Saturday 20 February 2016



"When I was small, I only knew small things. But now I'm five, I know everything!"- Jack

Plot

Menceritakan kehidupan seorang wanita (Brie Larson) serta anaknya yang telah menginjak umur 5 tahun, Jack (Jacob Tremblay) yang tinggal dalam ruangan berukuran kecil.




Review

Setelah membaca sinopsis dasar Room untuk pertama kali, gw praktis menobatkan Room adalah salah satu film yang harus gw tonton. Plot dasarnya sangat mirip dengan Oldboy (one of my favorite movies all time) yaitu mengenai manusia yang terkurung dalam ruangan kecil selama bertahun-tahun. Dan saat gw menyadari kisah nya berpusat akan hubungan ibu dan anak, gw telah mengantisipasi film yang diadaptasi dari novel karya Emma Donoghue ini sebagai sajian yang penuh akan pergulatan emosi.
Bila Oldboy menceritakan seorang pria yang ingin membalaskan dendamnya, Room jauh lebih sederhana. Ini hanyalah sebuah film dimana seorang wanita serta anaknya berusaha untuk mendapatkan kembali kebebasannya. Namun sebelum menuju kesana, kita pun akan diperlihatkan bagaimana kehidupan dari ibu-anak ini di dalam ruangan yang layak untuk disebut penjara tersebut. Dalam ruangan isolasi tersebut dipenuhi dengan interaksi yang tidak mudah terbaca dari Ma serta Jack. Terkadang mereka akrab, tapi satu menit kemudian ada sedikit letupan konflik di antara mereka. Sebuah hubungan yang malah aneh nya sangat menarik dan tidak biasa. Dan dari sana lah ikatan antara penonton dengan ibu-anak ini mulai terjalin hingga tentunya mudah mencapai ke tahap bersimpati akan keadaan mereka, apalagi ketika Ma (panggilan Jack terhadap Ibunya) menceritakan kepada Jack bagaimana mereka bisa hidup dalam ruangan kecil tersebut. Sulit membayangkan bagaimana kita, terutama untuk para perempuan.  berada di posisi Ma.
Memainkan emosi para penonton ini lah yang merupakan faktor utama Room menjadi sebuah sajian drama dengan bumbu thriller yang cukup melekat dalam benak penonton. Tentunya ini tidak lepas dari andil sang sutradara Lenny Abrahamson yang sukses dalam menangkap penampakan emosi dari para karakter nya. Lenny juga berhasil menggarap sebuah momen kecil tapi substansial dalam menggerakkan narasi. Sang sutradara jelas telah mempelajari dengan baik akan naskah yang ditulis juga oleh penulis novel nya sendiri, Emma Donoghue.
Film yang masuk dalam nominasi Best Picture Academy Awards ini tidak hanya menceritakan bagaimana perjuangan mendapatkan kebebasan. Room juga memperlihatkan bagaimana sewenang-wenang nya suatu penguasa sehingga gw berpikir Room bisa merefleksikan sebuah kelompok masyarakat atau negara yang di pimpin oleh penguasa yang terlalu memaksakan kehendaknya (ini kenapa jadi serius gila gini ya?). Setelah paruh awal berjalan, penonton kembali dihadapkan dengan beberapa pertanyaan dimana salah satu nya adalah mengenai arti serta makna dari kebebasan itu sendiri. Sehingga kita yang pertama berpikir film akan segera berakhir, namun mulai menyadari bahwa masih ada konflik yang harus dijalani oleh Ma dan Jack.
Chemistry antara ibu dan anak jelas merupakan kunci dari Room, dan Brie Larson serta Jacob Tremblay berhasil dalam menjalankan misi tersebut. Komunikasi antar mereka berdua sama sekali tanpa ada rasa kaku, semuanya mengalir apa adanya sehingga apa yang ditampilkan ini bukanlah komunikasi antara senior yang mempelajari sang junior berakting, tapi komunikasi antara ibu dan anak. Tetapi bukan berarti ketika mereka dituntut untuk berakting stand alone Room malah hilang daya tarik. Brie Larson sebagai Ma berhasil dalam memainkan karakter yang memiliki emosi yang sedikit tidak stabil. Karakter Ma mungkin terlihat tangguh di awal, tetapi lama kelamaan kita menyadari, ada bom waktu yang terdapat di dalam diri Ma yang bisa meledak kapan saja. Semua itu berhasil di visualisasikan oleh Brie Larson baik lewat tatapan mata nya maupun ekspresi muka nya. Sangat menyenangkan Brie Larson mampu menjawab tantangan ini setelah sebelum-sebelumnya aktris yang juga membintangi 21 Jump Street ini hanya mendapatkan peran-peran yang tidak menuntut kehebatan berakting. Namun kejutan terbesar pastinya ada pada sosok Jacob Tremblay.

Dari voice over yang muncul ketika film bergerak di awal saja sudah timbul keyakinan dalam gw kalau Jacob akan memberikan stand out performance. Dari berbagai permainan emosi yang ia keluarkan hampir semuanya begitu meyakinkan, baik berupa tangisan ataupun teriakan. Tidak hanya berhasil ketika beradu akting dengan Ma atau yang lainnya, tetapi Jacob juga mampu menampilkan akting yang memukau ketika ia harus dituntut untuk tampil di layar kaca seorang diri. Bagian terbaik Jack merupakan film mulai memasuki “chapter kedua”. Lihatlah ekspresi ketakutannya, kecanggungannya akan kehidupan baru nya, semuanya berhasil diperankan dengan sempurna oleh Jacob. Sungguh sebuah penampilan berkelas untuk bocah yang belum genap 10 tahun ini. Patut disayangkan dirinya gagal dalam mendapatkan nominasi Oscar.
Mungkin akan sedikit mengecewakan bagi penonton yang salah mengartikan “thriller” pada genre Room, karena Room pada dasarnya adalah sebuah drama yang menceritakan sebuah kebebasan itu tersendiri. Dengan permainan emosi yang berhasil di tampilkan baik dari para sutradara beserta kru ataupun pemeran nya, Room tidak hanya menjadi sebuah drama yang powerfull tidak mudah terlupakan, tetapi juga menjadi salah satu film terbaik di tahun 2015.
 

8,75/10

Thursday 18 February 2016

 "Crying help me slow down and obsess over the weight of life's problems"- Sadness

Plot

Memperlihatkan bagaimana kinerja lima emosi yang berada di kepala Riley (Kaitlyn Dias) dalam usia nya yang 11 tahun. Kelima emosi tersebut adalah Joy (Amy Poehler), Sadness (Phyllis Smith), Anger (Lewis Black), Disgust (Mindy Kaling) dan Fear (Bill Hader)




Review

Setelah menyaksikan karya teranyar dari Pixar ini, gw bisa mengerti mengapa salah satu komika favorit gw Pandji Pragiwaksono begitu mencintai rumah studio untuk film animasi ini. Pertama-tama, perlu diketahui bahwa beberapa karya Pixar belakangan ini tidak terlalu menggembirakan. Setelah Toy Story 3, praktis film-film seperti Monster University, dan terutama Cars 2 bukanlah karya terbaik dari Pixar sehingga banyak orang yang menilai sentuhan magis Pixar mulai memudar. Hingga Pixar mengumumkan akan merilis Inside Out di tahun 2015. Menurut gw, semua penikmat film akan setuju satu faktor dimana Pixar selalu berhasil adalah keahlian mereka dalam ranah emosi, dan ketika kita mengetahui Inside Out bermain-main dalam ranah tersebut, viola, Inside Out menjadi salah satu film yang begitu dinantikan di tahun kemarin.
Selama gw mengikuti jejak filmography Pixar, gw menilai Wall-E (2008) yang disutradarai dan di tulis oleh Andrew Stanton tersebut tetaplah yang terbaik. Cerita akan sebuah robot pengumpul sampah sampai mengkritisi kehidupan manusia yang terlalu tergantung akan teknologi merupakan cerita yang jenius sampai gw berpikir Pixar tidak akan bisa membuat karya yang brilian seperti ini lagi. Dan kemudian Pete Docter mencetuskan sebuah ide yang mendasari terciptanya Inside Out. ”Do you ever look at someone and wonder, “What is going on inside their head?”” Ya, menurut gw kalimat tersebut (yang juga diucapkan oleh karakter Joy di film ini) adalah kalimat pertama Pete Docter ketika mengutarakan ide nya kepada para petinggi Pixar. Sebuah kalimat yang sederhana dan kemudian di kembangkan oleh Pete Docter dengan menciptakan lima emosi yang berada di dalam kepala manusia. Pete pun menciptakan sebuah universe tersendiri dalam kepala Riley, seperti headquarters, long term memory, dan beberapa pulau emosi yang berkesan dalam kehidupan Riley. Sangat kreatif dan sama sekali tidak terpikirkan, itulah reaksi pertama gw ketika membaca plot dasar Inside Out. Sekilas akan tampak membingungkan apabila dilihat dari tulisan (terutama untuk anak-anak), tetapi ini adalah film keluaran Pixar sehingga plot yang sedikit membingungkan tersebut pun di kemas dengan sederhana dan begitu menyenangkan untuk diikuti.
Dalam 8 menit pertama, kita diperlihatkan bagaimana Joy, Sadness, Anger, Fear dan Disgust bekerja sama dalam headquarters untuk mengendalikan emosi dari Riley. Setiap karakter akan merespon dan menentukan emosi apa yang harus dikeluarkan Riley dari kejadian demi kejadian yang dialami Riley dengan Joy sebagai ketuanya. Dalam cerita pembuka juga kita akan ikut tertawa melihat momen-momen yang di alami Riley. Sebuah pemanasan yang hebat sebelum memasuki cerita utamanya. Karena setelah itu Pete Docter pun mulai bermain dengan konflik utama nya. Konflik dimana seorang anak harus beradaptasi di lingkungan baru mungkin sudah usang karena entah sudah beberapa film yang mengangkat konflik tersebut, tetapi disitu lah letak kelebihannya juga karena mungkin sebagian besar dari kita juga ikut pernah merasakan konflik yang dihadapi oleh Riley sehingga kita pun dengan mudah terikat dengan karakter ini. Dan juga disini Pete Docter mengemasnya dengan brilian. Sebuah konflik sederhana tersebut disulap menjadi sebuah petualangan yang mendebarkan dan juga mengikut sertakan emosi para penonton setiap menit demi menit berjalan. Entah ada berapa momen yang mampu memecahkan air mata karena membuat gw seolah dipaksa mengingat kembali masa kecil gw, namun tetap adegan yang melibatkan teman imajinasi Bing Bong adalah klimaksnya di mana air mata gw tidak mampu gw tahan lagi. Sebuah adegan hearbreaking terbaik yang pernah di ciptakan Pixar, mungkin hanya mampu bersaing dengan ending dari Toy Story 3. Setiap momen yang mampu meletupkan emosi turut pula dibantu scoring yang digarap oleh Michael Giacchino
Interaksi antar karakter juga tercipta dengan dinamis, terutama interaksi antara lima emosi tersebut dimana Joy dan Sadness menjadi kunci sentral nya. Walaupun begitu tidak berarti Anger, Fear dan Disgust tidak kebagian spotlight. Celetukan-celetukan mereka lah yang paling dominan dalam memunculkan humor di sini sehingga karakter mereka tidak akan mudah dilupakan. Tentunya ini tidak lepas dari pekerjaan yang gemilang dari para pengisi suara tiap karakter, terutama tetap favorit gw Phyllis Smith yang mengisi suara Sadness. Desain karakter lima emosi ini juga di buat dengan menarik dan lucu supaya mampu menggaet penonton anak-anak (gw pribadi lebih menyukai desain karakter dari Sadness yang membuat gw susah menganggap dia sebagai karakter yang menyebalkan).
Gw meyakini satu hal yang mampu dengan mudahnya membuat seseorang larut dalam emosi nya adalah ketika dia diajak untuk kembali mengingat berbagai rekaman masa lalu nya. Dan itu lah yang dilakukan Pixar lewat Inside Out ini. Lewat Inside Out, Pixar berhasil menciptakan sebuah petualangan yang melibatkan emosi dan kenangan-kenangan masa lalu kalian sehingga membuat Inside Out menjadi sajian terbaik Pixar sejauh ini (setelah Wall-E).

                                                            8,75/10


Monday 15 February 2016





"Nothing will make sense to your American ears, and you will doubt everything that we do, but in the end you will understand."- Alejandro

Plot


    Setelah penemuan mengerikan dalam misi penggerebekan sebuah rumah yang dicurigai milik salah satu pemimpin kartel narkoba, Kate Macer (Emily Blunt) ditugaskan pergi ke Mexico untuk menangkap orang yang bertanggung jawab akan kasus tersebut. Bersama dengan penasihat CIA (Josh Brolin) serta salah satu agen misterius Alejandro (Benicio Del Toro), Kate pun berangkat ke berangkat ke dalam sebuah misi yang mungkin saja tidak pernah ia bayangkan.



Review


Sudah menjadi hal yang lumrah bila semakin kita mengetahui dunia yang sebenarnya, semakin sulit pula untuk kita mempertahankan sebuah idealisme dalam suatu pekerjaan. Dunia yang penuh intrik, konspirasi, dan segala macam hal yang membuat kita berpikir, dunia yang kita tempati ini secara tidak langsung telah menganut hukum rimba. Yang lemah akan tertindas, serta yang kuat akan semakin digdaya. Sicario, sebuah drama slow burning thriller menceritakan hal tersebut. Setelah menonton film yang berdurasi lebih kurang 121 menit ini gw menangkap ada sedikit kemiripan Sicario dengan film keluaran tahun 2011 The Ides of March yang disutradarai oleh George Clooney. Protagonis utamanya memiliki kemiripan, yaitu karakter yang masih ‘hijau’ serta naif dalam profesinya. Bedanya, Dennis Villeneuve mengambil tema narkoba sebagai ladang bermainnya.

Satu keahlian yang mungkin juga menjadi trademark dari seorang Dennis Villeneuve adalah bagaimana dia mampu meracik sebuah film yang faktanya bergerak perlahan namun tetap memiliki daya tarik untuk tetap diikuti tanpa sedikitpun kebosanan menghampiri. Tidak percaya? Silahkan lihat Incendies (tetap masih pencapaian terbaik dari sang sutradara) dan Prisoners. Kedua film tersebut memiliki durasi dua jam lebih, namun anehnya penonton (khususnya gw) sama sekali tidak merasa jenuh dengan apa yang ditampilkan oleh Villeneuve. Apa rahasianya? Bumbu utama yang menjadi faktor mengapa film Villeneuve begitu nikmat untuk disantap walau bertempo lambat adalah kepiawaian sang sutradara dalam menyembunyikan misteri yang ada di dalamnya. Ya, Villeneuve memanjakan penontonnya dengan menutup misteri rapat-rapat di awal, lalu seiring dengan bergeraknya narasi Villeneuve tidak segan-segan untuk menebarkan beberapa clue dan hingga akhirnya misterinya terkuak di menit terakhir. Dan itu pula yang Villeneuve lakukan dalam karya terbarunya ini. Berhasilkah? Absolutely fucking yes.

Dari drama pencarian orang tua dan saudara yang penuh akan kegetiran, drama penculikan, lalu hingga misteri dopphelganger yang mind blowing, misteri apa lagi yang ditawarkan sang sutradara dalam Sicario? Pertama, tentu saja misi yang diemban oleh Kate Macer itu sendiri. Kita berada dalam posisi yang sama dengan Kate, sama sekali tidak mengetahui tujuan misi tersebut kecuali penggerebekan gembong kartel narkoba. Tetapi menit demi menit narasinya berjalan, satu per satu Dennis memberikan beberapa jawaban dan kita pun sadar bahwa misi ini tidak sesederhana itu. Namun beberapa penonton yang mengharapkan sajian penuh action mungkin akan tertipu, apabila bagi mereka yang belum pernah menikmati karya-karya Dennis sebelumnya. Setelah opening yang cukup mendebarkan, praktis hanya ada dua action secquence. Tetapi action nya sendiri di sajikan dengan cara yang berkelas dan tidak kosong. Dengan bantuan dari Roger Deakins sebagai sinematografer, Dennis pun menangkap berbagai sudut-sudut kota Juarez yang tidak bersahabat. Momen yang paling keren adalah momen setelah Alejandro mengucapkan “welcome to Juarez”. Dennis pun cukup memperhatikan hal-hal kecil dalam menggambarkan betapa berbahayanya kota Juarez dengan menangkap beberapa gambar dimana penduduk kota terlihat biasa saja dengan kekerasan, polisi yang ramai berpatroli di jalan ataupun suara desingan peluru yang ada. Dan misteri selanjutnya serta yang paling mengganggu pikiran para penonton adalah, who the hell Alejandro is??

Karakter Alejandro sendiri digambarkan pria yang pelit bicara, intimidatif sehingga gw mengerti bila Kate cukup tidak tenang bila ada sosok Alejandro di dekatnya. Dan Benicio Del Toro berhasil dengan gemilang dalam memerankan sosok Alejandro. Gw akui masih sedikit mengikuti filmography Del Toro, tetapi gw yakin ini adalah salah satu peran terbaiknya. Praktis, Del Toro dengan Alejandro-nya cukup menenggelamkan Emily Blunt serta Josh Brolin yang juga bermain bagus. Emily Blunt sendiri adalah pilihan yang tepat memerankan sosok Kate Macer, sebuah agen wanita yang terlihat tangguh walaupun berada dalam kumpulan para pria, dan lewat tatapan matanya, Emily Blunt mampu menggambarkan sosok rapuh dari Kate setelah mengetahui berbagai kejadian-kejadian yang membuat keyakinannya selama ini goyah. Josh Brolin juga tidak bisa diremehkan dengan perannya sebagai analis CIA Matt Graver yang seenaknya serta oportunis.

8/10


Plot


Demi sebuah bisnis wedding expo dengan keuntungan besar, Bagas (Vino G. Bastian) dan Risa (Laudya Chyntia Bella), yang awalnya telah bercerai, diharuskan untuk rujuk kembali karena bisnis tersebut merupakan hasil ide dari mereka berdua. Masalahnya, Bagas telah menjatuhkan talak 3 kepada Risa tanpa mengetahui konsekuensinya dimana Risa harus menikah terlebih dahulu dengan pria lain supaya bisa kembali lagi dengan Bagas. Segala cara pun berusaha ditempuh oleh mereka berdua supaya dapat rujuk kembali.




Review


Terlepas dari desain poster nya yang, maaf, sedikit norak, Talak 3 harus diakui memiliki amunisi yang tidak main-main. Dari pemeran utama, Talak 3 memiliki dua aktor terbaik Indonesia, Vino G. Bastian dan Reza Rahardian, juga aktris yang tidak bisa diremehkan aktingnya yaitu Laudya Chyntia Bella. Ditambah dengan duet sutradara yang telah terbukti kualitasnya yaitu Hanung Bramantyo serta Ismail Basbeth yang unjuk gigi dengan Mencari Hilal tahun lalu (sayangnya gw belum nonton).

Talak 3 terdiri dari dua fase. Fase pertama kita akan disuguhkan dengan perjalanan usaha dari Bagas dan Risa untuk mengakali hukum dari Talak 3 itu sendiri. Nah, dalam cerita perjuangan mereka berdua ini lah penonton disuguhkan dengan beberapa momen yang berhasil meletupkan tawa. Tidak semuanya berhasil, tetapi hampir sebagian besar momen komedi tersebut sukses menggelitik kontak tertawa penonton. Apalagi setiap momen yang melibatkan kepala KUA Pak Hasmi (Hasmi Gundala), serta Jonur (Gareng Rakasiwi) dan juga tidak lupa pegawai KUA baru yang telah dimutasi 70 kali akibat ambisinya untuk menangkap pejabat sipil yang nakal, Basuki (Dodit Mulyanto). Walau penuh dengan tawa, jelas sekali disini Hanung (gw yakin Hanung paling bertanggung jawab dalam mengkoordinir fase pertama ini) menyentil akan pejabat-pejabat sipil yang suka bermain politik uang. Tidak hanya mereka bertiga, Vino G. Bastian (yang memang telah terbukti mampu memainkan akting komedi) seakan tidak mau kalah dalam menggelitik para penonton. Fase pertama ini seakan memberikan sebuah pemanasan untuk penonton sebelum memasuki fase kedua.

Fase kedua sendiri adalah dimana (tampaknya) Ismail Basbeth yang mengambil alih kemudi. Fase kedua berisikan sebuah kisah cinta segitiga antara Bagas, Risa dan Bimo (Reza Rahardian). Bedanya, cerita cinta segitiga ini digarap dengan atmosfer yang kental akan drama bahkan melankolis. Keputusan ini mau tidak mau memberikan sebuah dampak positif dan negatif. Positifnya, Talak 3 bisa menjadi tontonan emosional. Penuh dengan komedi di fase pertama, drama yang ada di fase kedua berpotensi besar mampu mempermainkan emosi penonton. Negatifnya, bagi penonton yang tidak siap dan hanya mencari sebuah tontonan yang menghibur dikarenakan trailer nya, mereka akan merasa tertipu dan bukan tidak mungkin mereka tidak puas dengan fase kedua ini.

Lalu, bagaimana dengan gw? Semenjak melihat trailernya dan menyadari Reza Rahardian ada di barisan pemeran utama, gw telah tahu film ini tidak akan berisikan komedi saja. Yang tidak gw ketahui adalah pembagian dua fase tadi. Jujur saja, gw adalah salah satu penonton yang sedikit tidak siap ketika film memasuki ke momen melodramanya. Gw mengakui fase kedua tidak lah buruk, bahkan mungkin bagi sebagian besar penonton terlarut akan dramanya, tetapi bagi gw dramanya sedikit klise, ditambah kalimat-kalimat cheesy juga ikut terlontar dari mulut para pemain nya. Mungkin saja gw bisa berpendapat seperti ini karena fase pertama tadi yang sangat penuh semangat dan bisa dibilang, sangat fun.  Dan minus terbesarnya adalah, Hanung dan Ismail membuat karakter Bagas kurang likeable sehingga para penonton pun tidak sulit untuk mendukung Risa bersatu dengan Bimo. Di fase kedua juga ada sebuah narasi yang menurut gw tidak terlalu penting. Andai saja cerita tersebut diganti dengan proses-proses CLBK antara Bagas dan Risa ketika mengerjakan proyek bersama, menurut gw Talak 3 bisa menjadi drama yang lebih powerful dimana penonton pun bingung akan mendukung siapa.

Untungnya, Talak 3 diisi dengan cast yang tidak perlu diragukan lagi kualitasnya. Laudya Chyntia Bella mungkin sedikit tenggelam ketiga satu scene dengan Vino dan Reza, tetapi ketika dituntut berakting emosional, Bella berhasil. Vino G. Bastian mungkin menjadi aktor yang serba bisa disini. Vino berhasil menjadi pemicu tawa disaat film bergerak dalam ranah komedi, dan Vino juga mampu memanfaatkan akting drama nya ketika momen yang mengharuskannya untuk meluapkan emosi nya. Reza Rahardian juga tidak mau kalah. Sedikit terabaikan di fase pertama, Reza unjuk gigi di fase kedua dengan mengeluarkan akting kelas wahidnya. Momen terbaiknya adalah ketika perseteruannya dengan Bagas di rumah kontrakannya.

Ringkasnya, mungkin akan jauh lebih baik apabila Hanung dan Ismail tidak membagi film ini menjadi 2 fase, tetapi Talak 3 tetap mampu menjadi film yang menghibur dan layak untuk ditonton. Pesan saya untuk yang belum menonton film ini, jangan tertipu dengan trailernya.

7,25/10






   "What if I could put him in front of you? The man that ruined your life. If I could guarantee that you'd get away with it, would you kill him?"- Temporal Agent

Plot


Predestination dibuka dengan adegan dimana seorang pria yang ingin menghentikan bom telat untuk menjinakannya. Bom yang dirancang oleh teroris yang dikenal dengan Fizzle Bomber itu meledak dan mencederai nya, terutama bagian muka yang sangat parah. Setelah menjalani operasi pergantian wajah, pria yang sebenarnya adalah Temporal Agent (Ethan Hawke) kembali melanjutkan misinya menangkap Fizzle Bomber dengan menyamar menjadi seorang bartender. Pada suatu malam, Temporal Agent bertemu dengan seorang pria misterius yang menjuluki dirinya “The Unmarried Mother” (Sarah Snook), yang kemudian menceritakan kisah kelam yang ia alami. Apa sebenarnya relasi dari cerita tersebut dengan misi yang sedang diemban oleh sang agent?





Review



Tema time travel seolah tidak bisa dilepaskan dari sebuah film, terutama genre film science fiction. Entah udah berapa film bergenre scifi yang mengangkat tema tersebut. Inti cerita dari kebanyakan film time travel sendiri adalah memperbaiki sebuah kesalahan di masa lalu untuk merubah masa depan yang dihadapi atau juga untuk mengetahui sebuah rahasia besar yang terjadi di masa lalu. Predestination sendiri masih mengangkat inti cerita yang pertama sebagai sub plot nya. Namun masalah terbesar dalam film tema travel sendiri adalah film tersebut berpotensi akan meninggalkan sebuah lubang yang cukup mengganggu apabila tidak digarap dengan teliti.
Film yang diadaptasi dari cerita pendek milik Robert A. Heinlein yang berjudul “All You Zombies” ini sendiri gw perkirakan akan menjadi sebuah sajian yang dipenuhi oleh adegan aksi. Predestination sendiri dibuka dengan sebuah action secquence yang makin menguatkan dugaan gw. Maka alangkah terkejutnya gw setelah mengetahui fakta bahwa hampir satu jam durasi awal nya kita malah diperlihatkan sebuah cerita “luar biasa” dari The Unmarried Mother dan yang tidak diperkirakan lagi adalah malah cerita ini lah yang menjadi aspek terbaik dari karya Spierig Brothers ini.
Flashback demi flashback akan ditampilkan, dengan diiringi oleh suara parau dari Sarah Snook yang semakin mempertebal kesan bahwa betapa berat hidup yang harus dijalani oleh The Unmarried Mother sehingga sulit untuk tidak terikat dengan karakter ini.  Walau disajikan dengan alur lambat, tetapi Spierig Brothers berhasil membuat cerita flashback ini menarik diikuti berkat cermatnya mereka membangun sebuah karakter. Sebuah sajian flashback ini tentunya menjadi sebuah fondasi utama dalam menyambut sisa durasi yang ada. Dan tentunya juga paruh awal ini juga duo sutradara ini menebarkan clue demi clue yang tidak diperlihatkan secara gamblang untuk menantang ketelitian penonton.
Namun sayangnya ketika cerita flashback telah berakhir, disinilah kelemahan Predestination tampak. Spierig Brothers seolah terlalu asik bermain dengan tema time travel nya. Akibatnya permasalahan utama dari tema time travel pun tampak disini, yaitu terciptanya beberapa plot hole yang harus diakui cukup mengganggu. Jujur saja permasalahan ini sedikit mengendurkan atensi gw terhadap cerita Predestination. Sampai pada konklusi yang “seharusnya” mengejutkan, Predestination sedikit meninggalkan kekecewaan. Namun ada satu faktor yang berperan besar untuk terus mengikuti film dari Australia ini. Ya, faktor tersebut adalah Sarah Snook yang bermain luar biasa. (Sarah Snook mirip banget sama Emma Stone)

 mirip banget kan?

Seperti yang gw paparkan sebelumnya, bagian terbaik dari Predestination adalah ketika bagian The Unmarried Mother menceritakan masa lalunya. Dan penampilan Sarah Snook yang hampir mendominasi bagian pertama ini berperan sebagai kuncinya. Permainan emosi yang ia tampilkan begitu mudah untuk menarik simpati dari penonton (terutama gw). Ada beberapa momen terbaik dari Snook, salah satu nya scene “It’s lovely day.” Andai Predestination di produksi oleh sebuah rumah produksi besar dari Amerika Serikat, gw yakin, aktris yang juga membintangi Jessabelle ini mampu masuk dalam nominasi Academy Awards. Tanpa menyampingkan penampilan Ethan Hawke yang baik, Sarah Snook lah yang berhasil mencuri perhatian. Oh ya, jajaran kru make up juga patut diberi kredit poin dengan pekerjaannya yang gemilang.

Sedikit melemah ketika narasi bergerak menuju akhir, Predestination tetaplah sebuah film yang layak untuk kalian saksikan dalam waktu senggang. Sebuah drama pencarian arti kehidupan yang bila diresapi cukup kejam dan tragis, ditambah dengan penampilan gemilang dari Sarah Snook. What a breakthrough performance!!

7,25/10


Thursday 4 February 2016

As long as you can still grab a breath, you fight.- Huge Glass

Plot

Huge Glass (Leonardo DiCaprio) adalah salah satu dari anggota ekspedisi berburu bulu hewan yang dikomandoi oleh Kapten Andrew Henry (Domhnall Gleeson). Sial bagi Glass, dalam perjalanan usaha menuju tempat aman setelah mendapatkan serangan dari suku Indian setempat, Glass secara brutal diserang oleh beruang Grizzly betina. Walau berhasil membunuh beruang tersebut, Glass menderita luka yang sangat parah sehingga tidak bisa meneruskan perjalanan dengan kakinya sendiri. Karena Glass adalah satu-satunya orang yang mengenal wilayah yang sedang diekspedisi, Kapten Henry meminta anggotanya untuk membawa Glass. Keputusan ini mendapatkan penolakan dari sebagian besar anggotanya, termasuk Fitzgerald (Tom Hardy) yang paling lantang menyuarakan penolakan. Namun pada akhirnya, Kapten Henry pun harus rela meninggalkan Glass dikarenakan semakin sulitnya medan yang harus ditempuh. Dengan diiringi rasa iba, Kapten Henry meminta 3 dari 10 anggotanya untuk menjaga Glass hingga Glass benar-benar tewas. Dengan diiming-imingi dengan uang, Fitzgerald bersedia menjaga Glass bersama Bridger (Will Poulter) dan anak Glass, Hawk (Forrest Goodluck). Fitzgerald sendiri tidak ada niat untuk merawat Glass karena dalam beberapa jam kemudian Fitzgerald dengan teganya membunuh Hawk didepan Glass dan mengubur hidup-hidup Glass.




Review

Setelah menggebrak dengan drama black comedy nya, Birdman, yang cukup sukses dalam ajang penghargaan Academy Awards tahun lalu, sang sutradara Alejandro Inarritu, yang juga terpilih menjadi best director,  kembali dengan sebuah film drama survival, The Revenant. The Revenant sendiri adalah kata dari bahasa Prancis yang berarti “Kembali” atau simplenya hidup kembali. Melihat apa yang telah dilakukan Inarritu pada Birdman yang sangat memuaskan itu (Kalo sempat, gw akan ngereviewnya), tidak berlebihan apabila pencinta film akan sedikit meninggikan ekspektasi mereka akan The Revenant. Apalagi The Revenant dibintangi oleh salah satu aktor terbaik saat ini, Leonardo DiCaprio serta aktor British favorit gw, Tom Hardy, yang juga tengah menanjak karirnya setelah baru-baru ini membintangi Mad Max: Fury Road. Tidak hanya itu, Inarritu juga kembali bekerja sama dengan rekannya di Birdman, siapa lagi kalau bukan Emmanuel Lubezki.
Lalu, apa yang disajikan oleh Inarritu ini? Kalau gw melihatnya, tema survival lebih dominan akan film ini karena mungkin dalam film yang berdurasi 156 menit ini, ada 60%-65% kita akan diperlihatkan bagaimana Huge Glass melakukan segala cara untuk bertahan hidup. Apa yang dilakukan Huge Glass? Ekstrim. Cukup satu contoh yang gw sebut, tidur dalam badan bangkai Kuda. Dan Inarritu menyajikan setiap plot survival ini dengan sangat detil. Kita bahkan diperlihatkan bagaimana Glass mencabik-cabik perut kuda hanya untuk dijadikan tempat tidur yang hangat dalam badai salju yang kejam. Walau tidak diperlihatakan secara vulgar, tetap saja setiap gesekan pisau yang meyakinkan akan cukup mengganggu kalian bagi yang memiliki perut yang lemah. Ya, The Revenant bukanlah film yang cocok untuk mereka. Oh, don’t get me started with The Grizzly vs Huge Glass. One of the brutal scene i’ve ever seen. You have to watch it by yourselve. Intinya, Inarritu berhasil membuat plot survival nya begitu meyakinkan. Sehingga gw pun memaklumi kalau ada beberapa kru yang sempat mengundurkan diri sebelum atau sedang dalam proses syuting The Revenant.
Namun, apabila diambil dari perspektif lain, The Revenant bisa saja membosankan bagi mereka yang tidak sabar menunggu Glass membalaskan dendamnya. Mereka tidak salah, karena setelah plot survival dimulai, praktis sebagian besar kita diperlihatkan karakter Glass merintih, mengerang, mencoba bertahan hidup. Memang ada satu adegan aksi, tetapi tidak berlangsung lama sehingga gw tidak menyalahkan apabila ada penonton yang merasa sedikit bosen. Tapi disinilah kekuatan Emmanuel Lubezki tampak dan menonjol. Alam yang berada di Kanada serta Argentina tentu saja menjadi sajian empuk bagi Emmanuel Lubezki untuk menangkap gambar-gambar yang sangat memanjakan mata. Lubezki pun masih memasukkan trademark nya, apalagi kalau bukan long take nya yang dengan briliannya digunakan dalam setiap adegan yang mampu memacu detak jantung.  Dengan gambar-gambar yang memukau inilah bagi gw salah satu elemen yang membuat cerita Glass bertahan hidup tidak membosankan dan tetap menarik untuk diikuti. Tapi tetap, kekuatan utama gw sangat menikmati film adapatasi dari novel milik Michael Punke ini adalah Leonardo DiCaprio.
Sedikit berlebihan bagi mereka yang menyebutkan bahwa ini adalah akting terbaik dari Leo (IMO, perannya sebagai Howard Hughes di The Aviator tetap terbaik), namun gw sependapat apabila kans Leo untuk memenangkan Oscar pertamanya lewat aktingnya di film ini. Tidak hanya karena The Revenant memiliki materi Oscar, tetapi akting Leo benar-benar luar biasa. Gw mengikuti setiap film yang dimainkan Leo, namun baru kali ini Leo harus dituntut berakting dengan total. Gw tidak bisa menerangkan secara detil bagaimana epic nya penampilan Leo, cukup saksikan di bagian di mana Hawk dibunuh di depan matanya. Perhatikan ekspresinya. Kemarahan, kepedihan, serta penderitaan yang sedang dialaminya berhasil ia tampilkan dalam satu scene. Berat untuk tidak terpukau. Belum lagi scene-scene lain yang memaksa Leo untuk memberikan komitmen nya sebagai aktor kelas satu. Tidak bisa dibayangkan bagaimana reaksi pengguna dunia maya apabila Leo kembali gagal meraih Patung Emas Pria Berkepala Botak lagi. Penampilan menawan Leo pun mendapat perlawanan yang cukup sepadan dari Tom Hardy. Sedikit berlebihan dengan mengatakan ini adalah penampilan terbaik dari “Bane”, karena penampilannya disini masih ada beberapa level di bawah perannya sebagai Charles Bronson ataupun Ivan Locke, tetapi memang Hardy berhasil menjadi sosok antagonis yang begitu kejam, berdarah dingin yang membuat penonton dengan mudah mencacinya. Bahkan hanya dengan tatapan mata saja Hardy sudah mampu memperlihatkan bahwa karakter Fitzgerald yang dibawakannya adalah sosok pria yang super egois nan keji, dan tentu saja kita berharap supaya sosok Fitzgerald ini berada sejauh mungkin dari lingkungan hidup kita. Cukup menyenangkan bahwa pihak Academy Awards akhirnya meliriknya dengan memasukkan Hardy dalam nominasi best supporting actor.
Apa ada yang menyatakan bahwa The Revenant merupakan film yang membosankan? Mungkin ada. Tetapi apabila kalian cukup bersabar dan memberikan waktu, maka kalian akan mendapatkan sebuah pengalaman cinematic yang memuaskan. Sebuah cerita dendam, dan juga bertahan hidup yang memukau. Ditambah penampilan level S dari seorang Leonardo DiCaprio, The Revenant adalah salah satu film terbaik di awal tahun ini. Dan ya, habis menonton film ini, gw sangat bersyukur bisa hidup dengan aman tanpa perlu berjuang hidup dan mati seperti Hugh Glass.

8,25/10

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!