Thursday 13 March 2014




Kids forgive, they don't judge, they turn the other cheek, and what do they get for it?- Remy Bressant


 

 

Plot

Dibuka dengan narasi dari Patrick Kenzie (Casey Affleck) tentang kota Boston yang telah dihuninya beberapa tahun belakangan. Patrick merupakan detektif pribadi yang bekerja bersama pacarnya yaitu Angie Gennaro (Michelle Monaghan). Suatu hari mereka mendapatkan pekerjaan tentang kasus penculikan(well, awalnya kasus ini hanya tentang kehilangan saja) yang menimpa putri dari Helen McCready (Amy Ryan) yaitu Amanda. Permintaan tersebut datang dari Lionel (Titus Welliver) dan Bea McCready yang merasa kurang mempercayai investigasi kepolisian yang terkesan mengulur-ulur waktu. Dengan dibantu Sersan Remy Bressant (Ed Harris), Patrick dan Angie pun berlomba dengan waktu untuk menemukan Amanda.









Review

Familiar dengan Ben Affleck? Ya, dia adalah seorang aktor yang terkenal dengan perannya di film-film blockbuster macam Armagedon, Pearl Harbor dan Daredevil. Sayangnya walaupun dia adalah aktor kelas A, namun banyak orang yang mengkritiki aktingnya yang buruk dan standar. Terbukti dengan beberapa nominasi Razzie Awards sebagai worst actor yang telah dikantonginya. Gw hanya pernah melihat aktingnya di film Armagedon dan Daredevil, dan memang benar, aktingnya tidak ada yang spesial. Lalu bagaimana dengan profesinya sebagai sutradara? Apakah kariernya sebagai sutradara akan setali tiga uang ketika dia menjadi aktor? Fyi, Ben Affleck pernah mendapatkan piala Oscar untuk Best Original Screenplay dalam film Good Will Hunting (1997) bersama Matt Damon. Seharusnya ini telah menjadi jaminan kita bahwa kariernya di balik layar akan berada di arah sebaliknya dengan kariernya menjadi aktor..
Tuhan memang telah menciptakan segala sesuatu di dunia ini berpasang-pasangan, ada pria dan wanita, langit dan daratan, dan tentunya baik dan jahat, tapi kita renungkan kembali, baik dan jahat? Jangan salah, dalam kehidupan ada juga yang dinamakan sifat abu-abu. Tindakan yang tak bisa dibilang baik namun juga sulit untuk dibilang jahat. Karakter abu-abu favorit dalam film bagi gw adalah Batmannya Nolan yang diperankan Christian Bale. Nah sifat atau tindakan abu-abu itulah yang seringkali menimbulkan dilema dalam diri kita ketika menontonnya. Patutkah kita mendukung perbuatannya? Atau patutkah kita mencela tindakannya? Sulit untuk dijawab dan sayangnya disitulah letak menariknya film yang mengangkat tema abu-abu ini.
Dan kalian pun akan mendapatkan hal itu di film debut nya Ben Affleck menjadi sutradara ini. Kalian akan dibingungkan dengan pertanyaan siapa yang jahat dan baik. Dan itu merupakan kelebihan film ini. Pertanyaan itu akan tetap tertutup dan akan dibuka ketika film mendekati paruh akhir dan kita pun akan sangat puas dengan jawabannya. Affleck pun seperti gw bilang tadi tidak mau bertele-tele dengan film ini. Affleck tetap fokus dengan main plot nya sehingga setiap adegan pun tidak ada yang terkesan sia-sia atau seperti hanya mengulur-ulur durasi, tidak. Setiap scene memiliki andil tersendiri dan memiliki hubungan dengan main plotnya.
Gw juga suka dengan keputusan Affleck yang lebih memilih mengembangkan karakter-karakter utamanya ketimbang memperpanjang adegan-adegan yang tidak perlu. Semuanya mendapatkan perkembangan karakter yang menarik, baik itu Patrick, Angie, Remy bahkan karakter minor seperti Helen dan Lionel. Lihat saja karakter Helen yang begitu ‘loser’ ketika masih di awal film, ketika film mulai memasuki paruh pertengahan, karakter Helen berubah dan mulai bisa untuk mendapatkan simpati dari kita. Ya, walau attitudenya tidak layak sebagai seorang ibu, itu hanya lah attitudenya, ibu tetaplah ibu yang menyayangi darah daging yang telah ia lahirkan dengan pertaruhan nyawa, sehingga Helen yang terkesan cuek tetap saja mengkhawatirkan putrinya dan itu kita bisa lihat di pertengahan film. Karakter Helen pun mampu diperankan dengan cemerlang oleh Amy Ryan. Dan salut untuk Affleck dimana dia tidak menaruh peran Angie hanya sebatas pemanis saja. Soalnya gw sempat mengira begitu, tapi untungnya tidak, dimana karakter Angie yang awalnya tidak ingin terlibat dengan kasus ini bahkan terkesan menolak tawaran ini malah terikat batin dengan korban dan sangat perduli dengan korban. Oh ya, jangan lupakan juga karakter Jack Doyle yang diperankan oleh Morgan Freeman karena karakter inilah yang paling mencuri perhatian bagi gw, ingat, sekali lagi gak ada tokoh yang useless disini, termasuk karakter yang diperankan Morgan Freeman tersebut.
Gw juga menyukai pilihan Affleck menjadikan Boston sebagai latar tempat film terjadi, karena Boston sendiri merupakan salah satu kota yang terkenal dengan angka kriminilatisnya tinggi. Dan Affleck berhasil menjadikan kota Boston sangar di film ini. Lihat saja dimana warga nya seolah menyimpan senjata api dengan mudahnya, juga warganya yang terlihat tidak ramah, semua hal itu membuat film ini cukup tegang.
Dan pada akhirnya kita memasuki bagian yang paling emosional, yaitu endingnya. Gimana nggak? Ending film ini memberikan kita sebuah pilihan yang sangat sulit bila kita menjadi Patrick. Kalo gw sendiri menjadi Patrick gak tau deh gw bakal pilih yang mana. Dan pada akhirnya Ben Affleck memberikan kita ending yang cukup terbuka apakah keputusan yang diambil Patrick benar atau salah. Yang jelas Patrick telah mengikuti kata hati dan keadilannya dengan mengorbankan sesuatu yang besar pula. Sungguh, Gone Baby Gone menawarkan ending yang cukup powerful bagi gw.
Singkat kata, Gone Baby Gone merupakan sebuah bukti dari Ben Affleck bahwa dirinya memiliki bakat dalam suatu industri film ini. Mungkin bakat tersebut bukan menjadi aktor, namun menjadi Sutradara? Hell yeah, profesinya sebagai sutradara sepertinya cocok untuk Affleck. Dan gw udah gak sabar untuk menonton karyanya yang fenomenal yaitu Argo. Sampai saat ini file nya masih duduk tenang di harddisk gw. Semoga gw juga suka ama film tersebut.


8/10

Sunday 2 March 2014







If they had told me it was going to be fifteen years, would it have been easier to endure?- Oh Dae-Su



Director:

Park Chan-Wook

Writers:

Garon Tsuchiya (story), Nobuaki Minegishi (comic),

Cast

Choi Min-Sik, Yu Ji-Tae, Kang Hye-Jeong



Plot


Kita akan melihat sosok Oh Dae-Su (Choi Min-Sik) berada di pos polisi dalam keadaan mabuk berat. Karena mabuk, Oh Dae-Su pun membuat sedikit keributan di pos polisi. Menggoda kekasih orang, ingin pipis di pos tersebut dll sehingga polisi sedikit kewalahan dengan tingkahnya. Dan pada akhirnya Oh Dae-Su pun dijemput sahabatnya. Karena pulang kemalaman, Oh Dae-Su pun menelepon anak serta istrinya untuk memberikan kabar, tanpa mengetahui bahwa akan ada peristiwa besar yang akan menimpanya. Ya, Oh Dae-Su diculik dan dikurung di suatu tempat yang seperti apartemen khusus untuk menahan seseorang. Tidak tanggung-tanggung, Oh Dae-Su dikurung di tempat tersebut selama 15 tahun lamanya! Tentu saja hal itu sangat berat untuk dilalui Dae-Su sehingga kondisi kejiwaannya sedikit terganggu di sana. Dae-Su juga shock akan kabar yang didapat dari TV dalam ruangan tersebut dimana kabar tersebut adalah kabar meninggalnya istri Dae-Su dan polisi beranggapan Dae-Su lah yang membunuh sehingga Dae-Su pun menjadi buronan.

Dae-Su tidak tinggal diam, dia pun berusaha untuk kabur dari tempat tersebut walau harus memakan waktu yang tidak singkat. Namun, dalam usahanya untuk kabur, tidak disangka-sangka Dae-Su dibebaskan tanpa alasan. Dae-Su dimasukkan dalam koper dan telah berada di puncak apartemen. Dengan kondisi psikis yang telah rusak, Dae-Su pun menjadi pribadi yang dingin dan hanya memiliki satu tujuan, membalaskan dendam terhadap orang yang telah menghancurkan hidupnya. Dengan bantuan Mido (Kang Hye-Jeong), juru masak restoran yang menjadi teman Dae-Su, akhirnya Dae-Su pun menemukan pelaku utamanya yaitu Lee Woo-Jin (Yu Ji-Tae). Bukannya merasakan ketakutan, Woo-Jin tampak senang dengan keberhasilan Dae-Su menemukan dirinya. Woo-Jin pun tahu apa yang dibutuhkan Dae-Su, namun informasi yang diinginkan Dae-Su tidak gratis karena Dae-Su harus mencari itu sendiri dalam waktu 5 hari. Kalau Dae-Su gagal, maka Mido lah yang akan terenggut nyawanya. Dan dari sinilah fakta-fakta yang mencengangkan sekaligus tragis mulai terkuak.





Review


Oldboy merupakan film yang diadaptasi dari manga Jepang yang berjudul sama. Oldboy sendiri merupakan film kedua dari trilogi Vengeance milik Park Chan Wook yang legendaris itu, dan Oldboy lah yang mampu menjadi film yang paling lantang berbicara di dunia internasional diantara film-film dari trilogi tersebut. Oldboy bahkan disebut-sebut sebagai salah satu film terbaik sepanjang masa dengan twist ending yang juga sangat melegenda, mungkin hampir sama dengan twist yang dimiliki Psycho, Ussual Suspect, dan The Prestige. Ketika Oldboy dirilis pada tahun 2003, Oldboy sempat menjadi fenomena tersendiri dan meraih pujian-pujian di Festival Cannes, serta meraih Gran Jury Prize,dan penghargaan-penghargaan internasional lainnya, Oldboy pun memilik pengikut-pengikut setia sehingga status cult untuk film ini sangat wajar. Bahkan sutradara sekaliber Quentin Tarantino pun memberikan standing ovation untuk film ini..!

Gw sendiri mulai memperhitungkan keberadaan film-film Korea Selatan setelah menonton film ini. Ya, film ini membuka mata gw bahwa film-film dari Negeri Ginseng tersebut tidak hanya diisi dengan genre melodrama yang digandrungi kaum hawa remaja, tapi juga diisi dengan film thriller berdarah seperti Oldboy ini. Dan kualitasnya juga sangat mengagumkan, seperti I Saw the Devil, No Mercy dan lain-lain sehingga kualitas akan film thriller buatan Korsel sudah menjadi jaminan tersendiri bahwa film tersebut bukanlah film kacangan.

Oldboy sendiri tidak hanya menceritakan tentang pembalasan dendam saja, karena dendam hanya lah sebuah fondasi dasar cerita dalam film ini. Ketika kita mulai memasuki menit demi menit, kita akan menemukan juga unsur-unsur sosial yang mungkin sensitif bila dimasukkan dalam film, unsur yang sedikit sulit untuk diterima oleh para penonton awam. Makanya, Oldboy bukanlah film yang cocok untuk ditonton oleh kalangan manapun. Film ini hanya bisa diterima oleh penikmat film yang pemikirannya terbuka dan mampu melahap setiap isi yang ditawarkan film ini. Selain unsur sosial nya yang sensitif, Oldboy juga dibingkai dengan kekerasan tingkat tinggi selayaknay film-film dendam lainnya, namun kekerasan tersebut tidak hanya menjadi ‘pemanis’ saja, karena adegan kekerasan dalam Oldboy bagi gw sendiri merupakan suatu hal yang dibutuhkan untuk menguatkan jalinan cerita yang ada. Adegan-adegan kekerasan tersebut juga bisa dibalut oleh sang Sutradara dengan keren serta meyakinkan sehingga cukup berbeda dengan film-film bertemakan dendam lainnya. Tidak hanya kekerasan, adegan sex yang vulgar juga dapat kita temukan dalam film ini yang sialnya tidak bisa kita lewatkan karena lagi-lagi hal tersebut ternyata menjadi bagian penting dalam cerita Oldboy. Cukup jarang bukan adegan sex menjadi suatu bagian yang tidak terpisahkan dalam sebuah film?

Jalinan-jalinan misteri yang ditawarkan film ini juga tentunya sangat menarik untuk kita ikuti. Siapa sih yang tidak penasaran dengan alasan di balik sang pelaku yang begitu teganya mengurung Dae-Su selama 15 tahun lamanya? Dan kenapa juga Dae-Su dibebaskan begitu saja? Semua itu akan terjawab kita mengikuti petualangan Dae-Su ditemani dengan Mido, walau menurut gw disitulah satu kekurangan dalam film ini dimana perjalanan Dae-Su untuk memecahkan misteri serta rasa penasarannya tersebut cukup membingungkan dan kurang mendetil di jabarkan karena Park Chan
Wook memilih untuk mengemasnya dengan pacing yang cepat. Tapi bukan berarti pemecahannya menjadi terkesan tidak masuk akal, karena apabila kita renungkan kembali hal tersebut bisa saja terjadi karena sang pelaku juga ‘ikut’ membantu penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan oleh Dae-Su.

Oldboy juga memiliki kelebihan yang masih sedikit dimiliki oleh film-film Asia yaitu Sinematografi. Jarang-jarang gw membahas film untuk membahas sinematografi namun untuk Oldboy gw buat pengecualian karena suatu hal yang menakjubkan bila film Asia memiliki sinematografi level wahid. Dari adegan awal saja kita telah disuguhkan sebuah scene hujan di malam hari yang begitu memanjakan mata, setiap sudut kamar tempat Oh Dae-Su dikurung pun juga unik dan artistik dimana dalam kamar tersebut juga ada sebuah lukisan yang aslinya dibuat oleh pelukis asal Belgia, dan masih banyak lagi adegan-adegan yang diimbangi dengan sinematografi yang sangat indah.

Namun, kelebihan Oldboy juga tidak hanya di bidang sinematografi, melainkan lantunan-lantunan musik di Oldboy juga memberikan nilai plus untuk film ini. Ya, musik-musik yang melantun dalam Oldboy ini juga membantu untuk membuat scene demi scene di Oldboy terasa mengena dan sangat sulit untuk dilupakan sehingga sedikit banyak dari scene tersebut menjadikan scene itu ikonik dan begitu melekat di hati penikmat film. Ambil contoh perkelahian Dae-Su vs Puluhan orang di sebuah lorong. Scene tersebut sangat terasa intens nya tidak hanya karena pertarungan tersebut realistis tapi juga karena melantunnya scoring yang ikut membantu suasana yang menegangkan tersebut sehingga scene pertarungan tersebut tidak hanya menjadi ikonik namun menjadi favorit bagi setiap orang,  termasuk gw. Puncaknya adalah ketika twist nya muncul di permukaan. Scoring yang diputarkan ketika adegan reveal tersebut sangat sangat sangat cocok dengan situasi yang ada sehingga menambah kesan tragis serta ‘sakit’ nya twist tersebut. Mungkin banyak twist ending film yang lebih baik dari Oldboy, tapi bagi gw twist ending yang dimiliki Oldboy sangatlah berkesan. Karena apa? Tidak hanya karena twistnya yang memang mengejutkan tapi cara Park Chan Wook mengungkapkan twist tersebut dengan memainkan scoring tersebut lah yang membuat gw yakin bahwa Oldboy adalah film dengan ending paling berkesan menurut gw.

Tapi segala kelebihan-kelebihan tersebut akan hambar rasanya bila Oldboy tidak diselingi dengan akting-akting yang menakjubkan. Ya, sekali lagi, Oldboy memiliki hal tersebut. Beruntunglah Oldboy memiliki jajaran cast sehebat Choi Min-Sik, karena apabila bukan beliau yang main, mungkin film Oldboy tidak akan sefenomenal sekarang. Akting total dari Choi Min-Sik yang memerankan Oh Dae-Su jelaslah patut diapresiasi. Transformasi karakter yang dialami oleh Dae-Su secara (hampir) sempurna diperankan oleh Min-Sik. Kita sebut satu per satu, dari ekspresi pria paruh baya yang mabuk, ketakutan, pemarah, muka dingin penuh dendam, dan tentunya ekspresi ketika film beranjak mau berakhir lah yang paling memorable, semuanya mampu diperankan oleh nya dengan (hampir) sempurna sehingga apa yang ditampilkan oleh beliau seolah nyata untuk kita yang menyaksikan. Sungguh, Min-Sik seolah menyatu dengan karakter Dae-Su itu sendiri. Karakter Dae-Su juga sangat mengundang simpati walau Dae-Su bukanlah sosok yang sebenarnya mudah untuk disenangi, namun walau karakter Dae-Su bukanlah sosok protagonis yang benar-benar putih, kita pun mau tak mau menaruh simpati akan karakter Dae-Su dan itu juga berkat dukungan akting yang memukau dari Dae-Su. Dengan akting yang hebat itu pulalah, begitu banyak adegan yang sangat ikonik dalam film ini, seperti memakan gurita hidup-hidup, transformasi kegilaannya dalam kamar kurungannya, perkelahian dalam lorong, dan lain-lain. Akting nya yang total inilah yang membuat aktor ini begitu dikagumi di Korea Selatan, bahkan dunia! Min-Sik juga mendapatkan lawan akting yang setimpal dari aktor juniornya yaitu Yu Ji-Tae. Sosok Lee Woo-Jin yang terkesan misterius, kompleks serta tenang dan dingin juga berhasil diinterpretasikan oleh Ji-Tae dengan cemerlang.

Akhir kata, Oldboy adalah sebuah film yang WAJIB kalian tonton buat yang mengaku sebagai pecinta film, karena Oldboy adalah sebuah keharusan yang tidak boleh dilewatkan. Percayalah, Oldboy akan memberikan kalian pengalaman menonton yang sangat berkesan sehingga sulit untuk dilupakan. Dengan tema dendam serta unsur-unsur sensitif di dalamnya yang membuat film ini gila serta kelam, grafis atau konten kekerasan yang dibalut secara tidak biasa dan tentunya twist ending yang siap menghenyakkanmu, Oldboy adalah salah satu contoh sempurna sebagai film bertemakan dendam yang sanggup mengikatmu sampai akhir, dan percayalah, kalian tidak akan mudah untuk melupakan film ini.



9/10

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!