi" agama. Yap, mudah sekali penonton untuk membencinya. Dengan ini juga membuktikan jika Gay Harden telah menunaikan tugasnya dengan brilian.

Oke, mari bicara tentang ending nya. Mungkin Stephen King menyukai ending yang diberikan Darabont. Tetapi saya pribadi, saya cukup kontra dan merasa ending nya hanya diniati Darabont supaya memberikan efek shocking, tanpa didukung dengan build up meyakinkan. Sehingga saya cukup mempertanyakan bagaimana mungkin si A tega melakukan "itu", meskipun bahaya mendekat. Ada janji yang terucapkan, namun apakah hal itu telah cukup kuat untuk melakukan tindakan nekat itu?

Terlepas dari kritik sebelumnya, saya tak bisa memungkiri jika Darabont menyajikan ending nya dengan apik sehingga meninggalkan bekas yang dalam di dalam pikiran penonton. Kita sebagai penonton, mungkin merasakan campur aduk dan bingung harus bereaksi seperti apa. Kesal? Kecewa? Merasakan kasihan setelah melihat raungan penyesalan dari David? Entahlah. Yang pasti, Darabont sukses menghadirkan sebuah adegan penuh ironis dan putus asa mendalam, dibantu lantunan The Host of Seraphim yang mengentalkan atmosfir tragis nya. Bukan salah Anda jika ending dari The Mist ini akan terpatri dalam di pikiran dan susah terlupakan.

7,75/10






"Painful memory is far more agonizing than pain in the heart"- Lee Sung-ho

Plot

Ahli patologi, Dr. Kang Min-ho (Kyung-gu Sol), diminta untuk melakukan autopsi terhadap gadis korban mutilasi yang ditemukan di daerah laut. Penyelidikan yang dilakukan oleh detektif Min Seo-Young (Hye-jin Han) pun berakhir dengan satu tersangka bernama Lee Sung-ho (Seung-bum Ryoo), seorang aktivis pembela lingkungan yang mengidap penyakit polio semenjak masih kecil yang memaksa dirinya harus berjalan dengan tongkat. Tanpa disadari oleh detektif Min, Lee Sung-ho memiliki rencana yang jauh lebih besar yang melibatkan Dr. Kang.



Review

Suatu kesalahan masa lalu bisa saja dilupakan, namun tidak ada jaminan apakah kita bisa terlepas sepenuhnya dari kesalahan tersebut. Dan kita juga tidak bisa menjamin balasan seperti apa yang akan diterima akibat dosa yang telah dilakukan. Sebagai pelaku, mungkin melupakan bukanlah hal yang sulit, namun bagaimana dengan pihak korban? Kim Hyeong-joon dengan film thriller nya yang sakit ini kemungkinan besar mampu membuat Anda untuk lebih berhati-hati lagi dalam melakukan suatu keputusan. Sebuah drama tragedi pembalasan dendam yang mengeksplorasi sisi gelap dalam diri manusia yang mampu membuat manusia bertransformasi menjadi sosok monster.

Di awal, No Mercy seolah mengarahkan bila kasus yang terjadi tidak lebih dari adalah aksi kriminal "biasa". Namun tidak butuh waktu lama, penonton akan sadar bila hal tersebut hanya sekedar kamuflase, karena seperti yang dibilang Inspektur Yoon (Ji-ru Sung), motif yang sebenarnya tidak lain tidak bukan adalah murni dendam. Tidak salah memang bila penonton akan teringat pada film fenomenal yang juga dari Korea Selatan, Oldboy (2003). Fokus utama sama-sama berpusat akan dendam, dan tentunya pula twist ending nya yang mampu membuat kita bersumpah serapah. Dan kisah investigasi nya pun mengingatkan saya akan film The Chaser. Namun, bila dalam film tersebut tokoh utama nya telah berhasil menangkap satu tersangka, hanya tinggal mencari bukti kuat. Pada No Mercy, kita diberikan narasi sebaliknya. Di setengah jam awal, kita telah mengetahui siapa pelaku sebenarnya, yaitu Lee Sung-ho, bahkan detektif Min telah memiliki bukti yang cukup kuat untuk menjebloskan Lee Sung-ho ke jeruji besi. Lalu, apa yang membuat No Mercy menarik dan beda? Jawabannya ada pada story Dr. Kang. Disini Dr Kang malah dipaksa untuk sebisa mungkin mencari cara supaya pelaku utama tidak mendekam di penjara dengan cara mengaburkan segala bukti kuat yang telah ditemukan supaya Lee Sung-ho tidak ditangkap.  

Narasi inilah yang merupakan daya tarik utama No Mercy. Menyaksikan bagaimana Dr. Kang mati-matian mensabotase bukti-bukti yang telah didapatkan tentu saja memberikan sajian thriller yang sangat menghibur. Narasi ini disajikan dengan tempo yang intens, diselingi pula dengan investigasi yang dilakukan oleh pihak polisi yang kebanyakan dilakukan oleh detektif junior, Min Seo-Young, yang sebaliknya ingin secepatnya menjebloskan Lee Sung-ho ke jeruji penjara. Rasa dilematis dari penonton pun ikut terbawa. Sulit membenarkan tindakan Dr. Kang, namun Dr. Kang pun berada di posisi yang tidak memiliki pilihan. Konflik batin pun semakin kental kala penonton akhirnya mengetahui alasan dibalik tindakan yang dilakukan Lee Sung-ho. Sehingga kita yang dari awal sepenuhnya mendukung Dr. Kang atau Detektif Min, berbalik memaklumi atas perbuatan Lee Sung-ho.

Twist ending nya pun semakin melengkapi tragedi dendam berdarah ini. Bagaimana rasa dendam yang telah mengakar begitu dalam mampu mematikan rasa manusiawi seseorang, sehingga mendorong untuk memberikan penghakiman sendiri yang dirasa setimpal. Entah terisnpirasi dari mana Hyeong-Joon bisa kepikiran untuk mengakhiri film nya ini dengan ending yang sakit seperti itu. Oh ya, untuk kalian yang memang memiliki kelemahan tersendiri dalam melihat darah, saya sarankan untuk tidak mencoba film ini karena seperti film-film thriller dari Korea Selatan lainnya, Hyeong-joon pun tidak sungkan-sungkan untuk menampilkan adegan-adegan berdarahnya. Bahkan adegan kala Dr. Kang melakukan autopsi pada mayat pun diperlihatkan terang-terangan oleh Hyeong-joon sehingga bukanlah keputusan yang bijak untuk menikmati film ini dengan menyantap makanan.

Hyeong-joon tentu telah melakukan pekerjaan yang brilian dalam mempresentasikan kisah pembalasan dendam ini. Walau memang masih ada beberapa hal yang bisa diperbaiki seperti cara menggulirkan narasinya yang kurang memperhatikan hal-hal detil sehingga menghasilkan beberapa pertanyaan yang sedikit mengganggu. Namun hal tersebut saya rasa bisa tertutupi oleh betapa menegangkannya jalinan cerita serta karakterisasi yang menarik pada masing-masing karakter. Dibantu pula dengan penampilan maksimal oleh pemeran-pemeran utamanya, terutama Kyung-go Sol yang secara meyakinkan memerankan Dr. Kang. Lihatlah transformasi nya dari Dr. Kang yang terlihat tenang diawal, menjadi orang yang seolah baru saja mengalami mimpi buruk. Rasa frustrasi nan putus asa begitu tergambar jelas dari ekspresi mukanya. Tentu juga twist ending nya yang susah dilupakan, membuat saya bertanya mengapa No Mercy seolah dibawah radar jika membicarakan film thriller terbaik dari negeri ginseng.

8,5/10

Wednesday 25 September 2019


"I guess, no matter how much you try to ignore all these things that are really happening, sometimes they just find a way to creep in"- Celeste

Plot

Berawal dari tragedi penembakan yang terjadi di sekolahnya, Celeste (versi remaja diperankan Raffey Cassidy), yang merupakan salah satu korban yang selamat walaupun sempat terkena tembakan di leher, malah menjadi pusat perhatian nasional ketika ia unjuk suara di momen memorial para korban. Dalam waktu singkat, Celeste menjadi penyanyi pop yang memiliki masa depan yang cerah. Dibantu oleh manajernya (Jude Law) serta saudari nya, Eleanor (Stacy Martin), langkah Celeste terlihat begitu mudah untuk menjadi bintang muda. Tanpa ia sadari bila dunia industri yang tengah ia jalani malah menjadi bumerang akan dirinya sendiri.




Sutradara Brady Corbet membuka Vox Lux dengan meyakinkan. Saya sudah tahu jika plot dasar cerita nya akan mengangkat tragedi penembakan, namun tetap saja adegan yang disajikan Corbet mampu memberikan kesan menegangkan serta mencekam. Atmosfir thriller begitu tebal, dan tak terpungkiri, atensi saya sepenuhnya telah terenggut. Namun sayangnya, atensi ini semakin lama semakin tergerus akibat penceritaan yang membosankan dan tiada momen-momen perebut atensi kembali untuk durasi kurang lebih 1 jam kemudian. 

Percayalah, saya pun mengira jika Vox Lux merupakan cerita yang diadaptasi dari kisah nyata berkat dasar ceritanya mengangkat tragedi yang sering terjadi di negara Amerika Serikat, dan setelah saya gugling, ternyata cerita dalam Vox Lux sepenuhnya adalah fiktif. Kenyataan ini seketika memberikan tanda tanya besar, mengapa Corbet memberikan pendekatan narasinya begitu minim dramatisasi di paruh awal? Padahal, Corbet menceritakan kisah seorang remaja yang berhasil selamat dari kejadian traumatis. Namun, penonton sama sekali tidak diajak untuk melihat pergulatan batin Celeste, yang notabenenya adalah gadis remaja berumur 13/14 tahun! Rasanya hampir mustahil untuk bisa menerima jika disini sang gadis remaja diperlihatkan masih bisa hidup dengan normal, meniti karir nya tanpa ada konflik berarti. Diperparah lagi dengan keputusan Corbet untuk meringkas momen-momen yang terjadi pada kehidupan Celeste hanya dibantu dengan narasi voice over yang disuarakan oleh Willem Defoe. 

Sebenarnya Vox Lux memiliki sub plot yang berpotensi memperkaya cerita, seperti hubungan kakak beradik Celeste dan Eleanor, yang diceritakan ternyata memiliki bakat yang lebih baik dibanding Celeste. Namun karena Celeste lebih memiliki background cerita yang lebih bisa dijual, talenta Eleanor tak terlalu tampak, bahkan dirinya harus rela berakhir hanya menjadi "the guardian angel" nya Celeste. Hubungan keduanya memiliki peranan penting nanti di paruh kedua, tetapi jatuhnya menjadi datar karena ketiadaan konklusi yang memuaskan antar keduanya. Padahal cerita keduanya cukup memiliki fondasi yang lumayan. Kisah Celeste yang menolak hubungan asmara antar Eleanor dan sang manajer pun terbilang dibiarkan lewat begitu saja tanpa pendalaman.

Saya juga mempertanyakan mengapa begitu nihilnya peran media di paruh awal. Bila ditilik bagaimana kerja media entertainment dalam memburu kisah-kisah selebritis, terutama yang tengah menanjak popularitasnya dalam dunia nyata, rasanya sukar dipercaya sama sekali tidak ada media yang membuat teori praduga, seperti misal Celeste memanfaatkan tragedi untuk ketenaran. Tentu saja jika Corbet mau memberikan sedikit konflik Celeste di mata publik akan memberikan daya tarik supaya penonton tetap mau menghabiskan waktu di sisa durasi film. Tetapi sekali lagi, Corbet lebih memilih untuk mengangkat kehidupan Celeste yang terlalu terbawa arus oleh kebebasan. Bukannya saya menganggap pilihan Corbet tidak penting, karena narasi ini akan berpengaruh di paruh kedua, namun pada narasi ini pun, Corbet seolah setengah-setengah dalam mengangkat isu nya. Praktis, parahnya narasi cerita di 1 jam awal ini memberikan kebosanan yang luar biasa untuk saya. Ditambah lagi akting biasa saja dari para pelakon, terutama Raffey Cassidy yang cenderung senantiasa bermuka datar. 

Beruntung film ini memiliki Natalie Portman dalam jajaran aktor nya. Perannya disini seketika cukup mengingatkan saya akan performanya di Black Swan (2010) sebagai Nina, yang mana Portman memerankan Celeste yang terkesan eksentrik, fucked up, sosiopat, aktris yang seenaknya sendiri, dan begitu lekat dengan sensasi serta kontroversi. Tentu Celeste versi dewasa ini merupakan hasil dari terlalu cepatnya ia mengalami ketenaran sehingga ia begitu tenggelam dengan dunia selebritas yang penuh intrik dan tekanan. Bila saja Corbet di paruh awal lebih memilih untuk mengeksplorasi karakter Corbet, penonton pasti akan memiliki keterikatan emosional terhadap Celeste di paruh akhir. Namun tanpanya, disini Celeste hanya terkesan wanita dewasa yang menyebalkan serta kekanak-kanakan. Mudah bagi saya untuk tidak menyukai Celeste, ANDAI saja aktris yang memerankannya bukanlah Portman.

Bukan hal baru lagi untuk aktris peraih satu kali Oscar ini dalam memerankan karakter yang memiliki gangguan psikis. Apalagi untuk karakter Nina dan Celeste tidaklah jauh berbeda. Keduanya berambisi besar, hidup dalam dunia entertain, dan selalu memiliki kecemasan berlebihan. Bedanya, Celeste disini jauh lebih "cerewet" dibanding Nina. Sekali lagi, mudah untuk penonton tidak menyukai Celeste, namun berkat pendekatan Portman, penonton tidak merasakan hal tersebut. Iya, Celeste merupakan wanita menyebalkan, namun ia juga begitu perduli dengan putri semata wayangnya, Albertine (yang juga diperankan oleh Raffey Cassidy). Disinilah Portman memberikan pendekatan hati dan rasa setiap kali Celeste menunjukkan perhatiannya kepada Albertine. Selain itu, Portman juga melakukan pekerjaan hebat setiap kali karakter nya harus menunjukkan kegelisahan. Puncaknya kala Celeste tengah mengalami mental breakdown di ruang wardrobe. Bagi saya, keberadaan Natalie Portman tidak hanya memberikan performa mengagumkan, tetapi ia juga berhasil menyelamatkan penonton dari rasa bosan dalam menikmati Vox Lux. Paruh akhir menjadi menarik dan jauh lebih berwarna dibanding paruh awal nya. Rating yang saya berikan tentu jauh akan lebih rendah andai Vox Lux tidak dibintangi oleh Portman. Apalagi kala ending nya yang saya anggap sebagai momen redemption untuk Celeste, nyatanya berujung datar dan memberikan kesan "lah, begini aja?" kala closing credits hadir.

6,75/10


Saturday 21 September 2019


"Better to be king for a night than schmuck for a lifetime."- Rupert Pupkin

Plot

Meski telah berusia 30an, nyatanya Rupert Pupkin (Robert De Niro) masih memiliki mimpi untuk menjadi komedian terkenal. Kesempatan untuk menggapai mimpi itu seolah menemukan jalan, kala di suatu malam, Rupert berhasil memanfaatkan kesempatan di tengah keriuhan puluhan penggemar dari host talk show terkenal, Jerry Langford (Jerry Lewis), yang  ingin meminta tanda tangan idola nya. Rupert sendiri sukses menyelinap masuk ke dalam mobil Jerry dan tanpa basa basi, mengutarakan niatnya untuk bisa hadir di acara talk show dari Jerry. 




Review

Sebenarnya saya udah lama memendam keinginan untuk segera menonton film kolaborasi  kelima antara Scorsese dan De Niro ini, tapi beneran deh, susah sekali nyari versi downlodan nya. Sempat terlupakan, baru-baru ini tetiba saja saya mendapatkan rekomendasi dari teman jika film ini bagai hidden gems dari Scorsese. Semangat untuk menyaksikan The King of Comedy pun akhirnya kembali hadir. Setelah berusaha cukup lama, saya akhirnya mendapatkan downloadan nya. Dan siapa yang menyangka, meski memiliki kata "Comedy" di judul nya, namun film ini didominasi akan tamparan ironi realita bagi pemimpi layaknya Rupert Pupkins. Anggap saja saya berlebihan, namun karena kisahnya begitu relatable, The King of Comedy adalah film yang paling tidak mudah dinikmati dari Scorsese setelah Silence.

Kisah berpusat pada karakter Rupert Pupkins. Ia pria lajang, berumur 34 tahun dan masih tinggal dengan ibunya di apartemen sederhana. Memiliki impian untuk menjadi komedian besar, Rupert sering berlatih bermonolog di dalam kamar nya, yang sering pula mengganggu ketenangan ibu nya. Melalui perspektif penonton, kita bisa mengetahui jika Rupert bukanlah pria tanpa bakat. Setidaknya bagi saya, Rupert sadar akan bakatnya tersebut dan tidak salah jika ia bermimpi untuk menjadi komedian. Menjadi permasalahan adalah Rupert kesulitan untuk mendapatkan kesempatan, sehingga talenta komedinya tersebut sama sekali tidak mampu menghantarkan dirinya kepada kesuksesan. Maka ketika akhirnya ia menemukan setitik harapan cerah supaya bisa berkarir di dunia komedi saat ia berhasil berbincang dengan Jerry, disitulah ia rela melakukan apa saja untuk menggapai mimpinya. I mean, literally, apa saja.

Lebih dari itu, Rupert adalah seseorang yang naif nan polos. Dirinya bagai anak kecil yang masih dipenuhi api semangat membara demi mengejar impiannya yang terjebak dalam tubuh pria dewasa. Di kala kebanyakan pria dewasa seperti dirinya untuk lebih memilih realistis dan mengubur impiannya, Rupert menolak. Dengan cara apapun, ia akan mengabulkan mimpinya. Pada akhirnya, ia ingin kelihaian komedinya disadari dan dinikmati oleh banyak orang. Namun, asumsi saya, yang terpenting untuk Rupert adalah ia mampu membuktikan kepada orang sekitarnya jika ia bukanlah omong kosong dan bodoh seperti anggapan orang banyak. Penggambaran karakter Rupert ini lah yang senantiasa memberikan kesan tidak nyaman untuk saya sebagai penonton.

Melihat sosok Rupert yang begitu optimis di tengah kondisi minim harapan, tak ketinggalan sering kali senyum yang ia lontarkan, tentu saja memberikan kesan pedih dan miris. Ditambah lagi Rupert adalah sosok yang berdedikasi, dimana ia terus berlatih dan berlatih di apartemen sederhananya, tidak perduli jika latihannya tersebut rupanya mengganggu ketenangan ibu nya yang tinggal bersama dirinya. Terpenting bagi Rupert, ia akan selalu berlatih sembari menanti kesempatan akhirnya datang kepadanya. Rasanya tidak mungkin Anda tidak bersimpati pada karakter ini setelah melihat berbagai usahanya untuk menjemput kesempatan tersebut. Saya jujur hampir meneteskan air mata pada adegan "laugh scene", dimana Rupert berlatih monolog di depan gambar penonton yang tertempel di dinding, kamera menyorot dari belakang Rupert, sambil bergerak perlahan menjauhi Rupert, untuk menangkap kesepian dan betapa ironis nya kehidupan yang dijalani Rupert. Pada adegan ini pula kita bisa merasakan sensitivitas rasa dari Scorsese. 

Kritik terhadap dunia hiburan pun tidak ketinggalan disuarakan oleh Scorsese. Dan disinilah fungsi karakter Jerry Langford. Jerry boleh saja merupakan entertainer yang sukses, namun kesuksesan tersebut malah memberikan tekanan pada Jerry. Tidak hanya itu, Jerry pun juga harus pandai dalam menghadapi penggemarnya yang banyak, terutama bagaimana ia harus menghadapi penggemar militan layaknya Masha (Sandra Bernhard). Bukannya memberikan kebahagiaan, kesuksesan yang ada justru menghadirkan kehampaan dalam diri Jerry. Tak dieksplor terlalu dalam memang, namun apa yang dihadirkan Scorsese disini sudah cukup efektif. Penonton, seperti saya, memang sering kali seenak jidat menilai kepribadian para aktor/entertainer seperti Jerry, padahal apa yang kita lihat hanya lah dari layar, tanpa memikirkan bagaimana kehidupan mereka ini kala layar kamera tidak menyorot mereka. 

Meski sudah berumur lebih dari 3 dekade, nyatanya The King of Comedy masih memiliki tingkat relevansi yang tinggi jika ditonton pada zaman sekarang. Hal ini tidak terlepas dari fakta bagaimana industri hiburan zaman dahulu hingga sekarang bekerja tidak lah terlalu jauh berbeda. Talenta dan integritas bukan menjadi faktor utama dari kesuksesan, melainkan aspek non teknis seperti skandal, riwayat buruk dari entertainer lah yang malah menjadi sorotan sehingga lebih berpengaruh besar dalam mendongkrak nama dari artis itu sendiri. Lihat saja sekarang, banyak sekali talenta-talenta berbakat namun seolah tenggelam dengan mereka yang lebih mengandalkan kontroversi maupun konflik demi mendapatkan jatah spotlight. Scorsese seolah menampar keras sistem ini melalui ending gelap yang hadir pada film ini. Kala akhirnya nama Rupert Pupkin menjadi headline di seluruh wilayah, namun harus dibayar mahal akibat kenekadannya.

Sudah begitu banyak film-film hebat yang tercipta dari kolaborasi Scorsese dan De Niro, seperti Casino, Raging Bull dan tentu saja Goodfellas. De Niro pun senantiasa bermain cemerlang di bawah arahan Scorsese, namun bagi Scorsese, penampilan terbaik De Niro selama bekerja sama dengannya adalah pada film ini, dan saya sepertinya sepakat dengan Scorsese. Patut diingat, De Niro sebelumnya telah memerankan karakter anti hero berkharisma yang dekat dengan kriminal seperti Vito Corleone , Travis Bickle dan Jake Lamotta. Namun, sosok De Niro yang selalu memerankan pria karismatik sepenuhnya hilang disini. De Niro bermain luar biasa dalam memberikan performanya sebagai Rupert yang polos, naif, always thinking "everything is gonna be fine", clumsy, terkesan bodoh dan mudah ditipu. Seperti yang saya tulis sebelumnya bila Rupert bagaikan anak kecil yang terjebak dalam tubuh orang dewasa, dan De Niro berhasil merepresentasikannya dengan brilian. Dengarkan saja teriakan "Maaaaaa!!!" setiap kali ia dibentak oleh sang ibu. Jika Anda ingin melihat betapa luasnya range akting dari De Niro, maka The King of Comedy adalah pilihan yang tepat. Puncaknya kala De Niro melakukan stand up comedy di akhir. Kaya akan gestur tubuh, ekspresi muka yang tepat sasaran, dan kejutannya, stand up yang ia lakukan benar-benar lucu secara alami. Ya, kelucuan yang hadir tanpa kita sadari adalah sebagai distraksi bila sebenarnya bit demi bit yang dibawakan oleh Rupert adalah pengalaman hidupnya sendiri. Bravo!

Sayang memang, film ini tenggelam jika dibandingkan film-film masterpiece Scorsese lainnya. Mungkin karena pada saat itu, The King of Comedy tidak berhasil meraih kesuksesan jika ditilik dari pendapatan uang, bahkan bisa dibilang cukup gagal besar, walau para kritikus menyukai nya. Padahal bila dilihat dari kualitas, The King of Comedy jelas bisa disandingkan dengan Goodfellas, Raging Bull atau Taxi Driver sekalipun, lewat performa luar biasa dari De Niro (yang secara mengejutkan tidak mendapatkan nominasi aktor terbaik versi Oscar!!) serta begitu dekatnya kisah yang diangkat oleh Scorsese. Masterpiece tersembunyi dari Scorsese berkat tamparan realita dunia hiburan yang begitu penuh ironi, dibalut komedi hitam yang tidak akan membuat mu tertawa, melainkan malah trenyuh dan hati tercabik kala melihat perjalanan sosok Rupert Pupkin.

8,75/10

Friday 13 September 2019


"That's all"- Miranda Pristley

Plot

Lulusan anyar jurusan jurnalis yang seketika mendapatkan pekerjaan yang diklaim beberapa orang merupakan pekerjaan yang membuat sejuta wanita rela untuk membunuh siapapun, itulah Andy Sachs (Anne Hathaway) yang secara mengejutkan mendapatkan kesempatan untuk menjadi asisten kedua Miranda Priestly (Meryl Streep), pemimpin redaksi majalah fashion, Runway. Miranda sendiri telah dianggap sebagai the living legend dalam dunia modeling serta dihormati oleh banyak orang, namun selain itu, dirinya pula dikenal sebagai wanita bertangan dingin dan tak kenal ampun jika telah berkaitan dengan pekerjaan. 



Review

Anda dan saya pasti pernah mendapatkan satu bos kejam tanpa ampun dalam suatu pekerjaan, dan jika memang salah satu dari Anda belum pernah merasakan, well, I will congratulate but feel a pity to you. Berada di bawah pimpinan yang kejam tanpa hati memang terdengar seperti kiamat dan kalau bisa dihindari, tetapi bila dipikir lebih dalam lagi, sebenarnya kita telah mendapatkan suatu pengalaman yang sulit untuk dilupakan, serta sering kali, pimpinan kita yang kejam tersebut malah menjadi salah satu bos yang mungkin pula sulit kita gerus dalam ingatan. Pengalaman seperti inilah yang akan didapatkan Andy, seorang gadis muda yang baru saja menyelesaikan studi kuliah nya di jurusan jurnalis, hidup di salah satu kota tersibuk di dunia, New York, harus menerima kenyataan jika dirinya akan segera mendapatkan bos kejam yang kelak akan memberikan pelajaran paling berharga sepanjang hidupnya.

"Million girls would kill for that job", statement yang tiap kali Andy dengar untuk posisi yang kini ia tempati. Memang, bukan sembarang orang yang memiliki kesempatan untuk bisa menjadi asisten pribadi seseorang yang dianggap begitu powerful dan berpengaruh. Pada awalnya pun, Andy sama sekali buta akan dunia fashion, bahkan ia tidak pernah membaca majalah Runway sehingga ia tidak mengenal siapa itu Miranda Pristley dan mengapa sosoknya begitu ditakuti, yang kelak ia akan ketahui dalam hitungan menit kala Andy menginjakkan kakinya di gedung kantor majalah tersebut untuk memenuhi panggilan interview.

Penonton pun juga tidak perlu menunggu lama karena saat film baru berjalan 2 menit saja, kita telah diajak berkenalan dengan sosok Miranda. Entrance dari Miranda sendiri diracik begitu apik oleh David Frankel, sang sutradara. Dengan memperlihatkan para pegawai bekerja, berlari kesana kemari melakukan tugasnya masing-masing, termasuk Emily (Emily Blunt), asisten pribadi pertama Miranda, lalu diperlihatkan pula Miranda yang perlahan menuju ke meja kantor nya. Kesan akan betapa ditakutinya Miranda oleh bawahannya telah sukses didapatkan penonton, dan saat lift elevator dibuka, kita pun akhirnya melihat sosok Miranda. Tidak butuh waktu lama, Meryl Streep langsung saja melakukan monolog, memberikan komando perintah pada Emily dan bawahan lainnya agenda apa saja yang harus dikerjakan, hingga ia tiba di meja kantor, melihat sekilas Andrea dan siap melakukan interview untuknya. Dan dalam durasi kurang lebih 1 menit itu pula, penonton telah terpana dan terkesima akan karakter ini.

Judul film ini tentu saja merujuk pada karakter Miranda. Kata "Devil" pun telah menggambarkan dirinya merupakan seorang pimpinan yang kalau bisa kita hindari, bahkan untuk hadir dalam mimpi pun jangan. Namun, dengan performa memikat dari Meryl Streep, saya justru selalu menantikan kehadirannya di setiap menit dalam film. Setiap gestur yang ia lakukan sangat mempesona dan anggun (ditambah lagi kecantikan abadi dari Meryl Streep), terlihat meyakinkan jika dirinya memang adalah sosok bos yang layak dihormati dalam dunia mode, ditambah dengan busana yang ia kenakan semakin menambah dosis keanggunannya. Saya pribadi suka sekali setiap kali Miranda menopangkan dagu di salah satu tangannya.


Sayang memang penampilan spesial dari Meryl Streep tidak diimbangi dengan penulisan cerita yang bisa dibilang sangat klise. Walau fondasi cerita nya cukup rapi, namun kisahnya sendiri bisa dibilang predictable. Penonton sudah bisa menebak jika karakter Andy akan mengalami kesulitan beradaptasi dalam pekerjaan terbaru nya, kemudian saat telah menemui titik terendah, ia akan bangkit dan berhasil memberikan pelayanan kerja yang baik sehingga bisa membuat Miranda kagum dan mulai menganggap dirinya. Konflik pun tercipta sesuai dengan tebakan saya, yaitu dengan keberhasilan Andy melakukan pekerjaan nya, ia justru semakin melupakan kehidupan pribadinya. Sebagai penulis naskah, Aline Brosh McKenna, memang seolah menolak untuk melakukan perbedaan. Konklusi dari konflik yang tercipta pun terkesan menggampangkan dan masih meninggalkan beberapa pertanyaan di benak. Saya pribadi cukup menyayangkan minus nya karakter Nigel (Stanley Tucci) di bagian akhir. Padahal karakter Nigel merupakan karakter yang paling suportif dan berpengaruh akan tahan banting nya Andy selama bekerja di Runway.

Beruntung The Devil Wears Prada memiliki protagonist utama sekaliber Anne Hathaway. Penampilannya bukan lah yang terbaik, namun ia cukup berhasil menggambarkan konflik batin yang dirasakan Andy. Anne pun juga memiliki pesona likeable sehingga tidak sulit penonton untuk memberikan simpati terhadap karakternya.

Ceritanya memang klise dan ringan, namun justru karena itu film ini mudah untuk diikuti. Ditambah lagi elemen komedinya ditangani dengan baik oleh David Frankel yang sadar akan timing. Tentu pusat komedinya adalah sulitnya Andy dalam memenuhi banyaknya permintaan dari Miranda yang sudah pasti tidak akan memaafkan kesalahan sekecil apapun, tidak perduli juga betapa mustahil nya order dari nya, yang hanya ingin ia ketahui adalah permintaannya terpenuhi atau tidak. Cocok sekali untuk dinikmati dalam waktu senggang, seraya bagi yang pernah berada di posisi Andy, bisa jadi The Devil Wears Prada menjadi wadah untuk penonton bernostalgia sembari menertawakan kesialan demi kesialan Andy, dan mengingat kembali hari-hari neraka ketika masih menjadi bawahan dari bos mengerikan tanpa kenal ampun.

7,5/10

Monday 9 September 2019

"He's my good friend, and I like him, but, Dani, do you feel held by him? Does he feel like home to you?"- Pele

Plot 

Dani (Florence Pugh) dan Christian (Jack Reynor) sama-sama mempertimbangkan untuk mengakhiri hubungan mereka. Jika Dani merasa tertekan karena beranggapan dirinya terlalu membebani Christian, di sisi lain, Christian juga merasa terpenjara atas kecemasan berlebihan dari Dani. Namun, niat putus dari keduanya harus tertunda akibat tragedi yang menimpa Dani, dimana ia harus menerima fakta adiknya yang bunuh diri dan "mengajak" kedua orang tua nya untuk ikut bersama. Di tengah rasa duka, Dani pun mendapat kabar pula jika Christian hendak mengunjungi Swedia demi mengerjakan tesisnya bersama teman-temannya, yaitu Mark (Will Poulter), Josh (William Jackson Harper) dan Pelle (Vilhelm Blomgren). Tak tega meninggalkan sang kekasih sendirian yang tengah bersedih, Christian akhirnya mengajak Dani juga untuk ikut bersamanya dengan harapan, wisata yang mereka lakukan mampu menggerus rasa kehilangan Dani.




Review

Melalui teror mencekam yang saya saksikan dari Hereditary (2018), yang merupakan film panjang pertama dari Ari Aster, telah cukup bagi saya untuk memperhitungkan nama sutradara satu ini dan tentunya menantikan karya-karya Aster selanjutnya. Hereditary jelas merupakan sajian film yang spesial untuk saya, dimana hanya Hereditary yang berhasil memaksa saya untuk tidak berani beranjak dari kasur tidur saya untuk sekedar ke kamar mandi. Hereditary pula yang sukses membuat saya paranoid dengan plafon rumah sehingga saya tak memiliki keberanian untuk menatapnya. Tidak ragu saya menobatkan Hereditary adalah film terbaik tahun 2018 versi saya. Maka ketika mendapatkan berita jika Aster, kembali dengan naungan rumah produksi A24, merilis film bergenre horor lagi di tahun 2019, jelas saya tidak sabar untuk menyaksikannya.

Elemen-elemen dari Hereditary masih kita temui di film terbaru Aster ini, seperti hubungan disfungsional, rasa duka atas kehilangan, dan tidak lupa ritual. Jika pada Hereditary kita menyaksikan drama disfungional keluarga, dalam Midsommar, kita diajak untuk melihat retaknya hubungan asmara Dani dan Christian. Memang terdengar sepele, namun permasalahan generik kaum remaja ini seketika berubah menjadi tragedi mencekam sesaat unsur ritual keagamaan warga setempat turut mengambil peranan. Kala Dani beserta Christian dan teman-temannya berkenalan dengan komunitas Harga di Halsingland, perlahan namun pasti kita pun akan menangkap ada yang tidak beres dengan komunitas ini. Hingga pada puncaknya ritual Attestupa dijalankan (one of the most haunting moment in the film), para karakter utama kita pun menyadari jika mereka tengah "terperangkap" dalam komunitas yang fucked up.

Jujur, Midsommar bukan film yang mudah dinikmati jika mengambil dari perspektif penonton yang belum terbiasa akan film keluaran A24. Seperti film dari A24 lainnya, Midsommar menggulirkan narasi nya dengan tempo yang cenderung lambat. Tidak jarang Aster menyajikan suatu adegan yang seolah akan di akhiri dengan momen shocking berkat pengambilan gambar melalui long take nya, namun nyatanya adegan tersebut terasa menggantung seperti lewat begitu saja. Momen hening tanpa terjadinya apa-apa juga tidak sedikit. Bukan berarti adegan-adegan seperti ini tidak memiliki esensi sendiri karena ketika film berakhir, saya pun menyadari terdapat banyak foreshadowing atau petunjuk yang diberikan oleh Aster. Namun bagi mereka yang belum familiar akan pendekatan slow burning ini, pendekatan Aster akan memberikan kebosanan serta tidak bisa menangkap apa yang diniati oleh Aster. Sekali lagi, dan mungkin Anda bosan mendengarnya, film-film keluaran dari A24 memiliki pendekatan non konvensional dan untungnya saya sudah mulai terbiasa style seperti ini.

Jika berbicara mengenai permasalahan Midsommar, secara pribadi saya cukup kesulitan untuk mengikuti ritual keagamaan yang dilakukan oleh komunitas Harga. Lebih ke arah gak ngerti dan awkward gitu karena terkesan konyol. Secara tidak sadar, saya serasa diajak menjadi remaja kurang ajar layaknya Mark yang tidak menghormati tradisi kepercayaan agama atau komunitas ini. Pengenalan tradisi demi tradisi dalam komunitas Harga pun bagi saya cukup kelamaan. Saya rasa jika disingkat pun tidak terlalu masalah

Namun memang, dengan pendekatan perlahan pada proses pengenalan ini, Midsommar berhasil menebarkan aura creepy di tiap menitnya, terutama setiap kali komunitas Harga melakukan kegiatan ritual nya. Sensasi halusinasi yang dialami tiap karakter nya pada suatu kegiatan ritual memberikan efek mencekam nan melelahkan seolah kita ikut menjadi bagian pada ritual tersebut. Salah satu kekuatan penyutradaraan Aster ya itu tadi, pendekatan perlahan serta realistis. Gaya penyutradaraan Aster dalam menebar horor nya itu layaknya Anda sedang naik gojek untuk diantar ke suatu tempat, namun driver membawa anda melewati jalan yang asing untuk Anda. Dihinggapi rasa cemas, Anda pun memiliki banyak pertanyaan, hingga bahkan ingin segera diturunkan. Meski pun secara aman Anda tiba di tujuan, saya jamin sensasi perjalanan yang telah Anda lalui susah dilupakan akibat rasa cemas. Yap, analogi nya ngaco, tetapi contoh ini saya rasa tepat menggambarkan pendekatan yang dilakukan Aster dalam menebarkan terornya. Dalam Midsommar, teror dari Aster kali ini diimbangi pula oleh scoring indah namun mencekam juga dari Bobby Krlic/The Haxan Cloak. 

Pada opening scene, keduanya telah menunjukkan kolaborasi nya dimana Aster menyajikan adegan panjang percakapan melalui telpon antara Dani dan Christian untuk memberikan kita konteks akan kegelisahan Dani, sebelum kita nanti akan diberikan sebuah pemandangan tragis. Kamera bergerak lambat, diiringi perasaan penonton tersayat berkat tangisan parau dari Dani, dan tak lupa scoring dari Bobby untuk memberikan atmosfir kelam dan horornya. Viola, salah satu adegan pembuka film tahun 2019 terbaik tengah anda saksikan. Saya sendiri kala melihat adegan pembuka ini, hanya bisa teriak "HOLY SHIT" dalam diam seraya menantikan tragedi-tragedi apa lagi yang disuap Aster untuk saya. Dengan pendekatan realis ini pula, Aster tidak terlalu bergantung dengan visual gelap minim pencahayaan layaknya Hereditary untuk memberikan sensasi tidak nyaman untuk penonton.

Saya rasa disini Aster cukup sadar jika lambat nya plot narasi bergulir akan memberikan masalah bagi penonton yang telah terbiasa akan film horor mainstream. Untuk itu, ia menyiasati nya dengan memberikan gambar-gambar visual pemandangan indah layaknya lukisan daerah Halsingland. Sebagai Sinematografer, Pawel Pogorzelski jelas telah melakukan pekerjaan brilian dalam menangkap seluruh gambar-gambar indah memanjakan mata. Setidaknya dengan visual indah ini, cukup bisa mengobati rasa suntuk yang mungkin menghinggapi penonton.

Disfungsional antara Dani dan Christian pun bagi saya menarik karena di antara keduanya, masing-masing tidak berada di zona putih sepenuhnya. Pada awalnya, saya dan mungkin sebagian besar penonton mudah saja menaruh simpati pada Dani. Tragedi yang menimpanya menjadi faktor terbesar mengapa penonton berharap Dani akan baik-baik saja, setidaknya hingga credit roll di akhir nanti. Sebaliknya, rasa tidak suka mulai menghinggapi penonton terhadap Christian semenjak ia mengutarakan keinginan putus di awal film. Namun seiring berjalannya film, kita pun mempelajari sebenarnya Christian bukanlah pria brengsek sepenuhnya. Ok, dia memang terasa cuek dan tidak terlalu perduli pada Dani, bahkan melupakan momen terpenting bagi Dani, namun selebih itu, he's fine. At least, saya merasa ia tidak layak mendapatkan apa yang kelak nanti menimpanya.

Performa mengagumkan diberikan Florence Pugh. Aster kerap memfokuskan kamera dengan teknik long take terhadap muka Pugh demi menangkap apa yang Dani rasakan. Tentu harus memiliki teknik akting memadai dimana seorang aktor harus senantiasa mengeluarkan akting pergulatan emosi kala kamera tepat dihadapan Anda. Namun sedari awal kala Dani terlibat percakapan di telpon dengan Christian, saya telah dibuat terpana akan luwesnya Pugh dalam mengekspresikan rasa cemas pada karakter Dani.  Dari obrolan biasa, bahkan sempat ceria, bertransformasi menuju kegelisahan, rasa sedih terpendam, diakhiri dengan rasa sedikit kecewa. Semuanya ditampilkan meyakinkan oleh Pugh, dan ingat, ini baru beberapa menit Midsommar berjalan. Sebelum nantinya kita menyaksikan tangisan memilukan dari Dani, yang tidak kalah pedih nya seperti yang dilakukan Toni Collette dalam Hereditary. Menit demi menit berlangsung, performa Pugh senantiasa stabil dan tidak pernah mengecewakan. Paling berkesan tentu saja setiap Pugh menampilkan sisi emosional dari Dani, seperti setiap kali ia menahan tangis yang mana ia terlihat sekali tersiksanya.

Dari total durasi original 147 menit (versi Director's Cut malah 171 menit), akhirnya Midsommar masuk ke bioskop Indonesia dengan total durasi 138 menit. Tentunya pemotongan durasi 9 menit cukup banyak, dan hal ini cukup terasa di berbagai adegan, seperti contoh utama ya di tradisi ritual Attestupa, yang saya cukup sayangkan karena momen kesadisan yang ada sebenarnya bisa menjadi momen shocking supaya penonton bisa lebih terpaku untuk menikmati Midsommar hingga akhir. Namun setelah momen ini, LSF telah bekerja cukup baik untuk meminimalisir terganggunya penonton akan sensor yang ada. Palingan pada adegan sex scene saja kembali sensor begitu terasa, tetapi bagi saya, cukup mengetahui konteksnya, saya tidak terlalu keberatan atas peniadaan adegan ini. Yang jelas, saya jauh lebih bersyukur Midsommar akhirnya bisa rilis di Indonesia, setelah tersiar kabar jika film ini batal tayang di bulan Agustus lalu, sehingga saya pun memiliki kesempatan untuk menikmati sajian teror mencekam dari Ari Aster, yang melalui karya teranyar nya ini, semakin menegaskan jika ia adalah sineas horor yang patut diperhitungkan di era perfilman generasi saat ini.

8/10

Friday 6 September 2019

"I did it for me. I liked it. I was good at it. And I was really... I was alive."
Salah satu moto saya setiap kali ingin mencoba film yang memiliki usia cukup "tua" namun mendapatkan predikat critical acclaim adalah tidak ada kata untuk terlambat. Saya ingin mengetahui seberapa bagus nya film yang kerap dipuji. Saya ingin mendapatkan pengalaman menyenangkan dari apa yang saya nikmati. Dan terakhir, saya ingin mempelajari bagaimana sebuah film mampu memuaskan berbagai pihak dan dianggap spesial oleh kalangan penikmat film. Sedikit cerita, dalam bulan-bulan belakangan, minat saya menonton film ataupun anime baru berkurang drastis. Bisa dilihat dari postingan saya di blog ini yang jumlahnya dari bulan ke bulan semakin berkurang. Kerap kali untuk mengisi waktu luang, saya lebih memilih film yang sudah saya tonton sebelumnya dan mayoritas adalah film yang saya sukai. Hingga pada awal bulan Juli, ketika saya mendapatkan salah satu cobaan yang paling berat dalam hidup saya, saya membutuhkan media hiburan sebagai bentuk escapism saya akan kenyataan. Dan pilihan saya pun jatuh pada TV Series, Breaking Bad, yang kerap kali dicap sebagai salah satu, jika bukan, serial tv paling berpengaruh dan terbaik yang pernah ada. 


Jelas salah satu faktor mengapa saya tergerak untuk mencoba Breaking Bad karena pujian setinggi langit dari kritikus maupun penonton. Selain itu juga mungkin faktor selanjutnya adalah betapa mengecewakannya hasil akhir dari season terakhir Game of Thrones, tv series paling populer setelah Breaking Bad, yang juga sering disebut mampu menjadi tv series terbaik, namun harus banyak yang menjilat ludah akibat season 8 nya yang berantakan. Tapi untuk saya, faktor utama dan paling pertama adalah fakta bila Breaking Bad memiliki protagonist utama anti hero tidak biasa, yaitu Walter White (Bryan Cranston). Genre yang diambil pun merupakan salah satu favorit saya, yaitu crime drama

Plot


Breaking Bad mengambil cerita seorang guru kimia SMA bernama Walter White, yang didiagnosa mengidap stage 3 lung cancer. Membutuhkan biaya lebih untuk perawatan kanker ditambah pula kebutuhan hidup sehari-hari, Walter nekad terjun ke drugs world, dimana ia memproduksi serta menjual narkoba jenis methamphetamine (serius, susah banget namanya). Dibantu oleh mantan muridnya, Jesse Pinkman (Aaron Paul), Walter perlahan-lahan semakin dalam terlibat dalam dunia kriminal. Terlebih, hasil "memasak" meth karya nya dianggap terbaik yang pernah ada, sehingga permintaan dari para junkie semakin besar. 

Tinggal di Albuquerque, New Mexico, Walter memiliki seorang istri yang tengah hamil, Skyler White (Anna Gunn) dan anak laki-laki, Walter Jr. (RJ Mitte), yang mengidap cerebral palsy. Selain itu, Walter pun memiliki adik ipar, Marie (Betsy Brandt) dan suaminya yang merupakan agen DEA, Hank Schrader (Dean Norris). Hank sendiri tengah gencar melakukan penyelidikan atas semakin maraknya penggunaan meth di lingkungan Albuquerque.



Breaking Bad, yang dibuat oleh Vince Gilligan ini terdiri dari 5 season, dan percayalah dari season ke season nya, semakin menebarkan atmosfir kelam, depresif, serta tragic yang hadir per episode. Saya sendiri cukup kaget betapa dark nya cerita Breaking Bad berkembang, terutama dari pertengahan season 3 hingga season 5. Padahal di awal-awal season, atmosfir yang ditawarkanBreaking Bad terasa family friendly sekali. Harmonisnya keluarga Walter, eratnya hubungan mereka dengan Marie dan Hank, serta dunia kriminal yang belum terlalu menjamah kehidupan Walter, terutama di season 1, Breaking Bad masih mudah untuk dilahap, dan terlihat normal untuk ditonton bersama dengan keluarga. Namun, seiring dekatnya dan familiar nya Walter berhubungan dengan kehidupan kriminal, tone penceritaan mulai cenderung depresif, intense, dan tragic sehingga memberikan kesan tidak nyaman setiap menontonnya. 

Saya sangat menyukai pendekatan para kreator Breaking Bad, diketuai Vince Gilligan, yang perlahan namun pasti. Memanfaatkan format episode nya, penonton diajak untuk mengenal lebih dalam masing-masing karakternya. Seperti Walter yang sangat mencintai keluarganya dan rela melakukan apapun demi kebahagiaan mereka, bahkan harus melakukan tindakan kriminal. Jesse yang terlihat dari luar hanya lah berandal junkie pembuat onar, namun di dalamnya terdapat hati mulia yang menyukai dan menyayangi anak-anak. Lambat laun, pekerjaan mereka sebagai penyuplai meth ini akan mempengaruhi kehidupan orang-orang terdekat Walter dan Jesse, dan semakin sering pula mereka harus memutar otak untuk bisa menjamin keselamatan kerabat mereka dari tokoh-tokoh kriminal yang berbahaya. Dengan 5 season, total 62 episode nya, jelas Gilligan & co. memiliki durasi jauh lebih dari cukup untuk mengeksplorasi para karakter nya. Tidak hanya Walter dan Jesse, kita pun melihat pendalaman berbagai karakter yang melingkari mereka, sehingga para karakter ini jatuhnya tidak hanya sekedar lewat saja. 


Bagi saya, penulisan karakter-karakter dalam Breaking Bad ini merupakan aspek terkuat serial tv ini. Untuk karakter Walter White sendiri, percayalah, saya bisa menulis satu artikel panjang untuk karakter anti hero terbaik yang pernah saya tonton dalam media serial tv/film ini. You know I freakin' love this character if I said so. Awal mula, Walter adalah pria berkeluarga normal dengan pekerjaan yang normal pula. Dari permukaan, mudah sekali untuk menilai jika ia adalah pria baik-baik. Dibantu pula kharisma likeable dari Bryan Cranston. Namun, dengan kondisi yang semakin menyulitkan, ia berani mengambil jalan 180 derajat dengan tenggelam dalam dunia kriminal. Seiring waktu, sosok Walter White yang baik kita kenal di awal semakin tergerus, dan tidak jarang kita membenci atau paling tidak menyayangkan keputusan amoral yang sering ia ambil, sehingga melahirkan sosok alter ego Walter, sekaligus "nama kriminal" nya, Heisenberg.


Demi melancarkan segala urusannya, Walter tidak segan-segan dalam mengambil keputusan, bahkan jika keputusan tersebut harus melayangkan nyawa orang lain. Dari kriminal kelas teri yang bahkan sering melakukan kecerobohan mendasar, menjelma menjadi mastermind dalam menjalankan agenda nya. Transformasi Walter White ini dikerjakan begitu mendetil oleh Gilligan. Dari motif, karakterisasi, hingga narasi masa lalu, Gilligan begitu memperhatikan hal-hal tersebut. Walter sendiri sebelum ia menjelma menjadi seorang raja dalam dunia narkotika, ia hanyalah pria berusia senja normal, bahkan cenderung menyedihkan. Ia didiagnosa mengidap kanker paru-paru meskipun ia sama sekali tidak pernah merokok sepanjang hidupnya. Sebagai guru pun ia tidak dihormati, bahkan ada satu momen, Walter dipermalukan oleh salah satu muridny yang sebelumnya sempat ia marahi. Dalam keluarga pun, Walter seolah powerless. Sebagai pemimpin rumah tangga, terlihat sekali ia terlalu "diarahkan" oleh sang istri, Skyler. Hank, adik iparnya, tidak jarang meremehkan atau bahkan menjadikan Walter sebagai bahan candaan. From the start, Walter already got my sympathy. 

Maka, saat Walter keluar dari "sangkar" dan melakukan tindakan diluar comfort zone nya, meskipun ilegal dan berbahaya, saya merasakan ada motif utama selain uang yang mendorong Walter memulai petualangannya sebagai kriminal. Perhatikan dialog berikut ini di season 1.

Jesse: Some straight like you, giant stick up his ass, age-what, 60? He's just gonna break bad? It's weird is all, okay? It doesn't compute. Listen, if you've gone crazy or something. I mean, if you've... if you've gone crazy or depressed, I'm just saying...that's something I need to know about. Okay? I mean, that affects me. 
Walter: I am awake.. 
See? Kerap kali, kita selalu mendengar Walter beralasan jika ia menyebrangi jalan penuh mara bahaya, masuk ke dunia kriminal demi mendapatkan uang adalah untuk keluarga. I did this for family, bla bla bla, tapi dari awal kita bisa menduga, Walter melakukan semua ini adalah berdasarkan keinginannya sendiri, dan di episode akhir, akhirnya Walter mengakui tersebut. Dia merasakan hidup, seolah terlepas beban yang selama ini menahannya. Ada kepuasan melihat dirinya di akhir, ia terang-terangan mengakui itu. Pada akhirnya, ada satu hal yang mana bisa memuaskan ego terpendamnya. Ia bisa mendapatkan respect dari orang yang mengetahui potensi sebenarnya, keberadaannya memiliki impact besar. Dan secara tidak langsung pun, ia memegang kontrol penuh dan bisa mengelabui Hank, yang notabenenya kerap meremehkan dirinya.



Bryan Cranston memberikan performa monumental sebagai Walter White. Tak berlebihan rasanya jika mengklaim Walter White adalah salah satu karakter terbaik yang pernah ada dalam sejarah serial tv, dan selain faktor penulisan karakter, penampilan Bryan Cranston juga memiliki andil besar. Bukan hal mudah memerankan dualitas pada satu karakter, dan Cranston mampu menyeimbangkan sosok Walter yang likeable, clumsy, innocent, namun disisi berseberangan, ia juga briliannya sukses menampilkan sosok Heisenberg yang sociopath, berhati dingin sehingga bisa memberikan order untuk mencabut nyawa seseorang. Terdapat banyak adegan yang membuat saya speechless berkat akting luar biasa Cranston, seperti pada adegan "I am the danger", monolog pada episode Fly, saya dipaksa untuk terharu bahkan menangis akibat aktingnya di the telephone scene dalam episode Ozymandias, namun favorit saya adalah di akhir adegan episode Crawl Space, dan oh boy, saya dibuat terpana, takjub akan totalitas yang diberikan Cranston. What a phenomenal job.

Selain memperdalam karakterisasi, Gilligan mengajak kita untuk melihat interaksi antar karakter.  Kita mempelajari hubungan yang terjalin, apakah itu sayang, perduli, hormat atau bahkan benci. Namun, tetap yang paling stood out adalah duet Walter-Jesse. Seiring berjalan episode demi episode, hubungan keduanya mengalami pasang surut. Tidak jarang mereka berdebat bahkan bertengkar akibat pendapat berseberangan, namun juga sering pula mengemuka hubungan hangat ala ayah dan anak pada dua karakter ini.



Barisan para antagonist nya pun tidak mau kalah. Ada Tuco (Raymond Cruz) yang memiliki masalah dalam mengatur temper nya, Jack Welker (Michael Bowen) yang hadir di season akhir, duo the cousins, Leonel dan Marco Salamanca (Daniel dan Luis Moncada) yang miskin bicara namun setia memberikan ancaman di setiap kehadirannya. Gilligan & co. juga membuktikan kepada penonton jika untuk menghadirkan villain yang berbahaya, tidak selalu perlu sosok pria/wanita tangguh dengan fisik menyeramkan. Hector Salamanca (Mark Margolis) masih mampu menebarkan teror dengan tatapan penuh kebencian walau dirinya hanya duduk di kursi roda. Oh, tidak lupa juga dengan lonceng di kursi roda nya yang mampu membuatmu tidak nyaman. Dan ada juga Lydia Rodarte-Quayle (Laura Fraser), wanita high profile (terlihat dari namanya yang.....ribet -_-) terlihat lemah dan mudah cemas, tetapi di dalam nya ternyata tidak terlalu jauh busuknya dengan para kriminal lainnya. Tetapi tentu saja yang paling memorable adalah Gustavo Fring yang diperankan brilian oleh Giancarlo Esposito. Berdosa sekali rasanya jika tidak membahas karakter satu ini.

Ekspresi di periode awal masa kerja.

 2 bulan selanjutnya.
Gustavo atau Gus sebenarnya tidak jauh berbeda layaknya Walter White. Dirinya harus menjalani kehidupan ganda demi menutupi kedok mereka dalam keterlibatan di dunia kriminal. Keduanya sama-sama kalkulatif, cerdas, dan ahli dalam melakukan pekerjaan mereka. Namun bedanya, Gus memiliki pengalaman yang jauh di atas Walter sehingga Gus lebih tenang dan acap kali mendahului Walter di setiap kesempatan. Kondisi inilah yang juga harus memaksa Walter senantiasa memutar otak untuk mengalahkan Gus, bahkan harus melakukan apapun supaya nyawanya terselamatkan. Percayalah, ancaman yang dihadirkan oleh Gus jauh berlipat-lipat dosis nya dibanding antagonist lainnya. Gus merupakan pria kalem, tenang, mampu memberikan kesan nyaman kepada setiap orang didekatnya, namun dibalik itu, ia adalah sosiopat penuh perhitungan yang membuat Anda berharap untuk tidak melihat dirinya yang sebenarnya. Tatapan mata tajamnya nya saja saya rasa sudah lebih dari cukup untuk membuat saya kencing di celana. Rivalitas antara Walter vs Gus inilah yang semakin menobatkan Breaking Bad sebagai tontonan yang keren dan susah dilupakan.



Ada alasan tersendiri mengapa Breaking Bad menjadi sajian yang memorable, dan itu tidak terlepas dari suntikan realis dari Gilligan & co. Breaking Bad bukanlah kehidupan layaknya dalam film The Godfather trilogy dimana Walter hidup dalam dunia keluarga mafia. Setting Breaking Bad tidak diambil layaknya perang kerajaan ala Game of Thrones, melainkan kisah Breaking Bad hanyalah diambil dari kehidupan pria normal dengan lingkungannya yang normal pula, begitu jauh dari lingkungan kriminal. Dengan pendekatan realis inilah, setiap Breaking Bad memiliki momen yang mencekam, intense, yang melibatkan karakter utamanya dalam bahaya, penonton pun merasakan ketidak nyamanan. Susah dilukiskan bagaimana jantung saya berdetak begitu tidak normalnya setiap Walter dan Jesse dihimpit masalah besar yang bisa saja mempengaruhi kehidupan sekitar mereka.

Ambiguitas moral terasa kental saat mengingat, tokoh-tokoh utama dalam Breaking Bad sebenarnya tidak ada yang bisa dikatakan benar-benar putih (mungkin pengecualian adalah Walter Jr.) sehingga terasa humanis. Masing-masing memiliki flaws nya, termasuk Hank sebagai agen DEA yang di akhir memperlihatkan jika ia rela melakukan apa saja demi bisa menangkap Heisenberg. Namun dengan fakta ini malah membuat saya menyukai hampir semua karakter nya, termasuk Skyler yang kerap dicap sebagai karakter paling menyebalkan dalam seri ini. Saya sendiri menyayangkan penilaian ini sih karena bagi saya, Skyler bukanlah karakter one dimensional. Oke, di awal-awal season saya bisa memahami pemikiran ini, namun sama seperti karakter lainnya, karakter Skyler pun ikut berkembang, sehingga ia nantinya menjadi salah satu faktor mengapa Walter bisa meneruskan karir underground nya. Ia tidaklah sempurna, bahkan melakukan kesalahan fatal yang disayangkan, tetapi pada akhirnya saya pun tidak bisa menyalahkan sepenuhnya atas tindakan Skyler.

Di tengah pusaran kisah drama kriminal yang semakin mengental dan berintensitas tinggi, Gilligan & co. tidak lupa juga sering menyelipkan komedi gelap nya yang kerap datang secara tak diduga dan di situasi yang tidak tepat (in positive way). Minimnya pengalaman Walter di awal karir kriminal nya dimanfaatkan Gilligan untuk menjadi sumber black comedy nya, begitu pula dari duet Walter-Jesse yang kerap kali berdebat hingga sesekali mereka adu jotos. Perkelahian pertama mereka di toilet selalu berhasil membuat saya tertawa tiap kali saya menontonnya. Setidaknya sentuhan komedi hitam ini sedikit memberikan warna cerah tersendiri di tengah semakin kelamnya penceritaan. Karakter  comic relief seperti Saul Goodman (Bob Odenkirk) atau bahkan si bodyguard pendiam favorit penggemar, Huell (Lavell Crawford) tentu dibutuhkan untuk meningkatkan dosis komedinya.




Permasalahan Breaking Bad sendiri bagi saya adalah pacing nya yang sering begitu lambat. Tidak jarang Gilligan & co. menghabiskan menit demi menit dalam episode nya dengan memusatkan pada dialog atau cengkerama antar karakter tanpa ada nya momen pelecut adrenalin, terutama di season 1. Hal ini menjadi alasan tidak terbantahkan mengapa Breaking Bad cukup susah untuk dinikmati bagi mereka yang ingin memulai petualangan mereka bersama Breaking Bad. Saya sendiri yang biasanya bisa menonton 5-6 episode serial tv, membutuhkan waktu 1 bulan untuk melahap habis season 1. But, it's worth it, yo! Pengalaman menonton Breaking Bad ini tidak jauh berbeda kala saya menikmati Hunter X Hunter, dimana di awal-awal terlihat biasa saja, cenderung membosankan bahkan. Namun, lama kelamaan, saya ikut tenggelam dengan ceritanya yang semakin jauh dari kata family friendly. Terbukti, jika di season 1 saya cukup membutuhkan waktu lama supaya menonton semua episodenya, di season 3 hingga 5, saya hanya membutuhkan waktu satu minggu saja untuk mengakhiri perjalanan saya dengan tv series ini. Meski bisa dibilang minim adegan aksi, namun percayalah, berkat pendekatan slow burning inilah, semua momen mencekam dalam Breaking Bad begitu nendang.

Cukup disayangkan bila banyak para newbie yang ingin mencoba Breaking Bad segera menyerah di season pertama karena memang dengan pacing yang lambat panas ini memiliki tujuan untuk memberikan kesempatan kepada penonton supaya tenggelam dengan kisah para karakter yang terlibat, hingga tercipta koneksi antara kita dengan karakter nya.  Saya sarankan untuk Anda yang telah memiliki niat untuk mencoba Breaking Bad, bersabarlah. Tidak perlu terburu-buru, nikmati kisahnya secara perlahan, karena percayalah, Anda akan mendapatkan pengalaman menonton luar biasa di setiap seasonnya. Terutama di season 3 hingga akhir. Tentunya saya pun sangat menantikan El Camino yang akan dihadirkan Netflix nantinya.

"Yeah, BITCH!!"

Season 1: 8/10
Season 2: 8,5/10
Season 3: 9/10
Season 4: 9,5/10
Season 5: 10/10

Overall: 9/10





Monday 2 September 2019

"Don't cry in front of  the Mexicans"- Cliff  Booth

Plot 

Rick Dalton (Leonardo DiCaprio) merupakan aktor Hollywood yang terkenal lewat perannya sebagai Jake Cahill dalam western tv series, Bounty Law. Dirinya sempat menjadi aktor kelas atas, namun memasuki periode 60'an akhir, namanya kian meredup. Rick hanya mendapatkan jatah pemeran penjahat yang harus rela dihajar dan kalah di akhir cerita. Karir meredup Rick ini secara langsung berdampak pada stuntman sekaligus teman Rick, Cliff Booth (Brad Pitt) yang juga sepi akan pekerjaan. Keseharian Cliff pun hanya menjadi asisten antar jemput Rick, dan sesekali membantu Rick perihal pekerjaan rumah. Rick sendiri tinggal tepat bersebelahan dengan sutradara yang tengah naik daun, Roman Polanski (Rafal Zawierucha) bersama istrinya, Sharon Tate (Margot Robbie), seorang aktris muda yang tengah menapak karir di Hollywood.




Apa yang anda harapkan dari film hasil sutradara sekaliber Quentin Tarantino? Tentu nya sajian kekerasan banjir darah bersanding dengan dialog-dialog "seenaknya" namun memorable di tiap menit yang tidak ketinggalan akan umpatan-umpatan layaknya film Martin Scorsese. Ya, bila Anda penikmat film, nama Tarantino jelas lebih dari sekedar nama. Tarantino adalah salah satu sutradara yang paling dihormati dalam dunia perfilman. Namanya seolah telah menjadi jaminan jika film yang disutradarai nya sudah hampir pasti akan berakhir memuaskan. Dari Reservoir Dogs, Pulp Fiction, dwilogi Kill Bill, hingga The Hateful Eight, tidak ada yang mengecewakan. Semuanya critical acclaim yang membuat Tarantino memiliki penggemar yang lumayan masif. Setelah "libur" sebagai sutradara dalam kurun waktu 4 tahun, karya kesembilan Tarantino pun lahir di tahun ini. Semua penikmat film menantikan, termasuk saya. Apalagi tersiar kabar jika ini adalah film terakhir dari Tarantino, dan apabila isu ini benar, sayang sekali, karena saya sedikit kecewa akan film ini. And dare I say it, this is the worst Tarantino's movie. Let me explain you why.

Berdasarkan judulnya, Tarantino seolah menulis surat cinta melalui Once Upon a Time in Hollywood (next, I'll call it OUATIH) ini akan perfilman Hollywood, tepatnya periode 50-60an. Lengkap dengan referensi film/tv series yang populer pada zaman itu, seperti The Great Escape, Batman, FBI dan sebagainya, lengkap pula penempatan beberapa film fiksi bergenre western movie yang tengah digandrungi kala itu, bahkan OUATIH ini begitu kental akan atmosfir western nya disebabkan dari gaya berpakaian Rick dan Cliff bagaikan koboi. Tidak ketinggalan tokoh-tokoh berpengaruh seperti Bruce Lee (yang mengundang kontroversi akibat penggambaran karakter versi Tarantino yang almarhum miliki dalam film ini yang dianggap tidak menghormati Bruce Lee) dihadirkan atau paling tidak disinggung namanya. Musik latar berusia tua pun bertebaran di tiap adegan untuk penambah injeksi setiap momen. Dan jujur, untuk saya yang bisa dikategorikan penggemar film muda yang begitu buta akan situasi dunia Hollywood periode 50-60 an, tentu saja referensi yang bertebaran dalam OUATIH membuat saya tersesat. Saya tidak bisa membedakan mana adegan film/tv yang fiksi, ataupun yang nyata. Terlebih lagi, Tarantino masih menyuguhkan dialog nya yang lumayan cepat sehingga saya kesulitan untuk mengikuti, walau saya harus akui, jika dibandingkan film-film Tarantino sebelumnya, dialog-dialog dalam OUATIH jauh lebih "fokus", tidak terlalu ngalur ngidul sebelum ke inti suatu adegan. Namun entah kenapa, dialog dalam film ini tidak lah terlalu memorable

Fokus penceritaan pun terasa kurang fokus, dimana OUATIH menceritakan tiga karakter protagonist utama, yaitu Rick, Cliff dan Sharon. Story arc Rick dan Cliff tidak jauh berbeda. Keduanya tengah mengalami penurunan dalam karir mereka dalam dunia Hollywood. Yang membedakan adalah cara menyikapi fakta tersebut. Bila Rick kerap merasakan kecemasan berlebihan, bahkan sering menangis saat mengeluh bintang nya semakin pudar, beda hal dengan Cliff, yang justru lebih dewasa dan santai dalam menerima fakta. Cliff tetap menjalani kehidupan sehari-hari nya seperti biasa, bermain dengan anjing peliharannya yang setia, dan tetap setia dalam mengantar jemput Rick. Padahal jika dilihat dari kasat mata, Cliff harusnya lebih tepat untuk mengeluh. Terlihat kala Tarantino membandingkan kehidupan Cliff dan Rick yang seolah beda kasta. Cliff mendiami home trailer ditemani sereal murah dan tv kecil, berbalik dengan Rick yang mendiami rumah mewah dan kolam renang pribadi sembari menikmati minuman alkohol mahal nya kala menghapal naskah. Padahal, Cliff merupakan pahlawan perang yang mampu melakukan apa saja. Muncul dalam benak jika Cliff mungkin lebih layak berada di posisi Rick.

Di lain sisi, ada Sharon Tate, istri dari sutradara yang tengah booming, Roman Polanski, yang tengah menanjak karir nya berkat pesona nya sebagai aktris muda yang cantik dan seksi. Kita diajak untuk mengenal Sharon lewat kehidupan sehari-hari nya. Bercengkerama dengan teman-temannya, berpesta dan menonton film yang ia bintangi di bioskop biasa. Saat menonton film itulah, kita akhirnya mengenal sisi lain dari Sharon, yang tak lebih dari aktris muda yang girang kala penonton menikmati karakter yang ia perankan. 

Dalam durasi nya yang kurang lebih 2 jam dari keseluruhan 160 menit, tepatnya sebelum narasi bergerak ke akhir, Tarantino seolah menjadikan OUATIH sebagai media slice of life ketiga karakter utamanya. Saya pun harus mengakui cukup bingung dan tersesat apa sebenarnya yang ingin Tarantino sampaikan lewat film ini. Apakah ingin menceritakan seorang aktor yang tengah mengalami keterpurukan atau sebaliknya? Parahnya lagi di pertengahan, Tarantino menyajikan tiga narasi yang seolah tidak ada benang merahnya, dimana tiga karakter ini memiliki story arc nya masing-masing di tempat yang berbeda. Makin tersesat lah saya, sehingga tidak terpungkiri kebosanan mulai menghampiri, ditambah lagi bertebaran referensi film/tv series jadul tahun 50-60 an yang kebanyakan tidak saya ketahui. Maaf saja jika saya beranggapan Tarantino membuat film ini untuk mereka yang tahu seluk beluk dan memiliki wawasan luas dalam dunia Hollywood, terutama periode yang saya singgung sebelumnya, tanpa memikirkan apakah juga bisa dinikmati untuk penonton awam seperti saya.

Masih ada beberapa momen menghibur yang lumayan mampu mengusir kantuk, seperti penyutradaraan yang nyeleneh ala Tarantino ada. Penempatan flashback scene yang kerap muncul tiba-tiba juga menambah warna OUATIH. Terlepas dari benar atau tidak penggambaran karakter Bruce Lee disini, tetapi harus saya akui, ketika ia sparring dengan Cliff itu sangat menghibur untuk saya. Adegan kekerasan brutal yang hadir di penghujung film tentu saja sudah saya tunggu-tunggu kehadirannya (more on that later). Bukan film Tarantino banget jika minus adegan kekerasannya. 

Kelemahan di narasi cerita cukup mampu ditutupi akan eksplorasi tiga karakter utama serta kualitas yang membintanginya. Anxiety dari Rick digambarkan sempurna oleh Leonardo DiCaprio. DiCaprio mampu memerankan dualitas karakter Rick dimana Rick bisa menjadi laki-laki macho yang sudah terbiasa dengan baku tembak kala syuting berjalan, lalu bertransformasi menjadi Rick yang bahkan dengan mudah menangis akibat kecemasannya yang berlebihan. Bahkan ada suatu momen dimana DiCaprio begitu luwesnya memerankan dua versi Rick Dalton dalam waktu berdekatan. Adegan Rick meluapkan kekecewaan serta kemarahannya dalam trailer bagi saya adalah momen terbaik dalam OUATIH. Brad Pitt tentu saja tidak kesulitan memerankan Cliff sebagai karakter macho nan badass. Duet DiCaprio-Pitt menjadi elemen terkuat dalam OUATIH berkat chemisty meyakinkan mereka, sehingga saya cukup menyayangkan adegan mereka dalam satu layar cukup minim dalam film berdurasi dua jam lebih ini. Andai saja Tarantino lebih memilih mengeksplorasi hubungan persahabatan mereka. Margot Robbie memang cukup tenggelam dibanding dua aktor besar ini, tetapi ia masih bisa menunjukkan kebolehan aktingnya, terutama di adegan bioskop. Perhatikan ekspresi bahagia nya kala penonton menyukai karakter yang ia perankan, terasa genuine seolah menggambarkan perasaan Robbie sebenarnya, bukan Sharon.

Dalam membangun ketegangan, Tarantino masih ahli nya. Yang pertama adalah saat Cliff masuk ke "sarang" nya hippies. Lalu yang kedua sajian penuh kekerasan nan brutal di penghujung cerita. Yang saya sukai dari Tarantino adalah setiap adegan slow burning nya, Tarantino lebih memilih kesunyian dalam membangun intensitas, minus sound effect. Penonton dibuat tidak nyaman, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Glorifikasi kekerasan yang mengeksploitasi darah tersaji di adegan pertarungan pada akhir film, dihiasi call back dari Tarantino yang menjadikan beberapa momen yang terjadi sebelumnya memiliki esensi. 

Spoiler beware!!!!!

Kala judul film muncul tanda berakhirnya film, terlintas dalam benak, ada yang salah pada film ini. Tentu Tarantino memiliki maksud dan pesan sendiri yang ingin ia sampaikan melalui OUATIH. Diliputi kebingungan, saya pun mencoba gugling isu apa yang ingin diangkat Tarantino. Rupanya Tarantino mengangkat cerita dari tragedi penembakan Sharon Tate di 8 Agustus 1969, yang merenggut nyawa Tate dan teman-temannya. Tarantino pun menciptakan alternate reality layaknya Inglourious Basterds (2009) dimana dalam filmnya, Sharon Tate dan temannya justru selamat, karena para pelaku penembakan justru mengubah targetnya menjadi Rick Dalton akibat perilaku tidak menyenangkan Rick terhadap mereka. Para pelaku pun berakhir tragis karena kesalahan mereka memilih target, sehingga secara tidak langsung, jika kita mengetahui konteks nya, Rick dan Cliff (dan anjing peliharannya) telah menyelamatkan Sharon dan temannya. 

Karakter Rick dan Cliff sendiri adalah karakter fiksi. Penggambaran karakter Rick Dalton bagaikan kombinasi dari aktor kawakan periode 50-60 an seperti Steve McQueen (The Great Escape) dan Ty Hardin. Klimaks di akhir bagaikan kenyataan ideal bagi Tarantino. Andai ia bisa mengubah sejarah, ia berharap ada karakter seperti Rick dan Cliff sehingga mampu menghalangi tragedi yang terjadi. Dan sesungguhnya, pusat penceritaan OUATIH sebenarnya adalah Sharon Tate. Film ini seperti didedikasikan untuknya dari Tarantino. Dengan mengetahui konteks ini, saya pun mengerti jika Tarantino menganggap film teranyar nya ini adalah karya paling personal untuknya.

Spoiler End!

Seperti yang saya tulis sebelumnya jika film ini pasti mudah dinikmati oleh para penonton yang paham akan referensi atau paling tidak tahu konteks filmnya. Saya pun cukup yakin jika menonton film ini lagi, kepuasan saya akan bertambah beberapa kali lipat. Namun, untuk first viewing, pendapat saya tidaklah berubah. Susah untuk mengungkapkan saya puas dengan hasil akhir dari film ini jika saya sering dilanda kebosanan dan tersesat akan narasi cerita nya. Masih menghibur, terutama penggambaran karakter Rick dan Cliff dibantu performa mengagumkan DiCaprio (like usual) serta kuatnya chemistry nya bersama Brad Pitt, tetapi untuk film karya sutradara sekaliber Quentin Tarantino, of course I was expecting more than this.

7,5/10



Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!