Wednesday 27 December 2017


"I have my belief, and in all its simplicity that is the most powerful thing"- Bobby Sands

Plot

Memperlihatkan para pejuang aktivis kemerdekaan Irlandia yang ditahan di dalam Maze Prison akibat aksi pemberontakan yang mereka lakukan terhadap pemerintahan Inggris. Walau tengah mendekam di bui, ternyata tidak menyurutkan dan menghentikan perlawanan mereka. Dimulai pada tahun 1978, mereka menolak untuk dibersihkan (no wash protest) dan berpakaian (blanket protest). Tidak hanya itu, para pejuang kemerdekaan ini pun mengotori ruangan penjara mereka dengan kotoran, air kencing dan bekas-bekas makanan. Seolah tuntutan mereka tak didengar, dua aksi protes itu mereka hentikan dan beralih ke aksi mogok makan (hunger strike) yang diketuai oleh Bobby Sands (Michael Fassbender).




Review

Hunger yang dirilis pada tahun 2008 ini mungkin lebih dikenal akan penampilan total dan mengagumkan dari seorang aktor yang telah mencapai popularitasnya sekarang, yaitu Michael Fassbender. Totalitas ditunjukkan Fassbender dengan rela melakukan penurunan berat badan secara drastis supaya terlihat meyakinkan dalam memperlihatkan penderitaan Bobby Sands dalam melakukan aksi mogok makannya. Saya kurang tahu berapa berat badan yang harus diturunkan oleh Fassbender, namun hal itu telah cukup untuk dirinya terlihat bagaikan tengkorak hidup dalam film ini (seperti yang dilakukan Christian Bale dalam The Machinist 4 tahun sebelumnya). Dengan melakukan pengorbanan itu juga lah, menurut saya, sedikit banyak membantu Fassbender untuk mengeluarkan ekspresi deritanya dalam melakukan hunger strike. Bahkan kesakitan terpancar dari mukanya saat melakukan hal yang sangat sepele sekalipun, seperti menolehkan kepalanya. Dan kualitas aktingnya juga terlihat kala ia beradu akting dengan Liam Cunningham yang memerankan Priest Dominic dalam one continuous shot selama hampir 18 menit. Bukan hal yang mudah tentu saja untuk harus berakting dalam one take yang lama serta tetap mempertahankan peran yang sedang dimainkan. Hal itu pun terlihat dari persiapan antara Fassbender dan Cunningham yang melakukan latihan selama beberapa hari dan melakukan latihan adegan tersebut sebanyak 12-15 kali per hari (Terima kasih, IMDB).



Namun, adegan panjang tersebut tidak hanya mempertontonkan penampilan cemerlang dari Fassbender dan Cunningham (yang mengikuti Game of Thrones pasti segera tahu aktor ini memerankan siapa dalam serial tersebut), tetapi juga membuktikan jika Steve McQueen bukanlah sutradara yang hanya pintar berbicara lewat visual saja, namun cukup piawai dalam merangkai dialog panjang yang tidak membosankan. Inti pada adegan ini adalah pernyataan "perang" dari Bobby yang ia sampaikan pertama kali kepada Priest Dominic, namun alih-alih untuk langsung kepada poin utama, dua tokoh ini mengawalinya dengan berbasa-basi seperti Priest Dominic yang membicarakan adiknya yang memiliki profesi lebih baik dibandingkan dirinya, kebiasaan melinting Bobby dalam penjara, sedikit masa lalu keduanya, sebelum akhirnya pembicaraan menyentuh akan tujuan utama Bobby memanggil Priest Dominic. Transisi demi transisi dilalui tanpa terkesan dipaksa, dan juga berkat dialog itu pun memberikan pengembangan karakter pada Bobby, bahkan Priest Dominic, yang kehadirannya bagaikan mewakili penonton yang mungkin menganggap aksi yang dilakukan Bobby itu bodoh dan terlalu berlebihan. Ya bayangkan saja, melakukan aksi mogok makan dalam kurun waktu tak ditentukan? Jangankan manusia, setan aja gak bisa bertahan lama dalam kondisi lapar. Namun kita tidak mengalami apa yang dialami Bobby, sehingga benar apa kata Bobby, kita tidak bisa mengerti seutuhnya akan keputusan yang telah diambil Bobby. Dialog-dialog yang dikeluarkan Bobby pada adegan tersebut juga menunjukkan karakter pada diri Bobby yang rela berkorban demi kemerdekaan Irlandia dan begitu menjunjung tinggi akan prinsip dan keyakinan yang ia pegang.

Steve McQueen juga sedikit mengeksplor akan dampak konflik yang dinamai The Troubles ini. Selain para tahanan yang mengalami kekerasan di luar manusiawi dari penjaga penjara, konflik juga turut memberikan teror pada pihak polisi sendiri. Terlihat seperti salah satu penjaga penjara yang harus menghadapi konflik batin akibat pekerjaannya yang harus mengamankan tahanan dengan kekerasan, serta polisi muda yang belum kuat mental untuk melakukan kekerasan fisik pada tahanan yang melawan. Salah satu adegan favorit saya dalam film ini adalah ketika si polisi muda ini menangis dalam diam, dan di sisi lain terdapat Bobby Sands yang dihujani akan pukulan-pukulan dari pentungan keras belasan polisi. Sebuah adegan yang sangat ironi nan disturbing.

Hunger memang karya debut dari Steve McQueen, namun Hunger saya tonton setelah saya lebih dulu menyaksikan karya McQueen setelah Hunger yaitu Shame dan 12 Years a Slave (film yang menghantarkan McQueen mendapatkan piala Oscar pada kategori Best Picture). Keputusan yang keliru mungkin, namun berkat itu juga lah saya bisa beradaptasi dengan cepat akan gaya penyutradaraan McQueen yang tidak biasa, yang juga diaplikasikan McQueen dalam dua film tersebut, seperti long take yang panjang dan kekerasan yang sulit dipandang (dear God, adegan cambuk di 12 Years a Slave itu merupakan salah satu alasan kuat mengapa saya tidak berani lagi menyentuh film ini). Harus diakui, berkat itu Shame dan 12 Years a Slave juga bukan film yang mudah untuk diikuti, namun dua film tersebut memiliki tema yang kuat sehingga mudah untuk saya terikat dan mengikuti hingga akhir (terutama tema perbudakan dalam 12 Years a Slave). Di Hunger, Steve McQueen justru lebih "seenaknya" dalam menunjukkan gaya penyutradaraannya. Banyak long take, bahkan ada di antaranya kurang jelas apa maksudnya dan adegan-adegan bisu yang hanya memperlihatkan karakter nya melakukan peran. McQueen seolah ingin menyampaikan maksud lewat tampilan visual, dan puncaknya terlihat pada 20 menit terakhir. Minim sekali dialog dan hanya mengeksplor penderitaan dari Bobby Sands. 

Luka di sekujur tubuh, ekspresi kosong, dan daya tahan serta fisik tubuh lemah yang bahkan berdiri pun tidak sanggup tentu bukanlah sajian yang mudah untuk dilihat. Dari sini, tanpa adanya dramatisasi tidak perlu, penonton (setidaknya saya) mengagumi bahkan mengidolai karakter Bobby Sands yang sangat berpegang teguh dengan prinsipnya, tidak perduli akan fisik yang semakin lemah dan semakin dekat dengan kematian, tetapi itu tetap tidak menghentikannya untuk berjuang. Tidak heran jika aksi ini melahirkan pengaruh yang besar dalam konflik Irlandia Utara dimana aksi Bobby ini mendapatkan perhatian dari dunia dan memaksa pemerintah Inggris untuk menyetujui tuntutan dari Bobby. Hasil dari perjuangan mati-matian Bobby ini secara tidak langsung juga berdampak pada melejitnya Fassbender sebagai aktor. Tercatat, setelah film Hunger, Fassbender mendapatkan peran-peran besar seperti Magneto dalam franchise X-Man, bekerja sama dengan Quentin Tarantino dalam Inglourious Basterds hingga dirinya mendapatkan nominasi Oscar pertamanya dalam film 12 Years a Slave (yang banyak dinilai pihak harusnya ia dapatkan dalam film Shame, 3 tahun sebelumnya). 

Hunger jelas bukanlah film yang bisa dimakan oleh semua penikmat film. Grafis kekerasan yang keras, full nudity yang turut memperlihatkan totalitas nya para pemeran disini, terutama Fassbender, serta gaya sutradara McQueen dalam menghadirkan long take di setiap adegan sederhana, berisiko akan mendatangkan kebosanan pada penikmat film yang belum terbiasa akan pendekatan yang diambil oleh sutradara. Namun, jika kalian sedikit bersabar, maka Hunger akan menjadi sajian yang cukup berpengaruh. Dengan durasi 90 menit, Hunger memperlihatkan kekuatan niat dan pengorbanan besar dari seorang (atau beberapa) pria yang mempertaruhkan hidupnya demi kepentingan negara, yang membuatnya menjadi sajian yang tidak mudah terlupakan. Dan juga menjawab mengapa Fassbender sekarang adalah salah satu aktor terbaik pada generasi saat ini.

8,5/10

Thursday 21 December 2017


"Seven minds are better than one"- Sunday

Plot

Akibat dari membludaknya populasi manusia yang disertai tidak berimbangnya dengan kekayaan alam, memaksa pemerintah di seluruh dunia menemukan solusi terbaik demi mengatasi permasalahan tersebut. Ahli biologi, Nicolette Cayman, mencetuskan The Child Allocation Act yang mengharuskan setiap keluarga hanya diperbolehkan memiliki satu anak saja. Bila ketahuan memiliki anak lebih dari satu, maka pihak biro pemerintah yaitu, Child Allocation Beureu (CBA) akan membawa "anak illegal" tersebut ke sebuah tempat di bawah naungan CBA yang bernama Cryosleep, dimana para anak-anak itu ditidurkan dalam kurun waktu yang lama di sebuah tabung, dan akan dibangunkan ketika dunia telah terbebas dari masalah. Kondisi ini memaksa Terrence Settman (Willem Defoe) harus memutar otak demi menyelamatkan anak dari putrinya yang melahirkan 7 putri kembar genetik yang menyebabkan dirinya juga harus meninggal dalam proses kelahiran. Tidak ingin cucu-cucunya dikirim ke Cryosleep, Terrence melatih ketujuh cucunya, yang masing-masing memiliki nama berdasarkan 7 hari dalam satu minggu, Monday, Tuesday, Wednesday, Thursday, Friday, Saturday dan Sunday (diperankan semuanya oleh Noomi Rapace), untuk hidup dalam persembunyian dan bernaung pada satu identitas bernama Karen Settman. Sukarnya, mereka masing-masing harus bergantian keluar dari persembunyian untuk menjalani aktivitas sehari-hari, sesuai dengan nama mereka satu sama lain. Bila hari Senin, maka Monday yang akan mendapatkan tugas, hari Selasa adalah tugas Tuesday dan begitu seterusnya. 




Review

Konsep ceritanya menarik. Mengenai kehidupan dystopia masa depan (tidak disebutkan periodenya) yang mengalami overpopulation yang mendesak pemerintah dunia membatasi jumlah lahir bayi tiap tahun dengan cara paksaan. Sedikit banyak memang mengingatkan kita pada film terbaik bertemakan dystopia sebelumnya, apalagi kalau bukan Children of Men, tetapi tak bisa dipungkiri, konsep ini masih bernafaskan originalitasnya. Ditambah lagi, pusat penceritaan adalah 7 saudari kembar genetik sama persis, yang telah terlihat bila Max Botkin dan Kerry Williamson selaku penulis cukup terlihat ambisius. Bukan perkara gampang untuk membagi fokus dalam 7 sudut pandang sekaligus. Potensi nya cukup besar bila akan ada satu atau dua karakter yang tenggelam akibat karakter-karakter lain mungkin saja dimodali dengan karakterisasi yang jauh lebih menarik. Beban itu ditempatkan kepada sutradara, Tommy Wirkola. 

Selain itu, penonton juga harus dituntut akan ketelitian serta daya ingatnya untuk membedakan karakter satu dengan karakter yang lain. Untungnya, Wirkola memperhatikan ini dengan mendesain karakternya cukup berbeda antar satu sama lain. Ciri khas itu tergambarkan melalui dari cara berpakaian yang juga secara tidak langsung merefleksikan kepribadian masing-masing, dan yang utama adalah model rambut mereka. Karena saya laki-laki yang cukup cuek dengan penampilan, bagian mengenai ciri akan rambut mereka yang berbeda itu luput dari perhatian saya awal-awalnya.

Saya menyukai setengah durasi film ini berjalan. Dari menit pertama, penonton disajikan footage-footage dari liputan berita mengenai informasi kepelikan yang sedang melanda bumi, kemudian perkenalan kita dengan Settman Siblings yang telah dewasa, lengkap pula sedikit flashback mereka yang masih dilindungi oleh sang kakek, hingga perjuangan mereka untuk bertahan hidup. Dalam durasi kurang lebih setengah jam, Duo Botkin-Williamson cukup jeli dalam memperhatikan detil-detil mengenai bagaimana Settman Siblings mampu menyembunyikan keberadaan mereka selama kurun waktu 30 tahun lebih. Karena harus berlindung pada satu identitas yang menjalani kehidupan sehari-hari, Settman Siblings harus memperhatikan kejadian yang dialami saudarinya masing-masing dalam satu hari tersebut. Untuk itulah, mereka dilengkapi perekam yang diselipkan di gelang identitas mereka supaya saat satu tokoh pulang, Settman Siblings akan memperhatikan rekaman tersebut sebagai modal untuk saudari lainnya yang ketiban peran sebagai Karen Settman di hari selanjutnya. Tidak sampai situ, penampilan mereka pun harus lah sama saat, dari cara berpakaian sampai model rambut dan gaya make-up nya pula.  Belum lagi berbagai alat yang mereka miliki hasil dari kreasi sang kakek untuk mempermudah mereka dalam berkomunikasi satu sama lain. Naskah Botkin-Williamson telah cukup meyakinkan saya untuk percaya bila Settman Siblings mampu bertahan dalam waktu yang sangat lama lewat hal-hal tersebut, walau masih mengundang pertanyaan seperti siapa sebenarnya seorang Terrence Settman hingga mampu menciptakan berbagai alat-alat untuk cucu-cucunya.

Kehidupan sembunyi-sembunyi ini rupanya memerlukan pengorbanan. Tampak dalam satu adegan flashback ketika ada satu karakter yang membangkang akan peraturan ketat sang kakek, yang mengakibatkan dirinya terlibat suatu kecelakaan. Mereka hidup dalam satu identitas yang diketahui pemerintah, maka jika ada satu saja mengalami cedera, yang lain pun ikut terkena imbasnya sehingga dengan alasan untuk mempertahankan keberlangsungan hidup cucu-cucunya, Terrence harus melakukan satu hal yang saya jamin, sangat berat dilakukan untuk seorang kakek terhadap cucu nya. 

Tidak terbayang betapa menderita dan susahnya bagi Settman Siblings ini bertahan hidup dalam pengasingan dalam waktu 30 tahun lebih. Tidak dijelaskan memang, tapi dari sini saya diajak untuk membayangkan berapa banyak pengorbanan serta tekanan batin yang kuat dari masing-masing karakter. Hal ini lah yang membuat saya perduli terhadap keberlangsungan hidup mereka, walau sayang memang harusnya disini juga tergambarkan kedekatan yang hangat antar satu sama lain ketika dewasa. Memang ada momen perbincangan singkat sampai mereka pun tertawa bersama-sama, hingga flashback saat masa kecil mereka yang masih ditemani sang kakek, tetapi saya rasa bisa ditambah lagi durasi akan kedekatan hangat mereka. Kejadian-kejadian flashback nya pun saya menangkap hanya memperdalam koneksi Settman Siblings dan sang kakek. Bagi saya, ini jauh lebih membantu untuk menguatkan narasi menuju ke konflik yang akan dialami Settman Siblings, dibandingkan apa yang terjadi pada saat film masuk ke third act nya.


Konflik utama mulai bermula kala 30 menit telah berjalan, dan dari sinilah terlihat fungsi besar akan pondasi narasi yang telah cukup kuat tercipta sebelumnya.  Berkat pondasi tersebut, penonton akan dihadirkan cerita yang lumayan menguras emosi. Tidak terlalu mengandalkan dramatisasi berlebih karena rasa haru muncul karena saat berbagai kejadian tersebut tampil di layar, dalam pikiran penonton diajak untuk kembali mengingat berbagai pengorbanan serta susah payah mereka hidup dalam satu apartemen bertujuh sekaligus. Bayangkan saja kedekatan antar saudari yang telah tercipta dalam 30 tahun hidup bersama. Ceritanya pun masih berpusat pada upaya mereka untuk bertahan diimbangi pula untuk menggali informasi mengenai hilangnya Monday (yap, ini konflik pertama nya yang sengaja tidak saya tulis dalam tulisan plot di atas). Pada momen ini juga hadir sajian aksi yang mendebarkan juga brutal. Wikorla menyajikan action secquence tersebut serealistis mungkin, dengan memperlihatkan jerih payahnya Settman Siblings melawan musuh mereka yang jauh lebih berpengalaman. Mungkin dalam film sajian aksi pada umumnya, Settman Siblings akan diperlihatkan menang dengan cukup mudah, tetapi hal tersebut tidak berlaku disini. Masing-masing musuh, mereka kalahkan dengan mati-matian, dan juga tidak segan pula, Wikorla mempertotonkan karakter perempuan menerima berbagai pukulan telak beberapa kali. Wikorla pun turut menghadirkan sebuah ironi di suatu momen ketika ada satu karakter yang tengah dihinggapi kenikmatan bercinta untuk pertama kalinya, namun disisi lain saudara kembarnya tengah mengalami kejar-kejaran dengan pihak CBA.

Pada momen survivor ini, saya sangat menyukai What Happened to Monday, bahkan saya berpotensi ingin menyatakan bila film ini adalah salah satu film paling mengejutkan pada tahun ini, sebelum hingga film bergerak menuju ke third act nya. Tidak cukup hanya menampilkan 7 karakter perempuan kembar identik dalam menunjukkan betapa ambisiusnya Botkin-Williamson, duo screen writer ini juga ingin menghadirkan revolusi kecil-kecilan yang dilengkapi pula akan dua twist yang telah menanti, salah satunya tentu adalah mengenai program Cryosleep itu sendiri. Saya tidak mempermasalahkan mengenai ide revolusinya, tetapi ide ambisius itu diikuti pula akan pengorbanan  karakterisasi pada satu karakter dan menggiring kita kepada konklusi yang menurut saya lumayan dipaksakan, seolah melupakan segala pengorbanan yang telah tertumpah sebelumnya. 

What Happened to Monday (sebelumnya memiliki judul Seven Sisters) ini tentu saja menjadi showcase nya Noomi Rapace. Saya belum mengikuti karir akting dari Rapace, bahkan pertama kali saya melihat penampilannya pada film The Drop, yang mana aktingnya tidaklah terlalu menonjol, serta saya juga belum menyaksikan The Girl with the Dragon Tatoo yang mengangkat namanya itu. Disini tidak main-main tantangan yang diberikan Rapace, yaitu harus memainkan 7 karakter yang tentu memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Dan Rapace menjawab tantangan yang menuntut akan luas nya range akting dari seorang aktor tersebut dengan fantastis. Dengan gemilang ia menghidupi satu demi satu karakter dengan perbedaan yang signifikan, dari wanita dewasa nan elegan, centil, tomboy, hingga gadis yang culun, semuanya ditampilkan brilian oleh artis Swedia ini. Kita tidak lagi melihat 7 karakter ini diperankan Rapace, tetapi sebagai karakter-karakter yang berbeda dan memiliki satu nyawa masing-masing. Sayang memang, penampilan fantastis ini kemungkinannya sangat kecil akan dilirik oleh pihak Academy Awards. 

What Happened to Monday memang bukanlah film yang berkesan hingga minggu depan kalian akan tetap mengingatnya, tetapi jelas film ini tetaplah sangat menghibur dan jauh dari ekspekstasi saya. Berbagai kelemahan narasi, terutama pada saat film bergerak menuju akhir, cukup bisa dimaafkan kala kita jauh lebih terikat dengan kehidupan sembunyi-sembunyi dari Settman Siblings, dan tidak lupa juga penampilan menakjubkan dari Noomi Rapace, membuat What Happened to Monday tetap pilihan yang tepat untuk mengusir rasa bosanmu.

7,75/10

Wednesday 13 December 2017




"What hurts me the most is that I wasn't enough"- The Mother

Plot

Pasangan suami istri (yang diperankan Jennifer Lawrence dan Javier Bardem) kedatangan seorang tamu tak diundang (diperankan Ed Harris) yang mengaku sebagai seorang dokter. Sang suami (next, I'll call him "the writer") secara sukarela menawarkan tamu tersebut untuk menginap di rumah nya yang tampak belum selesai dipugar. Sang istri (i'll call her "the mother" next) tidak sepenuhnya sependapat akan tawaran suaminya, namun dia akhirnya mau menerima tamu tersebut. Tanpa disangka bila kedatangan tamu itu akan menghadirkan kejadian yang tidak mengenakkan untuk mereka.




Review

Finally, I just watched the movie that everyone talked about. Yeah, not Justice League, but Mother!. Semua penikmat film di internet ramai membicarakan film ini, bahkan saat saya mengetikkan keyword Mother!, tanpa embel-embel apapun, page pertama yang ada di Google dipenuhi akan teori-teori penjelasan sebenarnya mengenai film yang disutradarai dan ditulis oleh Darren Aronofsky ini. Sebenarnya, nama Aronofsky saja telah lebih dari cukup untuk saya mengapa saya begitu ingin menyaksikan karya terbarunya ini, tetapi dorongan itu semakin kuat kala melihat fakta bila Mother! menjadi salah satu film yang paling ramai didiskusikan pada tahun ini. Dan setelah baru pertengahan film berjalan, saya telah menyadari mengapa hal tersebut dapat terjadi. Because this movie really really, REALLY fucked up. History saya dalam menyaksikan film memang tidak sebanyak penggemar-penggemar film lainnya, terutama film yang bisa dikategorikan disturbing, tetapi rasanya saya tidaklah hiperbolis jika saya menyatakan bila film ini adalah film yang memberikan pengalaman paling tidak mengenakkan untuk saya kala menyaksikannya. Percayalah, sekali lagi, saya tidak mencoba untuk berlebihan.  Awalnya saya yang hanya menyiapkan diri akan sajian konflik pada rumah tangga, malah diberikan akan sebuah pengalaman menonton yang, well, sangat disturbing.

Dari awal saja ketika film bergulir, penonton telah disajikan akan sajian gambar muka perempuan dengan mata terbuka, dibakar habis oleh kobaran api, sebelum menutup matanya, diiringi dengan tetes air mata yang mengalir di pelupuk pipi, sebelum judul film terpampang dilayar. Setelah pembukaan yang telah mengundang pertanyaan sebenarnya jenis film apa yang akan kita saksikan ini, Aronofsky memperlihatkan the writer meletakkan batu berlian di tempat khusus, yang kemudian disusul dengan penampakan rumah yang awalnya tampak habis hangus terbakar, mulai merekonstruksi ulang hingga tampak normal kembali. Hingga kita akan diperkenalkan dengan seorang perempuan yang baru terbangun dari tidurnya. Tentunya adegan yang memakan waktu tidak sampai 1 menit itu telah membuat saya penasaran apa makna dibalik kejadian itu. Disitulah sebenarnya Aronofsky telah memberikan satu bukti penting secara tersirat yang tentu saja hanya bisa dimengerti oleh bagi mereka yang selesai menonton karyanya ini. Berfungsi juga untuk memberikan alasan kepada penonton yang telah dihinggapi penasaran supaya berkenan menikmati filmnya hingga usai demi mendapatkan jawaban. 

Untuk pertama kalinya dalam berkomentar mengenai film, disin saya akan mengulasnya dengan mengambil dua sudut pandang, yaitu sudut pandang sebelum dan setelah mendapatkan jawaban yang saya dapatkan dari beberapa artikel di internet.

SEBELUM

Aronofsky telah menebarkan berbagai keanehan-keanehan dalam filmnya bahkan di awal-awal. Selain adegan 1 menit yang saya jelaskan di atas, keanehan-keanehan kembali menghinggapi terutama setelah pasangan yang menjadi pusat cerita kedatangan tamu. Dari keputusan the writer yang mengijinkan si tamu untuk menginap saja di rumahnya saja telah mengundang pertanyaan yang besar. Belum lagi tingkah pola tak biasa baik dari the writer juga si tamu. Penonton, yang hanya bisa menangkap segala kejadian berdasarkan sudut pandang dari the mother, tentu sama sekali tidak mengetahui arti dibalik itu semua. The mother tampak hanya bisa pasrah dengan segala keputusan yang diambil oleh sang suami, bahkan yang paling aneh sekalipun. Belum cukup keanehan akan kedua karakter itu, Aronofsky juga menyebarkan keping misteri nya dari sosok the mother sendiri yang sering mengalami kesakitan dan pusing mendadak. Nuansa horor begitu menyeruak disini yang diakibatkan oleh kegelisahan serta ketidak tahuan dari sosok the mother. Apa yang dirasakan oleh the mother tertular pula kepada penonton, yang membuat saya mengerti mengapa Aronofsky berulang kali mengambil gaya point of view yang hanya terpusat dari apa yang disaksikan oleh satu karakter utama. 

Atmosfir horor begitu kental terasa. Pada bagian ini, Mother! mengingatkan saya akan film indie tahun lalu, yaitu The Invitation. Bedanya, bila yang merasakan kegelisahan pada The Invitation adalah sang tamu, disini yang mengalami rasa itu adalah dari sosok tuan rumah, yaitu the mother.  Rasa tidak nyaman the mother kian bertambah kala rumah yang mereka tempati semakin ramai. Di momen ini pula, selain kepingan-kepingan misteri, penonton seolah tidak diberikan kesempatan untuk bernafas dengan nyaman berkat ketegangan-ketegangan yang terjadi. Belum sempat rasa tidak nyaman akan kedatangan tamu asing yang bertingkah begitu misterius dan memberikan kesan tidak menyenangkan, the mother juga harus terlibat kejadian demi kejadian yang mampu membuatmu sesak dan sekali lagi, sulit untuk bernafas. Editing dari Andrew Weisblum tentu berperan besar untuk membantu suasana tersebut. Memang terkesan rushing akibat pacing nya yang begitu cepat, dari satu adegan lalu ke adegan yang lain, tetapi hal itu sangat berpengaruh dalam mewujudkan atmosfir tidak mengenakkan itu.  

Bila membicarakan hasil karya Aronofsky, rasanya kurang lengkap bila tidak menyentuh ranah disturbing nya, dan atmosfir itu kita dapatkan di paruh kedua film berjalan. Percayalah, segala hal yang terjadi di paruh pertama tadi, ditingkatkan dosisnya beberapa kali lipat oleh Aronofsky. It's just extremely chaos, if I have to say to you. Rasa disturbing yang saya rasakan kala melihat Requiem for a Dream seolah tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di paruh kedua ini. Saya tidak ingin mengganggu sensasi kalian yang ingin menonton, jadi bila kalian telah cukup penasaran, hentikan membaca dan segera tontonlah film ini. Kalian akan mendapatkan jawabannya sendiri bila saya tidak mencoba untuk berlebih-lebihan disini. 

Aronofsky juga terkenal dengan sutradara yang mampu memaksa aktor/aktris yang bermain dalam filmnya mampu mengeluarkan semua kualitas akting terbaik yang mereka punya. Setelah Ellen Burstyn, Mickey Rourke dan Natalie Portman, kali ini sang kekasih sutradara sendiri (atau udah jadi mantan ya?), Jennifer Lawrence yang menjadi "korban" nya. Saya menyukai Lawrence, tetapi saya juga terkadang menganggap para kritikus atau penggemar-penggemar film lainnya terlalu berlebihan dalam memuji performa Lawrence di film-film sebelumnya (aktingnya di American Hustle bagi saya cukup overrated). Namun tidak untuk disini, karena saya berani bilang, jika Lawrence, paling tidak, tidak masuk dalam nominasi Oscar kategori Best Actrees tahun depan, maka itu akan menjadi salah satu kesalahan terbesar yang dilakukan oleh pihak Academy. Bahkan, akting nya disini saya rasa telah lebih dari cukup untuk Lawrence mendapatkan piala Oscar nya yang kedua. Disini, Lawrence bisa saya katakan keluar dari zona nyamannya. Dia tidak dimodali dengan dialog-dialog yang banyak, karena akting yang ia tonjolkan disini adalah lewat ekspresi mukanya. Dari ekspresinya, Lawrence memperlihatkan kegelisahan, ketidak nyamanan, hingga ketakutan dari apa yang dialami nya. Dibantu pula teknik pergerakan kamera yang senantiasa mengikuti dirinya kemanapun, hingga zoom kamera ke mukanya, ikatan antara penonton dengan the mother tercipta. Kita perduli akan dirinya, dan merasakan simpati mendalam kala dirinya seolah tidak dinilai keberadannya, bahkan untuk pertama kalinya, saya sampai trenyuh melihat karakternya disini. Penampilan Lawrence begitu totalitas disini (kayaknya dalam film, untuk pertama kalinya, Lawrence bersedia memperlihatkan payudaranya), dan menurut saya, inilah pencapaian terbaiknya dalam berakting. Aktor pendukungnya juga tidak kalah cemerlangnya. Javier Bardem tentu pintar dalam memerankan karakter yang misterius. Sebenarnya tidak salah jika kalian menganggap karakter the writer cukup mengesalkan disini (terutama mungkin untuk para perempuan), namun disisi lain kita juga merasakan kehangatan yang dipancarkan Bardem pada suatu adegan yang membuat saya cukup bingung apakah tepat untuk membencinya atau tidak, karena kita tahu, karakter Bardem lah yang memiliki kunci jawaban akan setiap peristiwa aneh yang terjadi di rumahnya. Ed Harris dan Michelle Pfeiffer pun juga tidak mau kalah, dengan selalu memancarkan atmosfir misterius dengan keberadaanya, terutama Pfeiffer.

Setelah dibuat sesak, tidak nyaman, juga rasa penasaran berlipat yang telah bertumpuk dari awal, saya mengharapkan jawaban dari Aronofsky. Dan ternyata, Aronofsky cukup pelit karena hingga film berakhir, bukannya jawaban, penonton malah disuguhkan oleh ending yang malah menggiring penonton kembali dihadang oleh pernyataan. Untuk itulah, setelah menyaksikan Mother!, tidak butuh waktu lama, saya membuka artikel demi artikel untuk mencari jawaban. Dan saya akan membahasnya sedikit dalam paragraf selanjutnya. Tentu saja pada bagian ini akan dipenuhi oleh spoiler.


SETELAH

Sekitar 2-3 website saya kunjungi yang menghadirkan teori berkenaan penjelasan apa maksud sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Aronofsky dalam Mother!. Dan dari website-website tersebut, jawaban yang paling memuaskan (bukan yang benar ya, karena sebagai penonton kita hanya bisa berintepretasi dengan segala kepingan-kepingan puzzle yang diberikan sang sutradara) adalah website ini. Buat yang telah menonton, silahkan menuju kesana, tetapi bila kalian cukup malas untuk mengklik link tersebut, mari saya jelaskan ulang sedikit disini mengenai penjelasan yang telah dipaparkan dan juga digabung dengan asumsi saya sendiri setelah membaca penjelasan tersebut.

Aronofsky ternyata bermain alegori disini, dimana ia menempatkan karakter the writer sebagai Tuhan dan the mother adalah hasil karya nya, yaitu Bumi. Kemudian, dijelaskan juga bila karakter-karakter seperti si tamu dan istrinya adalah representatif dari manusia pertama, Adam dan istrinya, Hawa. Kala membaca ini, saya rasanya bisa sependapat karena kisah keluarga mereka memang begitu mirip dengan kisah Adam dan Hawa. Bahkan konflik yang terjadi pada keluarga tersebut juga menghasilkan pembunuhan, yang berkaitan dengan kisah Qabil dan Habil. Lalu tulisan yang dibuat oleh the writer bagaikan kitab, yang kemudian melahirkan pendukung-pendukung (atau umat beragama) yang memuja the writer. Konflik luar biasa yang terjadi di rumah the writer dan the mother sendiri bagaikan menangkap sikap manusia yang doyan akan menciptakan keributan serta merusak apa yang telah dibangun oleh the writer, padahal the writer sendiri telah mengijinkan mereka untuk mengambil apapun yang mereka mau dari rumah tersebut. Namun, ternyata itu tidak cukup, hingga pada kejadian ini pula tampak Aronofsky ingin memperlihatkan ketamakan manusia. Di momen ini pula, kita melihat karakter the mother yang kehadirannya tidak dianggap oleh manusia, yang berakibat the mother tidak bisa apa-apa kecuali menyaksikan kekacauan yang diciptakan oleh manusia. Dari sini lah bagi saya tampak "keangkuhan" dari sang sutradara yang notabenenya adalah penganut atheis, yang mana ia berpendapat bila hadirnya suatu kepercayaan, hanya akan mengakibatkan keributan dimana-mana, seperti yang terlihat dalam film ini. Tidak hanya keributan tetapi juga akan fanatisme berlebihan yang berdampak akan kegilaan pada tiap individu melakukan seperti apa yang mereka percayai. Sebagai umat beragama, tentu saya tidak sependapat dengan apa yang ingin Aronofsky sampaikan disini, tetapi mari lah untuk tidak berlebihan dan anggap saja ini hanyalah film. Segala penjelasan tersebut memang cukup masuk akal dan memiliki korelasi nya dengan film, tetapi penjelasan ini juga tidak menjawab beberapa hal misterius yang terjadi dalam film ini, seperti apa poin keberadaan bayi disini? Apakah hal tersebut merepresentasikan tumbuhan yang lahir dari perut bumi? Lalu, apa cairan kuning yang kerap diminum the mother saat ia mengalami kesakitan? 

Mother! memang menawarkan banyak sekali pertanyaan demi pertanyaan yang akan timbul dari setiap menit nya berjalan. Tetapi itu juga bagi saya merupakan poin positif terbesarnya. Belum lagi gabungan atmosfir horor, thriller juga kesan disturbing yang kental di paruh kedua, menjadikan film ini tidak mudah untuk terlupakan. Bukan karya terbaik dari Aronofsky, tetapi bisa jadi, inilah film Aronofsky yang akan terus diperbincangkan dalam kurun waktu yang cukup lama kedepannya. One of the most disturbing movie of the year.


8,25/10

Friday 8 December 2017

Bukan bermaksud untuk memberikan contoh bagaimana cerpen yang baik dan benar sih, tetapi sebagai permulaan, saya akan memposting cerpen saya disini. Yah, anggaplah sebagai gerakan pertama dalam usaha saya untuk sekedar membantu sedikit dalam mempublikasikan karya tulisan disini. Baiklah, selamat membaca!!

PEMICU SEMANGAT


Pukul 5 pagi, Abdi telah terjaga dari tidurnya. Segera saja, Abdi kembali membuka alamat e-mail nya dengan harapan ia mendapatkan kabar dari perusahaan yang 2 minggu lalu memanggil Abdi untuk tes wawancara. Selama 2 minggu itu pula, Abdi tidak henti-hentinya memeriksa smartphone-nya, hanya untuk sekedar memeriksa e-mail serta kotak masuk smartphone. Tetapi, tetap saja sama sekali tidak ada kabar dari perusahaan tersebut. Pada saat di akhir tes wawancara, pihak yang melakukan interview memang telah memberitahukan kepada Abdi bila ia akan diberikan kabar dalam kurun waktu 1 minggu apabila Abdi berhasil lulus dari tes interview tersebut. 1 minggu pun telah lewat, namun Abdi masih berpikiran positf dan tetap menjaga asa untuk bisa bergabung dengan perusahaan tersebut. “Mungkin aja mereka telat ngasih tau nya”, “Bisa aja kandidat-kandidat lain yang masih diproses”, segala kemungkinan hadir dalam pikiran Abdi untuk sekedar menghibur dirinya. Tetapi selama 2 minggu, selama itu pula harapan yang awalnya membumbung tinggi lama-kelamaan tergerus dan semakin lama semakin kecil. Saat memeriksa e-mail dan tetap tidak ada kabar dari pihak perusahaan itu, Abdi menghela nafas panjang. Dirinya tampak telah siap menerima keadaan terburuk jika ia memang tidak lulus interview.
“Nambah lagi periode nganggur gw”
Abdi meletakkan smartphone nya dan mulai beranjak dari kasur tidurnya. Ia membasuh muka untuk sekedar menyegarkan muka serta pikirannya. Ia berharap kekecewaan yang sedang ia rasakan sedikit menghilang seiring dengan basuhan demi basuhan ke permukaan mukanya. Lantunan-lantunan puji syukur segera ia ucapkan, sekedar untuk menghibur dirinya yang tengah dilanda kekecawaan. Dirinya tidak ingin, segala himpitan-himpitan kegagalan yang ia alami membuatnya menyalahkan Sang Pemilik Takdir. Ia ingin tetap mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Maka dari itu, saat adzan berkumandang, dirinya langsung melangkahkan kakinya untuk mendatangi masjid yang berada tidak jauh dari kosannya sekarang. Tidak lupa, ia membawa smarphone nya juga, sekedar berjaga-jaga mungkin saja akan ada pihak perusahaan yang meneleponnya.
Abdi berumur 24 tahun, dan ia memang baru saja lulus dari masa pendidikannya di salah satu Perguruan Tinggi di kotanya. Memiliki IPK di atas 3, dirinya cukup percaya diri bila dirinya tidak akan lama menganggur, apalagi perguruan tinggi tempat ia menempa ilmu merupakan salah satu Perguruan Tinggi terbaik di kotanya. Namun kenyataannya, telah 8 bulan lebih, Abdi belum juga mendapatkan keberuntungan dalam mencari pekerjaan. Bukan tanpa alasan dirinya ingin segera cepat mendapatkan penghasilan. Abdi tidak ingin terus menerus merepotkan kedua orang tuanya yang telah mengeluarkan banyak biaya demi dirinya bisa melanjutkan perkuliahan serta biaya kehidupan sehari-sehari Abdi, yang merupakan anak perantauan. Abdi, yang awalnya ingin merantau supaya mampu meringankan beban orang tuanya, malah berakhir sebaliknya. Biaya yang dikeluarkan oleh orang tua nya bisa dibilang dua kali lipat dibandingkan apabila dirinya tidak memutuskan merantau. Keputusan yang sempat ia sesali, namun orang tua Abdi, terutama sang ibu, terus menyemangati Abdi dan mengingatkan supaya untuk tidak terlalu tenggelam dengan rasa bersalah.
“Bapak ibu bangga kok sama kamu, nak. Diantara 3 anak laki-laki ibu, Cuma kamu yang punya kesempatan untuk merantau.”
Sering sekali ibu Abdi mengeluarkan kalimat yang serupa, dan setiap mendengar itu pula, Abdi tidak bisa membendung air mata nya. Ia harus semangat, tidak boleh kalah dengan keadaan, demi bisa membahagiakan kedua orang tuanya dan mampu mewujudkan keinginan terbesarnya, yaitu memberangkatkan haji kedua orang tuanya. Keinginan itulah yang selalu menggerakkan Abdi untuk terus melangkah dan terus menerus memasukkan lamaran pekerjaan. Tetapi, sekali lagi, keberuntungan memang belum berpihak kepada Abdi sehingga kini ia masih berstatus fresh graduate yang menganggur.
Tidak mudah untuk Abdi bisa terus bersabar, terlebih lagi teman-teman satu angkatannya telah banyak yang mendapatkan pekerjaan, bahkan di antara mereka ada yang berhasil bergabung perusahaan BUMN ataupun PNS, dimana Abdi mengalami kegagalan untuk bisa masuk perusahaan-perusahaan tersebut. Hal ini yang terkadang membuat Abdi merasakan iri sedalam-dalamnya, apalagi salah satu temannya tersebut pada masa perkuliahan, tidak memiliki nilai IPK sebesar Abdi. Pada masa perkuliahan pun, Abdi juga sering membantunya dalam mengatasi masalah mata kuliah yang ada. Saat ia mengetahui bila temannya tersebut telah bekerja di perusahaan BUMN, Abdi tidak hanya merasa senang, namun juga dilanda akan rasa iri nan cemburu.
“Kok dia beruntung banget ya? Kenapa bukan gw? Padahal, gw butuh banget pekerjaan.”
Kegagalan merupakan proses dari keberhasilan. Awalnya Abdi meyakini kalimat itu, namun lama kelamaan, seiring dengan kegagalan yang terus menerus ia alami, ia mulai menyangsikan kalimat indah itu. Tidak berhenti disitu saja, ia juga mulai muak dengan kalimat-kalimat positif yang berserakan di salah satu web pencarian paling popular di internet. Setiap penyakit hati nya mulai menguasai sanubari Abdi, disaat itu pula ia langsung mengambil wudhu dan segera melakukan kontak batin terhadap Yang Maha Kuasa. Ia tidak ingin bersu’udzon dengan Allah. Ia ingin terus berpikiran positif terhadap Allah. Satu yang ia yakini, bila Allah tidak akan menguji hamba-Nya melewati batas kemampuan hamba-Nya. Abdi meyakini itu, biarpun ia kini sama sekali tidak percaya dengan kalimat-kalimat motivasi lainnya.
Setelah shalat Shubuh, Abdi kembali melakukan kontak batin dengan Allah. Ia tidak berdoa, hanya sekedar melakukan pembicaraan melalui hati nya. Pada saat itu pula, air mata nya mulai mengalir. Untung saja, saat itu kondisi masjid tidak lagi terlalu ramai sehingga tidak ada satupun orang yang menyadari bila Abdi tengah menangis.
“Ya Allah, apapun yang terjadi terhadap hamba, apapun kesulitan yang lagi hamba rasakan sekarang, hamba hanya meminta satu, jangan jauhkan hati ini dalam pelukan-Mu. Jangan jauhkan hidayah-Mu dari hamba. Hanya itu, hanya itu Ya Allah.”
Komunikasi Abdi yang ia jalin dengan Allah itu, ditutup nya dengan bacaan doa untuk orang tua, sebelum ia mulai beranjak dari tempat duduknya untuk meninggalkan masjid dan kembali ke kosannya. Sesaat melangkah keluar dari lingkungan masjid, smartphone milik Abdi bordering. Ternyata sang ibu yang menelepon.
“Assalamu’alaikum, bu”, ucap Abdi saat mengangkat telepon tersebut.
“Wa’alaikum salam, nak. Sehat kan?
“Iya, bu. Kondisi rumah gimana? Bapak ibu sehat juga kan?”
“Alhamdulillah. Gimana? Ada kemajuan soal kerjaan?”
Pertanyaan yang telah diduga oleh Abdi. Dan Abdi senantiasa berat untuk menjawab nya. Namun, bagaimana lagi, masa ia harus berbohong terhadap ibu nya sendiri?
“Belum ada, bu. Doain aja”, jawab Abdi
“Tetap usaha ya, nak. Terus dicoba. Gak ada ruginya juga. Bapak ibu terus doain kamu kok disini”
Air mata Abdi kembali mengalir. Dengan segala usaha, ia tahan untuk tidak diketahui oleh sang ibu bila ia tengah menangis.
“Nak, bapak mau ngomong nih,” ucap ibunya dan segera menyerahkan handphone kepada bapak Abdi.
“Di, udah shalat shubuh?” segera Tanya dari sang ayah.
“Ini juga baru kelar, pak.”
“Saran bapak cuma satu, nak. Jangan pernah ninggalin shalat ya, nak. Bapak tau, kamu mungkin lagi ngerasain kecewa sekarang. Tapi, tetap percaya sama pertolongan Allah. Cuma Allah yang bisa bantu kamu, ibu bapak Cuma bisa berdoa aja.”
Abdi tidak mampu menanggapi karena kini usahanya tengah ia pusatkan untuk bisa menahan tangisnya supaya tidak sesenggukan. Untung saja posisi Abdi saat ini telah berada di dalam kosannya.
“Pak, sama ibu juga, sehat terus ya. Supaya Abdi bisa ngirimin gaji pertama Abdi nanti”
“Iya, di, doain aja. Ada salam juga dari kakak-kakakmu disini. Mereka ngirimin uang untuk kamu.”
“Iya pak, omongin makasih dan salam untuk kak Doni dan kak Alvian.”
“Yaudah, itu aja ya nak. Semangat terus. Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam”.
Saat telepon terputus, Abdi segera melonggarkan pertahanannya dan menangis sesunggukan. Mukanya kini telah dipenuhi oleh linangan air mata, serta air bening mengalir dari hidungnya. Memang ini yang tengah ia butuhkan, sebuah suara dari orang tua dan dukungan dari saudara-saudaranya. Sebuah obrolan yang singkat, namun sangat bermakna bagi Abdi. Sebuah momen yang meningatkan Abdi untuk terus melangkah maju, tidak perduli dengan rasa kekecewaan dan juga kesedihan yang tengah ia rasakan, tidak ada pilihan untuk Abdi selain terus melangkah.

THE END
Sebagai seorang yang ingin suatu saat nanti mampu hidup dengan karya, saya paham betul bagaimana susahnya untuk mendapatkan perhatian akan karya yang kita bikin, salah satu nya adalah tulisan. Keinginan dan minat telah ada, tetapi yang menjadi permasalahan adalah tempat dimana kita bisa mempublikasikan tulisan kita. Berdasarkan pengalaman dan kepahaman saya inilah, saya mencoba untuk membuka tempat publikasi tulisan-tulisan kalian di blog pribadi saya ini. Tidak dipungut biaya pastinya, cukup kirimkan karya tulisan kalian ke alamat e-mail saya, saya akan dengan senang hati mempublikasikan tulisan kalian disini. Memang, pengunjung di blog saya belumlah banyak, dan saya tidak berani menjamin apakah karya kalian akan dibaca atau tidak, tetapi lebih baik dicoba dahulu. Bisa saja nanti, blog ini trafficnya lumayan menaik. Yah, berproseslah ya..

Ok, cukup berbasa-basinya. Bila kalian memiliki karya tulisan, apapun, terutama cerpen, silahkan kirim ke e-mail saya, afadhollah@gmail.com . Biar fair, saya juga akan memposting cerpen buatan saya sendiri.
Baiklah, teman-teman, ayou, tulis ceritamu sekarang juga!!

 "I am car-ce-re-ted"-Joe Bang

Plot

Kehilangan pekerjaan dan juga memiliki kemungkinan terpisah jauh dengan putri kecilnya, Sadie Logan (Farrah Mackenzie), Jimmy Logan (Channing Tatum) merasa perlu sedikit tambahan dana supaya setidaknya berusaha untuk tetap berada dekat dengan putrinya dengan mengambil jalur hukum supaya mendapatkan hak asuh penuh Sadie dari mantan istri, Bobbie Jo Chapman (Katie Holmes). Untuk mendapatkan dana tambahan tersebut, Jimmy berencana untuk merampok Charlotte Motor Speedway. Jimmy meyakinkan adiknya, Clyde Logan (Adam Driver), bila ia mengetahui seluk beluk mengenai penyimpanan uang di Speedway. Bermodalkan pengetahuan Jimmy tersebut, Clyde menerima tawaran Jimmy. Mereka berdua juga merekrut saudari mereka, Mellie Logan (Riley Keough) yang paham mengenai dunia otomotif, serta narapidana, Joe Bang (Daniel Craig) yang telah berpengalaman dalam menjebol brankas.




Review

Tidak salah bila kalian menebak bila karya terbaru dari Steven Soderbegh ini lumayan mirip dengan trilogi Ocean's Eleven yang juga ia sutradarai sebelumnya. Dari pembagian narasinya saja, Logan Lucky sangatlah mirip dengan Ocean's Eleven. Sama dengan Ocean's Eleven, Logan Lucky dibagi dalam 4 chapter, perekrutan, rencana, eksekusi dan aftermath. Saya rasa Soderbegh telah menebak bila Logan Lucky akan disama-samakan dengan Ocean's Eleven, bahkan ada satu momen di film ini yang menyebutkan judul film tersebut (diplesetkan menjadi Ocean's Seven-Eleven), mengindikasikan Soderbegh mengakui secara tidak langsung karya terbarunya memang memiliki kemiripan yang banyak dengan film yang dibintangi George Clooney dan Brad Pitt itu. Tetapi, tetap saja, ada jurang pembeda, yaitu Logan Lucky tidak lah dibawakan secara classy dan elegan.

Alih-alih mendandani para karakter utamanya dengan setelan rapi, Soderbegh lebih memilih menampilkan mereka dengan pakaian kasual dan apa adanya. Selain itu, para karakter nya jauh dari kesan tenang layaknya para karakter Ocean's Eleven. Mungkin terdapat beberapa momen, Soderbegh memperlihatkan bila karakter-karakternya bisa melakukan hal yang ceroboh, termasuk Jimmy. Seperti adegan yang melibatkan lengan palsu milik Clyde, dimana kita diperlihatkan akan kepanikan setiap karakter. Sebelumnya juga tampak rencana dari Joe Bang yang sempat terganggu akibat kekeliruannya. Praktis, kejadian-kejadian tak terduga ini lah yang berhasil membuat Logan Lucky terasa menghibur dan juga manusiawi.

Tiap karakter pria nya mungkin ceroboh, tetapi bukan berarti mereka tidak ahli dengan pekerjaan masing-masing. Jimmy diperlihatkan sangat teliti dengan apa yang dia rencanakan, sementara Joe Bang begitu memahami bahan-bahan yang diperlukan serta aman dalam meledakkan brankas. Intinya, walau mereka bukanlah karakter yang memiliki pemikiran brilian, tetapi dengan keahlian mereka dalam melakukan pekerjaan masing-masing, mampu meyakinkan penonton bila rencana perampokan mereka dapat berhasil. Soderbegh juga beruntung memiliki penulis naskah yang memperhatikan akan hal detil seperti Rebecca Blunt. Pada saat narasi bergerak menuju perencanaan, walau memang belum lah semenarik seperti apa yang dilakukan Soderbegh dalam Ocean's Trilogy, tetapi Blunt melakukan tugasnya dengan baik dalam hal memperhatikan detil rencana perampokan dari Jimmy. Dibawakan dengan pacing yang cukup cepat, memang akan berisiko membuat penonton ketinggalan akan dialog-dialognya, bahkan saya cukup yakin, penonton juga tidak terlalu memperhatikan to-do list miliki Jimmy, namun bila kalian telah terbiasa dengan pembawaan Soderbegh, saya yakin kalian bisa mengikutinya dan tidak akan terperangkap dalam kebingungan karena dialog-dialog yang dilontarkan mudah untuk dimengerti dan diikuti.

Namun, cukup sayang karena Logan Lucky sedikit melambat di bagian eksekusi. Melambat disini maksud saya adalah mengenai pacing nya yang tidak lah secepat seperti Ocean's Eleven. Begini, kita tahu bahwa cukup banyak keanehan-keanehan yang terjadi di Ocean's Eleven, terutama pada bagian eksekusi merampoknya, tetapi penonton tidak terlalu memusingkan akan hal itu karena Soderbegh menggerakkan narasinya dengan cukup cepat, dari adegan satu ke adegan lainnya. Penonton seakan tidak diberikan kesempatan untuk berpikir akan keanehan terjadi karena Soderbegh telah menyuap kita dengan adegan selanjutnya. Permasalahan Logan Lucky adalah membiarkan penonton untuk menangkap segala keanehan itu dan memikirkannya sehingga saya cukup heran ketika ada suatu momen yang sangat saya yakini, perampokan itu bisa ketahuan, malah tidak terjadi apa-apa dan perampokan tetap berjalan dengan lancar.

Pada bagian aftermath justru lebih parah. Saya paham bila naskah Blunt, sesuai judul film ini, ingin memperlihatkan kepada penonton akan berbagai keberuntungan the Logans. Dialog-dialog penjelasan mengapa penyelidikan yang dilakukan agen FBI, Sarah Grayson (Hillary Swank), tidak mendapatkan kemajuan cukup bisa diterima logika. Tetapi hal itu tidak menghentikan saya menangkap beberapa plot hole yang ada. Tidak cukup rasanya bila hanya dijawab dengan "keberuntungan" saja. Selain tema yang diusung Logan Lucky adalah perampokan, keberuntungan juga menjadi isu disini, berkaitan dengan keluarga Logan yang dianggap memiliki kutukan sial di dalamnya. Jimmy dan Clyde merepresentasikan akan hal itu, yang mana mereka berdua adalah mantan veteran perang yang mengalami luka di bagian tubuh, bila Jimmy mengakibatkan kaki nya pincang sehingga mengubur impiannya untuk menjadi atlit American Football, Clyde malah lebih parah karena ia harus kehilangan tangan kirinya. Dengan aftermath ini, Soderbegh dan Blunt ingin memperlihatkan bila saat ini para Logan mendapatkan keberuntungan mereka karena rencana perampokan yang telah dilakukan tidak berhasil terungkap oleh FBI. Sebelum di bagian menjelang akhir, penonton dihadirkan sebuah jawaban yang malah tampaknya memberikan sedikit petunjuk bila Logan Lucky akan mendapatkan sekuelnya.

Logan Lucky memang masih berada beberapa level dibandingkan Ocean's Eleven, tetapi bukan berarti Logan Lucky tidak memiliki kelebihan dibandingkan film tersebut. Poin tersebut adalah hati, yang diperlihatkan akan hubungan Jimmy dan Sadie sebagai ayah dan anak. Alasan utama Jimmy untuk berencana merampok adalah ingin tetap bertemu dengan Sadie, sehingga penonton mudah untuk memahami rencana nekad itu. Apalagi Jimmy tengah dikondisikan baru saja dipecat dari pekerjaannya. Soderbegh memang tidak memilih jalan dramatisir dalam mengeksplor hubungan ayah-anak ini, tetapi berkat chemistry menyenangkan dan kedekatan antara Tatum-Mackenzie, penonton mau menginvestasikan kepedulian terhadap mereka, hingga terdapat satu momen yang lumayan menyentuh saat Sadie tampil dalam kontes bakat dan mempersembahkan satu lagu spesial yang ditujukan kepada sang ayah. Bisa dibilang, momen tersebut adalah salah satu momen film terbaik dalam tahun 2017.

Dengan memiliki amunisi aktor-aktor berbakat, tentu tidak sulit untuk Sodebergh dalam mengarahkan mereka. Tatum kembali menunjukkan pendewasaan aktingnya sebagai Jimmy. Berbeda kala ia berduet dengan Jonah Hill dalam dwilogi Jump Street, disini Tatum yang rela menutupi muka nya dengan kumis yang tebal supaya tampil meyakinkan sebagai mantan pekerja tambang, tidak mengandalkan kegilaan dalam melakukan peran komediknya, tnamun lebih memanfaatkan timing serta delivery yang pas. Dirinya juga menjalin chemistry yang meyakinkan dengan tokoh lainnya, terutama dengan Clyde yang diperankan oleh Adam Driver. Adam Driver sendiri seperti biasa tidak kesulitan dalam memerankan seorang pria yang tenang, namun dengan subtil dia mampu menunjukkan kegelisahan tersendiri. Tetapi scene stealer disini tidak lain tidak bukan adalah Daniel Craig. Bukanlah pekerjaan yang mudah untuk bisa menanggalkan sebuah karakter yang telah melekat kuat dalam diri seorang aktor, tetapi Craig melakukan itu disini. Penonton tidak melihat sama sekali sosok James Bond dalam Craig, dan salah besar jika kalian menjawab karena Craig memutihkan rambut nya disini maka kita tidak melihat James Bond dalam diri Craig, tetapi semua itu berkat akting nya yang berhasil membuat perbedaan. Joe Bang memiliki perawakan yang seram, bahkan pada saat dirinya pertama kali muncul, saya menduga bila ia merupakan karakter yang mudah marah dan emosian, tetapi siapa sangka jika ia berkarakter sedikit konyol dan juga kalem untuk mengontrol tensi darah tinggi nya. Dan Craig sukses dalam memerankan karakter Joe Bang tersebut, sehingga saya tidak meragukan karir nya bila ia memang akan berhenti memerankan James Bond. Riley Reough memang sedikit tenggelam jika beradu akting dengan 3 aktor pria tersebut, dan mungkin karena itu juga lah mengapa Reough harus tampil dengan balutan pakaian seksi disini, supaya mampu mencuri perhatian penonton dan tidak melupakan kehadirannya.

Nuansa country atau pun western begitu melekat disini berkat soundtrack-soundtrack dari John Denver. Dari awal film mulai berjalan saja, Some Day Are Diamonds-nya John Denver telah mengalun, seolah memberikan sedikit petunjuk akan menjadi seperti sajian film comeback-nya Soderbergh ini. Logan Lucky memang bagaikan versi cowboy-nya Ocean's Eleven karena kemiripan-kemiripan di dalamnya, tetapi Logan Lucky tetap menawarkan sebuah sajian sinema yang menyenangkan. 

7,75/10 

Wednesday 6 December 2017



Tidak usah berbasa-basi lagi, inilah 10 karakter pilihan saya dalam dunia Anime/Manga.


Honorable Mentions:


Okabe Rintarou (Steins; Gate)





Memiliki kepercayaan diri yang tinggi, sering memanggil orang-orang terdekatnya dengan kode nama yang aneh, serta diisi suaranya oleh Mamoru Miyano. 3 alasan itu saja sebenarnya bisa menghantarkan Okabe masuk dalam 10 besar, tetapi tidak bisa dipungkiri, peran Mamoru Miyano begitu besar untuk membuat penonton menyukai Okabe. Siapa yang bisa melupakan tawa Okabe yang bisa dibilang sangat memorable itu. Jangan lupakan juga chemistry nya yang kuat dengan karakter-karakter lain. Okabe adalah satu-satunya alasan mengapa saya bisa bertahan menghadap 8 episode Steins; Gate yang harus diakui belum terlalu menarik dan cukup membosankan.

Edward Elric (Full Metal Alchemist: Brotherhood)





Full Metal Alchemist: Brotherhood itu adalah sebuah karya masterpiece. Perjalanan cerita yang telah melekat dari episode pertama, dialog-dialog cerdas bertebaran, kualitas animasi yang baik, dan yang terutama adalah hampir semua karakter-karakter di Full Metal Alchemist: Brotherhood sama sekali tidak ada yang menyebalkan, bahkan karakter-karakter villain-nya. Tetapi walaupun dikelilingi oleh karakter-karakter yang begitu hebat dalam hal karakterisasi, susah untuk tidak terpukau dengan karakter protagonist utamanya, si chi...ermm, maksudnya, si alkemis muda berbakat, Edward Elric. Walaupun ia arogan, memiliki ego yang begitu besar mengalahkan ukuran tinggi badannya, tetapi ia adalah tipe karakter yang selalu mementingkan kepentingan orang lain. Signaturenya yang selalu darah tinggi bila dibilang "pendek" juga berhasil menjadi salah satu alasan mengapa karakter ini dicintai oleh penggemar anime ini. Edward yang berdarah tinggi dan cenderung tidak sabaran inilah yang menjadi fungsi utama keberadaan sang adik yang terus menemani petualangannya, Alphonse Elric. Keduanya merupakan protagonist yang layak mendapatkan dukungan penonton, namun Edward, bagi saya, jelas memiliki kharisma lebih baik untuk karakter utama. Belum lagi, totalitas yang diberikan oleh Romi Park dalam menghidupkan karakter ini.

Oke, kedua karakter di atas memang hebat dan sangat layak sebenarnya masuk dalam 10 besar, namun bila ditanya alasan mengapa mereka berdua "hanya" ada di honorable mentions, hanya lah satu, dua karakter tersebut sangat terbantu oleh seiyuu (voice actor) nya masing-masing, sehingga saya cukup meragukan bila saya akan tetap menyukai mereka berdua bila tampil dalam bentuk manga ataupun light novel. Itulah yang membedakan dua karakter diatas dengan 10 karakter di bawah ini.


10. Joe Yabuki (Ashita No Joe)




Petinju muda yang berasal dari anak jalanan tanpa memiliki tujuan. Kehidupan keras yang dialami Joe berpengaruh besar pada karakter Joe yang kasar, egois, dan hanya mendengarkan pemikirannya sendiri. Tidak hanya itu saja, akibat tempaan kehidupannya, Joe memiliki daya tahan tubuh serta fisik yang luar biasa, sehingga dirinya pun akhirnya terjun dalam dunia tinju. Joe memang bukanlah karakter bagaikan malaikat. Dirinya memiliki banyak kekurangan, namun hal itu memiliki landasan dasar yang kuat. Satu hal yang membuat saya jatuh cinta pada karakter ini adalah tekad serta prinsipnya yang terus dipegangnya. Selain itu, Joe bagaikan sebuah karakter yang mewakili banyak pria-pria, akibat kebrutalannya dalam menghadapi masalah. Ya, sebagai pria, kita semua tentu ingin kan sesekali melayangkan tinju ke muka orang yang bagi kita menyebalkan. Nah, Joe sama sekali tidak ragu untuk menghajar seseorang bila orang tersebut baginya memang layak untuk dihajar.  Berbagai kekurangan yang dimiliki Joe membuat sosok Joe lebih humanis, relatable, yang membuat pembaca/penonton ingin sekali melihat Joe selalu menang dalam pertandingannya. Satu hal lagi yang saya sukai dari design character dari Joe adalah mata nya yang seolah selalu merefleksikan akan rekam jejak hidup Joe, yaitu kesepian. Entah ekspresi apa saja yang dikeluarkan oleh Joe, bahkan ketika ia marah sekalipun, matanya selalu memancarkan hal yang sama. Detil kecil yang diperhatikan oleh sang kreator, Ikki Kajiwara.



9. L a.k.a Ryuzaki (Death Note)




Death Note memiliki konsep yang bisa saya katakan sangat cerdas nan absurd. Konsep cerita yang seolah mewakili dark side tiap individu. Sebagai manusia, tentu kita memiliki orang yang kita benci hingga ingin sekali kita membunuhnya. Nah, Tsugumi Ohba "mengabulkan" hal itu dalam Death Note. Dengan menulis sebuah nama dalam buku Death Note, kita bisa membunuh seseorang, sesimpel itu. Sebuah konsep yang luar biasa, dan juga diisi oleh dua karakter yang menciptakan salah satu rivalry terbaik dalam dunia fiksi, yaitu Yagami Light dan seorang detektif misterius, L. Sulit untuk harus memilih salah satu diantara dua karakter unik ini, namun pilihan saya jatuh kepada L. Bukan hanya dirinya mewakili kebaikan dalam cerita Death Note, tetapi segala ciri khas nya yang dimiliki karakter ini pula yang menguatkan keyakinan saya kalau L lebih layak saya pilih untuk masuk list saya yang gak begitu penting ini. Tsugami Ohba begitu detil dalam menghadirkan berbagai ciri khas dalam karakter L, seperti ketika ia duduk, makan, dan yang terutama kegilaannya pada makanan-makanan manis.

                                          

Tidak hanya itu, ketelitian Ohba pun ditunjukkan pada desain karakternya, dari pakaian hingga detil kecil seperti mata panda nya L, yang membantu akan karakterisasi pada L yang selalu menghadapi kasus-kasus berat dan sangat serius ketika berusaha memecahkannya hingga dirinya kekurangan waktu tidur.  Semua ciri khas itu disempurnakan pula pada daya intelejensi L dan sisi humanis yang disuntikkan Ohba pada L (lihat kekonyolannya ketika pertama kali bertemu dengan Misa).

8. Johan Liebert (Monster)




Urasawa Naoki tidak terbantahkan lagi adalah seorang mangaka jenius dan berada di beberapa level diatas mangaka lainnya. Dua karya masterpiece nya, yaitu 20th Century Boys dan Monster, bagi saya harus lah kalian baca bila kalian merupakan penggemar komik. Naoki begitu pintar dalam mengeksplorasi tiap karakter dalam karyanya, yang membuat pembaca tidak terlalu kesulitan dalam memahami karakternya. Dalam Monster, Naoki pun menciptakan karakter villain yang banyak dianggap oleh penggemar manga/anime sebagai villain terbaik dan paling berbahaya yang pernah hadir dalam dunia animanga. Yap, tokoh itu adalah Johan Liebert. Apa yang membuat Johan Liebert begitu berbahaya? Johan tidak memiliki kemampuan super, ia pun juga tidak ditopang dengan kemampuan fisik di atas rata-rata, bahkan dirinya pun sering tidak membawa senjata dalam kehidupan sehari-harinya. Namun, Johan memiliki senjata tak terlihat di tubuhnya, yaitu ia jenius dalam memahami sifat keburukan yang ada di dalam tiap manusia. Ia menyadari bila manusia pasti memiliki dark side nya masing-masing, dan Johan sangat ahli dalam memanfaatkan hal tersebut. Hal ini lah yang membuat Johan sangat berbahaya, belum lagi dirinya sangat kalkulatif dan didukung pula dengan kemampuan berbicaranya yang begitu pintar. Sebagai villain utama, bisa dikatakan Johan cukup minim hadir dalam manga. Bisa dikatakan, hanya di Munich arc saja dimana kehadiran Johan cukup konsisten. Tetapi berkat pengaruh besar nya, tanpa menampakkan wujudnya, pembaca telah merasakan kehadirannya, atau lebih tepatnya, ancaman yang ia telah tebar ke berbagai penjuru negara. Yang lebih menyeramkan lagi dari Johan adalah dirinya tidak memiliki tujuan yang pasti. Ia hanya ingin mengeksplor sisi kegelapan yang ada di dalam manusia sehingga susah sekali untuk menebak apa yang selanjutnya yang akan Johan lakukan. Sosok villain yang bagi saya mampu duduk sejajar dengan karakter villain seperti John Doe dan tentu saja, The Joker di The Dark Knight. He, truly is, the monster itself.




7. Kenshin Himura (Rurouni Kenshin/Samurai X)




Kenshin, sebagaimana karakter utama di animanga, menjunjung nilai keadilan, pecinta kedamaian dan juga ingin membela orang yang lemah dengan kemampuan pedangnya yang ditakuti. Bahkan, Kenshin menganut prinsip yang bertentangan untuk seorang samurai, yaitu tidak ingin membunuh. Hal itu tidak terlepas dari masa lalu nya yang ia habiskan untuk membunuh orang-orang yang dinilai membahayakan negara Jepang. Dirinya pun terkenal dengan julukan Hitokiri no Battousai (Kalau di SCTV dulu sering diterjemahkan dengan Battousai si Pembantai). Masa lalu Kenshin yang dipenuhi dengan darah inilah yang membedakan Kenshin dengan protagonis-protagonis berhati "malaikat" lainnya. Dengan masa lalunya ini pula, kita bisa mengerti mengapa Kenshin memilih untuk pensiun sebagai Battousa dan menjalani kehidupan jauh dari konflik. Kenshin memang tidak lagi sebuas kala era Bakumatsu, bahkan  ia memiliki pedang yang dinamakan Sakabato, tidak membahayakan nyawa orang lain karena sisi tajam pedangnya berada di punggung pedang, bukan di bagian depan. Karakter Kenshin digambarkan ramah, murah senyum, dan juga menyenangkan, bahkan kekonyolan juga sering ditampilkan oleh sosok Kenshin, sehingga bisa dimengerti mengapa orang-orang disekitar Kenshin juga penikmat karya dari Nobuhiro Watsuki ini begitu menghormati dan menyukai Kenshin.




Tetapi, Kenshin akan menjadi sosok yang benar-benar berbeda dalam pertarungan. Dalam pertarungan pun, sosok Kenshin sebagai pembantai di masa lalunya, terkadang muncul akibat emosi yang sulit ia kendalikan, apalagi kala orang yang disayanginya berada dalam kondisi terancam (saat melawan Jin-e dan Cho, salah satu member dari Juppongatana) dan musuh yang ia hadapi memiliki kekuatan yang merepotkan Kenshin (Hajime Saito).


6. Endo Kenji (20th Century Boys/21th Century Boys)



Satu lagi karakter memorable lagi yang diciptakan oleh Urusawa Naoki, yaitu Endo Kenji. Kenji digambarkan sebagai karakter pria baya seperti pada umumnya. Ia tidak memiliki wajah rupawan, hanya memiliki pekerjaan sebagai penjaga mini market, lajang, tidak memiliki harta juga kemampuan spesial, pokoknya ketika pertama kali diperkenalkan, tampak sekali kehadiran Kenji tidak memiliki dampak apapun terhadap dunia. Tentu saja hal itu tidak seperti yang ia bayangkan ketika masih kecil dan remaja, dimana ia memiliki ambisi untuk menjadi pahlawan penyelamat dunia dan ingin berkarir sebagai rocker yang bisa mengubah dunia lewat karya-karyanya. Semua keinginan tersebut tentu tidak bisa direalisasikan dengan mudah oleh Kenji, sehingga mimpi-mimpi tersebut harus ia kubur dalam-dalam seiring bertambahnya usia dan memilih untuk menjalani hidup sebagai pria dewasa biasa pada umumnya. Hingga ia pun terlibat akan konspirasi besar-besaran yang menurutnya mampu mengancam dunia. Apa yang membuat Kenji terseret akan konspirasi tersebut adalah sang pelaku utama yang memiliki panggilan Tomodachi melaksanakan konspirasi nya persis seperti apa yang direncanakan oleh Kenji dan teman-temannya kala masih kecil. Siapa yang menyangka bila rencana asal-asalan dari anak kecil itu ternyata mampu terealisasi dan mampu mengancam keberlangsungan hidup manusia. Mengetahui kenyataan bila Tomodachi adalah salah satu teman masa kecil nya, Kenji pun tergerak untuk menghentikan konspirasi yang dilakukan Tomodachi. Konsep cerita yang begitu orisinil dan juga diceritakan begitu brilian oleh Naoki, belum lagi dengan kejutan-kejutannya kala narasi bergerak yang tidak hanya mampu menghenyakkan pembaca, namun juga terkandung akan makna dan pesan yang emosional. Kenji menjadi salah satu karakter favorit saya ya karena itu tadi, dirinya hanyalah pria dewasa biasa yang dulunya memiliki ambisi untuk mengubah dunia. Mimpi yang mungkin sama-sama kita punyai pada saat masih polos dan penuh semangat, namun karena kehidupan tidak lah selancar yang kita bayangkan, mimpi-mimpi kita harus dikubur dan lebih memilih menerima kenyataan. Suatu hal yang menyedihkan, namun itulah realita yang terjadi. Faktor ini yang membuat Kenji terasa dekat dengan pembaca, sehingga mudah sekali untuk mendukung Kenji dalam usahanya menyelamatkan dunia. Kehadirannya selalu dinanti oleh pembaca dan meninggalkan kesan luar biasa saat dirinya menghilang di pertengahan cerita. Setiap namanya menyeruak dalam tiap dialog-dialog yang dilakukan karakter-karakter lain untuk mengenang Kenji, pembaca mau tidak mau merasakan kerinduan juga. Dan yang terbaik adalah saat lagu ciptaan Kenji dimainkan oleh keponakannnya, Kana, selagi menceritakan Kenji, yang memaksa air mata saya mengalir. Gutalala Sutalala.. Gutalala Sutalala



5. Hiruma Yoichi (Eyeshield 21)




Pemeran utama animanga Eyeshield 21 adalah Kobayakawa Sena, seorang remaja biasa yang kerap menjadi pesuruh untuk teman-temannya, malah terlibat akan dunia American Football. Bagi saya, Sena bukanlah protagonist yang buruk, bahkan saya cenderung menyukainya. Tetapi, tentu sulit bagi dirinya untuk bersaing dengan karakter paling memorable dalam seri Eyeshield 21, siapa lagi kalau bukan Hiruma Yoichi. Saya yakin, sebagian besar penikmat Eyeshield 21 memiliki pendapat yang sama seperti saya, bila Hiruma adalah karakter terbaik dalam seri ini. Dari awal kemunculannya saja, Hiruma telah meninggalkan kesan yang dalam. Sosoknya yang seperti setan, selalu bicara kasar, his "YA-HA", kebiasaannya membawa senjata kemana-mana, otaknya yang CERDIK (cerdas dan licik), pemilik buku ancaman yang didalamnya berisi semua aib orang-orang yang ia kenal dan... ah, terlalu banyak ciri khas dari Hiruma yang membuat saya jatuh cinta dengan karakter ini. Kehadirannya begitu dinantikan sehingga bila dirinya absen dalam satu chapter saja, saya merasakan kehilangan yang sangat besar. Hiruma memang digambarkan sebagai pria yang menyeramkan dan juga sangat ambisius akan kemenangan (baginya, kemenangan adalah nomor satu dalam American Football), tetapi dibalik itu semua, Hiruma memiliki perhatian yang besar terhadap rekan-rekannya. Hal itu kerap ditunjukkan oleh sang writer, Riichiro Inagaki, seperti saat ia membantu Yukimitsu dalam ujian fisik penerimaan anggota Devil Bats dan yang cukup berkesan kala ia mulai menganggap "3 Bersaudara Ha-Ha-Ha" sebagai anggota remsi Devil Bats. Memang, karakter ini cukup komikal dan susah untuk diterima secara logika bila karakter ini ada di dunia nyata, tetapi dengan segala signature yang ia miliki, rasanya susah juga untuk tidak jatuh cinta dengan Hiruma.



4. Roronoa Zoro (One Piece)




Roronoa Zoro memang hanyalah berperan sebagai side kick dari Monkey D. Luffy, tetapi sering kali keberadaan Zoro lebih mencuri perhatian ketimbang sang kapten sendiri. Hal tersebut tidak terlepas dari betapa likable nya karakter ini. Begitu banyak alasan mengapa saya dan sebagian besar pecinta animanga One Piece mencintai karakter ini. Seperti aura badass yang terpancar dari dirinya, dan prinsip laki-laki serta pengguna pedang yang selalu ia pegang. Zoro digambarkan sebagai pria dewasa yang tenang, dan tidak terlalu sering berbicara, bahkan dirinya jarang sekali tertawa lepas. Namun, bukan berarti Zoro tidak memiliki momen konyol nya sendiri. Kelemahannya dalam membaca arah merupakan signature nya yang selalu menghibur, kemudian dirinya juga sering sekali terlibat akan funny moment nya One Piece. Baik itu dalam bentuk manga, ataupun anime, semuanya sukses tepat sasaran berkat karakterisasi dari Zoro. Silahkan cari video nya di youtube dengan keyword "Zoro Funny Moment", dan bersiaplah untuk tertawa. Bila membahas dalam anime, kredit lebih telah seharusnya diberikan kepada Kazuya Nakai sebagai seiyuu nya Zoro.



Dengan alasan-alasan tersebut, rasanya telah cukup untuk jatuh cinta pada karakter ini, tetapi ada satu faktor lagi mengapa Zoro layak masuk top 5 dalam list ini, yaitu hubungan subtil yang ia jalin dengan kru-kru lainnya. Sering sekali, Zoro menunjukkan perhatian yang kecil, namun bermakna terhadap teman-temannya. Tidak perlu saya sebutkan, lihat saja salah satu momen pada arc Long Ring Island ini . Sayang sekali memang, setelah time skip, karakter Zoro sedikit menjadi membosankan dan bertransformasi hanya menjadi karakter badass yang generic pada genre Shounen. Padahal, kekonyolan serta interaksi dengan karakter lainnya adalah salah satu alasan mengapa Zoro begitu dicintai (lihat juga yang ini). Belum lagi beberapa momen ikonik yang terjadi di sebelum time skip yang makin memantapkan Zoro sebagai wakil kapten di Mugiwara Pirates, seperti saat ia mencegah Luffy, Nami dan Chopper menjemput Ussop dan tentunya momen ikonik dirinya dengan Kuma.



3. Hanamichi "Tensai" Sakuragi (Slam Dunk)




Tinggi, besar, memiliki muka yang menyeramkan, lengkap dengan rambut merah nya yang menjadi ciri khas utama. Namanya adalah Hanamichi Sakuragi, pria kelas 1 SMA yang memiliki rekor menyedihkan ketika SMP, yaitu ditolak cintanya hingga 50 kali. Terakhir kali, ia ditolak dengan alasan dari si gadis sedang menyukai salah satu cowok atlit basket di SMP nya. Pengalaman pahit ini membuat Sakuragi sangat membenci dengan olahraga basket. Siapa yang menyangka bila di periode SMA nya, Sakuragi malah terlibat jauh dengan olahraga tersebut. Slam Dunk memang merupakan salah satu animanga yang bisa dibilang legendaris serta influental. Gara-gara karyanya Takehiko Inoue ini, olahraga basket sempat populer di negara Jepang, bahkan pada film You are the Apple of My Eyes, animanga ini sempat disebutkan. Salah satu faktor mengapa Slam Dunk begitu sukses dan digilai oleh penggemarnya adalah sama seperti Full Metal Alchemist: Brotherhood, hampir semua karakter di dalamnya sangat likable, baik itu Akagi, Miyagi, Mitsui, bahkan Rukawa yang menjadi rival terbesar nya sang tokoh utama, Sakuragi.



Tetapi tetap, diantara karakter-karakter hebat didalamnya, Sakuragi tetaplah yang paling mencuri perhatian. Kekonyolan dan kebodohannya, narsis tingkat tinggi yang selalu ditunjukkan, serta pengembangan karakter nya yang dari awal tidak terlalu perduli dengan basket, sehingga pada akhirnya dirinya menjadi jatuh cinta akan olahraga ini, telah menjadi alasan yang sangat kuat mengapa saya mencintai karakter ini. Saking berkesannya karakter ini, design karakter Sakuragi ditiru oleh Hiroshi Takahashi lewat manga Crows nya. Lewat semua kekonyolan yang diperlihatkan Sakuragi, mulai benih-benih kedekatan penikmat Slam Dunk dengan karakter ini, sehingga dalam setiap pertandingan, kita begitu ngebet ingin melihat Sakuragi paling tidak bisa berpengaruh dalam membantu kemenangan Shohoku. Karena itulah, setiap Sakuragi berhasil melakukan Slam Dunk (saat melawan Shoyo adalah contoh yang terbaik), kita tidak bisa untuk tidak ikut berteriak. Dan saat Sakuragi mengalami kegagalan, kita pun ikut merasakan apa yang dirasakan oleh Sakuragi. Saking cintanya saya dengan karakter ini, setiap nama profil di aplikasi chatting saya menggunakan nama "Tensai", julukan Sakuragi terhadap dirinya sendiri.



2. Naruto Uzumaki (Naruto)




Rasanya tidak perlu saya jelaskan lagi mengapa saya sangat mencintai karakter ini dan menganggap dirinya adalah salah satu karakter fiksi yang berhasil menginspirasi saya. Cukup baca artikel ini saja. Saya sebenarnya ingin menempatkan Naruto pada posisi pertama, namun rasanya ada yang lebih layak untuk menempati posisi pertama dalam list ini. Dan karakter tersebut adalah...


1. Guts (Berserk)




Saya tantang kalian, karakter animanga mana yang memiliki kisah sepahit dan setragis Guts? Sejauh saya menikmati dunia animanga, belum ada satupun karakter yang setidaknya hampir menyamai kisah pedih yang dialami oleh Guts. Lahir dari wanita yang telah menjadi mayat, sempat mengalami kekerasan dan hanya mengerti akan dunia perang pada masa kecil nya, menjadi korban pelecehan seksual dan dikhianati oleh orang yang telah ia anggap sebagai orang tuanya sendiri, yang memberikan luka yang sangat dalam untuk Guts sehingga ia memiliki permasalahan tersendiri dalam membangun kepercayaan dengan orang lain. Guts hanya mempercayai satu hal, yaitu pedang yang selalu menemaninya, baik ketika berperang bahkan kala tidur pun, Guts tidak pernah lepas dengan pedangnya. Kentaro Miura sangat teliti dalam menghadirkan cerita untuk karakter ini, bahkan kisah flashback nya pun dihadirkan dalam berpuluh-puluh chapter (Golden Age Arc) yang ditutupi dengan salah satu momen paling memorable serta what the fuck dalam sejarah animanga.




Namun, Miura menghadirkan momen gore serta berdarah-darah bukan tanpa tujuan berarti. Karena momen itulah, terjadi transisi cerita yang begitu besar pengaruhnya serta berdampak akan pengembangan karakter pada Guts. Berkat adanya momen yang berhasil hampir membuat saya kepikiran hingga satu minggu, penikmat Berserk akhirnya memahami mengapa Guts memiliki sifat yang kasar dan seolah antipati dengan keadaan sekitarnya. Pada Black Swordsman Arc, dimana hadir sebelum Golden Age Arc membuka tirainya, Guts bukanlah karakter yang menyenangkan. Ia begitu nikmat dalam membantai orang, bahkan dalam manganya, ia tidak begitu perduli dengan hidup seorang gadis kecil. Guts terlihat egois, kasar, dan hanya memikirkan dirinya sendiri. Hingga kita diperlihatkan akan hal ini



Satu adegan yang membuat kita penasaran, sebenarnya apa yang terjadi dengan Guts. Dan saat kita telah mengetahuinya, kita bisa memahami dan malah berbalik mendukung atau bahkan mencintai karakter Guts. Apa yang telah Guts tempuh sangat lah berat, bahkan dari kelahirannya saja seolah keberadaannya tidak diinginkan oleh dunia, tetapi Guts menolak untuk menyerah. Semangat hidup luar biasa nya telah ia tunjukkan dari semenjak lahir. Mungkin hanya Guts lah yang mampu membuat saya tidak begitu keberatan melihat manusia biasa mampu mengayunkan pedang raksasa dengan mudahnya, sehingga mampu mengalahkan beberapa monster oleh dirinya, sendirian. Hal ini lah yang membuat saya merasa Guts layak untuk menempati nomor 1 dalam list tidak penting ini. Guts sangat layak untuk dijadikan role model bagi kalian yang memiliki kisah kehidupan yang tidak terlalu menyenangkan. Guts adalah tipe protagonist yang jarang sekali muncul, karena tidak perduli seberapa menariknya karakter villain yang muncul dalam Berserk, tetap saja kita ingin yang berdiri paling akhir adalah Guts. Kita ingin sekali Guts akhirnya mendapatkan kebahagiaan yang sangat layak ia dapatkan setelah semua kepahitan yang telah ia alami. Saat melihat sosok Guts, kita bagaikan melihat suatu karakter yang nyata, tepat berada disamping kita, bagaikan teman, kita ingin sekali membantunya melewati semua kesusahan yang ia alami. Dan this is my friends, the reason why I love this character so much. Saya juga yakin, saking kompleksnya karakter Guts, kita bisa membuat satu artikel panjang untuk dirinya seorang.





Akhirnya, selesai juga artikel yang saya buat dadakan ini. Mood menonton sedikit menghilang belakangan ini, namun rasanya sayang juga kalo saya tidak menulis apapun dalam blog, jadi ya inilah hasilnya. Semoga bisa memberikan hiburan bagi kalian yang membacanya. Untuk kalian yang penggemar animanga seperti saya, mari berdiskusi di kolom komentar, karakter animanga mana yang kalian paling sukai. Lumayan juga untuk saya mendapatkan referensi berbagai animanga dari kalian juga. Thanks for reading.





Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!