Tuesday 27 June 2017


"It has been said throughout the ages, that there can be no victory, without sacrifice."- Sir Edmund Burton

Plot

Keberadaan para Transformers yang selalu menghadirkan bencana bagi bumi memaksa pihak pemerintah meningkatkan kewaspadaan mereka. TRF (Transformers Reaction Force) yang dibentuk untuk merespon setiap kemunculan Transformers pun kini seolah tanpa pandang bulu menyerang Transformers yang terdeteksi keberadaannya, baik makhluk raksasa besi itu berada di pihak Autobot atau Decepticon. Cade Yeager (Mark Whalberg) yang telah berteman dengan tiap anggota Autobot memutuskan untuk mendedikasikan hidupnya melindungi teman-temannya itu, sehingga dirinya pun kini menyandang status buronan dari pemerintah. Sang pemimping Autobot sendiri, Optimus Prime tengah "mudik" ke planet asalnya, Cybertron, untuk menemui dengan dewa di planet tersebut, Quintessa. Sementara grup Decepticon yang masih diketuai Megatron mengendus akan keberadaan tongkat terakhir yang dianggap sebagai poin penting terakhir untuk membawa Cybertron ke planet Bumi.




Review

Semenjak hadir pada tahun 2007 di dunia perfilman Hollywood, film-film Transformers bila dirunut dari segi kualitas penceritaan, tidak ada yang memuaskan sebenarnya, kecuali film perdananya yang harus diakui sangat menghibur. Itu pun dikarenakan pada film debut tersebut, penonton baik yang mengikuti Transformers versi kartunnya atau tidak, terhipnotis dengan segala transformasinya dari mobil ke robotnya yang digarap begitu sempurna. Momen ketika para Autobot menunjukkan jati diri mereka masih merupakan momen terbaik dalam franchise ini. Ceritanya juga masih berpusat pada rivalitas antara Autobot dan Decepticon sehingga walaupun mungkin tidak digarap dengan elegan, namun masih mudah dinikmati. Dan muncullah sekuel demi sekuelnya yang hanya berpusat pada adegan yang bombastis sehingga mengorbankan penceritaan. Magis yang saya sebutkan sebelumnya makin lama makin pudar, dan sang sutradara yang setia menggarap Transformers, Michael Bay, seolah semakin sulit untuk mengontrol dirinya dalam menyajikan action secquence nya. Penggunaan pada teknik cut yang terlalu banyak bukannya membantu aksi nya terlihat megah, malah merusak kenyamanan pada penonton. Dari Revenge of the Fallen hingga Age of Extinction, semuanya diserang habis-habisan oleh kritikus ataupun penonton kasual. Walau begitu, franchise Transformers tidak pernah gagal dalam mendulang keuntungan sehingga pihak Paramount tentu tidak perlu berpikir lebih panjang untuk tetap mempercayai Michael Bay dalam menggarap film-film Transformers, peduli setan penonton menanggapi hasil akhir nya seperti apa.

Bila Anda masih mempercayai bila Michael Bay akan berkaca pada hancur leburnya kualitas film-film Transformers selanjutnya dan berkenan untuk memperbaiki di sisi penceritaan, well, I fell bad for you. Segala formula dari film pertama hingga sekuelnya keempat kemarin masih digunakan Bay. Baik dari hal action, slow motion yang hadir di bagian aksinya, humor yang keseringan miss dibanding hit nya, serta visual efeknya yang harus diakui masih sangat memanjakan mata. Ya, visual efek dalam film Transformers mungkin hanya satu-satunya hal positif yang konsisten terjadi. Semuanya digarap dengan baik, terutama pertempuran terakhir kala semua karakternya berguling-guling di atas planet Cybertron. Tidak ada kesan menegangkan, namun tetap menghadirkan sisi excitement saat menyaksikannya. Yah, cukup ampuh untuk mengusir rasa kantuk yang telah menyerang saya pada 20 menit pertama. 

Sebenarnya The Last Knight cukup menjanjikan pada awal-awalnya, terutama kala Bay yang dibantu Art Marcum dalam urusan menulis naskah kembali mempermainkan sejarah. Bila pada Dark of the Moon, Bay menyelipkan sejarah mendaratnya manusia di bulan untuk pertama kalinya, kali ini di The Last Knight, Bay mengaitkan kisah nya pada era medieval dimana terungkap bila Transformers sebenarnya telah menginjak daratan bumi kala itu. Lalu kemudian film bergerak ke zaman sekarang dan memperlihatkan kehidupan para Transformers yang mulai kehilangan tempat di bumi dan malah dianggap sebagai suatu ancaman bagi pemerintah. Tidak lama dari itu, telah diperlihatkan satu robot yang tewas seketika akibat serangan dari TRF. Dari sini saya yang sama sekali buta karena tidak melihat satu kalipun trailer film ini, mulai melihat suatu potensi cerita yang bisa dibilang fresh. Memang, Age of Extinction memiliki fondasi cerita yang tidak jauh berbeda, bahkan bisa dikatakan sangat mirip. Namun, kematian salah satu robot di awal cerita memiliki hubungan khusus dengan supporting character nya, yaitu Izabella (Isabella Moner). Imajinasi saya mulai liar dengan membayangkan akan terjadinya konflik internal antara manusia dan Transformers. Terutama kala Bumble Bee bersama Cade berkonfrontasi langsung dengan TRF, yang menghadirikan momen-momen mengejutkan, yaitu kembalinya Lennox (Josh Duhamel) dan atraksi Bee mengenai kemampuan barunya yang digarap brilian oleh Bay. Namun sayang, segala kesenangan itu semakin pudar kala Bay kembali memusatkan konfliknya pada akhir dunia yang diturut campuri oleh para Transformers yang berbeda keyakinan dengan Autobot.

Dari awal film, bila Anda perhatikan, fokus penceritaan Transformers memang tidak pernah jauh dari usaha pihak Decepticon untuk mengambil alih dunia dan memindahkan planet Cybertron ke bumi. Transformers sangat butuh penyegaran ide cerita, maka ketika saya mengetahui arah penceritaan akan berujung kesana, rasa minat menonton film ini mulai kendur dari menit demi menit The Last Knight berjalan. Semakin diperparah pula dengan interaksi antar karakternya yang sama sekali tidak ada yang memorable. Momen perbincangan antar anggota Autobot yang diniati sebagai ajang perkenalan kepada penonton malah berakhir membosankan akibat rentetan dialognya yang sangat dipaksakan untuk terlihat lucu. Padahal bila saja tiap signature antar anggota dimanfaatkan dengan seoptimal mungkin, niat tersebut akan berakhir dengan maksimal. Bay juga kembali kurang cerdik dalam memanfaatkan karakter barunya seperti Izabella yang hampir sama sekali tidak memiliki esensinya dalam perkembangan cerita. Yang menyedihkan lagi adalah keberadaan para Decepticon yang semakin tergeser dari sosok pengancam dunia beralih ke tokoh yang tidak ada bedanya sebagai cheerleader. Sempat terbersit pemikiran bila Decepticon akan memegang peranan besar kala setiap anggotanya mendapatkan perkenalan yang bisa dibilang cukup spesial. Namun sayang, ternyata momen-mome tersebut hanya digunakan untuk memperpanjang durasinya karena tidak lama kemudian keberadaan mereka sudah terlupakan sama sekali. Melihat Megatron yang semakin kehilangan aura menakutkannya jelas merupakan kesedihan besar bagi saya.

The Last Knight sedikit kembali merebut atensi kala Cade Yeager mengunjungi Inggris. Kehadiran Laura Haddock dan Sir Anthony Hopkins sangat berpengaruh dalam menjaga mata saya untuk tetap terpaku kepada layar. Interaksi mereka dengan Cade cukup berhasil dan mengalir lancar. Hopkins jelas merupakan yang terbaik diantara Mark dan Laura. Sebagai Edmund Burton, Hopkins menyuntikkan energi yang berlipat setiap kali dirinya tampil di layar. Laura Haddock pun tampaknya berhasil menjadi pemeran wanita terbaik di franchise Transformers. Fisiknya jelas tidak kalah jauh dari Megan Fox dan bila membicarakan akting, tentu Laura berada di atas jauh meninggalkan Fox. Dan yang paling penting, Laura jauh mudah disukai. Mark Wahlberg pun jelas tanpa kesulitan dalam menghadirikan sosok action hero, dan Mark juga memiliki kapabilitas dalam melontarkan one liner yang sebenarnya tidak terlalu lucu, namun berkat ekspresi muka serta nada suaranya yang pas membuat one liner tersebut bekerja. Perhatikan saja saat Cade melontarkan kata "what?" di adegan yang melibatkannya bersama karakter Jimmy (Jerrod Carmichael). Oh, lupa juga bagaimana robot C-3PO palsu bernama Cogman yang sangat mencuri perhatian berkat kepribadiannnya yang menarik serta mampu meletupkan berbagai humor yang kebanyakan berhasil dari dirinya. Praktis keberadaan Cogman cukup ampuh dalam mengobati rasa rindu penonton terhadap pemimpin Autobot, Optimus Prime yang harus menyingkir hingga akhirnya kembali lagi pada saat narasi film bergerak menuju akhir. Tidak terpungkiri memang, magnet yang dihadirkan Prime masih sulit untuk tergantikan hingga saat ini.

Memang untuk mudah dalam menikmati film-film Transformers tergantung dari ekspektasi yang Anda pasang sebelum menonton. Jangan terlalu memperhatikan detil demi detil cerita karena itu akan sangat mengganggu kenikmatan kalian saat menonton. Bila mau membicarakan plot hole, jelas The Last Knight memiliki banyak sekali. Saya menonton The Last Knight bersama teman saya yang belum pernah menyentuh sekalipun dengan film-film Transformers selanjutnya. Dan hasilnya beberapa kali dirinya protes dengan ketidakjelasan yang hadir, sehingga saya hanya menjawab "ini Transformers, bro. Santai". Bagi saya, ini sama sekali tidak ada peningkatan dari sebelum-sebelumnya dan melewatkan suatu potensi yang bisa berfungsi untuk menyegarkan penceritaan. Hanya sedikit momen-momen yang bisa diingat, dan karena Transformers:The Last Knight memiliki durasi 2 jam lebih, bayangkan betapa tersiksanya dalam bioskop bagi yang tidak bisa menikmati Transformers: The Last Knight.

6/10

Wednesday 14 June 2017


"I used to want to save the world, this beautiful place. But the closer you get, the more you see the great darkness simmering within. I learnt this the hard way, a long, long time ago."- Diana Prince

Plot

Thermyscira merupakan pulau yang penghuninya semuanya adalah wanita. Salah satunya adalah perempuan bernama Diana (Gal Gadot), seorang putri dari ratu Hippolyta (Connie Nielsen). Diana semenjak kecil telah tertarik untuk bisa bela diri seperti pasukan Amazon yang diketuai oleh adik Hippolyta, Antiope (Robin Wright). Walau pada awalnya sang ibu tidak setuju Diana belajar bela diri, namun berkat desakan Antiope, Diana pun memiliki kemampuan yang hampir sebanding dengan Antiope yang merupakan hasil latihannya dengan Antiope. Suatu hari kala Diana selesai berlatih, pulau Thermyscira kedatangan tamu yaitu Steve Trevor (Chris Pine), seorang mata-mata Amerika yang menyusup ke tentara Jerman. Pesawat yang dikemudikan Steve mengalami kerusakan sehingga pesawat tersebut menghujam lautan yang berdekatan dengan pulau Thermyscira. Diana yang menyaksikan kejadian tersebut langsung menyelamatkan Steve. Pertemuan keduanya inilah merupakan awal petualangan Diana dan meninggalkan pulau Thermyscira demi menyelamatkan manusia yang kala itu sedang mengalami perang dunia.




Review

Masihkah perlu Warner Bros merealisasikan mega proyek mereka mendatang, Justice League, setelah semua film yang merupakan kepingan bagian dari proyek tersebut hampir semua berujung bencana? Setelah hancurnya Suicide Squad yang sebenarnya film yang diharapkan mampu membangkitkan secercah harapan karena memiliki modal yang menjanjiakn, jelas pesimis dirasakan penonton, baik mereka yang mengaku penggemar superhero keluaran DC atau kasual. Beban berat pun berada di pundak Patty Jenkins karena film yang disutradarai nya, Wonder Woman, bagaikan harapan terakhir dari Warner Bros untuk tetap menjaga kepercayaan pecinta film bila proyek Justice League akan berakhir memuaskan. 

Cerita origin Wonder Woman bisa saya katakan hampir sama dengan kisah Captain America. Keduanya hidup di masa dunia sedang dilanda perang dunia, dan juga keduanya terlibat di tengah perang tersebut. Hanya bedanya, Steve Rogers besar di lingkungan manusia sehingga mudah baginya mengerti akan bagaimana kejamnya peperangan, sedangkan Diana Prince tumbuh besar di pulau asing yang susah dijamah manusia dan untuk pertama kalinya menghadapi serta mempelajari mengenai manusia. Saya tidak tahu apakah kisahnya setia dengan apa yang ada di komik sebab saya lumayan awam mengenai kisah Diana, namun yang jelas saya menyukai cerita asal mula Diana ini. 

Apa yang ia dapati dari pulau tempat ia tinggal adalah menghentikan perang untuk melindungi mereka yang tidak bersalah. Ya, Wonder Woman berpusat pada pengembangan karakter seorang Diana Prince hingga pada akhirnya dirinya bersedia terlibat dengan kehidupan manusia dan membantu mereka, walau harus mendapatkan tentangan dari sang ibu. Aspek ini yang merupakan berhasil dicapai oleh Patty Jenkins dalam Wonder Woman nya. Dibantu dengan screenplay dari Allan Heinberg, Jenkins menjadikan lahan perang sebagai media belajar untuk Diana dan di dalam prosesnya, suntikan elemen humanis tertancap di dalam diri Diana, bahwa perang bukanlah hal simpel yang dipelajari Diana selama ini, karena perang jauh lebih kompleks dari itu. Membunuh orang yang dipercaya merupakan otak dari segala peperangan tidak akan secara otomatis menghentikan perang saat itu juga. Ceritanya mungkin sederhana, tetapi tidak menjadi masalah kala momen transformasi Diana menjadi lebih humanis disajikan dengan tidak terburu-buru. Maka bisa dimengerti bila film ini menyentuh durasi hingga 141 menit. 

Kisah Diana ini secara mengejutkan mampu menginspirasi penonton, terutama jelas dari kaum hawa. Dari pendapat saya sendiri, Wonder Woman bisa memberikan impact itu berkat karakterisasi pada Diana nya sendiri. Memang Diana memiliki hati patriotik dengan berjuang untuk menyelamatkan innocent people, tetapi Diana bergerak sesuai hati nuraninya. Saat apa yang disaksikannya berlainan dengan apa yang ia yakini, Diana diambang keraguan. Awamnya Diana akan dunia manusia seolah mewakili mereka yang juga mengalami transisi dari remaja menuju ke dewasa. Hal ini yang mungkin membuat kisah Wonder Woman mampu menyentuh bagi sebagian penontonnya.

Selain kedalaman pada kisah Diana, terselip juga hubungan romansanya dengan Steve Trevor. Mungkin romansanya tidak sampai ke taraf spesial antara Tony Stark dan Pepper, namun ikatan di antara mereka dibangun secara perlahan dan tidak tergesa-gesa. Ada kecanggungan antara Steve yang notabenenya seorang pria dewasa dan Diana yang masih begitu polos, sebuah hubungan kombinasi antara kakak dan adik serta sepasang kekasih. Maksud saya, lihat saja kala mereka satu perahu ketika meninggalkan pulau Thermyscira. Mengenai kecanggungan Diana sendiri disajikan dengan tidak berlebihan oleh Jenkins. Oke, Diana masih asing dengan dunia manusia pada umumnya, namun segala kekonyolan nya bukan terlihat membodohi karakter Diana, namun malah memberikan humor tersendiri sehingga lengkaplah alasan penonton untuk mencintai karakter Diana. Gal Gadot membuktikan di film solo perdananya sebagai superhero ini bahwa ia pilihan tepat untuk memerankan Diana. Gadot adalah jenis perempuan yang dari tampilan luar jelas menawan serta anggun (Gadot with glasses? Hell yeah), namun di saat bersamaan dengan tatapan mata tajam tercermin ketegaran seorang perempuan, sehingga mungkin saja tanpa kedalaman karakter pada Diana pun, penonton tetap mudah menyukai Diana. Gadot juga ikut terbantu dengan peran kharismatik dari Chris Pine yang sama seperti Gadot, Pine juga merupakan aktor yang mudah untuk disukai.

Mengenai action nya sendiri, Jenkins tidak mengecewakan. Jenkins tahu bagaimana menangkap aksi-aksi dengan kameranya sehingga terlihat keren juga berkelas. Contohnya saja saat memperlihatkan aksi pertama Wonder Woman di medan perang, terutama kala dirinya beraksi di gedung-gedung.  Turut juga dibantu dentuman musik dari Rupert Gregson-Williams yang membantu setiap aksinya lebih terasa bombastis. Tetapi mengenai fight scene  di akhir tampaknya Jenkins terlalu menjadikan pertempuran terakhir di Batman V Superman sebagai inspirasi. Terlalu banyak melibatkan ledakan, ditambah lagi CGI nya yang terasa kasar yang tentu tidak enak disaksikan yang membuat saya berasumsi Jenkins sepertinya lebih piawai dalam menangani aksi yang sederhana. Tidak hanya di fight scene nya, tetapi juga di berbagai action secquence nya, terutama kala sang Wonder Woman mengeluarkan kecepatan supernya. 

Namun, Wonder Woman masih memiliki permasalahan yang mungkin juga dialami film-film superhero lainnya, yaitu menciptakan villain yang memorable. Tiga villain yang ada di film ini semuanya hilang tanpa ada satupun yang memberikan kesan. Kecewa terbesar jelas God Ares yang dari awal cerita tampak begitu digdaya namun pada akhirnya? Walau memang masih ada sosok Dr. Maru yang kelak bisa saja menjadi musuh bebuyutan Diana, namun tetap saja akan sia-sia bila sang kreator masih terjebak dengan menciptakan villain dengan motif hampir sama dengan villain pada umumnya, yaitu mengubah dunia dengan menghancurkannya lebih dahulu. 

Well, pada akhirnya Wonder Woman karya Patty Jenkins ini berhasil menghentikan rentetan catatan buruk DCEU, terbukti juga dari penilaian penonton atau pula kritikus cukup mencintai Wonder Woman. Tentu bukan karena terdistraksi akan penampilan Gadot dengan kostum Wonder Womannya yang seksi itu, tetapi berkat kedalaman cerita, sosok Wonder Woman a.k.a Diana dan Steve yang mudah disukai, juga selipan nilai akan manusia, menjadikan film ini seperti Wonder Woman nya itu sendiri, sebuah harapan. Ya, harapan awal untuk DCEU untuk film-film selanjutnya supaya berakhir sama baiknya seperti Wonder Woman

7,75/10

Tuesday 13 June 2017


"I'm finished. I'm not a writer, I'm a middle school English teacher. Well, the world doesn't give a shit what I have to say. I'm unnecessary. Ha! I'm so insignificant I can't even kill myself."- Miles

Plot

Miles (Paul Giamatti) dan Jack (Thomas Haden Church) melakukan perjalanan ke California dengan mengunjungi berbagai perkebunan anggur dan sekaligus mencicipi wine disana.  Perjalanan ini juga merupakan rangka menenangkan diri untuk Miles yang sedang merasa bosan dengan profesinya dan Jack yang ingin bersenang-senang sebelum dirinya menikah.




Review

Ada daya tarik tersendiri kala menyaksikan sebuah film yang memusatkan narasinya pada studi karakter di dalam nya. Memang, umumnya film bertemakan seperti ini cenderung datar karena hanya mengandalkan sebuah kejadian yang tidak terlalu di dramatisir, dan dialog-dialog apa adanya sehingga butuh sedikit kesabaran untuk melewatinya, namun berkat itu juga ceritanya lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari sehingga mudah penonton mengerti apa yang sedang dialami para tokohnya. Film seperti ini memang bukan diniati untuk sebuah hiburan ala film superhero, tetapi bisa digunakan untuk mewakili sebagian besar penonton yang mungkin pernah mengalami kejadian yang sama seperti pada karakter yang terlibat. Dan inilah Sideways, hasil direksi dari Alexander Payne yang mengadaptasi dari novel bikinan Rex Pickett, mengajak kita untuk mengikuti perjalanan dua sahabat dalam rangka liburan sebelum kembali dihadapi dengan rutinitas sehari-hari.

Liburan ini jelas memiliki motif yang lebih dari itu. Jack ingin bersenang-senang sebelum di sabtu mendatang dirinya akan menikah, dan Miles mencoba menenangkan dirinya yang tengah mengalami kejenuhan dalam bekerja, seraya mencoba menghilangkan bayang-bayang mantan istrinya.  Miles merupakan pusat penceritaan dan merupakan perwakilan bagi kita yang tengah mengalami kebosanan di usia tanggung dan juga untuk kita yang belum move on dari sang mantan. Saya yakin, hampir sebagian besar penonton pernah mengalami apa yang tengah dihadapi Miles, sehingga inilah daya tarik utama Sideways, yaitu begitu sedikit celah yang diantara Miles dan penonton. Kita seperti menjadi orang ketiga yang juga ikut dalam liburan Miles dan Jack. 

Miles sendiri merupakan pria depresif akibat perceraiannya dengan sang istri, yang mengakibatkan dirinya menjadi pesimistis terhadap apapun yang dihadapinya, bahkan ia sulit untuk mengambil kesempatan yang sebenarnya kesempatan tersebut bisa ia raih dengan mudah. Seperti rencana penerbitan novelnya, dan terutama hubungannya dengan Maya. Walau Maya merupakan wanita yang bisa dibilang memenuhi kriteria Miles akan wanita serta Maya menunjukkan ketertarikan yang lebih dengan Miles, tetapi Miles tetap waspada dan cenderung menjaga jarak dengan Maya, sebelum Miles benar-benar tertarik dengan Maya. Salah satu momen favorit saya adalah kala Miles dan Maya bercengkerama di malam hari. Ada atmosfir yang intim dari tatapan mereka berdua, meski arah pembicaraan sama sekali tidak mengarah kesana, namun penonton merasakan itu. Saya pribadi lumayan gemes melihat Miles yang memperlihatkan sikap mau tapi malu untuk mengambil kesempatan yang ada di depan matanya. Pada momen itu juga Maya bermonolog mengenai wine, yang ironisnya seolah menyinggung kehidupan yang sedang dialami Miles, atau juga mungkin Maya sedang menyinggung dirinya sendiri. Brilian.

Miles juga mewakili bagi mereka yang memiliki antusias terhadap sesuatu namun tidak bisa dibawa ke ranah yang bisa menghasilkan uang. Lihat Miles, memiliki ketertarikan dan bahkan bisa dibilang ahli mengenai wine, tetapi malah berprofesi sebagai seorang guru biasa. Kala dirinya diajak Jack untuk membuka bisnis wine, Miles tidak telalu serius menganggap ajakan tesebut. Menyedihkan bukan, bila suatu passion yang sebenanya sangat bepotensi untuk mendulang keuntungan, namun jatuhnya hanya menjadi sebuah passion. Untungnya di kala fase kehidupannya yang sedang menurun, Miles memiliki teman seperti Jack yang sangat mengerti mengenai diinya. Oke, Jack mungkin brengsek bila bekaitan dengan peempuan, tetapi Jack merupakan teman yang dibutuhkan oleh Miles. Jack merupakan pria yang easy going, mampu menjadi pendengar yang baik dan selalu mencoba mengangkat Miles dari jurang keputusasaannya. Dan serius, tidak ada yang lebih menenangkan saat melihat Jack selalu mengajak Miles untuk melihat sisi positif nya di setiap kesialan menghampiri.
Saya tidak terlalu mengikuti hasil karya Payne. The Descendants adalah satu-satunya film Payne yang pernah saya cicipi. Tetapi setelah usai menonton Sideways, tampaknya saya mulai mengerti kekuatan Payne, yaitu menyelipkan adegan yang menyentuh di dalam kesederhanaan. Seperti misal di durasi akhir saat Miles bersedia membantu Jack. Miles yang sebelumnya tidak terlalu menggubris keliaran Jack dalam urusan perempuan, untuk perrtama kalinya dalam perjalanan, Miles bersedia membantu Jack. Dan supaya momen-momen tersebut berhasil di praktekkan, Payne jelas membutuhkan kekuatan akting dari artisnya. Giamatti dan Thomas Haden Church yang mendominasi di tiap menit film, sukses memperlihatkan sebuah hubungan bromance yang indah dan juga saling mengisi. Tidak ada sama sekali lontaran-lontaran dialog diantara mereka yang membosankan. Giamatti yang sering mengisi peran pendukung, membuktikan bila dirinya memiliki kualitas aktor yang bisa ditaruh sebagai aktor utama. Tidak sulit memang bagi Giamatti dalam memerankan Miles yang gloomy, namun tetap saja apa yang ditampilkannya sangat menawan disini, terutama kala Giamatti memainkan mimik muka kala bercengkerama dengan mantan istrirnya. Saya pribadi menyukai setiap kali Giamatti menanggapi dengan raut muka tidak senang atau juga tidak tenang saat Jack atau karakter lainnya menyinggung novel tulisannya yang belum jelas akan diterbitkan atau tidak. Sulit dipercaya dengan kualitas akting seperti ini, Giamatti tidak mendapatkan nominasi aktor terbaik di ajang Academy Awards saat itu. Haden Church yang malah mendapatkan nominasi di kategori aktor pendukung, mampu mengimbangi Giamatti dengan keluwesannya serta kharisma yang ia pancarkan yang mudah saja bagi penonton mengerti mengapa Jack bisa menggaet wanita dengan mudahnya. Bahkan tampaknya berkat penampilan Haden Church jugalah, Sideways begitu enak dinikmati dan durasi 126 menit tidak menjemukan. Haden Church pun juga brilian saat beradegan emosional. Adegan yang awalnya begitu lucu berkat kesialannya, bertransformasi menjadi sedikit heartbreaking melihat Jack yang memohon-mohon untuk meminta bantuan Miles. Kejutan menyenangkan juga melihat performa Virginia Madsen yang berhasil memerankan Maya sebagai sosok wanita dewasa yang menyenangkan dan penuh pengertian. Wajar saja seorang Miles bisa jatuh hati dengan Maya.

Sayangnya Sideways bukanlah sajian yang akan dengan mudahnya menggaet penonton kasual. Sideways berjalan dengan sunyi dan memang berfokus pada tiap karakternya sehingga mungkin akan terdengar membosankan. Sayang karena Sideways merupakan film yang mampu mewakili sebagian besar orang yang pastinya pernah mengalami fase kehidupan seperti Miles. Tidak semua orang bisa menulis, menghasilkan karya seperti film untuk mewakili apa yang mereka rasakan, dan karena itulah bagi saya, Sideways adalah salah satu film yang harus ditonton. Dan bukti saya mencintai film ini adalah dengan menulis review sesegera mungkin supaya sensasi menyenangkan saat menonton Sideways masih melekat.

8,75/10

Thursday 8 June 2017


"You're the reason I wake up at 4 in the morning and pump-irons until my chest is positively sick."- Batman

Plot

Dibantu penjahat-penjahat lainnya yang juga bermasalah dengan Batman (Will Arnett), The Joker (Zach Galifianakis) kembali mengancam keselamatan penduduk kota Gotham. Dan seperti biasa pula, Batman berhasil menggagalkan rencana The Joker. The Joker yang selama ini menganggap dirinya merupakan musuh terbesar Batman, harus menerima kenyataan bahwa Batman tidak berpikir hal yang sama, sehingga The Joker memikirkan sebuah rencana lainnya untuk mendapatkan pengakuan Batman.





Review

Memang telah banyak berbagai film animasi yang diadaptasi dari permainan Lego ini, namun keberhasilan The Lego Movie baik dari segi finansial maupun kritikus pada tahun 2014 lah yang menjadi awal sempurna bagi film beradaptasikan Lego untuk menangkap penonton jauh lebih besar. Dan tak terpungkiri, salah satu faktor mengapa The Lego Movie begitu menyenangkan berkat kehadiran sang vigilante kesayangan semua orang, Batman. Maka tidak heran bila kisah Batman pun akan dihadirkan kembali dalam bentuk lego.

Seluruh aspek yang menjadikan The Lego Movie sangat menyenangkan masih dihadirkan oleh sang sutradara, Chris Mckay yang tidak lain tidak bukan merupakan animation supervisor pada film tersebut. Humor yang efektif dan sadar akan timing, dipenuhi tokoh-tokoh yang hampir semuanya likeable, interaksi antar tokoh yang menghibur dan tidak ketinggalan homage yang bertebaran di setiap menitnya, terutama pada film-film Batman tentunya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, The Lego Batman telah tancap gas di awal-awal durasi dimana perpaduan antara humor, aksi yang menghibur serta tampilan visual lego nya yang kali ini didominasi warna hitam. Dari perbincangan The Joker dengan pilot, hingga sajian aksi Batman yang diiringi track "Let's Get Nuts", semuanya berhasil disajikan Mckay dengan sangat menghibur. Namun semua perpaduan tadi bukanlah faktor utama mengapa saya menobatkan The Lego Batman Movie sebagai salah satu film favorit saya tahun ini. Yang menjadi kunci keberhasilan The Lego Batman adalah naskah yang ditulis Seth Grahame Smith dan Chris McKenna.

Semua pecinta komik atau film pasti mengetahui bahwa Batman merupakan karakter superhero yang paling kompleks. Yes, he's a hero, but he's not a white knight. Batman atau Bruce Wayne memiliki trauma akibat pengalaman pahit di masa kecilnya, yang membuat Bruce menutup dirinya. Dia lebih memilih kesepian daripada harus kembali memiliki kerabat dekat dan beresiko untuk kembali merasakan kehilangan. Hal ini yang menyebabkan Batman jauh lebih memilih kekerasan dalam tiap aksinya, sehingga tidak jarang penduduk kota menanyakan berpihak di sisi mana sebenarnya Batman, kejahatan atau kebaikan. Aspek ini juga yang membuat Batman lebih dicintai ketimbang Superman. Smith dan McKenna menyadari ini, dan membawa isu tersebut kedalam The Lego Batman. Sesaat setelah menyelamatkan kota saja, Smith dan McKenna telah menghadirkan suatu ironi tersendiri dalam kehidupan Batman, dimana dia begitu disanjung dan dikelilingi para pendukungnya, namun kala dirinya kembali dirumah dan memasuki kehidupan sebagai Bruce Wayne, kesepian yang menyelimutinya, hanya Alfred dan komputer yang menemani Bruce. Rasa trauma dan takut kehilangan membuat kepribadian Bruce atau pun Batman menjadi arogan, keras dan mempercayai bahwa dirinya hanya membutuhkan dirinya sendiri. Disinilah Smith-McKenna membuktikan walau The Lego Batman Movie adalah sajian komedi, namun tetap tidak melupakan hati pada penceritaan. Tidak jarang juga sifat arogan yang dimiliki Batman membuatnya tidak sadar telah melontarkan kalimat yang mungkin menyakiti hati orang yang menyayanginya. Contoh terbaik adalah pernyataannya kepada Alfred kala berdebat mengenai Dick Grayson.

Tidak hanya berhenti di situ, Smith-McKenna juga mengangkat hubungan love-hate relationship antara Batman dan The Joker. Sebagian besar penggemar Batman akan menjawab The Joker bila ditanya siapa musuh terbaik Batman, bahkan di film ini, The Joker nya pun telah merasa dirinya adalah musuh yang paling merepotkan Batman, namun bagaimana jika Batman sendiri tidak mengakui anggapan tersebut? 

Dengan adanya ide tersebut, tidak hanya film selalu berhasil bila mengambil momen komedi, juga membuat The Lego Batman menjadi berbeda. Berbeda karena kali ini alasan utama The Joker melakukan aksinya adalah untuk mendapatkan pengakuan Batman. The Joker ingin Batman membenci dirinya dan ingin mendengarkan kalimat "I hate you" terucap dari bibir Batman. Dan juga siapa yang bisa menahan tawa saat Batman "menolak" The Joker di awal-awal film? Hubungan Batman dan The Joker ini dibantu pula dengan sokongan berbagai dialog-dialog juga interaksi antar dubber yang berhasil membuat saya tertawa, atau paling tidak menyunggingkan senyum.

Homage dan juga ejekan berkenaan pop culture pun tetap ada pada film ini, terutama yang berkenaan dengan DC Universe. Film-film terdahulu Batman pun tidak lepas dari sasaran, namun tetap yang terbaik adalah kode password yang dimiliki Batman dan sindirannya pada ide yang mengumpulkan para penjahat untuk melawan penjahat pula. That's always kills me every time I hear it. Semua humor nya bekerja tentu tidak terlepas dari pekerjaan apik dari para pengisi suara. Tetapi baik Zach Galifianakis, Rosario Dawson ataupun Michael Cera tetap tidak ada yang menandingi betapa saya jatuh cintanya dengan suara Will Arnett. Berkatnya, semua one liner yang diucapkan Batman tidak hanya semuanya terdengar lucu, namun menjadi memorable. Arnett juga brilian kala mengucapkan dialog yang penuh makna dan sentimentil hingga tidak terdengar klise sama sekali.

The Lego Batman Movie bukan tanpa celah. Humornya mungkin hanya bekerja bagi yang telah menyaksikan The Lego Movie karena mereka sama-sama bergerak dengan cepat dan kental akan sarkas. Pada pertengahan film pun, The Lego Batman terasa sedikit kehabisan bensin. Mungkin hal itu terjadi saat Batman sedikit menghilang di layar karena sesaat Batman kembali mendominasi, The Lego Batman kembali mendapatkan nafas kehidupan. Akhir permasalahan yang terjadi pun sedikit mengganggu, bahkan untuk ukuran film komedi, setidaknya bagi saya. Tetapi segala permasalahan tersebut tidak menghentikan saya untuk menobatkan The Lego Batman Movie merupakan salah satu sajian yang paling menyenangkan tahun ini, dan juga mungkin salah satu yang terbaik.

8,25/10

Thursday 1 June 2017


"First, there's an opportunity. Then... there's a betrayal."- Spud

Plot

Setelah 20 tahun berpisah membawa kabur uang dari hasil menjual heroin, Mark Renton (Ewan McGregor) memutuskan kembali ke Skotlandia untuk bertemu lagi dengan teman-temannya yang sempat ia khianati, yaitu Simon "Sick Boy" (Johnny Lee Miller) dan Spud (Ewan Bremner). Kecuali tentu saja Frank "Begbie" (Robert Carlyle) yang sangat membenci Mark atas pengkhianatannya. Frank sendiri merupakan narapidana yang dihukum 20 tahun dan berhasil melarikan diri dari penjara untuk mencari Mark.




Review

Danny Boyle melakukan debut penyutradaraan pada tahun 1994, dan dalam kurun waktu 23 tahun berkarir sebagai sutradara, Boyle telah melahirkan beberapa karya hebat seperti Steve Jobs, 127 Hours, dan Slumdog Millionaire yang menghantarkan dirinya merengkuh Piala Oscar pertama untuk dirinya sebagai sutradara terbaik. Namun, di antara karya-karya nya tersebut, tetap Trainspotting yang merupakan film kedua beliau lah yang selalu dianggap pencapaian terbaik bagi Boyle. Tidak hanya film tersebut mengangkat namanya, Trainspotting juga memiliki basis penggemar yang masif dan tidak berlebihan bila Trainspotting adalah "the lovable ones" bagi para pecinta film dari British. Penonton mencintai serta perduli dengan karakternya, penonton menyukai cerita mengenai kecanduan akan drugs nya, dan tentunya penonton juga mencintai semua black comedy yang berada di dalamnya, yang merupakan salah satu aspek mengapa Trainspotting begitu menyenangkan untuk diikuti. Tidak terpungkiri, Trainspotting adalah satu dari sekian banyak film yang melengkapi betapa periode 90an adalah golden age-nya dunia perfilman. Tidak heran bila Boyle memutuskan untuk membuat sekuel filmnya yang 20 tahun kemudian sebagai bentuk terima kasih, sekaligus surat cinta bagi penggemar film ini.

Seperti yang tertulis di sinopsisnya, T2 Trainspotting menceritakan kehidupan 4 karakter utamanya selang 20 tahun. Dari Spud yang telah mencoba keras untuk tidak kembali ketagihan akan drugs, namun kehidupannya yang berantakan memaksa kembali dirinya untuk mencoba kembali. Simon masih tidak bisa lepas akan ketergantungannya pada kokain, sembari mencari calon korban yang bisa diperas dan membuka pub tua milik bibinya. Mark Renton yang notabenenya pelaku utama dalam menyengsarakan kehidupan tiga temannya, memiliki pekerjaan dan keluarga di Amsterdam berkat uang yang ia bawa lari. Mark pun mencoba untuk berbaikan dengan dua temannya, yaitu Simon dan Spud, tanpa menyadari Frank siap hadir sebagai mimpi buruknya. T2 Trainspotting masih memiliki segala DNA dari prekuelnya, seperti karakternya yang memakai drugs, editing dari Boyle yang tampaknya telah menjadi signature dari sutradara satu ini, dan pastinya black comedy yang walau tidak terlalu kental digunakan, namun cukup efektif untuk tidak membuat T2 Trainspotting kehilangan identitas. Kisahnya jauh lebih luas, dimana T2 Trainspotting seolah bagaikan aftermath panjang bagi tiap karakter. Saya pribadi menyukai kisah Spud yang benar-benar diperlihatkan berjuang melepaskan kecanduannya. Andai saja kisahnya menjadi plot utama dibandingkan kisah Mark dan Renton yang berusaha untuk membuka usaha mereka.

Naskah dari John Hodge tidak lagi berkutat akan lepas dari candu saja, well setidaknya bukanlah fokus utama, melainkan memperlihatkan karakter-karakternya menemukan tujuan yang baru. Jelas T2 tampak lebih dewasa, walau disayangkan hal itu juga mengorbankan salah satu aspek yang membuat sang prekuel begitu dicintai, yaitu kegilaan karakter yang ada kala dikuasai obat-obatan. Siapa yang bisa melupakan Mark yang mengaduk-aduk isi toilet demi mendapatkan pil heroinnya di film pertama? Atau dream secquence-nya Mark saat dirinya tengah sakaw? Hal semacam ini yang kehilangan di film T2, tidak ada energi dari karakternya yang pada film pertama tersalurkan berkat kegilaan mereka. Akibatnya, T2 Trainspotting hampir sama sekali tidak ada adegan yang begitu membekas di kepala, kecuali mungkin bagi saya momen reuni antara Mark dan Frank. Sebagai penghormatan, Boyle pun menyempilkan beberapa adegan yang terjadi di prekuel. Tentu diniati untuk mengajak penonton nya bernostalgia (terutama adegan Mark dkk berlarian yang merupakan opening di Trainspotting, memaksa saya menyunggingkan senyum), tetapi untungnya ada beberapa kepingan flashback yang memang dibutuhkan dalam penceritaan, walau memang tidak banyak. 

Lalu pertanyaan terbesar adalah, apa poin dari sekuel ini, mengingat sebenarnya ending yang terjadi pada Trainspotting telah sempurna menutup kisah para drugs addicted ini? Boyle memang tidak menjawab secara gamblang. Daripada menjelaskan, Boyle lebih tertarik menanggapi akan berbagai halangan dalam pembuatan sekuel ini. Mungkin juga Boyle tidak perlu menjawab karena kita telah memiliki jawabannya, yaitu T2 Trainspotting dibuat untuk sebagai lahan nostalgia bagi para penggemar prekuelnya, terutama bagi mereka yang tumbuh dewasa dengan Trainspotting. Saya menyaksikan Trainspotting cukup telat (ya kali umur 3 tahun nonton beginian), tetapi rasa senang melihat Mark, Spud, Frank dan Simon kembali serta bereuni tentu saya rasakan. Setiap Mark bertemu kembali dengan teman-teman lamanya, tidak pernah saya tidak menyunggingkan senyum, apalagi kala melihat Mark dan Simon bertengkar, dan juga Frank yang mengejar Mark setengah mati. Bayangkan saja bagaimana rasa nostalgia yang dirasakan oleh mereka yang tumbuh dengan Trainspotting. Apalagi tentu tidak ada perubahan yang signifikan pada karakternya, kecuali tentu dengan usia yang lebih tua.

Memang, T2 Trainspotting bila disimak hanyalah sekedar sekuel yang sebenarnya tidaklah perlu dibuat. Sedikit berlubang pada penceritaan, terutama mengenai karakter Veronika (Anjela Nedyalkova), juga ceritanya tidak terlalu mengikat akibat kehilangan energi seperti yang ada di Trainspotting, tetapi untuk yang telah menonton prekuelnya, T2 Trainspotting tetaplah sajian yang menyenangkan.

7,25/10

 




Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!