Friday 27 January 2017


"I've came here to spit on my father's face. Can't say it was a metaphor."- Michèle Leblanc

Story

Michele Leblanc (Isabelle Huppert), wanita berusia senja yang merupakan petinggi dalam perusahaan produksi video game, tiba-tiba saja menjadi korban pemerkosaan siang hari. Walau sempat shock dengan apa yang telah ia alami, Michele tetap tenang dan malah melanjutkan rutinitasnya seperti biasa, sambil sesekali menerima teror dari sang pemerkosa.




Review

Lewat Basic Instinct, sutradara berusia 78 tahun Paul Verhoeven, unsur erotisme pun tampak menjadi trademark sang sutradara. Namun yang saya suka dari Verhoeven, bagaimana ia piawainya mengkorelasikan unsur tersebut dengan fokus penceritaan, itulah yang membuat Basic Instinct itu jauh lebih dari sekedar adegan interogasinya saja (if you know what i mean). Elle, yang merupakan hasil adaptasi dari novel karya Phillipe Djian, ini terlihat memang bagai santapan empuk bagi Verhoeven. Menjadi berbeda kala kita mengetahui bila karakter yang menjadi pusat penceritaan adalah seorang wanita yang berusia 64 tahun. Menarik bagaimana Verhoeven tetap mempertahankan unsur erotik nya kala yang menjadi sentral cerita tidak lagi dalam usia prima nan seksi yang notabene nya merupakan senjata pamungkas untuk tetap mempertebal unsur seksi nya.

Sebelum membahas itu, mari kita lihat naskah yang dikerjakan oleh David Birke ini. Sesuai judulnya, film ini memang didominasi oleh karakter Michele sehingga tampaknya dari menit awal hingga akhir, layar akan selalu terpampang oleh kehadiran Michele. Kita diajak melihat kehidupan Michele dalam bekerja, kehidupan sosial nya yang lumayan tertutup dan tidak lupa juga hubungan nya bersama keluarga atau kerabat terdekatnya. Dari menit demi menit yang disajikan begitu sunyi oleh Verhoeven, persepsi penonton pun akan tumbuh dan juga akan timbul pertanyaan bagaimana seorang wanita yang tampak individualis ini begitu terlihat kuat dengan segala macam masalah yang mengitari nya. Michele bukanlah seperti perempuan pada umumnya. Dengan masa lalu nya yang mencekam, membuat dirinya tumbuh menjadi perempuan kuat yang juga tampak membuat perasaan peka nya juga mati. Pada beberapa momen pun setiap keputusan atau juga perlakuan Michele berhasil dengan sukses membuat saya menggeleng-geleng kepala (menceritakan pemerkosaannya di restoran mewah kala dinner??). Sosok Michele mungkin bukanlah karakter yang likable, terlebih lagi akan rahasianya yang susah dimaafkan, tapi simpati jelas mudah diberikan kepada Michele, terlebih dengan masa lalu nya yang baru terungkap pada pertengahan cerita atau juga ketika ia menjadi korban pemerkosaan. Sempat menjadi kekhawatiran saya ketika konflik kasus pemerkosaan itu akan kehilangan menjadi fokus penceritaan, karena praktis setelah Michele diperkosa, adegan demi adegan mengajak kita untuk melihat rutinitas Michele. Namun untungnya Verhoeven jeli dengan tetap menyelipkan teror demi teror dari pelaku kepada Michele serta menempatkan timing yang pas saat pemerkosaan kembali terjadi. 

Elle jelas bukanlah film untuk menjangkau semua demografis penonton. Elle berjalan sangat sunyi dan tidak ketinggalan dengan tempo yang pelan. Tidak bohong, saya sendiri pun sempat merasakan kebosanan, apalagi dengan bahasa Prancis nya yang kurang familiar bagi saya. Tetapi saya tetap bertahan dengan penceritaan Elle dikarenakan dua kata, Isabelle Huppert yang bermain luar biasa. Berkat performanya, karakter Michele begitu tampak elegan dengan usia senjanya. Setiap kali senyum yang ia pancarkan dan juga ketegasannya dalam setiap masalah yang ia hadapi, tidak membuat saya heran bagaimana seorang wanita berusia nenek-nenek ini tetap mampu menarik perhatian laki-laki, yang tidak langsung juga menjawab keraguan saya akan keputusan Verhoeven yang mendapuknya sebagai karakter sentral. Tidak hanya elegan, karakter Michele itu sungguh perempuan yang sangat tegar, lengkap pula dengan sisi arogansi nya yang melebur dengan kisah masa lalu nya yang pahit. Semua hal itu berhasil dipresentasikan Huppert lewat ekspresi muka juga dilengkapi dengan gestur tubuhnya. Sebuah hal yang pantas bila performanya diganjar dengan nominasi Oscar pertamanya pada tahun ini. 

Tidak lengkap bila tidak membahas unsur erotisnya dalam film Verhoeven. Kadar erotisnya untung bukan menjadi tempelan saja karena Verhoeven memang ahli dalam mencampurkan erotis nya dalam membangun penceritaan. Verhoeven pun juga terlihat "menghargai" Huppert dengan tidak membiarkan dia full naked dalam Elle. Eksplorasi akan penyakit seksual pun mengambang tatkala twist di pertengahan cerita terungkap yang membuka layer kembali dalam penceritaan. 

7,5/10



"If you could see your whole life from start to finish, would you change things"- Louise Banks

Story

Suatu objek misterius secara tiba-tiba mendarat di 12 negara di dunia, salah satunya adalah negara Amerika. Untuk mendapatkan jawaban, dosen ahli bahasa, Dr. Louise Banks (Amy Adams), dipinta oleh Colonel Weber (Forest Whitaker) untuk berkomunikasi dengan penghuni objek tersebut. Dengan bantuan dari salah satu pakar science, Ian Donelly (Jeremy Renner), Louise pun berpacu dengan waktu untuk segera menemukan jawaban dikarenakan tensi di 11 negara lainnya, terutama China, tengah meninggi akibat kunjungan tak terduga itu.







Review

Selain Christopher Nolan, mungkin Dennis Villeneuve merupakan satu dari sedikit sutradara yang selalu konsisten dalam berkarya dan belum ada satu film pun dari karir penyutradaraannya yang mendapatkan review yang buruk. Berdasarkan hal itu, bukan hal yang mengejutkan bila karya terbarunya ini akan dinantikan oleh pecinta film, apalagi setelah slow burning thriller Sicario 2 tahun yang lalu begitu mempesona dan makin meningkatkan kualitas Dennis Villeneuve dimata para kritikus. Makin menambah penasaran ketika diketahui ladang bermain Dennis Villeneuve kali ini adalah invasi alien.
Invasi alien? Apakah Dennis Villeneuve kehilangan jati dirinya demi menjangkau pasar yang lebih mainstream? Wajar saja bila ketakutan itu muncul, apalagi belum lama ini kita disajikan pula dengan film invasi alien lainnya (Independence Day: Resurgence) yang mengambil pendekatan generik. Percayalah, Dennis Villeneuve yang kita kenal tetap ada disini. Bahkan pendekatan yang diambil oleh sutradara Kanada ini cenderung berani, dimana dia jauh lebih memilih mengobservasi tujuan datangnya para "alien" itu dengan mengajak penonton melihat karakter utama nya berkomunikasi dengan alien.
Ya, 1 jam awal durasi film didominasi oleh hal itu. Melihat Louise, Ian dan tim nya bekerja dalam memecahkan kode yang diberikan dua alien yang diberin nama Abbot dan Costello itu bisa saja menjemukan, apalagi Dennis Villeneuve telah terkenal dengan tempo lambatnya. Namun, misteri yang ditawarkan mengenai tujuan sebenarnya dari alien tersebut berkunjung terlalu melekat di benak saya sehingga mau tak mau pun mata ini terus terpaku di layar menit demi menit. Tampaknya disini Dennis Villeneuve sengaja ingin bermain dengan penonton dengan memberikan pesan bila bahasa bukanlah hal yang patut diremehkan, karena dengan sedikit misleading dalam menginterpretasikan suatu bahasa, bisa terjadi suatu konflik antar negara. Terlihat dalam satu momen disini dimana para tentara mulai berniat untuk mengangkat senjata akibat penggunaan satu kata alien yang meningkatkan tensi yang sebenarnya telah tinggi di negara tersebut. Namun, selain pintar dalam mengolah naskah penceritaan, Dennis Villeneuve juga lihai dalam membangun ketegangan bila diperlukan. Bisa dilihat disini bagaimana momen berkunjung ke "kendaraan" alien saja digarap begitu intens oleh Dennis Villeneuve. Belum lagi kala mendekati endingnya yang sebenarnya sudah sering terlihat, namun terasa menegangkan di tangan Dennis Villeneuve.
Bekerja sama dengan Eric Heissere di posisi screenplay, Dennis Villeneuve juga tidak mubazir dalam menyebarkan kepingan adegan atau dialog yang ada di layar. Semua momen, baik dari kenangan Louise bersama anaknya hingga pencarian jawaban dengan berkomunikasi Louise dengan dua alien, memiliki esensi tersendiri kala ending yang cukup sederhana namun lumayan powerful itu muncul di layar. Walau belum berhasil mendapatkan jawaban yang pasti, saya tak bisa memungkiri betapa hangat serta indah tatkala Dennis Villeneuve memberikan jawaban misterinya. Turut dibantu pula oleh soundtrack indah dari Max Richter menambah kehangatan yang mampu membuat saya tersenyum kagum.
Mungkin yang menjadi sedikit masalah disini adalah bagi mereka yang belum terbiasa atau bahkan belum mengenal bagaimana cara Dennis Villeneuve bermain dalam filmnya. Arrival itu berjalan lambat, nuansa filosofis pun tercium dari beberapa paparan dialognya yang mungkin sedikit membuat penonton seperti ini mengalami kewalahan di pertengahan film. Saran saja, berikan sedikit kesempatan, jangan hentikan pandangan dari layar dan cerna perlahan setiap dialog yang ada, karena sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Dennis Villeneuve ini cukup sederhana, hanya memang cara Dennis Villeneuve saja yang sedikit mempermainkan pikiran penonton. Untuk saya, itu mengasyikkan, tapi untuk yang lain? Belum tentu, terutama bagi mereka yang berekspektasi Arrival merupakan film seperti The Independence Day. Belum lagi ketika Dennis Villeneuve mengungkapkan endingnya, well, endingnya memang cukup membingungkan, tetapi tidak seperti Enemy (karya sebelumnya dari Dennis Villeneuve, bahkan Dennis Villeneuve tampaknya menyelipkan tribute untuk Enemy dalam dream sequence nya Louise), Dennis Villeneuve cukup berbaik hati dengan meniadakan pesan-pesan simbolis dari jawaban endingnya. 
Saya terkejut ketika mendapatkan kabar bila Amy Adams tidak mendapatkan nominasi Oscar ke enamnya di kategori Best Actrees tahun ini (saya membaca berita nominasi Oscar setelah menonton film ini), karena setelah melihat penampilan Amy Adams di Arrival, saya merasakan optimis bila Amy Adams akan segera menyusul Leonardo DiCaprio untuk mendapatkan trofi Oscar pertamanya. Tersingkirnya Amy Adams dalam Oscar race tentu akan menjadi calon Snub terbesar dalam dekade ini, apalagi penampilan Amy Adams sebagai Louise Banks merupakan salah satu penampilan terbaik nya di sepanjang karir. Amy Adams secara brilian bagaimana ia berhasil menyeimbangkan Louise yang memiliki rasa curiousity nya akan bahasa dari alien, juga kerapuhan dari seorang ibu yang mengalami kesepian setelah kehilangan suatu hal yang berharga untuknya.  Endingnya begitu menyentuh pun berkat ekspresi Amy Adams yang terasa sekali akan sebuah kehangatan juga rasa lega akan jawaban yang ia dapatkan. Jeremy Renner pun tidak mengecewakan mengingat time screen yang ia punya memang terbatas, namun ia mampu memaksimalkan kesempatan yang ada, terlebih dengan one liner nya yang cukup untuk menjadi comic relief.
Tentu Arrival menjadi ajang pembuktian kembali dari Dennis Villeneuve, bagaimana ia begitu piawai dalam mengikat atensi penontonnya dengan tempo lambat yang mengalun dan juga ending yang mungkin akan terus teringat betapa hangat juga menyedihkan di sisi lain. Dengan 8 nominasi Oscar yang telah direnggut, tampaknya Dennis Villeneuve akan dinanti karya-karya berikutnya oleh para kritikus.

9/10


Edit:
Seperti yang saya ungkap di review saya bila saya belum terlalu mengerti dengan endingnya kala menulis review Arrival ini. Tetapi setelah melakukan blogwalking, saya akhirnya mendapatkan jawaban yang berhasil menaikkan rating yang telah saya kasih. "Brilian" selalu hadir dalam benak kala saya mendapatkan jawaban yang telah diberikan Dennis Villeneuve sehingga sangat layak apabila Villeneuve mendapatkan Best Director untuk ajang Oscar tahun ini. 


2014 merupakan tahun yang menyenangkan untuk dunia perfilman, setidaknya bagi saya. Selain disebabkan rilisnya Interstellar, 2014 juga diisi dengan beberapa film yang bisa bergabung dalam list film terbaik dalam dekade ini. 2 film yang sangat diperbincangkan pada tahun tersebut adalah Gone Girl dan Nightcrawler. Dua film itu sukses menarik perhatian pecinta film dan menjadi diskusi banyak orang. Selain karena cerita, karakter yang terlibat dalam dua film itu pula yang mencari perhatian. Maka dari itu, saya akan mereview dua film terbaik pada tahun 2014 ini. Juga, rasanya berdosa sekali bila tidak mengulas ulang kedua film ini. Tidak usah panjang lebar lagi, inilah hasil review saya.

Gone Girl (2014)







"When I think of my wife, I always think of the back of her head. I picture cracking her lovely skull, unspooling her brain, trying to get answers. The primal questions of a marriage: What are you thinking? How are you feeling? What have we done to each other? What will we do?"- Nick Dunne

Story

Tepat pada hari jadi pernikahan Nick (Ben Affleck) dan Amy Dunne (Rosamund Pike), sang istri tiba-tiba menghilang pada pagi hari. Dengan bantuan detektif Rhonda Boney (Kim Dickens) serta para relawan, Nick mencoba untuk mencari jawaban dimana sebenarnya keberadaan Amy. 





Review



Percayalah, film ini jauh lebih dalam dibanding hanya menceritakan pencarian orang hilang. Hey, ini film David Fincher!! Semua yang mengikuti karya Fincher bergenre misteri pasti akan mengakui bila kehebatan Fincher dalam menerapkan proses investigasinya ke dalam film tidak diragukan lagi. Hal itulah yang membuat Se7en dan Zodiac (though i don’t love Zodiac so much) merupakan karya unggulan dari Fincher. Fincher sangat piawai bagaimana menyimpan misterinya untuk tetap menjaga atensi dari penonton, dan juga tidak ketinggalan bagaimana Fincher membuka satu per satu jawaban dari misteri nya dengan timing yang sangat tepat. Semenjak logo 20th Century Fox tampil di layar yang diselingi dengan scoring dingin dari Trent Reznor dan Atticus Ross, penonton seolah telah diberi petunjuk bila film terbaru Fincher ini akan pula beratmosfir dingin nan twisted. Hampir paruh pertama Gone Girl didominasi pencarian akan jawaban apa yang sebenarnya yang terjadi dengan Amy, juga keping demi keping flashback lewat voice over dari Amy sambil menulis buku diarynya. Bagian ini lah yang merupakan bagian terbaik dari Gone Girl. Memang, semua kajian dari investigasi yang berjalan dari menit ke menit seolah mengajak penonton untuk mendapatkan sebuah jawaban yang pasti, namun di sisi lain juga penonton tidak merasa yakin dengan jawaban yang seolah telah absolut itu.
Dan ketika terungkap jawabannya, BOOM!! Sebuah twist yang sebenarnya layak untuk ditempatkan di akhir film walau memang durasinya masih pendek. Setelah pertengahan awal yang memukau, saya akui durasi sisanya tidak mampu menyaingi kehebatan bagian awal, walau tidak sampai ke level buruk memang, still fun ride, but it’s absolutely a downfall. Bagian ini didominasi akan pertarungan tidak langsung dari Nick Vs Amy. Bukan dalam hal mencari kebenaran, because it doesn’t matter anymore, namun siapa yang lebih ahli mengambil hati masyarakat melalui kekuatan media. Pendekatan yang memang benar-benar terjadi dalam dunia nyata. Dan kembali lagi asumsi penonton dimainkan Fincher dengan brilian karena walau jawaban sebenarnya telah terungkap, namun sebagian penonton saya yakin tidak akan langsung memberikan penilaian jahat kepada sang mastermind setelah keping masa lalu yang telah tersebar di paruh awal. Fincher serta Gillian Flynn sang penulis naskah (juga penulis novel Gone Girl) tahu benar dalam hal bermain dengan persepsi penonton sehingga tidak jarang akan ada beberapa momen yang membuat penonton berubah-ubah dalam hal menempatkan dukungan mereka.
Selain piawai dalam mempermainkan anggapan penonton, Fincher juga berhasil membungkam bagi mereka yang mengkritik akan pemilihan cast nya. Bisa dimengerti mengingat Affleck serta Pike, terutama Pike, belumlah terlalu cemerlang dalam hal menjadi lead actor/actrees. Selain itu juga, pemilihan Tyler Perry dan Neil Patrick Harris juga sedikit membuat penikmat film mengernyitkan dahi dan mempertanyakan keputusan Fincher. Namun, seperti yang saya ungkap sebelumnya, Fincher terbukti masih pintar dalam hal memilih cast untuk filmnya. Affleck kembali membuktikan bila kali ini dia adalah aktor yang patut diperhitungkan. Afflect terlihat meyakinkan mempresentasikan Nick yang sesekali tampak bodoh, asshole-husband tapi di sisi lain ada pula aspek yang membuat Nick susah untuk dibenci. Tyler Perry mengesankan sebagai pengacara pembela Nick, dan yang lebih mengejutkan lagi NPH yang tampil begitu dingin sebagai Desi Collings. Dua aktris yang bagi saya masih asing, yaitu Kim Dickens serta Carrie Coon (sebagai Margo Dunne), tampil memukau. Dickens mempesona sebagai detektif yang memiliki segudang pertanyaan dalam pikirannya dan juga ketenangannya dalam menangani kasus. Carrie Coon juga tidak mau kalah dalam film layar lebar pertamanya ini. Sebagai Margo, dia sukses memperlihatkan rasa sayangnya terhadap Nick, saudaranya, baik ketika dia marah atau dalam momen subtil saat dia cemburu nya akan hubungan Nick dan Amy. Rosamund Pike? Well, you know she was amazing when i'll describe her acts in one full paragraph.
Melihat karakter Amy disini, jelas ada kemiripan dengan Catherine Tramell dalam Basic Instinct. Keduanya membuktikan bila wanita merupakan makhluk yang lebih mengerikan dibandingkan pria. Letak kelebihan Pike disini adalah bagaimana Pike berhasil menipu penonton dengan ekspresi muka lusuhnya yang pastinya mudah merebut hati penonton. Dan ketika karakternya mengharuskan ia berakting sebagai pembunuh dingin, Pike juga sukses. Lihat bagaimana ekspresi matanya yang seolah kosong nan dingin tapi dipenuhi akan aura kejahatan di matanya. Pike juga brilian menunjukkan Amy yang tampak begitu likeable dengan kelembutannya kala berbicara sehingga tidak mengherankan bila mudah untuk memaafkan kesalahannya (selain dosa nya yang terakhir tentu).
Gone Girl jelas merupakan jenis film yang asik untuk diulas sambil didiskusikan. Menawan dalam hal investigasi serta twisted characters, Gone Girl jelas bukan pilihan terbaik untuk ditonton bersama pasangan menikah Anda.

8,5/10


Nightcrawler (2014)






"I feel like grabbing you by your ears right now and screaming, "I'm not fucking interested!""- Lou Bloom

Story

Memperlihatkan sepak terjang Lou Bloom (Jake Gyllenhaal) dalam mendalami karirnya sebagai jurnalis freelance yang juga memperlihatkan sisi gelap dalam profesi jurnalis.




Review

Saya memiliki keresahan tersendiri melihat fenomena masyarakat yang tampaknya jauh lebih tertarik dengan sebuah berita yang mencekam nan penuh akan drama. Lihatlah bagaimana kontes menyanyi menjadi melodrama seketika tatkala presenter mengulik kehidupan berat sang kontestan, perhatikan pula sidang kasus Jessica yang selalu menjadi sorotan disebabkan antusias penonton akan drama yang seringkali menghiasi sidangnya. Persoalan ini pula yang menyebabkan banyak sekali akan kelebihan negeri Indonesia tertutupi oleh akan banyaknya keburukan yang jelas jauh lebih dicari oleh para jurnalis guna mendapatkan rating yang tinggi. Aspek ini lah yang membuat Nightcrawler terasa begitu dekat dengan kehidupan sekarang, dan melalui pernyataannya, Dan Gilroy memang ingin menyematkan kritik kepada kita juga profesi jurnalis.
Sebuah ironi jelas tergambar kala kita diperlihatkan bagaimana para jurnalis ini bekerja. Musibah yang ada bagaikan ladang uang bagi mereka. Hal ini tampak jelas kala kita melihat petualangan Lou Bloom, yang sebelumnya hanyalah pencuri barang untuk dijual, memutuskan untuk menjadi seorang jurnalis lepas yang menjual video hasil rekamannya ke studio yang membutuhkan hasil "karya" nya.  Dan sayangnya, akibat sebuah "arahan" dari customer nya yaitu Nina (Rene Russo), Lou menjadi semakin ambisius dan mulai menghalalkan segala cara supaya video nya terlihat lebih "menjual".
Memang, selain isu yang diangkat oleh Gilroy dalam film debutnya ini (!), karakter Lou yang diperankan sangat brilian oleh Jake Gyllenhaal ini jelas menjadi sorotan. Di satu sisi, penonton tidak bisa membenarkan apa yang telah ia buat ketika bekerja, namun Lou tidak serta merta mendapatkan kebencian dari penonton. Semua itu jelas dari karakterisasi dari Lou yang merupakan pekerja keras dan ambisius dalam pekerjaannya. Bagaimana dia terlihat begitu termotivasi untuk belajar untuk profesi terbarunya itu, ia begitu pintar memanfaatkan waktu kosong yang ia punya untuk belajar hingga ia menjadi ahli dalam bidangnya. Lou juga memiliki sikap yang tenang kala ia berbicara, bahkan ketika ia mengancam seseorang, yang membuatnya lebih mencekam. Dan jujur, sangat susah membenci karakter anti hero terbaik pada tahun 2014 ini. Selain penggambaran karakternya, tentu kontribusi seorang Jake Gyllenhaal dalam menghidupkan peran Lou Bloom tidak bisa dilupakan. Sebuah hal yang memalukan untuk Academy Awards ketika mereka begitu lancangnya tidak memberikan nominasi best actor pada Gyllenhaal. Gylenhaal terlihat begitu meyakinkan dengan segala sorot matanya yang dingin, senyum manipulatifnya juga tidak ketinggalan bagaimana tenangnya ia kala berbicara namun begitu mengerikan kala membiarkan emosinya meluap.
Dan Gilroy juga terlihat fokus dalam penceritaan dengan menempatkan Lou serta dunia jurnalis dalam pusat naskahnya. Namun, aspek teknisnya juga secara mengejutkan tidak mengecewakan. Dengan bantuan Robert Elswit, Nightcrawler tampak mempesona dengan dunia malamnya. Ketika film bergerak ke action sequence, kembali Dan Gilroy memukau penontonnya. Car chase yang ada pada Nightcrawler bisa dibilang merupakan salah satu car chase yang memukau dalam perfilman, walau memang terkesan berlebihan setelah dengan realisme yang ada.
Seperti apa yang Gilroy katakan, seorang Lou Bloom tercipta disebabkan oleh permintaan dari masyarakat. Dengan segala isu satir didalamnya dan jelas karakter Lou Bloom itu tersendiri, Nightcrawler menjadi salah satu film yang sulit untuk dihapus oleh waktu.

8,5/10



Sunday 22 January 2017



Mengutip pernyataan dari kritikus terkenal, Roger Ebert, yang dimana beliau bilang “Every great film should seem new every time you see it,” saya pun juga memiliki beberapa film yang setiap kali saya menontonnya, saya tidak pernah dilanda akan kebosanan. Saya pun tergerak untuk membuat list ini. Dan juga, saya membuat list ini sebagai “pelarian” akan kekecewaan saya yang gagal menonton Arrival di bioskop. Hal yang kelak akan saya sesali seumur hidup. Patut diingat, list film dibawah ini murni berdasarkan subjektifitas saya, jadi mungkin kalian akan menemukan film yang mungkin menerima kritik yang buruk atau bahkan sampah. Ini bukanlah list film terbaik, tetapi list ini adalah film yang mau ditonton berapa kali pun, tidak akan menawarkan suatu kebosanan untuk saya. Ibarat buah, film-film ini bagaikan buah semangka bagi saya (yes, i love watermelon so much). Tidak perlu basa-basi lagi, inilah daftar film-film favorit saya. Catatan, saya merupakan salah satu penggemar Christopher Nolan, maka bila dalam list ini, film beliau paling sering muncul, mohon di harap maklum.
 
20. The Wrestler


Mungkin saya adalah kaum minoritas dimana saya masih memiliki minat tersendiri akan dunia wrestling. Saya masih mengikuti WWE, ROH atau Lucha Underground dan mungkin suatu saat saya akan memulai untuk mereview pay per view yang diadakan oleh WWE. Ketika masih kecil, saya menganggap apa yang terjadi dalam dunia gulat merupakan suatu cerita yang asli, sebelum saya menonton film ini pada tahun 2010an. Mata saya terbuka akan bagaimana para pegulat ini berkorban segitu banyaknya demi “menipu” supaya mampu menghibur penonton, yang membuat saya bukannya malah merasa tertipu, namun meningkatkan rasa respect saya terhadap para pegulat ini. Dengan penceritaan berfokus pada karakter Randy “Ram” Robinson yang diperankan luar biasa oleh Mickey Rourke, film ini sangat cocok bagi orang yang selalu meremehkan akan dunia wrestling.

19. The Hurt Locker


Saya bukanlah pecinta film arthouse, maka saya sendiri terkejut ketika saya begitu mencintai film garapan Kaithryn Bigelow ini dimana bagi saya, untuk film yang bertemakan perang, The Hurt Locker sangatlah minim akan adegan perang seperti kebanyakan film bertema yang sama. Pendekatan yang berbeda di ambil Bigelow dengan lebih memilih untuk mengobservasi kehidupan para tentara saat perang, dimana pekerjaan “mulia” mereka tersebut turut mengganggu keadaan mental serta pola pikir mereka. Bisa dilihat bagaimana William yang diperankan cemerlang oleh Jeremy Renner yang merasakan dunia perang merupakan “rumah” baginya. Well, the war is drugs for him.

18. Titanic


Mungkin kebanyakan pria akan merasa malu bila mereka mengaku menyukai film yang begitu terkenal akan percintaan yang begitu melodrama ini. Saya kurang sependapat. Untuk siapapun yang telah menonton Titanic, mereka pasti sependapat bila Titanic itu memiliki suatu magis tersendiri yang membuat penonton nya merasa ingin kembali dan kembali menonton ulang film nya James Cameron ini. Lagi pula, kisah percintaan si kaya dan si miskin akan terus diminati oleh pecinta drama asmara bukan? Dan ya, saya selalu merasa merinding kala intro My Heart Will Go On mengudara di pertengahan narasi berjalan.

17. Warrior



Siapa yang menyangka bila drama seorang ayah yang telah tua renta bersama dua anaknya yang menggeluti dunia gulat begitu powerfull hingga mampu membuat para penonton ikut merasakan betapa peliknya problem yang ada? Mungkin baru Warrior lah yang mampu memaksa saya untuk mengeluarkan air mata kala adegan gulat dua saudara ini di akhir film. Oh, lupa juga dimana sebelumnya saya juga turut menangis haru kala melihat ekspresi Nick Nolte di kasino. Dan tidak lupa juga bagaimana Tom Hardy begitu keren dimata saya sebagai Tommy Riordan.

16. The Big Lebowski


Reaksi awal saya kala mengakhiri “petualangan” saya bersama The Dude di The Big Lebowski adalah “What the fuck did i just watch!!?” Serius, saya sama sekali tidak mengerti apa maksud sebenarnya Coen Brothers membuat film ini? Selama menonton The Big Lebowski pertama kali, saya sama sekali tidak merasakan kelucuan yang ada, muka yang saya pasang selama durasi itu face palm (silahkan buka google images bila tidak mengerti). Namun, tampaknya saat menonton pertama kali, virus The Dudenism telah menyebar di seluruh pembuluh darah sehingga saya ingin menonton ulang sekali lagi. Dan lagi. Dan lagi. Dan setiap menonton ulang, rasa bosan sama sekali tidak menghinggapi dan mungkin bila menonton sekarang, pada detik ini juga, saya masih bisa tertawa lepas saat melihat kesialan demi kesialan yang dialami The Dude akibat kesotoyan Walter. Classic cult movie.

15. Whiplash


Dalam dunia musik, saya terbuka akan berbagai genre yang ada. Dalam tiap genre pun saya memiliki idola masing-masing. Genre Rock, saya memiliki Queen dan Radiohead, di dunia Metal saya mengagumi dan mencintai karya demi karya dari Dream Theater, dan begitu seterusnya. Namun, maaf untuk pecinta Jazz, saya belum memiliki penggemar di genre Jazz. Sampai ketika saya menonton kisah penggebuk drum di Whiplash yang tersiksa akibat kerasnya pelatihan yang diberikan oleh sang mentor.  Walau kalian belum merasakan akan kerasnya dunia musik atau pun belum, tidak ada yang bisa memungkiri bila Whiplash merupakan karya debut cemerlang dari Damien Chazelle. Siapa yang bisa melupakan performa hebat dari J.K Simmons yang mampu membuat penonton muak akan kehadirannya, namun kala ia menghilang dari layar, penonton juga merasakan kerinduan pada setiap makiannya.

14. Bad Boys 2

Bad Boys 2 gave me so much fun!!! Selain memperkenalkan saya pada Will Smith (one of my favorite actors ever), Bad Boys 2 juga masih mampu menawarkan setiap adegan-adegan komedi gila berkat perpaduan sempurna antara Will Smith dan Martin Lawrence yang selalu berhasil meledakkan tawa saya. Adegan di ruang mayat, car chase yang melibatkan kapal boat besar, tembakan yang mengenai kulit pantat, komentar Marcus kala melihat dua tikus sedang bersenggama di saat mereka sedang mengintai, wow, saya masih bisa mengingatnya!! Berikut sepenggal dialog yang tidak pernah gagal meledakkan tawa:
Mike   : You ever made love to a man?
Reggie:  No, sir. 
Mike   : Do you want too?
Reggie : No, sir

We ride together, we die together. Bad boys for life..! Hell, yeah!!

13. The Social Network

Bukan hanya kritikus yang begitu mencintai film ini, but i’m too!!!!! Berkat film ini, saya memiliki idola pada penulis naskah, yap, Aaron Sorkin. Semua yang mencintai The Social Network tidak akan ada yang bisa memungkiri bila pengaruh penulisan Sorkin lumayan dominan sehingga membuat dialog demi dialog yang diucapkan karakter dalam film begitu dinamis nan cerdas. Tidak lupa juga performa cemerlang dari Jesse Eisenberg dan Andrew Garfield yang menambah poin plus akan film ini.

12. Se7en


Dari sinopsis nya saja Se7en telah memiliki modal awal untuk menjadi film yang memorable. Tinggal bagaimana seorang sutradara menggarapnya untuk mencapai tujuan ke sana. Dan untungnya, kisah dua detektif berbeda karakter dalam pencarian pelaku pembunuhan berantai berdasarkan 7 dosa besar manusia ini jatuh di tangan David Fincher dimana David Fincher berhasil memberikan atmosfir mencekam di tiap menitnya seolah sang pelaku selalu mengintai di layar walau keberadaannya tak tertangkap mata. Serta, berkat keberhasilan film Se7en juga lah yang membuat Fincher kembali pede untuk menekuni profesinya sebagai sutradara setelah hasil akhir dari Aliens 3 tidak memuaskan. And yeah, “what’s in the box” scene will always stuck in my mind.

11. Goodfellas


Goodfellas itu bagaikan versi “fun” nya dari The Godfather. “Fun” yang saya maksud disini bukan berarti Goodfellas itu dipenuhi akan lelucon. Tetapi, saya merasakan “fun” itu berkat penyutradaraan berkelas dari Martin Scorscese dalam memperlihatkan kehidupan mafia yang sebenarnya penuh dengan intrik serta kejahatan, tapi di sisi lain juga ada kekeluargaan yang begitu hangat dan kuat dalam dunia kejahatan itu. Walau memang rasa keluarga yang telah tercipta akan hancur akibat satu kata. Traitor.
 
10. Casino Royale



The Bourne Identity itu pelopor dalam hal film spy atau agen rahasia. Pengaruh Bourne itu juga langsung berdampak franchise agen rahasia Inggris ini. Tidak ada lagi Bond yang rapi atau pun flamboyan, kini jamannya Bond yang brutal serta badass tanpa ampun demi mencapai tujuannya. Walau sempat mendapatkan kontroversi akan penunjukan dirinya sebagai James Bond, Daniel Craig membuktikan bila karakter Bond yang baru ini benar-benar cocok dengannya. Bahkan menurut saya, Daniel Craig adalah James Bond terbaik. Dan pada era Craig, favorit saya adalah Casino Royale. Begitu banyak adegan yang memorable di Casino Royale. Dari opening scene nya yang menunjukkan dua kepiawaian Bond baik kala bertarung atau pun mengintimidasi korbannya, berlanjut ke adegan kejar-kejaran ala parkour yang mampu membuat saya menahan nafas sambil kagum, pertarungan kartu di atas meja poker yang bertensi tinggi dan siapa juga yang melupakan betapa lembutnya Bond menenangkan Vesper di shower. Oh, mengenai Bond Girlnya, saya menyukai treatment dari Martin Campbell kepada Vesper Lynd yang diperankan brilian oleh Eva Green. Tidak heran bila James Bond mampu bertekuk lutut akan wanita ini.

09. Oldboy


“Sakit nian film ini vi!”, well, setidaknya begitulah komentar yang dilontarkan teman saya saat saya mengajak dia menonton film terbaik dari Korea Selatan ini. Film yang kabarnya mampu membuat Quentin Tarantino standing ovation ini memang mengambil tema yang begitu sensitif dan juga kekerasan tingkat tinggi di dalamnya. Namun, Park Chan-Wook membungkusnya sedemikian rupa bukan tanpa esensi. Chan-Wook ingin memperlihatkan bagaimana mengerikannya bila manusia telah diliputi akan rasa dendam. Tidak ketinggalan juga dengan twist nya yang sanggup mengganggu jiwa penontonnya. Percayalah, walau Oldboy diisi dengan beberapa adegan kekerasan yang mampu membuat ngilu, tetap saja ada sihir yang membuat penonton ingin menontonnya lebih dari sekali.

08. Memento


Mungkin kalian akan menganggap saya sok pintar ketika melihat film ini ada di dalam list film favorit saya, tapi mau bagaimana lagi? Rangkaian misteri yang ditawarkan Nolan brothers di Memento begitu membuat ketagihan, apalagi dengan format non linier nya serta hitam-putih dan warna di dalam filmnya yang membuat penonton pun merasakan bagaimana menderitanya mengidap penyakit yang sama seperti Leonard. Memento memang menceritakan dendam, namun Nolan membuka layer yang baru ketika twist nya terungkap di akhir.

07. Realita, Cinta dan Rock ‘n Roll


Bila ditonton sekarang mungkin film karya Upi ini tidak lah terlalu spektakuler. Namun untungnya saya menonton ini pada saat masih SMP, yang tentu membuat keterikatan tersendiri dengan kisah kenakalan remajanya atau juga pencarian jati diri. Kenakalan yang dilakukan Vino dan Junot disini tampak begitu keren dimata saya dan sedikit membangkitkan keinginan untuk rebel tersendiri di dalam darah saya.
06. The Godfather Part I & II



I know i’m cheating, but i can’t help myself choose to between them. Andai seri ketiga nya tidak terlalu jauh menurun kualitasnya, mungkin tidak akan ada yang menyangkal bila Trilogi The Godfather adalah trilogi terbaik. The Godfather Part I & II merupakan contoh sempurna bagaimana walau dengan durasi yang panjang (Part II bahkan durasinya menyentuh 3 jam lebih), dengan penceritaan yang kuat dan juga karakter yang sama sekali tidak ada yang flat atau terasa annoying keberadaannya, penonton akan tetap setia mengikuti kisah keluarga Corleone ini.  

5. Pulp Fiction



Pengalaman menonton pertama kali film ini tidak jauh berbeda dengan pengalaman saya saat menonton The Big Lebowski. Dipenuhi dengan ocehan-ocehan para karakter nya, tentu saya tidak langsung menyukai Pulp Fiction. Tetapi ada rasa kangen yang terus menerus untuk kembali menyantap masterpiece dari Quentin Tarantino ini. Dan semakin saya sering menonton Pulp Fiction, saya akhirnya menyadari mengapa Pulp Fiction selalu dianggap sebagai salah satu film yang paling berpengaruh yang disebabkan keberanian Tarantino melawan segala hal mainstream yang dilakukan Hollywood.

4. Inception


Ada dua jenis penonton Inception yang rela menonton karya ambisius dari Nolan ini hingga beberapa kali. Pertama, penonton yang ingin mencari jawaban dan kedua adalah penonton yang memang mencintai Inception. Saya termasuk tipe yang kedua. Saya masih ingat betapa kagumnya saya bagaimana Nolan menggarap sebuah action secquence yang sebenarnya biasa saja namun dengan racikan yang berbeda, mampu terlihat begitu berkelas. Nolan juga tahu bagaimana menciptakan karakter-karakter yang keren tanpa perlu backstory. Beruntunglah mereka yang menikmati mahakarya Nolan ini di dalam bioskop. Terbayang bagaimana riuhnya kekesalan penonton saat blank screen muncul di layar pada momen akhir itu, yang memunculkan perdebatan panjang tanpa berkesudahan.
 
3. Terminator 2: Judgement Day


Percaya tidak percaya, film ini lah yang memperkenalkan saya akan film-film Hollywood, karena ini adalah film hollywood pertama yang saya cicipi. Masih terbayang bagaimana saya diliputi akan kengerian serta kekesalan akan betapa hebatnya T-1000 itu. Juga masih terekam jelas bagaimana saya menahan nafas melihat car chase yang digarap begitu keren oleh James Cameron. Dan masih teringat juga saya dimarahi ayah saya karena ingin menonton film ini diam-diam pada malam hari (masih jamannya VCD). Thumbs up di akhir film itu juga terlihat sangat keren dan begitu fenomenal di sekolah saya pada saat itu. Entah sampai kapanpun, film ini akan selalu memiliki tempat di hati saya. 

2. The Pursuit of Happyness


Tidak perduli akan keakuratan film ini dengan kisah asli nya Chris Gardner, The Pursuit of Happyness tetaplah film motivasi terbaik bagi saya. Ketika saya mengalami kegagalan, The Pursuit of Happyness merupakan obat penawarnya. Ekspresi Will Smith kala mendekap anaknya yang sedang tidur sembari menahan pintu toilet dengan kakinya supaya tidak terbuka itu selalu sukses membuat saya berlinang air mata.

1. The Dark Knight



Tidak hanya influental bagi perfilman, terutama superhero, The Dark Knight juga sangat berpengaruh bagi saya. Mengulas segala hal positif dalam The Dark Knight itu sama halnya ketika menjelaskan betapa luar biasa nya Lionel Messi di lapangan, tidak akan ada habisnya. Memiliki opening yang hebat, perjalanan cerita yang membuat candu, serta ditutup pula dengan ending yang merupakan bagi saya tetaplah ending terbaik dalam sejarah perfilman, The Dark Knight tidak dipungkiri merupakan film yang paling stand out dalam trilogy Dark Knight (padahal Batman Begins dan The Dark Knight Rises saja merupakan dua film yang hebat). The Dark Knight mengajak saya untuk mempelajari sebuah film yang berkualitas itu seperti apa, bahkan juga berkat The Dark Knight pula yang menciptakan minat saya akan film. Mau tahu telah berapa kali saya menonton film ini? 20 kali lebih!! Tanpa merasakan kebosanan sedetik pun. Selain Inception, The Dark Knight adalah penyesalan terbesar saya karena tidak menonton film ini di layar lebar bioskop. Karya yang begitu luar biasanya sampai kebanyakan sutradara-sutradara terkenal ingin mencontek akan bagaimana hebatnya Nolan menyuntikkan atmosfir realisnya dalam film. Dan The Joker-nya Heath Ledger akan tetap dikenang sebagai salah satu, jika bukan, karakter antagonist terbaik yang pernah ada di dalam dunia perfilman.


Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!