Friday 23 February 2018



"Sucess doesn't come for free, Miguel. You have to be willing to do whatever it takes to.. seize your moment. I know you understand."- Ernesto de la Cruz

Plot

Miguel memimpikan menjadi musisi sehebat idolanya, Ernesto de la Cruz. Namun, akibat dari sejarah turun temurun keluarganya, Miguel hidup dalam keluarga yang sangat membenci musik dikarenakan nenek moyang sekaligus pendiri bisnis sepatu yang kini tetap diteruskan oleh keluarga besar Miguel, Mama Imelda membenci sang suami yang meninggalkannya dan anak semata wayang mereka, Coco, demi mengejar impian menjadi musisi yang mengakibatkan pula rasa benci itu menular pula kebenciannya terhadap musik. Meski dilarang keras, terutama oleh sang nenek, Abuelita, Miguel terus mengejar impiannya. Dan ia merasakan jika kompetisi musik Dia de Muertos adalah momentum untuk dirinya dalam rangka pembuktian kepada seluruh keluarganya bila ia memang ditakdirkan untuk menjadi musisi.



Review

Dengan proyek seperti The Incredibles 2 yang akan hadir tahun ini serta Toy Story 4 yang masih sebatas rumor kemunculannya, Pixar memang seolah terkesan akan minim kreasi. Tetapi anggapan itu seketika musnah kala Inside Out muncul 2 tahun lalu.  Hadirnya film yang berhasil membuat saya beberapa kali meneteskan air mata tersebut benar-benar menjadi bukti jika para kreator yang bekerja di Pixar masih tetap memiliki kapabilitas dalam mempermainkan emosi para penontonnya, termasuk pria dewasa yang harus bernasib seperti saya kala mereka pun turut dipaksa untuk menyapu air mata di pipi. Pixar sepertinya ingin menjaga momentum tersebut sampai The Incredibles 2 akan rilis nanti dengan menghadirkan kisah seorang bocah berusia 12 tahun mengejar mimpinya untuk hidup dalam dunia musik dalam balutan judul film bernama Coco.

Jika dalam Inside Out kita dibawa kembali untuk mengingat kepingan-kepingan kenangan indah pada masa kecil, Coco membawakan tajuk yang tidak terlalu jauh sebenarnya dari topik tersebut karena masih bersinggungan dengan keluarga, dengan membawakan pertanyaan bagaimana bila kita benar-benar dilupakan setelah roh tidak lagi berada di dalam raga ini. Ide cerita itu belum terlalu menyeruak karena di awal-awal film berjalan, sang sutradara sekaligus penulis naskah, Lee Unkrich, mengajak penonton untuk mengenal lebih dekat mengenai Miguel dan keluarga nya yang sangat membenci musik. 

Pada momen ini, Coco menawarkan formula seperti film Up yang terasa begitu realistik dengan kehidupan nyata untuk takaran film animasi, dengan meniadakan elemen-elemen imaji seperti mainan yang bisa bergerak sekaligus berbicara, ataupun dunia emosi yang terdapat dalam tubuh manusia, Walaupun begitu, atensi saya telah terengkuh karena satu kata saja, dan satu kata tersebut adalah musik. Karakter utamanya bagaikan mewakili sebagian besar anak-anak kecil yang memimpikan hal yang sama seperti Miguel, untuk menjadi musisi yang hebat dan mampu diidolai serta dicintai oleh para penggemarnya. Hal itu tentu saja didasari oleh faktor untuk mengikuti jejak langkah sang idola. Saya begitu mengagumi John Lennon dan Kurt Cobain (I wish I meet them at afterlife) sehingga mimpi saya yang masih terpendam hingga saat ini adalah menjadi musisi sehebat mereka, dan hal itu pula yang ingin diwujudkan oleh Miguel. Namun, hidup dengan keluarga yang justru bertentangan dengan impiannya tersebut, tentu tidak mudah untuk Miguel mewujudkannya.  Apakah impian tersebut sangat berharga jika kita harus bertentangan dengan keluarga? Bukankah Keluarga adalah segala-galanya? Pertanyaan ini terus menghinggapi di benak saya sehingga saya meyakini petualangan yang disajikan oleh Unkrich dalam Coco akan penuh dengan petualangan yang emosional.

Dirasakan cukup untuk panggung "real world" nya, Unkrich pun menyimpan kejutan untuk para penonton yang tidak menyaksikan trailer ataupun tidak mengetahui materi promosi maupun marketing film Coco. Unkrich serta para kreator Pixar telah menyiapkan panggugn yang sebenarnya yaitu dunia yang bernama The Land of Dead. Nama tersebut memang tidak indah di dengar, namun  pikiran itu hadir jika kita belum melihat bagaimana Unkrich dkk. sebenarnya menciptakan sebuah dunia yang begitu indahnya dengan segala pameran warna yang sangat memanjakan mata. Bahkan, jembatan yang ditaburi jutaan kelopak bunga Mexican Marigold saja ditampilkan sedemikian indahnya, dan mungkin jembatan ini menjadi salah satu elemen favorit saya akan film ini. Visualisasi yang tidak hanya megah namun juga membuktikan jika para kreator Pixar memiliki imajinasi yang luar biasa.

Kehebatan Pixar lainnya adalah bagaimana menyajikan sebuah cerita mengenai coming of age yang terasa dewasa, menyentuh, dan juga dekat dengan penonton, walaupun melibatkan berbagai hal yang tidak mungkin terjadi dalam dunia nyata. Coco pun memiliki hal-hal tersebut, dimana pertanyaan mengenai kapan sebenarnya manusia akan merasakan kematian yang sebenarnya di bawa ke permukaan. Jika kalian penggemar animanga One Piece, pasti kalian masih mengingat dialog yang di ungkapkan oleh Doctor Hiluluk.
When do you think people die? When they are shot through the heart by the bullet of a pistol? No. When they are ravaged by an incurable disease? No. When they drink a soup made from a poisonous mushroom!? No! It’s when... they are forgotten.
Pedih sekali rasanya jika tidak ada seseorang pun mengingat akan eksistensi kita. Sedih sekali rasanya jika keluarga kita pun tidak pernah menyebutkan nama kita dalam perbincangan di tengah keluarga. Di balik indahnya The Land of Death, terdapat sekumpulan "orang" yang terasing akibat foto mereka tidak dipajang dimanapun, salah satunya adalah Hector yang nantinya memiliki pengaruh besar dalam pencarian jawaban yang tengah dilakukan oleh Miguel. Dan bagi mereka yang juga hilang dalam ingatan orang yang masih hidup di dunia, arwah mereka pun akan hilang dari The Land of Death, yang berarti mereka telah merasakan kematian yang sesungguhnya.  Scene "the final death" yang hadir di pertengahan cerita itu saja telah menunjukkan piawainya Unkrich meramu sebuah adegan yang memiliki gabungan unsur seperti ketenangan, keindahan dan kesedihan yang tidak saya duga-duga akan datang. Dan air mata saya hampir menetes untuk karakter yang hanya hadir untuk 5 menit saja! Dan masih sempatnya pula Unkrich mampu menghadirkan momen penggelak tawa di tengah adegan yang cukup emosional tersebut.

Fondasi cerita Coco begitu kuat, sehingga twist yang hadir saat film telah menyentuh 1 jam pun tidak hanya mengejutkan dan membelokkan cerita, namun juga memiliki sebuah jawaban yang ironi. Ya, ironi karena apa yang kita harapkan dan impi-impikan dari sang idola maupun panutan tidak selamanya berjalan selaras dengan kenyataan (dan Kevin Smith memiliki pengalaman tersebut). Unkrich memperlihatkan bagaimana kejamnya dunia hiburan yang lekat dengan unsur plagiarism nya yang turut berpengaruh besar pada eksistensi seorang individu. 

Mungkin Coco tidak memiliki kisah petualangan yang hebat seperti trilogi Toy Story, Up maupun Inside Out. Tetapi petualangan mencari jati diri milik Miguel dibingkai dengan aspek emosional yang rasanya mustahil untuk tidak ikut terbawa dalam mengikuti sepak terjang Miguel. Pixar pun secara konsisten menghadirkan karakter demi karakter yang menarik, dengan Miguel sebagai penggerak roda cerita dan tentunya Hector yang menjadi favorit saya disini. Love-hate relationship hadir singkat setelah momen twistnya disertai dengan karakter tsundere dari Mama Imelda pun begitu efektif dalam memicu gelak tawa dan gemas penonton. Dilengkapi dengan lagu emosional "Remember Me", rasanya cukup mustahil pula untuk para kompetitor menyaingi kedigdayaan Coco di Academy Awards dalam kategori Best Animated Feature.


8,5/10

Sunday 18 February 2018


"But when I think of her, of Elisa, the only thing comes to mind is a poem, whispered by someone in love, hundreds of years ago:"Unable to perceive the shape of you, I find you all around me. Your presence fills my eyes with your love, it humbles my heart, for you are everywhere"-Giles

Plot

Bangun dari tidur, merebus telur, mandi (sembari masturbasi), menyiapkan diri untuk bekerja lalu bercengkerama dengan tetangga sekaligus sahabatnya, Giles (Richard Jenkins), dan akhirnya naik bus untuk tiba di tempat kerja. Begitulah setiap hari seorang Elisa Esposito (Sally Hawkins), wanita bisu yang tinggal sendiri di apartement di atas bioskop sepi, menjalani hari-harinya. Selain Giles, Elisa juga memiliki teman dekat bernama Zelda (Octavia Spencer) yang pula merupakan rekan kerja Elisa sebagai janitor di laboratorium rahasia milik Amerika Serikat. Walaupun hanya memiliki dua orang teman, namun Elisa sangat beruntung karena Giles dan Zelda begitu perhatian dan menyayangi Elisa. Bahkan Zelda senantiasa setia menanti Elisa hanya untuk sekedar mencetak absen sebelum bekerja. Hari-hari biasa Elisa mendadak berubah ketika laboratorium tempat ia bekerja kedatangan Kolonel Richard Strickland (Michael Shannon). Strickland tidak sendiri, karena ia membawa serta makhluk misterius yang ia tangkap di salah satu sungai South American.




Review

Sekedar informasi tidak penting, sebelum menyaksikan film terbaru dari Guillermo Del Toro ini, saya telah menyiapkan diri dan bersiap menerima sajian film berat ala film unggulan pihak Academy. Untuk yang belum tahu, The Shape of Water adalah film yang paling banyak menerima nominasi Oscar tahun ini dengan 13 nominasi, termasuk Best Picture, Best Director, Best Actress, hingga Best Original Screenplay. Tentu saja, The Shape of Water memiliki faktor X yang menjadikannya sebagai favorit juga untuk meraih gelar Best Picture pada perhelatan Oscar nanti. Tipikal film Oscar, tentu saja bukan selera kebanyakan orang. Segmentasi penikmat nya pun tentu terbatas, dan untuk itu pula lah saya merasa perlu untuk menyiapkan diri dan tidak berharap akan tontonan yang ringan, ringan seperti film peraih nominasi terbanyak tahun lalu, La La Land. Untungnya saya memiliki modal berarti karena sebelumnya, saya telah menyaksikan film fantasi drama milik Del Toro lainnya, yaitu Pan's Labyrinth.

The Shape of Water memang memiliki berbagai kesamaan dengan Pan's Labyrinth, seperti settingnya yang diambil pada saat perang terjadi (The Shape of Water mengambil setting dimana Amerika dan Uni Soviet masih menjalani perang dingin) dan tentu saja, kisahnya yang seperti dongeng. Bedanya, Pan's Labyrinth terasa sekali akan dark nya, walau pemeran utamanya adalah gadis kecil, sementara The Shape of Water terasa lebih ringan, mudah diikuti. 

The Shape of Water telah menyapa kita dengan sajian visual yang begitu cantik dari detik pertama, sebelum kita diajak untuk mengenal Elisa beserta dua teman terdekatnya. Seperti apa yang saya tulis di atas bila Elisa beruntung sekali mendapatkan teman sebaik Giles dan Zelda, di tengah kondisinya yang mungkin saja mendapatkan pandangan sebelah mata dari orang lain (bahkan ada satu teman kerja Elisa memanggil Elisa dengan panggilan "dummy"). Mungkin juga Giles dan Zelda mampu menerima Elisa apa adanya sebagai balasan karena Elisa pun menerima mereka tanpa memusingkan identitas mereka. Giles adalah seniman yang seolah tak dihargai. Tidak hanya itu, ia pun dilanda akan kesepian disebabkan oleh kelainan seksual yang ia miliki dan sangat ia tutupi. Sebaliknya, Zelda adalah wanita berkulit hitam yang tentu saja masih berpotensi mendapatkan perlakuan rasis, apalagi di masa perang dingin. Hubungan pertemanan ini pun menjelma menjadi satu faktor mengapa The Shape of Water lebih terasa hangat untuk dinikmati. Tak ditampik pula, ada pesan mengenai kesetaraan yang ingin disuarakan oleh Del Toro. Dan sebagai penguatnya adalah kisah Elisa lainnya yang mana ia terlibat hubungan dekat bersama makhluk yang berbeda spesiesnya dengan Elisa sendiri.

Apa yang akan Anda lakukan ketika tengah mengalami jatuh cinta? Elisa memiliki jawabannya, dengan berusaha melakukan yang terbaik demi keselamatan makhluk yang telah ia investasikan rasa sayang, bahkan cintanya. Di tengah kesederhanaan dan kekurangan yang ia miliki, ternyata terdapat kenekatan dan juga keberanian yang tersimpan di dalam diri Elisa. Dan semua itu tentu didasari oleh rasa cinta yang begitu kuat dari Elisa. Mungkin yang menjadi flaw disini adalah kurangnya fondasi ikatan yang terjalin antara Elisa dan si Amphibian Man (imdb menyebut nama makhluk tersebut dengan nama ini, diperankan oleh Doug Jones). Apa yang menjadi dasar perkenalan mereka mungkin tidak lah terlalu berkesan, apalagi menyentuh jika dilihat dari segi drama. Tetapi saya mencoba memposisikan diri seperti Elisa. Menemukan orang yang mampu menerima Anda apa adanya,  sedangkan Anda adalah seorang tuna wicara, apalagi dalam tempo waktu yang begitu singkat, tentu saja Anda akan menganggap orang tersebut adalah salah satu orang yang paling berarti dalam hidup Anda, dan Anda pun pasti akan bersedia melakukan apapun demi keselamatan orang ini. Dan itu tampaknya yang terjadi pada Elisa. Elisa tidak perduli tampilan luar The Amphibian Man, dan Elisa juga tidak perduli dengan kenyataan dimana mereka terpisah akan faktor spesies. Yang menjadi concern dari Elisa hanyalah dia telah memiliki alasan untuk menyelamatkan The Amphibian Man. Fisik tidaklah penting untuk Elisa, satu-satunya hal terpenting baginya adalah perasaannya yang ingin menolong spesies langka tersebut. Sebuah pesan kembali yang ingin disampaikan oleh Del Toro.

Sayang memang, Del Toro yang ikut dibantu Vanessa Tylor dalam menulis naskah film ini meniadakan sedikit saja mengenai kisah masa lalu Elisa. Padahal, dengan sedikit suntikan backstory, hal itu pasti sangat membantu membuat penonton mudah mengerti akan tindakan yang diambil oleh Elisa. Dan juga saya sangat penasaran mengenai luka yang ada di leher Elisa. Pastinya Del Toro pun memiliki alasan mengenai adanya luka di leher Elisa tersebut, tetapi Del Toro memilih untuk membiarkan misteri tersebut tidak terjawab hingga film berakhir. Mungkin saja ada jawabannya, namun subtil dan tidak tertangkap oleh saya. 

Setelah melihat penampilan Sally Hawkins sebagai Elisa, mudah mengerti mengapa Del Toro hanya menginginkan Hawkins untuk memerankan Elisa. Lihatlah bagaimana Hawkins mampu membuat sosok Elisa begitu anggun dengan absennya aksesoris ataupun atribut mewah yang ia kenakan. Hanya pakaian normal seorang janitor atau pakaian biasa saja, Hawkins mampu menyulap seorang Elisa benar-benar tampak seorang putri. Del Toro menginginkan sosok Elisa menjadi "cantik" dengan cara tersendiri, dan Hawkins tentu saja telah mewujudkan keinginan Del Toro tersebut. Memerankan satu karakter tuna wicara sudah barang pasti bukanlah pekerjaan yang mudah untuk seorang aktor. Tetapi Hawkins juga bukanlah aktris kemarin sore. Dengan kebisuannya, kita bisa merasakan berbagai rasa yang dialami Elisa, seperti kala ia senang saat menyaksikan acara di tv, kecemasan yang melanda, ataupun rasa marah yang tertahan di dalam hati dan hanya bisa ia ungkapkan dengan bahasa isyarat (salah satu momen terbaik dalam film ini). Muka innocent yang setiap kali Hawkins pancarkan pun rasanya membuat kemungkinan penonton mendekati 0% untuk tidak mendukung setiap tindakan Elisa, walaupun sesekali ada-ada saja kelakuan "iseng" dari Elisa yang mampu membuat saya tersenyum. Richard Jenkins dan Octavia Spencer mampu mengimbangi akting dari Hawkins dengan baik karena mereka sama sekali tidak tenggelam kala harus bersanding dengan Hawkins. Terutama Spencer yang senantiasa menawarkan aroma ceria di setiap kemunculannya berkat kharisma yang hangat darinya, sehingga saya cukup menantikan kehadirannya. Momen kala ia mengomentari akan "kejadian" yang dialami Elisa saja rasanya telah cukup menjadi alasan yang kuat mengapa ia mendapatkan nominasi Oscar di kategori Best Supporting Actress.

The Shape of Water pun memiliki berbagai adegan yang cukup memicu adrenalin. Terutama setengah jam mendekati akhir. Jujur saja, ketegangan yang ada di dalam The Shape of Water tidak ada yang spesial, bahkan tidak ada yang bisa mencapai titik optimal, atau mengganggu kenyamanan penonton. Dan disitulah fungsi kehadiran Michale Shannon sebagai villain yang intimidatif dalam film ini. Bukan sesuatu hal yang baru untuk Shannon, tetapi jelas apa yang ditampilkannya disini telah lebih dari cukup dan adegan saat ia mengancam di menit-menit akhir benar-benar menjadi showcase Shannon dalam menunjukkan dirinya sebagai pemeran antagonis.

Sayangnya, The Shape of Water jelas bukanlah film yang mampu menjangkau segmentasi penonton dengan luas. Pada menit-menit awal harus saya akui, The Shape of Water belum lah terlalu mengikat, walau pun tidak sampai hingga ke taraf yang membosankan. Dialog-dialog yang terlontar dari karakter pun tidak ada yang terlalu berkesan, walau memang tampaknya Del Toro memfokuskan pada kekuatan bernarasi lewat visualnya, bukan lewat bertutur kata. Barulah ketika film mulai jelas arah konfliknya akan seperti apa, The Shape of Water mulai menunjukkan taringnya, dan itu tetap terjaga hingga durasi menyentuh detik akhir. Oh, mengenai sinematografinya, rasanya tidak perlu saya jelaskan karena pada detik-detik awal saja, Dan Laustsen telah membuat Anda terpana dengan begitu detil dan indahnya akan dunia "bawah air" yang tampak di layar. Apalagi shot terakhir yang tampaknya hampir pasti Laustsen akan mendapatkan Oscar pada Maret mendatang di kategori Best Cinematography.

8/10

Saturday 17 February 2018




"What happens now determines what happens to the rest of the world"- T'Challa

Plot

Paska kematian sang ayah, T'Challa (Chadwick Boseman) otomatis maju menggantikan posisi sang ayah nya sebagai raja. T'Challa pun kembali ke Wakanda untuk menghadiri acara pelantikan yang disaksikan oleh sang ibu, Ramonda (Angela Bassett) dan Shuri (Letitia Wright) yang merupakan adik dari T'Challa, serta diikuti pula oleh berbagai kepala suku, diantaranya adalah W'Kabi (Daniel Kaluuya) yang bertugas melindungi Wakanda dari perbatasan. Mendadak harus mengisi posisi tertinggi dalam suatu negara jelas bukan hal yang mudah untuk T'Challa, apalagi dengan pikiran serta prinsipnya yang masih terbilang naif untuk mengisi jabatan tersebut. Belum lagi, tanpa disadari T'Challa, ada ancaman besar yang akan menjadi salah satu ujian awal sekaligus mungkin terberat untuk T'Challa. Ancaman tersebut bernama Erik Killmonger (Michael B. Jordan), mantan penduduk Wakanda yang berkaitan erat dengan masa lalu dari raja pendahulu T'Challa. Konflik personal yang bisa mengancam eksistensi Wakanda.




Review

Rasanya menghadirkan Black Panther pada Captain America: Civil War dua tahun lalu merupakan salah satu strategi marketing pintar yang dilakukan oleh Marvel. Setidaknya, dengan hadirnya Black Panther di dalam film terbaik MCU sejauh ini tersebut memberikan alasan penonton untuk menyaksikan film stand alone dari Black Panther ini. Pintar karena proyek Black Panther menurut saya memiliki risiko yang cukup tinggi. Dengan setting yang mencerminkan negara di suatu pulau Afrika, belum lagi membicarakan mengenai elemen-elemen budaya yang kental akan Afrika nya, jelas tidak semua penonton kasual yang terbiasa akan hal tersebut, walaupun film itu termasuk dari MCU yang notabenenya adalah proyek universe terbaik dan tersukses saat ini. Ditambah dengan para aktor-aktor nya yang masih cukup asing buat penonton. Untungnya dengan pemilihan aktor yang tepat, juga penampilan debut Chadwick Boseman sebagai Black Panther di Civil War yang meninggalkan impresi positif untuk penonton, film stand alone ini pun cukup dinantikan oleh penonton. Terbukti dengan rekor-rekor pendapatan yang diraih setelah baru saja rilis di bioskop. Lalu, apakah memang Black Panther begitu spesial seperti apa yang didengungkan oleh para kritikus?

Best MCU movie so far. Saya membaca kalimat tersebut dari twit seseorang yang dipost dalam website WhatCulture. Mencari info, apalagi review di internet bagaikan dua mata pisau untuk saya. Di satu sisi, kita bisa setidaknya tahu sedikit mengenai film yang akan kita tonton sehingga kita bisa mengantisipasi seperti apa film yang akan kita saksikan, namun di sisi lain, akan lahir ekspektasi setelah membaca review yang ada, terlebih jika pujian demi pujian yang dilontarkan. Hal ini berbahaya dan berisiko. Tidak masalah jika filmnya memang memenuhi ekspektasi, namun akan menjadi bumerang jika malah film tersebut sedikit saja di bawah apa yang kita harapkan. Kekecewaan serta kata "overrated" secara otomatis terlontar dari mulut. Dan sayangnya, itulah yang saya alami setelah menyaksikan Black Panther. It's still a decent, but if someone said this is the best movie of MCU so far, well, I have to disagree.

Tidak ada rasa baru sebenarnya dari film yang disutradarai oleh Ryan Coogler ini. Bahkan, cerita dasar yang dimiliki Black Panther sedikit mirip dengan film MCU sebelumnya yaitu Thor: Ragnarok. Namun menjadi hal yang menarik karena jika dalam cerita Thor: Ragnarok murni hanyalah kisah pembalasan dendam, tetapi di Black Panther, terdapat isu-isu yang juga terjadi dalam dunia nyata, yang menjadikannya terasa realistis walaupun setting kejadiannya terjadi di negara fiksi. Dengan kondisi mengisolasikan diri dan seolah memutus hubungan dengan negara-negara lain pula memicu konflik pertanyaan di benak. Apakah yang telah dilakukan raja-raja Wakanda sebelumnya itu memang keputusan yang tepat? Bukankah dengan sumber daya alam yang begitu luar biasa tersebut bisa dijadikan hal yang sangat membantu untuk negara-negara miskin yang masih banyak di luar sana? Pertanyaan yang memiliki jawaban sederhana, jika kita tidak mengetahui bagaimana negara-negara adidaya (you know what country I mean) yang seenaknya saja menginvasi negara kaya pemilik sumber daya alam. Hal ini yang menurut saya salah satu kelebihan yang dimiliki Black Panther. 

Dari segi aksinya, Coogler terlihat piawai sekali dalam menanganinya. Tentu yang paling menonjol adalah keributan yang terjadi di suatu wilayah Korea Selatan. Pertarungan di dalam bar, dimana Coogler sempat membingkainya dengan long take yang cukup panjang, hingga berlanjut ke dalam car chase yang tidak hanya mendebarkan, tetapi juga luar biasa menghibur. Tradisi "challenge" nya sendiri pun tidak ada yang mengecewakan, terutama tentu saja fighting scene antara T'Challa dan Killmonger di pertengahan yang menegangkan karena kita sulit untuk mengetahui siapa yang akan memenangkan pertarungan adu jotos tersebut. Sayang memang, pada adegan aksi terakhirnya tidak bisa meninggalkan kesan yang sama, walaupun melibatkan ruang lingkup yang cukup besar dimana ada 3 adegan aksi yang terjadi bersamaan, namun tetap mampu menghibur penonton, setidaknya untuk saya.

Black Panther pun memiliki salah satu elemen yang cukup jarang kita temukan di MCU, yaitu villain yang meninggalkan kesan mendalam, dan ya,  Erik Killmonger adalah salah satu villain terbaik dalam MCU. Killmonger bukanlah "bad guy" yang motivasinya murni ingin merebut tahta dan menguasai Wakanda. Motivasinya jelas lebih dari itu, dan setelah mengetahui kisah hidupnya, susah bagi saya untuk menyalahkan Killmonger. Coogler menyuntikkan motivasi yang begitu humanis terhadap Killmonger. Sejatinya, dia tidak jauh berbeda dengan T'Challa. Ia ingin menciptakan dunia tanpa perperangan, namun lain halnya dengan T'Challa, Killmonger telah merasakan pahit dan kejamnya kehidupan dengan senantiasa turut serta di berbagai dunia perang, yang jelas saja turut mempengaruhi bagaimana ia memandang kehidupan. Belum lagi kita menyentuh ke ranah motivasi personal nya yang tragis.


Michael B. Jordan sempurna dalam menunaikan tugasnya sebagai Erik Killmonger. Kehadirannya jelas menciptakan atmosfir yang intimidatif, tetapi ia juga bisa memerankan adegan yang ikut mengikutsertakan emosi. Saking bagusnya penampilan Jordan, tidak jarang ia sedikit menenggelamkan kehadiran Chadwick Boseman ketika tampil satu layar. Padahal Boseman tidak lah bermain dengan buruk. Mungkin karena memang karakter Killmonger jauh lebih compelling dibandingkan T'Challa. 

Nah, mengenai T'Challa, saya sedikit kecewa bagaimana karakternya dihadirkan disini. Apa yang dihadirkan disini rasanya tidak jauh berbeda dengan pahlawan DC, siapa lagi kalau bukan Superman. Keduanya memiliki kenaifan dalam memandang dunia dan one dimensional, hanya berbeda dari sumber kekuatan mereka berdua (ditambah jelas, mereka diciptakan dari dua publisher komik yang berbeda). Lucu sekali jika ada yang mengkritik karakter Superman, tetapi membela Black Panther yang bagi saya tidaklah jauh berbeda jika ditilik dari prinsip mereka. Mengapa mengecewakan karena saat Black Panther melakukan debut di Civil War, dirinya berpotensi sekali menjadi pahlawan vigilante serta berbumbu antihero ala Batman, walau harus diakui, kesan badass Black Panther masih melekat dalam dirinya, tetapi itu pun berkat desain kostumnya serta karisma dari Boseman.

Drama yang hadir dalam Black Panther pun entah kenapa terasa flat. Terutama adegan "itu", sebuah adegan yang sebelumnya juga hadir dalam The Dark Knight Rises. Saya dibuat terdiam dan tak mampu melihat layar ketika adegan tersebut hadir dalam TDKR, namun hal tersebut tidak saya rasakan dalam Black Panther. Bahkan pada saat momen kebangkitan pun, tidak ada sorakan yang hadir. Adegan yang harusnya membuat penonton senang dan tidak sabar ingin melihat bagaimana Black Panther kembali beraksi, malah terasa hambar dan terkesan lewat saja. Mungkin hal ini terjadi karena penonton belum terlalu terikat dengan Black Panther, dan setelah melihat bagaimana karakternya sendiri dalam film ini, hal tersebut tidaklah terlalu mengejutkan.

Black Panther jelas memiliki potensi menjadi film terbaik dalam MCU, dengan isu politik di dalamnya, singgungan terhadap Amerika Serikat, serta hadirnya villain yang berkesan disertai motivasinya dalam membalas dendam. Black Panther juga didukung dengan adegan aksi yang menghibur, karakter-karakter yang cukup menarik (terutama Shuri) beserta jajaran aktor nya yang telah melakukan tugas dengan baik. Namun sayangnya, potensi tersebut sedikit tertahan dengan ceritanya yang minim improvisasi sehingga kita dengan mudah menebak apa yang telah dan akan terjadi, serta karakter T'Challa yang one dimensional dan dramanya yang terasa hambar, membuat saya harus mengakui jika Black Panther sedikit overrated dengan segala sanjungannya (mendapatkan 97% di Rotten Tomatoes?? WTF??). Bagus, tetapi tidak terlalu berkesan.

7,25/10

Saturday 10 February 2018


"When you know death comes soon, you look around things more close"-Ngoc Lan Tran 

Plot

Kehidupan menjelang senja untuk Paul (Matt Damon) dan Audrey (Kirsten Wiig) tidak lah selancar yang mereka bayangkan. Dihimpit kesulitan finansial dan merasa tertekan dengan kehidupan yang terlampau biasa-biasa saja, memaksa Paul untuk memikirkan program "downsizing" demi mendapatkan kehidupan yang setidaknya jauh lebih ringan seperti bobot berat badan manusia ketika mereka telah dikecilkan dari ukuran semula mereka. Mengenai program Downsizing, Downsizing adalah program yang ditemukan oleh Dr. Jorgen Asbjornsen (Rolf Lasgaard) yang bisa mengecilkan tubuh manusia hingga hanya 5 inci saja. Program ini diniati Jorgen untuk mengatasi masalah over populasi di bumi yang kini menjadi permasalahan kehidupan manusia dalam menjaga eksistensi spesies mereka.




Review

Probema mengenai angka populasi yang terus bertambah di muka bumi tampaknya menjadi isu permasalahan yang benar-benar diperhatikan oleh dunia, terutama Amerika Serikat, mungkin. Karena dalam tahun 2017, setidaknya telah ada dua film yang mengangkat dengan permasalahan yang sama, yaitu What Happened to Monday dan satu lagi Downsizing yang muncul di akhir tahun di negara Amerika Serikat. Kedua film tersebut memiliki persamaan lainnya yaitu konsep dasar cerita yang begitu menggugah selera. Dalam What Happened to Monday, sang sutradara, Tommy Wirkola, menjadikan keparnoan dunia akan kelebihan angka populasi dengan mengambil keputusan ekstrim, yaitu tidak memperbolehkan warga dunia untuk memiliki lebih dari satu anak. Sedangkan Downsizing jauh lebih menarik dan absurd, dengan mengecilkan ukuran tubuh manusia untuk pula menekan segala kebutuhan manusia dan berharap sumber daya alam tetap terus ada hingga beberapa ratus tahun kedepan. Yang membuat Downsizing jauh lebih menarik atensi adalah ada nama Alexander Payne di kursi sutradara. Ya, Payne yang juga telah saya saksikan karyanya seperti The Descendants dan Sideways . 

Dua karya yang saya sebutkan di atas memiliki persamaan sekaligus juga signature atau keahlian sutradara, yaitu mengambil cerita akan kehidupan para pria yang tengah menginjak usia senja. Downsizing pun juga memiliki unsur tersebut. Bagaimana Paul yang ingin sekali menjalani kehidupan dengan tenang tanpa harus pusing tujuh keliling memikirkan keuangan yang terus menerus menjadi permasalahan, akhirnya mengambil keputusan yang paling ekstrim dalam hidupnya dengan mengecilkan tubuhnya dan berharap keputusan tersebut membawa dirinya serta sang istri, Audrey, mendapatkan apa yang mereka inginkan. Nama Payne yang sudah jelas menjadi jaminan, disokong pula beberapa aktor ternama yang terlibat (selain Damon dan Wiig, ada juga Christopher Waltz dan Jason Sudeikis), Downsizing sudah barang tentu dinantikan oleh penikmat film dan diharapkan memiliki hasil akhir memuskan. Namun sayangnya, langkah blunder dalam segala urusan marketing, promosi, terutama trailernya, malah membuat Downsizing menjadi hasil yang mengecewakan untuk sebagian besar penonton.

Saya tidak terlalu memiliki masalah dengan Downsizing karena saya cukup menikmati dan menyukainya. Teman-teman saya yang menonton bersama saya pun memiliki pendapat yang sama. Downsizing begitu menghibur bila ditilik dari komedi berkat Payne yang sadar akan timing, juga cara komedi yang betul-betul tidak disangka. Saya pun menyukai keputusan Payne yang turut dibantu Jim Taylor dalam urusan naskah begitu detil dalam menyiapkan segala urusan mengenai program "downsizing" nya. Ada mungkin dalam durasi kurang lebih 5 menit, Payne memperlihatkan bagaimana program "downsizing"-nya dilakukan secara perlahan namun berhasil memukau saya. Belum lagi twist kecil yang terjadi di pertengahan narasi yang tidak hanya membuat kita begitu bersimpati terhadap Paul, namun juga di sisi lain berhasil memecahkan gelak tawa penonton, setidaknya bagi saya dan teman-teman saya. 

Then, where it went goes wrong after promising build up story? Hal dasar dalam permasalahan setiap kali menonton, yaitu ekspektasi, terutama bagi mereka yang lebih dulu menyaksikan trailer dari film ini. Mungkin karena saya bukanlah tipe penonton yang tidak terlalu menyukai menonton trailer sebelum menonton, jadinya saya tidaklah terlalu dikecewakan oleh Downsizing, bahkan mungkin saya menyukai hasil akhir dari karya Payne ini. Namun, saat saya melihat beberapa review yang menyatakan kekecewaan mereka, sebagian besar mengungkapkan jika trailer dari Downsizing sangat menipu. Dan ketika saya melihat trailernya, yah, sulit juga untuk menyalahkan mereka karena pada trailernya, sama sekali tidak diungkapkan jika permasalahan yang ingin diangkat Payne dalam Downsizing ternyata begitu luas, serta tidak hanya berpusat pada konsep dasar.

Memang, berbagai isu atau kritik sosial dihadirkan Payne dalam Downsizing. Ketimpangan orang kaya-miskin (atau lebih tepatnya orang terpinggirkan) yang mendapatkan pelayanan yang berbeda, bencana-bencana global, hingga bahkan kisah bertahan hidup dan menghindari kepunahan ala Nabi Nuh pun diikutsertakan oleh Payne. Apakah keputusan tersebut salah? Tidak, jika memang di dalam trailer sedikit saja disebutkan akan ambisi penceritaan dari Payne juga Taylor ini. Tetapi tampaknya sebagian besar penonton yang menyaksikan Downsizing, setidaknya di wilayah Amerika Serikat sana yang memiliki jadwal tayang Downsizing berdekatan dengan hari Natal, tidak mengharapkan akan penceritaan yang cukup berat nan kompleks ini. Bahkan saya juga satu pendapat bagi mereka yang merasa jika di narasi terakhir, Downsizing seolah sedikit menjauh dari konsep dasarnya. Tentu Payne memiliki maksud tersendiri, tetapi narasi tersebut datang dengan secara tiba-tiba dan penonton, termasuk saya pun, tidak bersiap-siap akan permasalahan tersebut. 

Apakah keputusan yang bisa dibilang ambisius dari Payne tersebut keliru? Tidak juga. Saya mungkin lebih menyalahkan pada pihak yang bertanggung jawab dalam menyajikan trailer nya yang seolah-olah terlalu menutup rapat akan penceritaan secara luasnya. Boleh saja menyimpan sesuatu yang dirasa merupakan salah satu elemen penting dalam film, namun, hal itu tidak berlaku jika elemen cerita tersebut telah menjauh dari konsep dasarnya. Penonton yang melihat trailernya lebih dulu sebelum memutuskan akhirnya menonton film ini tentu mengekspektasikan bagaimana Payne memperluas cerita dengan tetap berdasarkan dasar cerita nya. Mungkin akan lebih baik jika saja Payne lebih mengeksplor cemburu sosial di antara kaum manusia berukuran normal dan kecil. Bahkan hal itu sempat tersentuh dalam dialog Paul beserta kolega dengan salah seorang pelanggan di bar.

Di tengah berbagai permasalahan yang dimiliki Downsizing, ada satu cahaya yang tampaknya memuaskan semua penonton, yaitu penampilan mengejutkan dari Hong Chau yang berhasil mendapatkan nominasi Golden Globe untuk kategori Best Performance Actress in a Supporting Role. Hong Chau yang memerankan karakter Ngoc Lan Tran tampil begitu natural, serta logat Thailand (atau Vietnam, saya tidak bisa membedakan, maaf) nya yang begitu kental sembari tetap melontarkan kalimat bahasa Inggris dan juga kepolosannya tentu mudah sekali untuk mencuri perhatian penonton. Dan yang lebih hebat lagi, dirinya tetap bersinar benderang walaupun ia tengah dikelilingi aktor-aktor berpengalaman yang telah begitu banyak mendapatkan penghargaan, bahkan Christopher Waltz yang telah meraih 2 Oscar sejauh ini saja tidak sanggup mengalahkan star power dari Hong Chau. Relasi antara Ngoc Lan Tran dengan Paul pun disajikan begitu manis oleh Payne. Terasa begitu natural saat Payne membangun hubungan ini secara perlahan, dari Paul yang memiliki background sebagai terapis dalam merawat kaki Ngoc Lan Tran, hingga Paul membantu Ngoc Lan Tran dalam menjalankan tugas bersih-bersih setiap rumah (Momen ketika Lan Tran menyuruh-nyuruh Paul ketika bekerja mungkin adalah salah satu momen terbaik dalam film ini. Rakyat Vietnam tentu setuju dengan saya). Tidak sulit untuk mendukung kisah percintaan yang terjadi di antara mereka.

Sayang sekali memang keinginan ambisius Payne malah menjadi boomerang untuk Downsizing akibat trailer nya yang cukup misleading. Bila saja trailernya disajikan dengan sedikit terbuka, tidak terfokus pada program "downsizing" saja, mungkin tidak terlalu banyak penonton yang merasa kecewa karena merasa dibohongi setelah melihat secara keseluruhan Downsizing. Tetapi bagi saya, ini tetaplah film yang menghibur dan tidak membosankan walau durasinya menyentuh 2 jam lebih. Untuk kalian yang baru mendengar film ini, saran saya jangan menonton trailernya dulu. Tonton filmnya dahulu, lalu jika kalian penasaran seperti apa trailernya, saksikan setelah menonton filmnya. You'll be glad if you did.

7,25/10

Wednesday 7 February 2018


"What if, this is the best version (of me)"- Christine "Lady Bird" McPherson

Plot

Keinginan untuk hidup bebas dan melakukan apa yang kita harapkan begitu membuncah kala remaja. Hal itu pun terjadi pada gadis remaja SMA berambut merah, Christine McPherson (Saoirse Ronan) atau lebih memilih dipanggil dengan nama panggilannya Lady Bird, yang mana ia ingin sekali merasakan kehidupan di luar Sacramento. Ia pun memiliki impian untuk bisa mengenyam dunia pendidikan di kota New York. Namun, mimpinya tersebut terhalang oleh sang ibu, Marion McPherson (Laurie Metcalf), dengan alasan berupa himpitan ekonomi serta mencemaskan keselamatan putri satu-satunya tersebut. 



Review

Mungkin saya berlebihan, tetapi menurut saya, Ronan sekarang berada di jalur yang tepat untuk bisa dikatakan sebagai penerus dari aktris legendaris, Meryl Streep. Bayangkan, walaupun ia tidak disinari dengan hingar bingar Hollywood layaknya Jennifer Lawrence, Ronan yang masih berusia 23 tahun ini terus memukau penikmat film dengan penampilannya yang tampaknya tidak pernah mengecewakan. 3 nominasi Oscar (2 di kategori Best Actress yaitu Brooklyn dan Lady Bird, dan 1 lainnya adalah Best Supporting Actress saat ia membintangi The Atonement ketika ia masih berusia 13 tahun) telah ia kantongi, bahkan ia baru saja berhasil menyabet gelar Best Actress for Motion Picture Musical or Comedy di ajang Golden Globe Award. Bila Ronan terus pintar memilih peran selanjutnya, dan tidak mengulangi kesalahannya kala memutuskan untuk terlibat di proyek The Host pada 4 tahun lalu, dengan segala modal yang ia miliki, Ronan pasti memiliki masa depan yang cerah dalam karirnya sebagai aktris. 

Dalam karya debut Greta Gerwig, Ronan kembali memukau lewat perannya sebagai gadis remaja yang dipenuhi dengan mimpi serta jiwa memberontak yang sulit dikendalikan. Dengan segala kepribadian yang labil dalam diri Christi, eh, si Lady Bird, bisa saja dirinya malah menjadi tidak disukai atau bahkan jatuhnya memuakkan bagi penonton. Tetapi, Gerwig tepat sekali dalam memberikan peran Lady Bird untuk Ronan. Rasanya hampir mustahil untuk tidak menyukai sang Lady Bird ketika Ronan begitu menyatu dengan karakternya. Ronan sukses memberikan suntikan "hati" terhadap karakter Christine, sehingga penonton bisa merasakan keterikatan dengan karakter serta semua keinginannya yang meledak-ledak. Walau memang tidak terlalu spesial, tetapi nominasi Oscar tentu layak diberikan kepadanya, walau sekali lagi, Ronan sulit untuk memenangkannya. Ronan pun mendapatkan "perlawanan" setimpal dari aktris senior, Laurie Metcalf, yang memerankan karakter sang ibu dari Lady Bird.

Marion bagaikan representatif dari sebagian besar seorang ibu di dunia yang mengkhawatirkan perkembangan anak kandungnya kala mulai menginjak di usia remaja. Marion memilih memberikan kasih sayang terhadap Christine dengan sikap yang tegas, memberikan peraturan yang cukup ketat, dan membatasi tingkah pola sang anak. Tanpa ia sadari, pilihannya tersebut malah dirasakan Christine begitu mengekang akan segala keinginannya yang sangat luas. Namun, kita pun menyadari, Marion memilih melakukan hal tersebut berdasarkan alasan yang kuat, seperti ia harus menghadapi sulitnya perekonomian dengan menjadi tulang punggung utama dalam keluarganya ketika sang suami, Larry McPherson (Tracy Letts), kehilangan pekerjaannya. Setting nya yang terjadi pada tahun 2002 pun menurut saya juga menjadi satu faktor tambahan bagi Marion yang sangat mengkhawatirkan keselamatan putri satu-satunya tersebut (Remember 9/11, anyone?). Dan Metcalf berhasil menunaikan tugasnya dengan fantastis. Di satu sisi ia berhasil memerankan Marion yang keras terhadap Lady Bird, tetapi penonton masih bisa merasakan pancaran kasih sayang seorang Marion terhadap putrinya lewat ekspresi yang dikeluarkan Metcalf. Puncaknya terjadi kala tangisnya membuncah di adegan terakhir. Berhasil memaksa saya mengucurkan sedikit air mata karena teringat ibu saya yang 11-12 seperti Marion dalam memberikan rasa kasih sayangnya kepada saya saat remaja.

Persis seperti nama panggilannya, Lady Bird, Christine bagaikan seekor burung yang selama kehidupannya berada di dalam sangkar. Sangkar tersebut bernamakan Marion, yang tidak lain tidak bukan adalah ibu kandungnya sendiri. Tentu setiap manusia ingin merasakan kebebasan, begitupun dengan Christine. Dengan gaya penyutradaraan yang bisa dibilang mengingatkan kita pada Richard Linklater dengan Boyhood nya, Gerwig mengajak kita berkenalan dan mengikuti keping demi keping kehidupan Christine di masa sekolahnya yang tidak lama lagi akan berakhir. Bedanya, naskah yang ditulis pula oleh Gerwig ini berfokus hanya pada kehidupan sekolah Christine pada masa SMA saja yang memberikan keleluasaan pada Gerwig untuk perlahan-lahan dalam membangun konfliknya serta pembangunan karakter, terutama terhadap Christine dan Marion. Kesulitan dalam mata pelajaran, hobi yang dijalankan, konflik bersama teman terdekat, jatuh cinta terhadap lawan jenis, serta tidak lupa koneksi dengan keluarga, semuanya dimasukkan Gerwig dalam film yang berdurasi 92 menit ini. Sebab itu lah mungkin Gerwig menyajikan Lady Bird dengan membaginya layaknya keping puzzle

Hanya saja memang, untuk mereka yang belum terbiasa dengan film drama minim konflik, Lady Bird mungkin cukup sulit untuk membuatmu segera terikat di menit-menit pertama. Ditambah lagi jika kalian tidak memiliki cukup alasan untuk mengikuti Lady Bird hingga akhir. Gerwig telah menocba untuk menyiasati problema tersebut dengan memberikan adegan perdebatan antara Christine dan Marion, tetapi tampaknya hal itu belum cukup. Sehingga bisa dimengerti jika ada penonton yang jatuhnya tidak puas dan menganggap Lady Bird adalah sajian yang overrated

Dalam debut nya sebagai sutradara maupun penulis naskah, tampaknya Gerwig berbakat dalam hal menyajikan adegan yang mengandung kental akan unsur drama dan komedi. Gerwig tidak menyajikannya secara berlebihan, semuanya berjalan natural namun bukan berarti tidak bisa membuatmu mengalirkan air mata. Contoh terbaik salah satunya adalah obrolan Christine dan Marion di depan fitting room yang awalnya saya merasakan kelucuan, namun tiba-tiba secara outta nowhere, adegan tersebut bisa membuat saya merinding ketika Christine menanyakan apakah sang ibu menyukai dirinya. Obrolan Christine bersama ibu guru yang sebelumnya sempat ia kerjai pun mengandung makna yang cukup dalam. Belum lagi saya membahas 15 menit terakhirnya yang begitu menyentuh titik terlemah saya. Pada unsur komedi pun, Gerwig sukses membuat saya tertawa beberapa kali, bahkan pada satu adegan yang seharusnya tidak saya tertawakan, seperti tragedi yang dialami Christine di toilet laki-laki dan usaha berbohong Christine terhadap teman barunya ketahuan.

Well, maybe Lady Bird is not for everyone, tetapi jika kalian memiliki kisah remaja yang sedikit banyak mirip seperti Christine, dan juga kalian adalah perantauan yang tengah mengalami kerinduan akan kampung halaman dan terutama orang tua, Lady Bird akan memuaskan kalian, bahkan kalian akan merasakan rasa haru saat Lady Bird berakhir. Saya sendiri hanya menghela nafas panjang ketika Lady Bird menutup tirainya, dan berharap sekali memiliki keberanian untuk bisa menghubungi ayah-ibu saya, seraya mengatakan kalimat sederhana "I miss you".

8,5/10

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!