Tuesday 29 October 2019

The Dark Knight will always remain my favorite movie of all time. Jika Anda ingin mengkritik film ini di depan saya, maka mohon pikir ulang jika Anda tidak ingin berdebat panjang dengan saya, because I love this movie 'till I die. Berkat The Dark Knight, tumbuh rasa cinta terhadap dunia film. Muncul keinginan untuk mempelajari lebih dalam mengenai dunia perfilman, dan meskipun saya gak punya keberanian untuk self proclaimed jika saya telah pintar menilai suatu film, namun setidaknya saya mampu untuk mengapresiasi lebih sebuah film sehingga bisa menangkap lebih teliti kala menonton nya. Karena itu lah, 6 tahun lalu, di bulan yang sama, saya tergerak untuk membuat blog pribadi sebagai wadah untuk sharing mengenai penilaian saya mengenai suatu film. Ya, awalnya sih dalam blog ini, saya hanya ingin mengulas ulang film saja, namun berpikir kembali jika saya punya ketertarikan lebih pada media hiburan lainnya, seperti musik juga anime atau manga. Dunia wrestling pun juga sebenarnya ingin saya ulas disini, tetapi karena tidak terlalu mengikuti secara rutin, saya pun mengurungkan niat ini, walaupun mungkin saja kedepannya, saya tergerak untuk membahas nya disini. Dan ditambah pula kalimat per kalimat dalam blog ini adalah pendapat subjektif saya, maka akhirnya saya menamakan blog ini My Style, My Words. Dengan tulisan pertama saya adalah The Dark Knight, dimulailah perjalanan saya untuk ngeblog di internet.


Jujur saja, menumpahkan semua pikiran dan pendapat ke dalam bentuk tulisan jelas bukanlah pekerjaan yang gampang. Terbukti, di awal-awal tulisan saya di blog ini, bisa Anda temukan betapa medioker nya saya dalam menyusun kalimat. Walau hingga saat ini saya masih merasa banyak kekurangan, namun saya cukup pede sih jika saya telah mengalami peningkatan dibanding di masa awal. Berikut salah satu kalimat yang saya susun dimana jika saya baca sekarang membuat saya malu setengah mati,

Film dibuka dengan sekelompok perampok yang akan merampok bank (ya iyalah,namanya jg perampok :D)
........
#cringeworthymoment

Yahhh, harap dimaklumin ya, namanya juga awal mula. Toh, untuk memulai sesuatu kita harus berani jelek terlebih dulu. Radiohead pun sebelum menghasilkan musikal jenius pada album Ok Computer atau Kid A juga harus mengawali debut mereka dengan album Pablo Honey, yang sering dianggap sebagai album terburuk dalam perjalanan karir musik Radiohead. 

Selama ngeblog, banyak yang saya pelajari. Selain kematangan dalam menulis, satu dari sekian banyak hal yang saya pelajari adalah pentingnya konsistensi, dan ini saya merasa masih kurang banget. Konsistensi bagi saya berkaitan erat dengan kerajinan, ketekunan dan tekad yang kuat untuk memulai. Penyakit saya adalah poin ketiga. Sering sekali saya setelah menonton film, ada keinginan untuk sharing di blog, tapi ketika sudah depan laptop, rasa malas muncul dan keinginan tinggal lah keinginan. Periode terparah saya ketika rasa malas benar-benar menguasai adalah tahun 2015. Terbukti dari sedikitnya postingan yang saya hasilkan pada tahun itu. Bahkan rasanya mungkin saya udah lupa tuh kalo saya punya blog pada tahun itu. Pertengahan 2016 pun juga saya sempat absen 4 bulan untuk kembali nulis disini, disebabkan rasa malas, juga mengenai perihal masalah dalam kehidupan pribadi yang benar-benar menguras tenaga serta emosi. Ah, tahun 2016. One of the worst year I ever had.

Tahun 2017 hingga tahun ini saya mencoba untuk kembali konsisten. Terutama tahun 2017, dimana menjadi tahun yang paling aktif saya ngeposting. Gak nyangka juga sih sampe bisa ngeposting lebih dari 70 tulisan. Relatif sih, tapi bagi saya pribadi, angka itu udah luar biasa. Memang di tahun 2018 dan tahun ini tulisan saya kembali sedikit karena disebabkan budget yang kembali menipis. Tapi semangat untuk ngeblog hingga sekarang masih belum padam, bahkan terus menambah. Semoga konsistensi ini bisa saya pertahankan ya. Mengingat di akhir tahun ini dan tahun depan, banyak film-film yang saya nantikan, terutama Bad Boys 3: For Life yang akan dirilis di awal tahun 2020.  

Ah, bicara soal budget, sebenarnya salah satu keinginan saya adalah saya bisa menghasilkan uang lewat blog ini. Ya, siapa tahu kan bisa gitu, untuk modal nonton film di bioskop aja lumayan. Ya masa cuma ngandelin download film bajakan terus, kan gak baik, lol. Tapi hingga saat ini, setiap kali melihat pendapatan di adsense rasanya miris dan sedih pengen nangis karena masih sedikitnya traffic yang ada. Lalu, kalo gak mendapatkan keuntungan sama sekali, kok masih pengen ngeblog sih?



Pembaca. Ya, terdengar klise sih memang, tetapi walaupun sedikit, namun ketika melihat ternyata ada saja visitor yang mau membaca, bahkan meninggalkan komentar, rasanya ada kebanggaan tersendiri. Postingan Berserk menjadi favorit saya karena saya gak nyangka jika tulisan tersebut bisa mengundang banyak pembaca dan komentar. Hingga sekarang, tulisan saya tersebut masih menjadi postingan saya yang paling populer dalam blog ini. Untuk Anda, siapa saja yang sering mengunjungi blog gak penting ini, saya mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya. Berkat Anda lah, semangat saya untuk terus menulis dalam blog ini terus terjaga. 1 pembaca sangat berarti untuk saya. Sekali lagi, terima kasih. 

Oh ya, dalam kesempatan ini, saya ingin shout out untuk dua blogger inspirasi saya. Yang pertama adalah Mbak Niken, blogger mengenai review film yang pertama kali saya kunjungi dan berhasil membuat saya betah akan kenyinyiran nya serta betapa lugas nya ketika mengulas film. Meski selera kami gak selalu sama (review nya mengenai film Joker berhasil bikin geram, lol), tetapi ada daya mistis sendiri di setiap kata-kata yang ia tulis sehingga walaupun postingannya panjang, tapi saya betah aja gitu untuk baca hingga akhir. Lalu, blogger kedua, dan ini secara tidak langsung udah saya jadiin mentor atau suhu, yaitu Bang Rasyid dengan blog nya Movfreak. Bang Rasyid ini bisa dibilang merupakan contoh yang baik dan ideal bagi siapa saja yang masih baru dalam dunia blogging. Konsisten atau produktivitas nya itu loh yang selalu bikin saya takjub. Dalam setiap ulasannya juga bang Rasyid begitu pintar dalam memilah kata serta mengangkat poin-point tertentu ketika mereview  film. Dua blogger ini awalnya saya ikuti karena ingin mendapatkan rekomendasi film, tetapi jatuhnya menjadi inspirasi yang mendorong saya untuk juga ikutan membuat blog. Terima kasih, Mbak Niken dan Bang Rasyid. God Bless you all.

Dalam menulis, yang paling sulit bagi saya adalah mengawali serta mengakhiri. Saya sendiri bingung sekarang untuk menutup tulisan saya yang gak penting ini bagaimana caranya. Hmm, mungkin terima kasih lagi untuk kalian, yang membaca? Lol. Tapi seriusan, terima kasih lagi loh untuk kalian. Kunjungan kalian benar-benar berpengaruh besar dalam menjaga semangat saya untuk senantiasa ngeblog disini. Dan semoga selalu begitu. 6 tahun, dan semoga akan terus berlanjut hingga ke tahun-tahun berikutnya. Ada amin?

Sunday 27 October 2019

"The people you killed never got their proper due, and it saddens me that they're all but forgotten"- Hyung Min

Plot

Berdasarkan pengakuan Kang Tae-oh (Ju Ji-hoon), tersangka pembunuhan berantai, detektif Hyung Min (Kim Yoon-seok) mencari bukti kuat pembunuhan yang telah dilakukan supaya mampu menjebloskan Tae-oh ke dalam jeruji besi.



Review

Dari awal menit bergulir, sang sutradara Kim Tae-Gyun tanpa basa-basi langsung menghadirkan plot utama. Tanpa pengenalan karakter, atau juga aksi kejahatan pelaku. Bagi saya, pilihan yang diambil Tae-Gyun cukup berisiko. Pasalnya, pilihan ini akan membingungkan penonton sehingga menimbulkan kesulitan untuk segera beradaptasi dengan ceritanya. Saya pribadi cukup membutuhkan waktu selama 10 menit durasi cerita berjalan untuk segera mengerti perihal cerita utamanya. 

Film yang memiliki judul asli Amsusarin ini diadaptasi dari kisah nyata. Mengenai pengakuan terduga pembunuhan yang mengaku kepada seorang detektif bila ia benar telah melakukan kejahatan tersebut. Tentunya informasi yang ia berikan nanti tidak gratis. Harus ada harga yang dibayar, dan Hyung-Min yang tentu saja membutuhkan bukti-bukti kuat itu, memutuskan untuk mengikuti permainan dari Tae-Ho, meskipun ia harus merogoh kocek yang dalam untuk mengikuti kemauan Tae-Ho, serta bertaruh apakah ucapan dari Tae-Ho bisa dipercaya atau tidak. 

Hampir semua durasi Dark Figure of Crime mengikuti perjalanan sang detektif dalam mencari bukti sesuai apa yang dikatakan Tae-Ho. Dan sama seperti Hyung-Min, penonton pun menyimpan keraguan atas semua yang diakui oleh Tae-Ho. Terlebih, pada satu kesempatan, dengan jelas Tae-Ho secara tiba-tiba menyangkal atas semua apa yang telah ia katakan. Sikap unpredictable Tae-Ho ini memaksa Hyung-Min untuk lebih taktikal lagi supaya bisa mengakali Tae-Ho.

Meski bukan cerita baru, namun siapa yang tidak tertarik dengan kisah pencarian bukti seperti ini. Tetapi saya harus akui, pada menit-menit awal, Dark Figure of Crime belum terlalu mencengkeram saya, karena ya itu tadi, narasinya langsung bergerak ke plot utama. Ibarat kata, Kim Tae-Gyun langsung menghidangkan main course kepada tamu restoran, sebelum menyajikan appetizer terlebih dahulu. Beberapa pertanyaan jelas hadir, seperti siapa detektif Hyung-Min dan Kang Tae-Ho, mengapa Hyung-Min bersedia saja menerima mentah-mentah akan pernyataan Tae-Ho, mengingat akan sikapnya yang dari permukaan saja telah menimbulkan teka-teki. 

Pergerakan cerita pun cenderung repetitif. Kita akan mengikuti usaha Hyung-Min mencari bukti, lalu nantinya Hyung-Min akan menemui Tae-Ho di kantor polisi untuk meminta lagi keterangan lebih lanjut. Dan narasi berulang-ulang seperti itu setidaknya hingga durasi film menginjak 40-50 menit. Kebosanan jelas mulai melanda walau sedikit demi sedikit kisah misterinya mulai merenggut atensi. Hingga nanti Tae-Gyun menghadirkan adegan flashback mengenai Tae-Ho. Meski tidak berkesan, namun cukup efektif untuk bisa menggaet atensi penonton yang mungkin telah dilanda kebosanan. Dalam setiap adegan kunci, musik indah namun haunting dari Mok Young-Jin kerap hadir untuk menambah kesan misteriusnya. 

Sedikit demi sedikit pula kita akan mempelajari karakter Hyung-Min dan Tae-Ho. Pertanyaan saya terhadap sikap Hyung-Min yang begitu antusias dalam menangani kasus Tae-Ho, walau tidak gamblang, setidaknya kita mengetahui motivasi nya. Kenapa tidak gamblang karena secara tersirat, motivasi Hyung-Min bisa jadi terhubung dengan erat atas kejadian di masa lalu. Bisa saja, usaha mati-matian yang ia lakukan atas dasar rasa kecewa nya dan ia tidak ingin rasa kecewa yang ia rasakan pada saat itu dirasakan juga oleh kerabat korban. Disisi lain, dengan flashback yang ada, penonton pun bisa menangkap motif dari kejahatan Tae-Ho. Entah ia merupakan seorang psikopat atau bukan, namun yang jelas karakter ini butuh banget terapi khusus untuk mengendalikan amarah nya. 

Dark Figure of Crime sayangnya tidak mempunyai adegan intens seperti film kriminal Korea Selatan lainnya, yang mencegah film ini menjadi sajian yang spesial. Ambil contoh The Chaser (2008) (diperankan Kim Yoon-Seok juga) yang masih berintensitas tinggi yang mampu mencengkeram perhatian penonton meski minim adegan aksi. Dalam Dark Figure of Crime, investigasi yang dijalani Hyung-Min disajikan dengan tempo yang santai, cenderung datar bahkan. Interogasi yang dilakukan Hyung-Min terhadap Tae-Ho pun minus akan atmosfir panas dengan penuh bentakan. Entah berapa kali saya pengen gitu sekali aja Hyung-Min kehilangan kesabaran lalu memukul Tae-Ho karena bosan dengan permainan dari Tae-Ho.

Bila di film The Chaser Kim Yoon-Seok memerankan karakter mantan polisi yang bertemperamen tinggi, disini sebagai Hyung-Min, ia jauh lebih kalem, tenang dan lebih mengandalkan kata-kata untuk bisa beradu dengan lawannya. Walau begitu, akting Kim Yoon-Seok tetaplah mengagumkan seperti biasa. Tetapi yang paling mencuri perhatian tidak terelakkan lagi adalah Ju Ji-Hoon yang berhasil membuat karakter Tae-Ho begitu mengesalkan karena muka dua nya serta begitu manipulatif. 

7,5/10


Friday 25 October 2019



"Kamu....adalah kesalahan yang harus aku hapus"- Nyi Misni

Plot

Disebabkan faktor keuangan yang menipis, Maya (Tara Basro) pun memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya, Desa Harjosari, dengan niatan menjual rumah yang diyakini milik orang tua Maya.  Maya sendiri sama sekali tidak ada ingatan mengenai kedua orang tuanya karena semenjak ia kecil, Maya diasuh oleh bibi nya. Ditemani Dini (Marissa Anita), Maya rela melakukan perjalanan jauh ke desa tersebut, tanpa menyadari jika mereka berdua akan disambut dengan teror yang mengancam nyawa mereka.



Review

Nama Joko Anwar semakin dikenal luas berkat fenomena film remake nya 2 tahun lalu, Pengabdi Setan. Keberhasilan luar biasa film tersebut pun membuat penonton Indonesia mengantisipasi film-film Joko Anwar selanjutnya. Tentu saja sambutan penuh antusias dari penonton hadir ketika tersiar kabar Joko Anwar kembali akan merilis film horor lainnya berjudul Perempuan Tanah Jahanam pada tahun ini. 

Faktor mengapa Joko Anwar memiliki penggemar yang cukup besar dan sering diklaim sebagai sebagai salah satu sutradara Indonesia terbaik saat ini adalah visi nya sebagai sutradara maupun penulis naskah yang out of the box, cenderung berani serta terasa fresh sehingga terlihat berbeda dibandingkan film-film Indonesia lainnya. Ide dasar Joko Anwar memang selalu menarik, namun sayang, sering kali fondasi dasar tersebut juga tidak jarang tidak diimbangi dengan eksekusi yang memadai, seperti Kala dan Modus Anomali, yang terlihat sekali akan ambisiusnya Joko Anwar dalam memasukkan ide-ide liar miliknya. Menariknya, visi Joko Anwar selalu berhasil di dalam filmnya yang jauh lebih sederhana, seperti Janji Joni dan A Copy of Mind. Lalu, ada Pintu Terlarang yang masih menjadi film Joko Anwar terfavorit versi saya, yang menyeimbangkan ide gila serta eksekusi nya yang over the top namun berhasil. Lalu, bagaimana dengan Perempuan Tanah Jahanam sendiri?

Perempuan Tanah Jahanam (PTJ) masih menghadirkan ide liar dari sang sutradara. Saya cukup yakin sutradara Indonesia lain mungkin gak akan kepikiran untuk menghadirkan cerita horor berani seperti ini. Dengan setting film yang bertempat di dalam hutan belantara, PTJ begitu terasa atmosfir  mistis yang mencekam. Ditambah lagi Joko Anwar begitu pelit dalam menghadirkan cahaya terang di setiap menit PTJ bergulir. Rumah besar yang menjadi alasan utama mengapa Maya dan Dini rela mengunjungi desa Harjosari yang terpencil pun di garap Joko Anwar dengan teliti untuk menghadirkan kesan angker nya, seperti akar pohon yang menempel di dinding dan juga lukisan fotografi berukuran raksasa yang membuat saya berpikir betapa beraninya Maya dan Dini menatap lukisan tersebut dalam durasi yang cukup lama di tengah situasi rumah angker tersebut. 

Joko Anwar pun pintar dalam menghadirkan kisah misterius nya. Salah satu nya adalah apa yang terjadi di desa Harjosari. Semenjak Maya dan Dini menginjakkan kaki mereka di desa tersebut, penonton sudah bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres di desa itu. Ya, jika kota Palembang diserang dengan kabut asap, maka desa Harjosari memiliki kabut misterius yang sangat pekat. Selain itu, dari adegan pembuka pun Joko Anwar telah menebarkan pertanyaan mengenai identitas Maya, yang mendadak mendapatkan teror kala ia sedang melakukan tugasnya sebagai petugas karcis tol di malam hari. 

Menit-menit awal ketika Joko Anwar tengah membangun narasinya saat Maya dan Dini memulai kisah mereka di desa Harjosari memang sedikit cenderung monoton. Meski aura horor cukup kental, namun selain itu sama sekali tidak ada momen yang spesial. Joko Anwar tampaknya menyadari ini, sehingga ia pun menyiasati permasalahan ini dengan menyisipkan beberapa momen yang diniati untuk menakuti penonton. Namun untuk saya sendiri, yang memang sudah cukup berpengalaman dalam hal ditakuti dalam media bergenre horor, strategi ini pun mudah saya baca sehingga punchline nya sudah bisa saya tebak (dan sering kali benar). Untungnya saja misteri yang disimpan oleh Joko Anwar yang saya nyatakan sebelumnya telah berhasil merenggut atensi saya sehingga monotonnya pergerakan narasi di awal bisa saya maafkan. Ditambah adegan pembuka bersetting di gerbang tol sudah lebih dari cukup untuk mencengkeram atensi penonton, termasuk saya. Adegan ini pun juga berhasil menjadi favorit saya, karena luwesnya Joko Anwar dalam menghadirkan transisi momen santai, bahkan cenderung komedi, lalu seketika menjadi intens akibat hadirnya satu karakter.

Intensitas mulai memuncak di pertengahan film, ketika sesuatu terjadi pada satu karakter. Dari sini, kegilaan Joko Anwar mulai nampak. Seperti film-film Joko Anwar sebelumnya, ia sama sekali tidak malu dalam menampakkan adegan-adegan kekerasan, bahkan jika melibatkan karakter wanita sekalipun. Tidak tanggung-tanggung, Joko Anwar pun menjadikan tubuh manusia sebagai media  bermainnya dalam usaha menakuti penonton. Saya yakin, body horor yang dilakukan Joko Anwar disini merupakan salah satu yang terbaik dalam sepanjang sejarah perfilman Indonesia. Tidak hanya disturbing, namun juga memberikan efek miris dan tak tega dari penonton akibat keberanian Joko Anwar.  By the way, kreativitas Joko Anwar juga terlihat saat ia begitu pintar nya dalam melibatkan seni pertunjukan asli Indonesia, yaitu wayang, untuk menjadi key point sebagai jawaban akan misterinya. Berkat ini pula saya yakin penonton akan merasakan hal yang berbeda kala melihat wayang selanjutnya.

Walau begitu, PTJ memiliki beberapa permasalahan yang membuat film ini bisa dikatakan adalah salah satu film terlemahnya Joko Anwar. Pertama adalah karakterisasi dari Maya yang terasa dangkal dan kurang menarik. Karakter Maya ini mudah sekali kita temukan di film-film horor lainnya. Tidak ada pendalaman karakter, tidak ada juga narasi yang kuat sebagai pembenaran mengapa Maya mengambil keputusan berani untuk mengunjungi desa kelahirannya. Saya rasa hanya karena kesulitan uang "saja" kurang cukup untuk mendorong seseorang mengambil keputusan yang seperti dilakukan Maya, apalagi tidak ada ikatan batin sama sekali yang tercipta pada diri Maya terhadap desa Harjosari, sehingga bagi saya keputusan Maya ini tidak hanya nekad, tetapi juga bodoh. Oh ya, kebodohan karakter utama dalam film horor untuk mengambil keputusan bukanlah suatu dosa, namun dikarenakan ini adalah film Joko Anwar, yang notabenenya dikenal sebagai sutradara yang out of the box, maka maaf saja, saya harus buat pengecualian. 

Kedua, dan bagi saya ini cukup fatal, adalah pilihan Joko Anwar dalam mengungkapkan jawaban sebenarnya akan kisah misteri yang menaungi desa Harjosari. Tidak hanya terlalu gamblang, namun juga merusak intensitas ketegangan yang tengah berlangsung akibat terlalu lama nya adegan ini berjalan. Padahal dalam Pintu Terlarang, Joko Anwar mampu memaparkan plot twist nya dengan cemerlang, karena Joko Anwar mau bersabar menunggu setelah intensitas yang terjadi sebelumnya telah berakhir. Kelemahan rutin milik Joko Anwar dalam menghadirkan beberapa baris dialog yang terdengar kaku pun juga masih hadir dalam PTJ.

Sebagai Maya, Tara Basro sudah berusaha seoptimal mungkin untuk menghidupkan karakter ini karena perihal naskah mengenai karakterisasi Maya yang cukup dangkal. Untung saja, Tara Basro cukup memiliki aura likeable sebagai protagonist utama. Lemahnya karakter Maya juga berhasil ditutupi oleh hadirnya Dini sebagai sahabatnya, yang berhasil menjadi scene stealer akibat penampilan memukau dari Marissa Anita. Ia berhasil menjadi comic relief utama dalam PTJ berkat paparan dialog nya yang seolah tanpa filter, dan juga memberikan ekspresi ketakutan meyakinkan sehingga membuat penonton perduli akan keselamatannya. Akting dari aktris senior, Christine Hakim pun tampak seolah ingin menasbihkan dirinya sebagai aktris terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. 

Meski memiliki beberapa permasalahan yang cukup mengganggu, namun tak terelakkan jika PTJ adalah bukanlah film horor yang sembarangan. Totalitas diberikan baik dari Joko Anwar dan kru nya yang harus berpindah kesana kemari untuk pengambilan gambar bersetting hutannya, juga dari barisan pemeran yang harus beradaptasi melakukan akting di medan yang cenderung sulit. PTJ pun ditutup dengan ending miris nan mencekam, yang membuat saya bersimpati banget sama penduduk Harjosari. 

7,5/10

Sunday 20 October 2019


Satu aspek terhebat di dalam dunia fiksi, baik itu film, tv series, atau bahkan novel sekalipun, adalah kita mampu "dipaksa" untuk terikat dan perduli karakter yang diceritakan. Berbeda level lagi jika karakter tersebut mampu mempengaruhi hingga ke dalam kehidupan satu individu, misalnya lihat fenomena dari penggemar Game of Thrones yang telah memiliki anak, tidak sedikit serentak menamai putri mereka Khaleesi atau Daenerys sebagai bentuk cinta mereka terhadap karakter yang diperankan Emilia Clarke ini. Tidak jarang juga ada orang yang begitu nekad mengakhiri hidupnya ketika karakter yang dicintai dijemput kematian di dalam cerita. Atau contoh paling terkenal, nama Sherlock Holmes begitu dihormati di ranah Inggris seolah dirinya adalah sosok legenda, padahal ia "hanyalah" karakter rekaan dari pengarang Sir Conan Doyle. Begitulah hebatnya pengaruh suatu karakter, jika diberikan modal naskah dan narasi yang tepat, mampu mempengaruhi hingga dicintai oleh penonton/pembaca. 

Tentunya Anda memiliki karakter favorit tersendiri, dan sering kali memang karakter tersebut terlibat dalam kisah yang kita gemari pula. Setelah beberapa tahun lalu, saya menulis mengenai karakter favorit saya dalam media Anime/Manga, sudah saatnya saya juga ingin berbagi kepada Anda mengenai karakter favorit saya di dalam dunia film, yang saya ringkas hanya 15 saja. Dan percayalah, mungkin 15 bagi Anda sudah banyak, namun untuk saya, cukup sulit untuk menyaring karakter terfavorit hanya menjadi 15 saja. Ini saja selagi menulis, saya pun masih mengingat-ingat kembali apakah ada karakter yang terlupakan sembari membaca ulang list yang telah saya tulis di contekan kertas. 

Baiklah, supaya barokah waktu Anda, langsung saja inilah 15 karakter film favorit versi saya:

15. Mike Lowrey (played by Will Smith)

Movie: Bad Boys/Bad Boys II


Dwilogi Bad Boys bagi Anda mungkin tidaklah terlalu spesial, namun untuk saya pribadi, dua film ini sangat influental. Pertama kali yang saya tonton adalah Bad Boys II, ketika ditayangkan di salah satu siaran tv swasta Indonesia, dan tidak perlu waktu lama saya udah jatuh cinta sama film yang disutradarai oleh Michael Bay ini. Gak usah ditanyakan lagi begitu kocak dan gilanya interaksi antara  duo detektif Miami, Mike dan Marcus (Martin Lawrence). Bahkan menurut saya, Bad Boys bisa memiliki penggemar yang cukup banyak ya berkat dua karakter ini, karena jika dilihat pada aspek naskah, ataupun adegan aksi nya, bisa dibilang tidaklah terlalu spesial, meskipun harus diakui cukup seru, apalagi adegan car chase yang melibatkan puluhan mobil hingga kapal layar. Namun tak diragukan lagi, Mike dan Marcus lah yang menjadi faktor utama mengapa Bad Boys begitu enjoyable. Dan jika harus memilih, karakter Mike lah yang saya rasa patut masuk dalam list ini. Melalui karakter ini juga, saya mulai mengidolai Will Smith yang sukses memerankan sosok detektif yang berkharisma, terkadang konyol tanpa harus melunturkan kekerenannya.

14. Eames (played by Tom Hardy)

Movie: Inception


Karakter film yang memiliki aura badass atau tipe pendiam memang paling mudah untuk mencuri perhatian. Dan bagi saya, aktor Tom Hardy sangat cocok memerankan karakter bertipe ini. Memerankan Eames dalam Inception, Tom Hardy membuktikan bila ia tetap bisa mencuri perhatian penonton walaupun hanya memerankan karakter sampingan. Ia berhasil menjadi scene stealer di setiap kemunculannya, berkat perpaduan karakter nya yang cool, aksen British-Amrik nya yang tak pernah membosankan, dan kharisma sang aktor sendiri yang saya percayai mampu membuat pria normal bisa menjadi homo dengan hanya tatapan mata nya. 
...
..
Ahhh...shit.

13. Rupert Pupkin (played by Robert De Niro)

Movie: The King of Comedy


Film klasik namun terlupakan dari Martin Scorsese yang baru saya tonton, dan seketika saya pun langsung jatuh cinta pada filmnya, dan juga karakter utamanya, Rupert Pupkin. The King of Comedy sendiri memiliki pengaruh besar terhadap Joker-nya Todd Philips. Berbanding terbalik dengan dua karakter sebelumnya, saya menyukai karakter ini bukan karena karakter ini keren, tetapi murni betapa relatable nya karakter yang diciptakan oleh Scorsese ini. Mustahil sekali jika Anda tidak mengasihani atau setidaknya tidak bersimpati terhadap karakter satu ini. Karakter Rupert Pupkin ini bisa dideskripsikan dengan satu kalimat, the unrecognized talent. Ingin menjadi komedian terkenal, namun sayangnya Rupert dijauhi oleh nasib baik. Meski dengan kerja keras dan talenta nya yang tidak bisa dibilang buruk, namun apa daya kesempatan tak kunjung juga datang walaupun telah dikejar, hingga ia pun rela melakukan tindakan nekad, demi menggapai mimpinya. Akting Robert De Niro begitu luar biasa dalam memerankan Rupert Pupkin yang simpatik berkat tatapan serta gestur tubuhnya yang kaya akan rasa.


12. Daniel Plainview (played by Daniel Day Lewis)

Movie: There Will Be Blood


Tokoh satu ini bisa jadi merupakan salah satu karakter yang paling Anda benci berkat karakterisasi nya yang benar-benar mendefinisikan arti rakus itu sendiri. Daniel tidak perduli akan hal lain, asal tujuan dan keinginan yang ia miliki dapat tercapai, termasuk memanfaatkan anak angkat nya demi mendapatkan simpati calon rekan bisnis nya. Tapi mau bagaimana lagi, saya tidak mudah melupakan karakter yang diperankan brilian oleh Daniel Day Lewis ini. There Will Be Blood begitu adiktif tentu saja karena adanya Daniel Plainview, serta kisah rivalitas nya dengan Eli Sunday (Paul Dano). Dari tokoh ini pun kita belajar, rasa haus untuk mendapatkan semuanya tentu harus diganti dengan pengorbanan dan kehilangan yang besar. Sedikit demi sedikit menit bergulir, kita perlahan memahami pandangan Daniel terhadap hidup atau manusia di sekitarnya. Dan parahnya, saya pun bisa memahami pemikiran itu tercipta. Bukan menyetujui, tetapi tidak bisa menyalahi sepenuhnya.

11. Arthur Fleck/Joker (played by Joaquin Phoenix)

Movie: Joker


Yap, karakter yang masih diperbincangkan hangat ini begitu membekas di dalam benak sehingga tidak segan saya memasukkan nama ini dalam list tidak penting ini. Siapa sangka bila pilihan Todd Phillips untuk menyajikan background dari karakter supervillain legenda ini dengan realistis serta humanis dicintai oleh penonton. Namun, tidak perduli secerdas dan serealistis apapun naskahnya, semua aspek tersebut tidak akan berarti banyak jika aktor utama tidak memerankan Joker/Arthur dengan baik. Untungnya Joaquin Phoenix bukan aktor sembarangan. Berkatnya, mudah kita untuk bersimpati terhadap karakternya, tanpa melunturkan sisi kesadisan karakter nya sendiri. Saya sangat menyukai adegan setiap Arthur tertawa, terlihat begitu jelas akan penderitaannya, dan semua itu berkat luar biasanya penampilan Joaquin Phoenix. Jika Oscar tidak terlalu mendengarkan backlash dari media, maka rasanya hampir mustahil jika Phoenix, at least, tidak mendapatkan nominasi Oscar di kategori Best Actor.

10. Leonard Shelby (played by Guy Pearce)

Movie: Memento


Memento disanjung berkat naskah nya yang terasa orisinil dan misteri yang menyelimuti nya begitu captivating serta mampu mempermainkan daya ingat penonton dengan narasi non linear uniknya, sehingga bisa diprediksi jika penampilan para aktor yang terlibat sedikit terlupakan, terutama Guy Pearce yang memerankan protagonist utama. Memerankan Leonard Shelby, pengidap penyakit short term memory loss, Guy Pearce harus menyeimbangkan sisi cerdas Leonard dengan investigasi yang ia lakukan serta kebingungan luar biasa akibat penyakitnya, dan Pearce sukses berakting dengan menawan, tanpa harus membuat Leonard terlihat linglung dan bodoh karena daya ingat nya yang sebentar. Mudah untuk mendukung karakter ini dengan background nya yang tragis, meskipun di akhir nanti kita akan dibuat mempertanyakan moral Leonard berkat ambiguitas yang dihadirkan Nolan.

9. William James (played by Jeremy Renner)

Movie: The Hurt Locker


Jujur saja, The Hurt Locker sebenarnya jenis film yang bisa saja saya benci karena pendekatannya yang lamban seperti arthouse, minim deru tembakan atau ledakan untuk kadar film perang. Terbukti dengan pendekatan berbeda dari Kathryn Bigelow, saya cukup dilanda kebosanan di awal film berjalan, meskipun sudah disajikan dengan adegan pembuka yang cukup intens. Namun, semenjak muncul nya karakter ini di layar, seketika kebosanan saya semakin lama semakin tergerus. Faktor utama tidak lain tidak bukan adalah perbedaan signifikan pada karakterisasi James dibandingkan tentara lainnya. Bisa dibilang, James ini memiliki kepribadian yang sama sekali tidak cocok dengan kakunya birokrasi atau sistem dalam tugas tentara. Ia menjalani semuanya dengan peraturan yang ia miliki sendiri, cenderung sembrono bahkan bila dilihat kacamata tentara lain. He just doesn't give a fuck. Sebagian besar penonton pasti mudah menyukai karakter bertipe pemberontak, dan tidak terkecuali adalah William James.

8. "The Dude" Jeffrey Lebowski (played by Jeff Bridges)

Movie: The Big Lebowski


Jeff Bridges boleh saja mendapatkan Oscar pertamanya ketika memerankan Rooster Cogburn dalam True Grit, tetapi peran yang akan selalu melekat pada dirinya tidak lain adalah ketika ia memerankan karakter ini. Rambut gondrong, tanpa pekerjaan atau pasangan, hobi minum white russian serta main bowling dengan kedua temannya yang gak kalah aneh nya dalam mengisi harinya, bisa dibilang untuk pria berumur seperti The Dude ini adalah kehidupan yang kalo bisa kita hindari dalam kehidupan nyata. Tapi, toh, The Dude malah menikmati semua itu. Bahkan dengan segala kesialan atau permasalahan yang nanti ia hadapi pun tidak membuatnya untuk terlalu memikirkannya. Bagi saya sih karakter ini sempurna sekali sebagai bentuk escapism untuk beristirahat sejenak dari semua permasalahan hidup. Siapa juga yang gak pengen punya pandangan hidup seperti The Dude, yang bisa tetap menjalani hidup tanpa perlu ambisi untuk menggapai sesuatu. Tapi tentunya pandangan seperti ini hanya berlaku dalam film saja.

7. Michael Corleone (played by Al Pacino)

Movie: The Godfather Trilogy



Dalam karirnya sebagai aktor, Al Pacino memang begitu lekat dengan peran sebagai protagonist antihero bergenre drama kriminal. Serpico, Tony Montana, Carlito dan mungkin yang paling populer, Michael Corleone. Karakter-karakter yang ia perankan tersebut memiliki keunikan tersendiri, namun favorit saya adalah perannya sebagai Michael dalam trilogi abadi ini. Perjalanannya sebagai pahlawan perang yang sama sekali tidak ingin terlibat akan bisnis mafia dalam keluarganya, hingga nantinya ia malah menjadi pemimpin keluarga tersebut yang bertangan dingin dan lebih taktikal juga tanpa kenal ampun demi meloloskan rencana nya. Character arc dari Michael ini dipenuhi dengan tragedi, dimana ketika ia bisa meraih kemenangan, namun ia juga harus mengorbankan semua yang ia sayangi. Terutama penampilannya di Part II, Al Pacino menunjukkan akting luar biasa dengan memperlihatkan betapa menakutkannya sosok Michael melalui tatapan mata nya yang tajam, serta ketenangannya dalam menjalankan agenda Michael. Kekalahannya dalam ajang Academy Awards tahun 1975 sendiri bagi saya adalah salah satu kesalahan dari pihak Academy yang sukar dimaafkan.

6. Vito Corleone (played by Marlon Brando/Robert De Niro)

Movie: The Godfather Part I & II



Satu karakter yang diperankan dua aktor legendaris, dalam dua film yang sering dinobatkan sebagai film terbaik sepanjang masa, serta dua aktor pemeran berhasil mendapatkan masing-masing piala Oscar. Rasanya dengan penjabaran ini sudah cukup menggambarkan betapa karakter ini sangat ikonik  nan melegenda dalam sejarah perfilman. Dan lebih hebatnya lagi, baik di Part I maupun Part II, screentime milik Vito Corleone bisa dibilang cukup terbatas, tetapi sudah lebih dari cukup untuk membuat karakter satu ini begitu membekas untuk penonton. Jika peran Marlon Brando di Part pertama memperlihatkan begitu wibawa serta kharismatik sang Godfather dalam memerankan tugasnya sebagai kepala keluarga, di sekuel nya, Robert De Niro berhasil menjadi screen stealer berkat perjalanannya sebagai Vito muda yang awalnya hanya pria imigran biasa, namun nantinya malah berhasil menjadi salah satu orang berpengaruh dan dihormati dalam lingkungannya. De Niro pun secara jeli "mengimitasi" gestur-gestur ikonik dari Vito-nya Brando dengan brilian.

5. Tyler Durden (played by Brad Pitt)

Movie: Fight Club



Bisa dibilang karakter ini adalah impian banyak laki-laki. Ya, setelah nonton Fight Club untuk pertama kali, seketika terbersit dalam benak, "gokil juga nih kalo gw kayak Tyler". Bukan tanpa alasan, karena siapa yang gak pengen jadi cowok badass, keren, punya keberanian melawan sistem kapitalis, pihak berwajib serta orang-orang berdasi yang punya jabatan? Tyler Durden adalah contoh ideal bagaimana alpha male di dalam sebuah film. Tidak heran sih jika karakter ini berhasil membuat karir seorang Brad Pitt melejit dan digilai banyak wanita. Namun, terlepas dari penampilan fisiknya yang ikonik, saya sendiri menganggap pandangan atau filosofi nya terhadap sistem yang tengah berlaku di masyarakat jauh lebih menarik. Seperti ucapannya kepada si Narator (Edward Norton) di dalam bar jika masyarakat sekarang sudah menjadi budak nya merk-merk terkenal. Kita terus saja membeli barang, tanpa mempertanyakan apakah kita membutuhkan atau tidak, dan masih banyak pemikiran idealis lainnya seiring film bergulir. Pemikiran-pemikiran yang saya lewatkan saat menonton pertama kali, namun lama kelamaan merasuki jika kita menonton kembali.

4. Chris Gardner (played by Will Smith)

Movie: The Pursuit of Happyness



Keakuratan kisah yang diangkat oleh Gabriel Muccino dari pebisnis sukses Chris Gardner ini mungkin patut dipertanyakan, namun rasanya tidak ada yang mempertanyakan performa luar biasa dari Will Smith dalam menghidupkan karakter Chris Gardner. Setiap tumpahan emosi yang ia keluarkan begitu nyata, rasa putus asa dan kehilangan semangat akibat cobaan yang datang silih berganti mudah ikut menenggelamkan penonton di dalam kesedihan. Andai pun karakter ini hanyalah fiktif, tetap tidak menghentikan saya untuk menjadikan karakter ini merupakan karakter yang paling inspiratif yang pernah saya tonton. Puncaknya adalah ketika akhirnya nasib baik mulai datang kepadanya. Lihatlah ekspresi tangis bahagia yang ditampakkan oleh Will Smith, sebuah adegan yang setiap kali saya tonton entah harus berapa kali pun tetap saja saya juga ikut menangis bahagia seperti Chris Gardner. Luar biasa.

3. Bruce Wayne/Batman (played by Christian Bale)

Movie: The Dark Knight Trilogy



Bukan tanpa alasan mengapa Batman begitu disukai oleh penggemar, melebihi Superman sekalipun yang notabenenya merupakan wajah dari Justice League. Dan dalam trilogy The Dark Knight nya, Christopher Nolan kembali menumbuhkan cinta para penggemar terhadap karakter superhero tercinta mereka ini, setelah pesonanya sempat meredup akibat Batman & Robin. Nolan mengerti betul dalam menangani karakterisasi Batman/Bruce Wayne. Batman bukanlah superhero yang sempurna. Setiap aksi yang ia lakukan kerap kali melibatkan kerusakan bahkan mengancam nyawa orang yang terlibat, termasuk polisi. Namun begitu, ia tetap berpijak pada keadilan versi dirinya. Ia ingin membawa nilai kebaikan ke dalam kota Gotham. Bahwa peran Batman hanyalah sebagai bentuk simbol untuk menumbuhkan spirit pahlawan setiap individu. Akhir kisah dalam film The Dark Knight semakin memantapkan pesan tersebut, dimana pengorbanan harus diambil demi kebaikan. Batman terasa humanis karena ketidak sempurnaannya, dan dengan ketidak sempurnaannya itu pula menjadi alasan Batman adalah salah satu superhero terkeren dan paling disukai.

2. Tommy Riordan (played by Tom Hardy)

Movie: Warrior



Sebelum memerankan Bane dalam The Dark Knight Rises, Tom Hardy telah menunjukkan tease bagaimana sosok Bane yang nanti akan ia perankan. Tommy Riordan yang ia perankan begitu dingin, dipenuhi dengan kemarahan dan kecewa akibat masa lalu yang pahit. Tatapannya walaupun tajam penuh kebencian, namun terlintas kekosongan pada sorot mata nya. Tom Hardy seolah terlahir memerankan peran ini. Aura badass begitu kental yang membuat saya pasti akan bergidik ngeri jika saja terlibat masalah dengannya, dan tak perlu dipertanyakan lagi bagaimana Hardy memberikan sentuhan emosional pada karakternya, sehingga tidak menjadikan Tommy hanya sosok pria badass, tanpa sentuhan hati. Mau lihat salah satu man tears terbaik? Maka tonton lah Warrior, dan lihat lah akting Tom Hardy yang satu ini.

1. The Joker (played by Heath Ledger)

Movie: The Dark Knight



Saya selalu berpendapat jika salah satu karakter yang ditulis dengan baik adalah karakter diberikan sentuhan background yang jelas sehingga memiliki fondasi yang kuat. Tetapi karakter satu ini mematahkan pendapat saya tersebut, because I fuckin' love this character so much!! Walau ia merupakan supervillain, namun berkat pesona, dibantu juga akting menakjubkan dari Heath Ledger, Joker berhasil menjadi scene stealer dan penggemar selalu menantikan sosoknya hadir di layar. The Dark Knight adalah film yang hebat serta didukung dengan salah satu ensemble cast terbaik yang pernah ada, namun berkat adanya Joker lah, The Dark Knight menjadi sajian klasik dan begitu dicintai oleh penggemar. Akting monumental Heath Ledger sukses besar dalam menampar keras setiap penikmat film yang sebelumnya sempat meragukan, bahkan mengejek dirinya ketika Nolan mengumumkan jika Ledger yang akan memerankan Joker. Karakter Joker begitu melekat dalam diri Ledger sehingga saya tidak bisa membayangkan bagaimana ia bisa broke character ketika kamera tidak merekam. 

So, lemme ask you a question, who's your favorite movie character?

Sunday 13 October 2019


"You didn't have to wait your whole life to do something special"

Plot

Berhasil mengakhiri masa perbudakan dalam sekapan Jack (Michael Bowen) dan gang nya, tidak berarti Jesse Pinkman (Aaron Paul) bisa hidup dengan tenang. Kini ia harus menjalani kehidupannya sebagai buronan. Dengan fakta tersebut, Jesse pun ingin memulai kehidupannya baru dan meninggalkan semua masa lalunya. 



Review

Bila Anda telah membaca tulisan saya mengenai Breaking Bad, Anda pasti tahu jika saya sangat mencintai tv series satu ini, melebihi Game of Thrones sekalipun. Tentu saja, ketika Netflix menghadirkan film lanjutan kisah Breaking Bad berjudul El Camino, dengan membawa Vince Gilligan yang notabenenya adalah kreator tv series itu sebagai sutradara sekaligus penulis naskah, bohong sekali jika saya tidak merasakan kebahagiaan. Terlebih, dari trailer nya yang meyakinkan serta masih kental akan aura "Breaking Bad" nya, El Camino tampak menjanjikan. 

Bila "Granite State" dan "Felina" bagaikan epilog dari kisah perjalanan the kingpin, The Heisenberg, Walter White (Bryan Cranston), maka 2 jam dari durasi El Camino adalah sepenuhnya kisah epilog untuk Jesse. Tentu nya sebagai penggemar Breaking Bad, kita sangat ingin mengetahui nasib Jesse setelah kurang lebih 2 tahun harus menjalani hidup layaknya budak dalam genggaman Uncle Jack. Kisah Jesse pun menarik diikuti karena untuk pertama kalinya, ia harus beraksi seorang diri, setelah sebelumnya ia selalu bersama Walter ataupun Mike Ehrmantraut (Jonathan Banks) sebagai partner in crime nya. 

Untuk Anda yang belum sama sekali menyentuh Breaking Bad, sebaiknya tidak usah repot-repot untuk mencoba El Camino. Sekali lagi, penceritaan El Camino diambil tidak lama setelah Jesse meloloskan diri. Maka ceritanya tentu sangat berkaitan dengan Breaking Bad. El Camino ini bagi saya adalah sebuah bentuk surat cinta untuk para penggemar atau bisa juga merupakan salam perpisahan untuk salah satu karakter paling dicintai dalam serial ini. Fokus penceritaan hanya satu, yaitu kisah bagaimana Jesse memulai kembali setelah semua yang telah terjadi. Disajikan dengan ciri khas Vince Gilligan, yaitu slow burning dengan menggulirkan kisahnya dengan perlahan namun terus berkembang, mengembangkan serta mengeksplorasi karakter dan sedikit bumbu black comedy nya yang masih saja ampuh untuk menjadi ice breaking di kala momen yang tersaji intensitas nya meninggi. 

Harus diakui memang, keputusan Vince Gilligan untuk menerapkan pola yang sama seperti pada tv series nya ke dalam El Camino adalah langkah perjudian. Memang, pola tersebut akan bekerja jika di terapkan pada sistem tv series yang memiliki puluhan episode. Namun untuk media film yang memiliki durasi terbatas, tentu saja pergerakan narasi perlahan ini tidak selalu berhasil. Dalam El Camino, untuk sebuah kisah buronan internasional, memang harus diakui terasa cukup sunyi dan kalem. Mungkin hanya ada dua-tiga kali intensitas film meningkat, namun tidak sampai ke taraf maksimal. Gilligan lebih memilih memfokuskan cerita pada pendalaman karakter Jesse setelah kembali bisa menghirup udara bebas.

Petunjuk akan seperti apa El Camino sebenarnya telah terpapar dalam perbincangan singkat melalui adegan flashback antara Mike dan Jesse. Sudah terlalu terlambat untuk memperbaiki semua yang lalu, yang tersisa untuk Jesse adalah memulai semuanya dari awal kembali. Maka bila ekspektasi Anda untuk menantikan perjalanan heroik dari Jesse maka saya sarankan untuk segera mempertimbangkan kembali, karena El Camino sepenuhnya adalah usaha Jesse untuk kembali memulai semuanya. Dan ini saya rasa adalah pilihan yang ideal untuk Gilligan dalam upayanya memberikan akhir yang cocok untuk Jesse.

Terdapat dua jenis narasi di film ini, yaitu present and past time. Bila narasi masa kini memperlihatkan Jesse untuk segera mendapatkan kehidupan baru nya sembari memulihkan luka masa lalu, maka flashback nya sendiri memiliki peranan untuk menanamkan simpati lebih dalam terhadap Jesse. Kita diperlihatkan sedikit kepingan momennya selagi menjalani kehidupannya sebagai tahanan Uncle Jack. Rasanya sedikit mustahil jika kita tidak merasakan rasa simpati terhadap beratnya kehidupan Jesse kala itu. Tidak ada harga diri sama sekali serta kerap mendapatkan perlakuan yang memalukan, memberikan tekanan mental yang kuat bagi Jesse, sehingga kondisi nya tidak jauh berbeda seperti veteran perang yang sehabis mengalami neraka hidup di dunia perang. Tidak hanya itu, flashback nya juga memberikan ruang bagi Gilligan untuk menghadirkan beberapa cameo karakter yang paling berpengaruh dalam hidup Jesse. Ya, termasuk karakter yang paling dinantikan hadir di dalam El Camino, and you know who.

Terdapat pula pada momen flashback nya, El Camino memberikan masa dimana Jesse menghabiskan waktu bersama Todd (Jesse Plemons), salah satu karakter yang memberikaan penderitaan besar baik fisik maupun batin kepada Jesse. Dan setelah melihat masa "hang out" mereka berdua, saya yakin Anda akan memiliki kepuasan kembali mengingat bagaimana nasib Todd berakhir dalam series nya. Perubahan fisik signifikan yang terjadi pada Jesse Plemons mungkin akan menjadi topik yang paling dibicarakan, ketimbang penampilan cemerlangnya dalam menampilkan Todd yang creepy, mampu tampil begitu dingin, bertindak seperti pria normal dan memiliki attitude baik, padahal ia merupakan orang yang begitu mudah menarik pelatuk untuk membunuh demi sebuah alasan yang remeh jika diambil sudut pandang orang normal. Jesse dan Todd memang seolah ditakdirkan menjadi rival, terlihat bagaimana Gilligan memberikan karakterisasi yang berlawanan pada satu aspek.

El Camino memang masih kental akan aroma Breaking Bad nya, lengkap dengan sajian sinematografi menawan layaknya series tersebut, namun meski begitu, El Camino tidak lah sekelam Breaking Bad. Minus adegan yang mampu membuat penonton merasakan ketegangan, serta mara bahaya yang mampu membuat Jesse tertangkap. Mungkin keputusan Gilligan ini akan membuat kecewa bagi siapa saja yang mengharapkan adegan seru nan memikat dalam film ini.

Aaron Paul, yang setelah Breaking Bad berakhir seolah kesulitan untuk mendapatkan peran yang tepat dalam media film, menunjukkan disini jika ia telah begitu mengenal karakter yang telah ia perankan selama 5-6 tahun. Meski versi Jesse disini berbeda, namun kesan familiar tetap terasa. Terlebih untuk mengobati kangen para penggemar untuk melihat Jesse versi awal mula Breaking Bad, tersaji pada sebuah adegan flashback kala film mendekati akhir. Lengkap pula kembali terucapnya kata ikonik milik Jesse, yang sempat absen sebelumnya.

El Camino memang bukan film yang sempurna. Bahkan ketidak puasan mungkin akan ada bahkan dari barisan penggemar setia Breaking Bad. Namun untuk saya, El Camino sudah menjalankan perannya dengan baik, yaitu untuk mengingat kembali mengapa para penggemar bisa jatuh cinta pada salah satu serial tv terbaik yang pernah ada tersebut, serta memberikan akhir yang layak untuk Jesse Pinkman, one of the most loveable character in tv series.  Tentunya saya kedepannya tidak ada lagi proyek spin off dalam melanjutkan kisah salah satu karakter Breaking Bad (Better Call Saul adalah sebuah prekuel), sebab semua kisah sempurna pastinya memiliki kisah akhir yang sempurna pula, dan bagi saya, El Camino memiliki itu. Jangan sampai titah sejarah sempurna Breaking Bad dihancurkan akibat keinginan serakah demi mendapatkan keuntungan. Enough is enough.

8/10


Wednesday 2 October 2019


"I used to think that my life was a tragedy, but now I realize, it's a comedy"- Arthur Fleck

Plot

Mengisahkan Arthur Fleck (Joaquin Phoenix), pengidap pseudobulbar affect (penyakit dimana seseorang secara tiba-tiba menangis atau tertawa yang tak terkendali), yang harus menghadapi segala benturan-benturan realita hidup, dari karir yang tidak kunjung berkembang, sang ibu, Penny Fleck (Frances Conroy) terobsesi akan Thomas Wayne (Brett Cullen), serta berbagai kesialan yang seolah enggan menghindarinya.




Review

Perlukah film yang disutradarai oleh Todd Philips ini dibuat? Atau pertanyaan yang lebih tepatnya, perlukah memberikan pendalaman karakter dan sentuhan humanis diberikan pada salah satu musuh terbesar Batman ini? Pertanyaan demi pertanyaan, serta diselingi dengan keraguan kerap hadir kala Joker resmi diumumkan akan rilis pada tahun ini di beberapa tahun belakang. Saya mengakui, rasa cemas pecinta film bisa dimengerti. Walau dalam komik nya sendiri memang terdapat beberapa kisah origin dari Joker, namun tetap salah satu daya tarik dari Joker adalah kesan misteri nya. Terlebih pendekatan yang dilakukan oleh Christopher Nolan dalam The Dark Knight 11 tahun lalu terbukti berhasil. Dan berbicara The Dark Knight, pastinya penampilan monumental nan ikonik dari mendiang Heath Ledger telah memberikan standar yang begitu tinggi dalam memerankan si badut kriminal yang gak lucu ini. Beban berat tentu disandang oleh Joaquin Phoenix selaku aktor pemeran Joker, terlebih setelah kegagalan Jared Leto di Suicide Squad dalam memerankan karakter yang sama. 

Sebelum membahas penampilan Phoenix, mari kita fokus kepada penceritaan terlebih dahulu. Dibantu oleh Scott Silver di departemen penulisan naskah, Philips tampak telah paham betul dalam menghadirkan film origin yang benar. Ketimbang menitik beratkan narasi akan sajian aksi serta seru-seruan layaknya film beradaptasi dari comic book, Philips lebih mengedepankan pada pendalaman karakterisasi, mengembangkannya secara perlahan, serta mengajak penonton untuk menyelami lingkungan hidup sang karakter utama. Tidak ada hal luar biasa yang terdapat dalam diri Arthur Fleck. Ia tidak memiliki latar belakang militer, bukan juga pemilik kekuatan super dan latar belakang keluarganya pun cenderung biasa saja. Hanya saja, dengan mengidap mental illnes, Arthur terlihat berbeda dengan orang lainnya. Bahkan akibat perbedaan tersebut, Arthur harus menerima perlakuan tidak menyenangkan oleh orang sekitar nya. 

Terinspirasi dari film klasik Martin Scorsese, The King of Comedy, layaknya Rupert Pupkin, kehidupan Arthur bisa dibilang cukup menyedihkan dengan dekatnya ia akan nasib buruk dan seolah ditolak eksistensinya. Ia tinggal di apartemen sederhana dengan ibunya yang renta. Kehidupan pekerjaannya pun juga tidaklah lancar, ditambah keinginannya untuk menjadi stand up comedian pun terlihat mustahil. Berbagai permasalahan seolah enggan untuk menjauhi nya, terutama kala ia harus dipecat dari pekerjaannya sebagai badut penghibur. Lewat karya nya inilah, Philips dan Silver ingin memperlihatkan jika rentetan dari nasib buruk yang terjadi sudah lebih dari cukup untuk membuat seseorang berbuat nekad dalam berbuat jahat karena pada dasarnya, tidak ada seorang pun di dunia ini terlahir menjadi seorang penjahat. 

Film Joker sendiri adalah film kedua dari DC Comic yang menerima rating R setelah Watchmen akibat kandungan kekerasan serta tumpahan darah nya. Namun bagi saya sendiri pendekatan realistis akan kisah Arthur Fleck menjelma menjadi kriminalitas level atas dari Philips dan Silver yang lebih memikat, namun disturbing. Berkat kisah Arthur ini, muncul di benak jika apa yang terjadi pada Arthur sesungguhnya bisa terjadi kepada setiap orang pinggiran yang seolah tidak diterima eksistensi nya oleh masyarakat. Pandangan Arthur akan hidup, lengkap dengan make up badutnya yang ia ungkapkan pada acara bincang-bincang milik Murray Franklin (Robert De Niro, aktor yang sama memerankan Rupert Pupkin di The King of Comedy) pun walau terdengar gila, namun masuk akal dan mendekati apa yang terjadi pada realita kehidupan. Khalayak media menggembar-gemborkan akan kematian seseorang hanya karena memiliki relasi dengan tokoh berpengaruh, padahal warga seperti Arthur setiap hari nya mengalami penderitaan dan begitu dekat nya dengan peliknya kehidupan seolah jauh dari pemberitaan. Ditambah dengan pergerakan para badut yang terjadi dalam film ini lah yang membuat Joker begitu disturbing. Semoga saja tidak ada orang iseng yang ingin mengikuti dan menerapkan aksi serupa di dunia nyata. Namun tak bisa ditampik, apa yang Philips dan Silver sajikan disini bagaikan sebuah kritik keras terhadap kaum menengah ke atas.

Dengan fakta ini, serta penyakit psikis yang ia alami, rasanya hampir mustahil untuk tidak berempati terhadap Arthur Fleck. Tidak menjustifikasi apa yang ia lakukan nantinya adalah benar, namun setidaknya sebagai penonton, kita bisa mengerti mengapa Arthur nantinya menjelma menjadi pelaku kriminal. Ironis memang, kita mampu bersimpati kepada karakter yang malah tidak memiliki simpati sama sekali kepada orang lain. Meski demikian, saya sedikit kurang menyukai penanganan karakter Thomas Wayne (Brett Cullen) dalam film ini. Memang, kita mengenal karakter ini berdasarkan point of view dari Arthur sehingga wajar sosok Thomas Wayne disini terlihat orang kaya yang brengsek dan apatis, namun untuk penonton seperti saya yang hanya mengenal karakter ini dalam film Batman Begins, dan bagaimana influentalnya karakter ini pada pembentukan karakter Bruce Wayne di trilogy The Dark Knight, saya sedikit kurang menerima sih akan penggambaran karakter nya disini yang begitu berbeda. Lol. 

Pada saat kalimat "THE END" muncul di akhir, tak sadar saya sendirian bertepuk tangan cukup keras, yang seketika saya hentikan karena tak ingin menarik perhatian. Terdengar juga dari bisikan penonton di dekat saya yang berkomentar "kapan nonton film ini lagi? Bagus banget soalnya". And you know what? I agreed 100% with him/her. Saya rela merogoh kocek saya yang gak banyak untuk kembali menyaksikan sajian spesial dari Todd Philips ini. Saya terkesima berkat pendekatan realistisnya, betapa beraninya Philips dan Silver dalam menyajikan narasinya yang begitu dekat akan realita yang terjadi sekarang. Bukan berlebihan jika dalam beberapa tahun kedepan, film ini akan dianggap sebagai film klasik, juga akan memiliki penggemar militan yang sangat banyak. Bukan mustahil juga jika Anda akan menemui di jalanan ada orang yang mengimitasi tarian dari Arthur. Joker bukan lagi hanya sebagai karakter, namun telah menjadi simbol berkat film ini. Ya, jika dalam superhero kita memiliki Batman Begins sebagai film origin terbaik, maka tidak salah jika Joker adalah film origin terbaik mengenai supervillain.

Namun, tidak bermaksud untuk melupakan pekerjaan fantastis Philips dan Silver lakukan, apa yang membuat Joker terasa spesial adalah penampilan luar biasa dan Oscar worthy dari Joaquin Phoenix. Berbeda dengan Jared Leto, Phoenix merupakan salah satu aktor yang paling dihormati dalam dunia perfilman berkat talenta aktingnya. Ia pun termasuk underrated jika ditilik dari jumlah nominasi Oscar yang "baru" 3 kali saja dan sama sekali belum membawa patung emas tersebut. Namanya pun tidak sepopuler layaknya Leonardo DiCaprio ataupun Robert Downey Jr. Jika Anda pun baru pertama kali melihat akting dari Mr. Phoenix, well, anggap saja Anda sial. Hentikan membaca sekarang dan silahkan tonton akting dari beliau di film-film lainnya.

Joaquin Phoenix adalah aktor yang hebat, tidak ada yang berani menyangkal fakta ini, namun tetap saja, performanya sebagai pria yang broken, lengkap dengan health issue yang diidap karakter yang ia perankan, mampu ia sajikan dengan begitu total sehingga membuat saya terkesima. Phoenix berhasil menjadi magnet terbesar sehingga mata penonton tidak akan pernah lepas dari layar. Setiap menit sebenarnya karakter yang ia mainkan selalu  muncul, namun hingga film berakhir, saya masih merasa kurang dan ingin melihatnya kembali berakting sebagai Joker. Setiap gestur badan yang ia tampilkan seolah memiliki makna, dan walaupun tawa seorang Joker darinya tidak sememorable seperti yang Heath Ledger lakukan, namun tak seperti karakter-karakter Joker lainnya yang menggambarkan gila atau maniak nya karakter Joker melalui tawa, disini tiap tawa yang dihasilkan Phoenix malah terkesan rasa pedih dan derita akibat ketidak adilan hidup yang selalu ia terima. Sebagai contoh dengar saja tawanya tanpa henti kala ia ingin melakukan stand up comedy nya. Namun momen terbaik Phoenix hadir kala ia beradu akting dengan Robert De Niro saat film mendekati akhir. Adegan yang sebelumnya terkesan biasa, bahkan lucu, berubah menjadi intens, menegangkan dan ditutup dengan memberikan shock therapy untuk penonton. Dan pegang ucapan saya ini, pihak Academy akan kehilangan kredibilitas nya jika mereka berani untuk tidak mencantumkan nama Joaquin Phoenix dalam gelaran Oscar tahun depan. 

Anggap saya berlebihan dan overreacted, namun honestly speaking, you need to watch this movie. Tidak banyak film yang saya tonton pada tahun ini, namun saya berani menjamin, Joker adalah salah satu film terbaik keluaran tahun 2019. Dengan realistisnya Todd Philips memberikan pendekatan pada karakterisasi Arthur Fleck sebelum menjelma menjadi Joker, Atmosfir kelam dan gelap seolah tanpa kebahagiaan di kota Gotham versi Philips, dan tak lupa juga performa fantastis Joaquin Phoenix, Joker meludahi ekspektasi rendah saya sebelumnya dan menertawakan kepada setiap penikmat film yang meremehkan film ini. Dan ya, setelah trilogi The Dark Knight, DC boleh kembali bangga karena, sekali lagi, film keluaran mereka kali ini mampu membuat semua film beradptasi comic book dari kompetitor terlihat seperti film untuk anak-anak.

8,75/10

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!