Monday 17 February 2014


God, it's been a long time since anybody asked me that... I'm great.- Lester Burnham


Plot


Lester Burnham (Kevin Spacey) merupakan seorang kepala rumah tangga yang merasa seperti ada yang hilang dalam hidupnya beberapa tahun belakang. Dia memiliki istri bernama Catherine (Annette Bening) dan seorang putri berusia remaja bernama Jane Burnham (Thora Birch). Catherine sendiri merupakan wanita karir yang ambisius, sedangkan Jane hanyalah gadis remaja seperti umumnya. Namun seperti suami serta ayah mereka, Catherine dan Jane merasakan sesuatu yang hilang juga terhadap diri mereka masing-masing. Catherine tidak menganggap Lester seperti suami pada umumnya, dan terlalu sibuk akan pekerjaannya, sedangkan Jane malah tidak menyukai kedua orang tuanya dan bahkan cenderung membenci mereka. Hingga suatu hari, mereka masing-masing seolah menemukan seseorang yang dapat memenuhi apa yang mereka butuhkan. Lester tertarik dengan sahabat putrinya yaitu Angela (Mena Suvari), Catherine mengagumi rekan seprofesinya yaitu Buddy Kane (Peter Gallagher), dan Jane menjalin hubungan dengan tetangga barunya yaitu Ricky Fitts (Wes Bentley).




Review

 

Ketika seseorang memutuskan untuk berkeluarga, tentunya seseorang tersebut telah mengerti akan resiko yang akan ia hadapi pada suatu hari ketika ia telah berkeluarga. Entah itu masalah keuangan, keharmonisan, atau bahkan bosan dengan keluarga yang ia telah bangun sekian lama. Semua itu tentunya akan kita hadapi dalam suatu keluarga. Namun satu hal yang patut kita sadari adalah, bila kita telah berkeluarga, beban kehidupan tidaklah lagi kita tanggung sendirian. Beban tersebut dengan sendirinya akan terbagi masing-masing anggota keluarga tersebut. Maka dari itu, gw sangat setuju dengan kutipan yang gw dapat dari film Korea Selatan yaitu Hello Ghost yang berbunyi, Memang memiliki keluarga akan sulit, namun tidak ada yang akan selalu mendukungmu sehari-hari kecuali keluarga. Ya, itulah fungsi utama dari sebuah keluarga. Sehingga kita pun mengetahui bahwa keluarga yang dikepalai Lester Burnham ini sedang mengalami masalah atau lebih kerennya kita sebut dalam kondisi yang disfungsional. 

Debut dari sutradara Sam Mendez ini mampu sukses baik dari segi komersil maupun kritik.. Pada perhelatan Oscar yang diadakan pada tahun 2000 American Beauty mampu mendapatkan 8 Nominasi dan mampu meraih 5 piala dari nominasi-nominasi tersebut, termasuk Best Picture dan Best Actor yang diraih Kevin Spacey yang memang bermain hampir sempurna disini. American Beauty juga memiliki pemasukan yang melewati angka $350juta dari budgetnya yang 'hanya' $15 juta.. Apa yang membuat American Beauty mampu meraih pencapaian yang luar biasa itu?

Well, jangan tertipu dengan judulnya yang menaruh kata 'beauty' didalamnya, karena isi film ini hampir sama sekali tidak mampu mendeskripsikan kata 'beauty' itu tersendiri. Kita akan melihat bagaimana sebuah keluarga yang sama sekali tidak harmonis. Tidak hanya satu namun dua keluarga. Film ini memang depresif tapi entah kenapa dari menit awal gw gak terlalu tenggelam ke dalam aura depresif yang di tawarkan oleh film ini. Bukan karena aura depresifnya setengah-setengah tapi menurut gw mungkin karena Sam Mendez menyelipkan beberapa humor di setiap adegan sehingga gw gak terlalu depresif menontonnya, gak kayak ketika gw nonton Requiem for a Dream yang kental banget dengan aura depresifnya. 

Dan juga kontradiksi dengan aura depresifnya, Sam Mendez juga membuat sinematografi dalam American Beauty ini sangat enak dipandang. Lihatlah desain rumah dari Keluarga Burnham tersebut. Sumpah cantik banget. Serta scene ikonik dimana Angela yang dikelilingi ribuan mawar merah menyala itu juga sangat indah. Sungguh hal yang wajar bila American Beauty mampu memenangkan piala Oscar dalam kategori Best Cinematography. Semua hal yang gw ungkapin sebelumnya itulah yang mungkin membuat American Beauty masih enak untuk diikuti meskipun film ini depresif dan juga sedikit ironis dan menyedihkan.. Menyedihkan karena sebuah keluarga yang seharusnya memberikan kita ketenangan, memberikan kita perlindungan dari dunia yang terkadang tidak ramah terhadap para manusia, disini malah keluarga adalah sumber dari malapetaka dan ketidakbahagiaan. Dan ironisnya kita malah merasa bahagia dengan seseorang yang baru memasuki kehidupan kita. Padahal mungkin saja bila Lester, Charoline dan Jane mampu berbicara tenang dari hati ke hati, mungkin saja mereka mampu mencari jalan keluar sama-sama dan meraih keharmonisan yang sempat mereka miliki beberapa tahun sebelum mereka kehilangan arti keluarga yang sebenarnya.

Mungkin hal itulah yang coba diutarakan Sam Mendez dalam debutnya ini. Sam Mendez ingin menunjukkan bahwa bila kita terus memendam permasalahan dalam keluarga maka hal tersebut malah membuat kita semakin merasa jauh terhadap masing-masing anggota keluarga yang kita miliki sehingga tidak ada lagi rasa percaya, tidak ada lagi keharmonisan. Dan Sam Mendez berhasil menginterpretasikan hal tersebut dalam film ini. Mengenai kepercayaan, ada adegan dalam film ini yang menunjukkan kesalahpahaman yang terjadi dalam anggota keluarga. Kesalahpahaman yang tentunya lucu untuk kita yang mengetahui hal yang sebenarnya, namun tidak bagi pihak yang salah paham. Nah, disitulah Sam Mendez ingin mengingatkan bahwa rasa percaya diantara anggota keluarga itu penting. Kalo hal tersebut hilang, maka akan terjadi sesuatu yang tidak mengenakan, seperti film ini.

Mengenai akting, mungkin semua orang yang telah melihat film ini akan setuju bila Kevin Spacey dan Annette Bening bermain dengan luar biasa, terutama Kevin Spacey. Fyi, pada awalnya beberapa aktor terkenal seperti Kevin Costner, Woody Harrelson, John Travolta and Bruce Willis yang akan memerani sosok Lester Burnham. Gw mengenal Kevin Spacey ketika dia bermain cemerlang dalam film Se7en dan The Ussual Suspect. Dan disini gw harus menyatakan kekaguman gw terhadap beliau. Beliau begitu mendalami peran Lester Burnham disini. Lihatlah transformasi ekspresinya ketika memerani sosok Lester yang loser hingga Lester yang akhirnya memiliki rasa keberanian kembali. Serius, gw seperti melihat dua orang yang berbeda dalam satu karakter. Adegan yang tak terlupakan adalah ketika adegan dinner dimana Kevin Spacey melakukan improvisasi akting. Sedikit spoiler, dalam adegan itu seharusnya Kevin Spacey melempar piring yang diisi dengan asparagus ke lantai, namun Kevin Spacey melakukan improvisasi dengan melempar piring tersebut ke dinding. Dan apa yang terjadi? Ekspresi yang dikeluarkan Annette Bening dan Thora Birch yang sebagai Jane pun natural karena mereka sama sekali tak mengira akan improvisasi yang dilakukan Kevin Spacey..! Tidak kalah Annette Bening yang memerankan seorang istri juga ibu yang depresif, dan juga hampir putus asa dengan kehidupan keluarganya. Momen terbaiknya adalah ketika dia menangis setelah gagal menjual rumah. Para supporting role nya juga cukup bermain bagus, walau sedikit tenggelam dengan akting Kevin Spacey dan Annette Bening yang memang istimewa.

Sayangnya gw kurang suka dengan endingnya. Kenapa? Karena gw udah mengira endingnya akan begitu, sehingga gw merasa endingnya biasa aja. Gw berharap endingnya berbeda dengan ending yang ada dalam perkiraan gw. Karena ending yang begitu sangat nggak gw sukai.

Akhir kata, American Beauty bagi gw adalah film yang memberikan kita pelajaran apa yang seharusnya terdapat dalam keluarga. Keluarga haruslah dibingkai dengan kasih sayang, kepercayaan, keterbukaan satu sama lain dan dukungan. Dan film ini bisa menjadi pilihan untuk siapa saja yang merasa telah siap untuk berkeluarga tapi masih ada kebimbangan dalam hati. Dengan dukungan akting yang mumpuni, dan cerita yang berbeda, American Beauty adalah sebuah film yang harus anda tonton bila kalian mengaku sebagai pecinta film..

8,4/10

Sunday 16 February 2014


The closer you think you are, the less you'll actually see.- Daniel Atlas



Plot

Film dibuka dengan pengenalan kepada 4 pesulap amatir namun memiliki potensi yang besar untuk menjadi pesulap kelas atas, yaitu Daniel Atlas (Jesse Eisenberg), Henley Reeves (Isla Fisher, btw doi cakep banget disini gan!! Ehem, bakc to the topic), Merrit Mckinney (Woody Harrelson) dan Jack Wilder (Dave Franco). Mereka masing-masing diundang lewat kartu misterius. Pada akhirnya pun mereka memenuhi undangan tersebut. Awalnya mereka merasa tertipu, namun mereka pun segera mau tak mau percaya ketika setelah memecahkan puzzle yang terdapat dalam kamar di sebuah apartemen yang notabene nya adalah tempat di mana mereka dikumpulkan, mereka pun dihadapkan pada suatu rencana besar yang mengaitkan dengan pencurian dan tentu saja keahlian mereka masing-masing yaitu sulap dan tipu muslihat.
Setahun berselang, mereka pun bersatu dalam sebuah nama yaitu Four Horsemen dan mengadakan pertunjukan yang diadakan di Las Vegas. Pertunjukan yang didanai oleh Arthur Tessler (Michael Caine) tersebut ternyata bukanlah pertunjukan biasa. Karena Four Horsemen mengadakan pencurian terhadap suatu bank di Paris dengan cara meneloportasikan salah satu audience dan membawanya kembali dengan jutaan uang dari bank tersebut.
Aksi mereka tersebut tentunya membuat mereka populer dan FBI pun menaruh perhatian terhadap mereka, salah satu agennya yaitu Dylan Rhodes (Mark Ruffalo). Dengan bantuan dari agen Interpol Prancis Alma Dray (Melanie Laurent), Dylan pun mencoba memecahkan misteri bagaimana hal tersebut bisa terjadi dan sebisa mungkin menangkap mereka. Tidak hanya FBI, mantan pesulap Thaddeus Bradley pun tertarik dengan Four Horsemen dan meyakini bahwa Four Horsemen memiliki sebuah rencana.



Review

Film ini menggabungkan heist dan magic sebagai sajian utama. Ya, bayangkan saja bila Trilogy Ocean Eleven digabungkan dengan The Prestige nya Chrisopher Nolan, maka film inilah hasilnya. Gw menyukai sajian yang ada di film Trilogy Ocean Eleven, walau gw kurang menikmati dengan Ocean Twelve nya, sedangkan The Prestige sendiri gw anggap sebagai film bertemakan sulap terbaik sampai saat ini. Nah bagaimana dengan film ini?
Dari awal film ini telah menggebrak dengan cukup cepat seolah tidak membiarkan para penontonnya untuk menangkap secara mendetil apa yang disajikan. Kalimat-kalimat yang dilontarkan pun juga tidak langsung to the point sehingga gw jamin bila kalian lengah sedikit saja kalian pun akan kesulitan untuk menangkap alurnya dan kebingungan di tengah jalan. Mungkin itulah yang diinginkan sang Sutradara Louis Leterrier karena memang apabila kita mencoba untuk mendetil menangkap cerita film ini maka akan cukup banyak lubang yang mengganggu kita. Gw gak bohong, karena gw sendiri cukup menikmati ketika film ini mulai berjalan dan mencoba menerima apapun yang disajikan film ini, namun ketika mendekati paruh akhir pun gw merasakan ada keanehan dengan plot yang ditawarkan, dan ketika gw mencoba untuk mengulangi film ini dari detik awal, kecurigaan gw pun benar. Mungkin gw sudah terpana dengan sajian sulap yang disajikan dan membuat gw seperti penonton yang hadir di setiap pertunjukan Four Horsemen, gw telah tertipu dengan plot ceritanya. Tapi gw gak bisa memungkiri bila gw cukup menikmati film ini, yah terlepas dengan plot hole nya yah.
Dan bila kalian berharap masing-masing anggota dari Four Horsemen bakal memilik pengembangan karakter maka kalian harus mengubur keinginan tersebut karena ketika memasuki paruh pertengahan, fokus cerita beralih ke sisi FBI dan mencoba mengembangkan karakter dari Dylan Rhodes dan Alma Dray. Sesungguhnya keputusan ini tidaklah salah, karena akan menjadi keunikan tersendiri bila film berbentuk heist atau caper movie atau apalah istilahnya menilik lebih dalam ke sisi pihak pengejar. Namun apa yang dipilih oleh Louis Leterrier adalah memberikan fokus cerita seutuhnya kepada Dylan dan Alma. Memang tidak sepenuhnya, namun porsi yang diberikan kepada mereka bisa gw bilang membuat porsi dari anggota-anggota Four Horsemen sedikit tenggelam sehingga gw yang awalnya mendukung aksi mereka, malah menginginkan sajian-sajian sulap mereka gagal dan berhasil ditangkap oleh pihak FBI.
Mengenai ensemble castnya, masing-masing karakter yang menjadi anggota Four Horsemen yaitu Jesse Eisenberg, Dave Franco, Isla Fischer dan Woody Harrelson cukup baik memerankan seorang pesulap yang cerdas dan memiliki ribuan misteri dengan langkah yang mereka ambil. Dave Franco sebenarnya memiliki porsi yang paling kecil, namun itu tidak membuat aktingnya menjadi tenggelam kok. Di jajaran cast seniornya yaitu Morgan Freeman dan Michael Caine juga gak pernah mengecewakan gw, namun bila boleh jujur karakter yang diperankan Michael Caine disini kurang cocok untuk beliau. Tidak, tidak, Michael Caine bermain bagus, tapi peran yang dimainkannya ini sedikit antagonis sehingga gak sinkron aja dengan mukanya yang wise banget dan bijak gitu.
Tapi tentunya scene stealer film ini milik Mark Ruffalo. Ya, aktingnya benar-benar menonjol disini. Dia mampu memerankan agen FBI yang kebingungan tapi tidak terkesan oon. ‘Seperti’ memiliki dedikasi terhadap pekerjaannya sehingga kita tidak menyadari bahwa dia memiliki rahasia juga. Paruh pertengahan sampai akhir merupakan miliknya, percaya ama gw.
Yah pada akhirnya Now You See Me masih mampu menjadi sajian yang cukup berkualitas lah untuk dinikmati dalam waktu luang. Memang memiliki plot hole yang cukup mengganggu namun dengan dasar cerita yang menarik serta eksekusi yang bagus Now You See Me membuat plot hole tersebut akan kalian lewatkan bila kalian telah menikmati sepenuhnya dari awal. Now You See Me juga memiliki cast yang cemerlang, terutama Mark Ruffalo. Jangan bandingkan film ini dengan Ocean Eleven dan The Prestige karena film ini bahkan tidak mampu menyentuh bayangan kedua film tersebut..

7,5/10

Friday 14 February 2014


I'm somebody now, Harry. Everybody likes me. Soon, millions of people will see me and they'll all like me. I'll tell them about you, and your father, how good he was to us. Remember? It's a reason to get up in the morning. It's a reason to lose weight, to fit in the red dress. It's a reason to smile. It makes tomorrow all right. What have I got Harry, hm? Why should I even make the bed, or wash the dishes? I do them, but why should I? I'm alone. Your father's gone, you're gone. I got no one to care for. What have I got, Harry? I'm lonely. I'm old. -Saea Goldfarb



Plot

Menceritakan kisah 4 manusia yaitu Sara Goldfarb (Ellen Burstyn), Harry Goldfarb (Jared Leto, gak kenal? Kemana aja lo???), Marion Silver (Jennifer Connelly), dan Tyrone (Marlon Wayans). Sara Goldfarb merupakan seorang ibu rumah tangga yang telah memasuki usia senja, dan dia juga telah ditinggal selamanya oleh suaminya. Sedangkan Harry telah memiliki tempat tinggal sendiri dan hanya sesekali datang kerumah Sara, itupun Cuma mau ngegadaiin TV kesayangan Sara. Sara yang kesepian hanya bisa mengisi waktu luangnya dengan menonton TV dan bercengkerama dengan teman-temannya. Semua dijalankannya dengan tanpa harapan, sampai suatu ketika dia mendapatkan telepon, dan Sara diundang untuk mengikuti sebuah acara, namun tidak tahu kapan waktu nya. Sara tentunya gembira dengan ajakan itu, dan berencana untuk memakai gaun merah kesayangannya. Sayangnya gaun tersebut adalah gaun yang dia pakai ketika masih muda dan itu sudah berpuluh-puluh tahun yang dulu. Sekarang badan Sara tidaklah selangsing saat itu sehingga gaun tersebut tidak muat lagi di tubuhnya yang renta. Dengan saran dari tetangganya, Sara pun menjalankan program diet natural dengan mengurangi penggunaan gula. Namun Sara tidak tahan dengan program tersebut sehingga dia pun menghubungi dokter ahli diet dan menerima pil-pil yang akan merubah kehidupannya. Sedangkan Harry, dan sahabatnya Tyrone serta kekasih Harry yaitu Marion merupakan sesosok remaja yang telah terjebak dengan penggunaan narkoba, bahkan mereka adalah junkies yang telah memasuki level ‘gak-ada-narkoba-sama-dengan-gak-ada-oksigen’. Harry dan Tyrone pun memiliki rencana untuk tidak hanya menjadi user, namun mereka ingin menjadi seller juga untuk merubah kehidupan mereka dan mencoba mengais asa untuk meraih mimpi mereka juga. Beberapa benang merah yang mengaitkan kisah diatas adalah mimpi, obsesi, dan tentunya candu obat-obatan.
 










Review

Semua manusia di muka bumi ini pasti memiliki harapan dan impian untuk mencapai kesuksesan, terlepas apa yang mereka definisikan apa itu kesuksesan bagi mereka. Tinggal bagaimana cara kita untuk mewujudkan mimpi tersebut. Pilihannya ada dua, melalui jalan pintas atau jalan yang benar. Jelas kita dianjurkan untuk memilih jalan yang benar untuk meraih kesuksesan tersebut, namun seringkali jalan yang benar tersebut dikelilingi dengan cobaan-cobaan yang mencoba untuk menggoyahkan kita, sedangkan jalan pintas dikelilingi dengan hasutan-hasutan yang juga menggoda kita untuk lebih memilih jalan tersebut. Namun, jalan pintas tersebut tidak selamanya menyenangkan. Mungkin kita akan meraih kesuksesan, namun apakah kesuksesan tersebut memberikan kita sebuah akhir yang bahagia pula? Nah hal tersebut lah yang Darren Aronofsky coba uraikan dalam film keduanya setelah Pi pada tahun 1998.
Istilah Requiem sendiri ketika gw searching di google.com merupakan istilah yang sering dipakai untuk sesi penguburan. Jadi bisa kita artikan dari judul ini adalah Penguburan Mimpi. Tuh, dari judul aja udah depresif banget tuh.
Film yang diadaptasi dari novel karangan Hubert Selby, Jr. Ini terdiri dari 3 fase yaitu Summer, Fall dan terakhir Winter. Diawal film saja kita telah disuguhkan scene dimana Harry dan Tyrone membawa paksa tv kesayangan sang ibu yaitu Sara yang diiringi dengan score fenomenal milik Clin Mansell. Dari situ saja kita telah dikasih gambaran bahwa film ini akan depresif dan tragis. Dan benar saja, hampir tidak ada sama sekali kebahagiaan dalam film ini. Sang sutradara membingkai film ini sepenuhnya dengan depresif, kisah tragis juga ironis. Mungkin bila Anda adalah penikmat film yang kurang terbiasa dengan hal tersebut Anda mungkin akan tidak tahan, namun bila Anda tahan dan menikmati suguhan dari Darren Aronofsky, gw jamin film ini akan memberikan pengaruh yang nyata buat Anda. Gw gak bohong. Sampe detik ini, gw masih mengingat gimana scene akhir dari film ini yang sangat menyedihkan, mengiris hati, dan memaksa bibir gw mengucapkan kalimat istighfar!! Sangat sedikit film yang mampu membuat gw mengeluarkan kalimat tersebut.
Gw mengapresiasi keberhasilan dari Darren Aronofsky menggambarkan ke dalam bentuk visual bagaimana efek drugs tersebut bila telah mengikat para pemakainya. Dengan jujur, beliau mampu menjabarkan apa saja sebab akibat yang akan terjadi bila kita telah terikat dan tak mampu lepas dari barang haram tersebut, sehingga kita para penonton pun juga akan ikut merasakan apa yang dirasakan keempat karakter utama dalam film ini. Lebih hebatnya lagi, Darren Aronofsky tidak hanya menceritakan tentang junkie terhadap obat, namun juga terhadap pil diet, kopi bahkan acara tv. Acara tv yang ditonton oleh Sara Goldfarb entah kenapa memberikan teror tersendiri ke gw. Dalam film ini juga terdapat teknik-teknik kamera yang digunakan Darren Aronofsky, seperti split screen, fast forward, dan lain-lain yang makin menambah kesan suram dan depresinya namun juga indah diliat mata, serta membuat film ini berbeda dari film-film yang lain. Oh dan jangan lupa dengan scoring Lux Aeterna yang menyayat hati yang selalu mengiringi adegan-adegan suramnya. Gw yang awalnya penasaran dengan scoring legendaris ini pun mengakui bahwa scoring ini sangat luar biasa. Scoring ini benar-benar berhasil merasuki kita sebagai penonton. Gak heran bila Lux Aeterna sering di recycle ulang dan digunakan oleh pihak-pihak lain. Film fenomenal Lord of the Ring pun sempat memakai scoring ini.
Bila kita melihat plot utamanya yang terbagi dua, mungkin semua sepakat bila cerita tentang Sara Goldfarb sangat menarik diikuti. Cerita akan kesendiriannya, menjalani hidup tanpa harapan setelah semua yang disayanginya meninggalkannya, hanya menjalani hari demi hari membereskan rumah, bercengkerama dengan tetangga, serta pastinya menikmati acara favoritnya. Dan harapan pun kembali datang ketika mendapatkan tawaran untuk menjadi bintang tamu di dalam acara favoritnya tersebut. Dengan memakai gaun merah kesayangan nya dan suaminya, Sara berharap bila dia tampil di acara tersebut, Sara mampu menyatakan kepada khalayak walau kini dia janda dan hanya tinggal seorang diri, dia masih bisa merasakan bahagia dan anak satu-satunya mampu membuatnya bangga kedua orang tuanya. Gw sangat terharu ketika dia mengutarakan hal tersebut kepada Harry di pertengahan film. Namun sayangnya obsesi yang tinggi tersebut membimbingnya menuju ke jalan yang tidak akan pernah terbayangkan dalam kehidupannya.
Oh ya, Saatnya kita memasuki ke departemen akting dalam film ini. Dari mana dulu? Dari Marlon Wayans dulu ya. Gw kenal Marlon Wayans ketika do’i main di franchise Scary Movie. Akting do’i disitu konyol dan mampu membuat ketawa. Makanya gw terkejut melihat akting dia disini dimana dia bermain dengan serius dan juga depresif. Mungkin bila porsinya ditambah serta kedalaman karakternya juga ada, bisa aja dia mampu mengeluarkan akting nya yang maksimal. Tapi overall penampilannya memuaskanlah. Jennifer Connelly sebagai love interest dari Harry yang diperankan Jared Leto juga membuat gw terkejut. Gw tahunya ini cewek Cuma bisa main aman serta hanya bisa berakting menjadi cewek-cewek normal aja. Namun dia bermain disini dengan gila, serta lumayan total. Benar-benar ya Darren Aronofsky, mampu membuat aktris-aktris yang bermain dalam filmnya mengeluarkan akting maksimal dari sang aktris tersebut. Kemudian kita beralih ke Jared Leto. Menurut gw akting dia dalam film ini merupakan salah satu akting terbaik dari dia. Gw belum nonton film nya yang terbaru yaitu Dallas Buyers Club. Disini Jared mampu mengekspresikan orang yang sedang junkie dengan meyakinkan. Momen terbaiknya ketika rasa sakit nya memuncak di akhir film ini. Namun tentu saja yang terbaik ada pada akting dari Ellen Burstyn sebagai Sara Goldfarb. Obsesi serta kecanduan dari Sara Goldfarb berhasil diinterpretasikan dengan hampir sempurna oleh Ellen Burstyn. Ekspresi kesepiannya, kerapuhannya, ah, kenapa kualitas akting seperti ini masih gak bisa menghasilkan Oscar sih?? Liatlah ekspresinya ketika scene percakapan dengan Jared Leto sebagai Harry di pertengahan film.. Sangat memukau..
Kekurangan film ini mungkin konten yang ada film ini hanya bisa dinikmati oleh orang dewasa dan menganggap kalo konten tersebut hanyalah sebagai kebutuhan dari cerita saja. Dan juga tone depresif yang beredar di film ini juga mungkin kurang bisa dinikmati oleh para penonton awam. Kemudian adegan repetitif juga cukup banyak seperti teknik ketika para pemeran utama nya sedang memakai obat-obatan, acara tv yang ditonton Sara. Gw jujur lumayan terganggu dengan adegan acara tv yang diulang-ulang tersebut. Meneror banget dah buat gw, nggak tau kenapa -__-
Kesimpulannya, Requiem for a Dream adalah sebuah film yang mampu memberikan pengaruh kepada kita setelah menontonnya dengan seksama. Bagaimana sebuah obsesi atau mimpi yang kita ingin capai bisa menjadi racun bila kita tidak mencapainya dengan cara yang bijaksana dan lebih memilih cara yang salah. Dengan performa yang total dari masing-masing pemeran utamanya, terutama Ellen Burstyn, serta kejujuran dari film ini, dan pengarahan yang hampir sempurna dari seorang Darren Aronofsky, Requiem for a Dream berhasil menjadi salah satu film bertemakan drugs terbaik saat ini.

8,75/10

Wednesday 12 February 2014



I just wanted to say that I didn't know Thresh, I only spoke to him once. He could have killed me, but instead he showed me mercy. That's a debt I'll never be able to repay. I did know Rue. She wasn't just my ally, she was my friend. I see her in the flowers that grow in the meadow by my house. I hear her in the Mockingjay song. I see her in my sister Prim. She was too young, too gentle and I couldn't save her. I'm sorry.- Katniss Everdeen

Plot


Walau dengan beruntungnya dapat bertahan hidup dari Hunger Games, tidak membuat kehidupan Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence) dan Peeta Lemark (Josh Hutcherson) dalam kenyamanan. Trauma, teror, ketakutan terus menghantui mereka. Dengan ditambahnya intimidasi yang di datangkan Presiden Snow (Donald Sutherland) terhadap Katniss yang khawatir akan adanya revolusi besar-besaran dari tiap Distrik untuk menurunkan Capitol yang dipimpin olehnya. Setiap Distrik menganggap Katniss adalah sosok harapan, sosok yang bisa memberikan kekuatan untuk melawan segala ketidak adilan yang dilakukan Capitol.  Untuk itulah, bersama Plutarch Heavensbee (Philip Seymour Hoffman), Presiden Snow mengadakan Quarter Quell sebagai peringatan kemerdekaan setiap 25 tahun sekali untuk menghancurkan Katniss. Quarter Quell sendiri kembali ‘mengundang’ para pemenang The Hunger Games berasal dari tiap Distrik dari tahun pertama The Hunger Games diadakan. Tidak hanya musuh-musuhnya yang telah berpengalaman dan tentunya berbahaya, musuh Katniss dan Peeta juga adalah Presiden Snow beserta bawahan-bawahannya.



Review

Setelah kesuksesan luar biasa The Hunger Games yang dirilis pada tahun 2012, hanya Tuhan lah yang mampu mencegah Lionsgate untuk tidak merilis sekuelnya. Ya, kesuksesan sekuel pertama sangat mengejutkan. Mungkin kalau sukses dalam komersil hal itu telah dapat ditebak, namun sukses dalam kualitas? Gw rasa sangat sedikit yang menebaknya. Gw juga cukup enjoy dengan sekuel pertama, dimana dalam film tersebut yang tidak hanya permainan bunuh-bunuhan dan love triangle nya yang ditonjolkan, namun ada juga unsur-unsur politik, kekuasaan absolut, sosial dan masih banyak yang di ceritakan dalam film tersebut. Film ini pangsa pasarnya adalah kaum remaja, namun memiliki unsur cerita seperti itu, sangat sedikit kan film kaum remaja yang kompleks seperti ini? Yah walau karena rating PG-13 membuat film tersebut kurang brutal dan menegangkan. Dengan beralihnya kursi sutradara kepada Francis Lawrence, dan screenplay kali ini diserahkan nahkodanya kepada Simon Beaufoy dan Michael Arndt, bagaimana dengan sekuelnya ini?
Anggap saja kalian telah menikmati es krim cone yang nikmatnya luar biasa, kemudian pada hidangan kedua kalian menikmati es krim cone yang telah ditambah dengan coklat dan vanilla yang menambah kenikmatan dari es krim tersebut. Ya, seperti itulah The Hunger Games: Catching Fire. Segala aspek positif dari film pertama ditambah kadar nya menjadi beberapa kali lipat kualitasnya. Dan juga ada beberapa aspek yang ditambahkan sehingga makin berkualitaslah film ini. Seperti dalam film pertama, film ini bukanlah film yang menonjolkan pertarungannya, karena paruh pertamanya kita akan dilihat hasil dari kemenangan Katniss dan Peeta. Dimana para penduduk distrik menaruh harapan besar terhadap Katniss dan mulai memiliki keberanian untuk menggoyang pemerintahan bertangan besar yang selama ini mengekang kebebasan mereka. Adegan pidato pertama Katniss dan Peeta pada saat melakukan tur kunjungan ke setiap distrik cukup menegangkan dan menggetarkan hati. Dan juga ide untuk mengajak kembali Katniss dan Peeta ke dalam permainan mematikan itu juga tidak memaksakan dan cukup beralasan. Intinya paruh pertama disusun berdasarkan drama yang lebih banyak dengan menitikberatkan pada dialog. Di paruh pertama inilah perkembangan cerita serta karakterisasi karakter utamanya, terutama tentu saja Katniss.
Love triangle nya masih menjadi bagian cerita dari franchise ini walau tidak menjadi sajian utamanya. Namun jangan khawatir, Francis Lawrence mengemasnya dengan berkualitas dan tidak murahan. Dimana Katniss masih menjalin kedekatan dengan Gale (Liam Hemsworth) serta terus melanjutkan sandiwara cinta palsu dengan Peeta.
Lalu bagaiamana dengan Hunger Games nya sendiri? Turnamen Hunger Games nya sendiri baru dimulai ketika paruh kedua mulai berjalan. Setelah mengambil alur yang lambat pada paruh pertama, barulah di paruh kedua ini Francis meningkatkan intensitas ceritanya. Ketegangan, keseruan dan ancaman nya sendiri di tambah dua kali lipat dari film pertama. Adegan kabut beracunnya bikin gw tegang! Ditambah dengan efek visual yang menghiasi turnamen tersebut mampu menyegarkan mata. 
Catching Fire memiliki karakter-karakter baru seperti Finnick Odair (Sam Claflin), Johanna Mason (Jena Malone) semakin membuat Catching Fire lebih berwarna serta menambah intensitas ceritanya sendiri. Walau pengembangan karakternya belum ada, tapi itu tidak masalah karena masih ada dua film lagi yang mungkin pengembangannya akan terjadi. Gw lumayan suka terhadap karakter Finnick disini. Finnick digambarkan sebagai sosok tangguh, namun merupakan pria penyayang. Semoga saja dia mendapatkan porsi cerita yang lebih luas dalam film ketiga nanti.
Lalu, bagaimana dengan sosok Katniss dan Peeta? Sosok Katniss yang merupakan salah satu fokus utama dalam film ini, mendapatkan porsi cerita dan pengembangan karakter yang meluas dan menarik. Sosok Katniss disini digambarkan sebagai wanita remaja yang kuat namun tetap saja dia hanyalah wanita biasa yang dianugerahi bakat akan menggunakan busur panah. Dia memang kuat, namun tetap lah dia akan merasakan ketakutan, rapuh, dan tertekan dengan harapan-harapan dari rakyat-rakyat dari setiap distrik yang besar terhadapnya. Katniss sendiri ingin melarikan diri bersama Gale ketimbang menjadi simbol harapan. Dan karakter Katniss ini mampu di perankan oleh Jennifer Lawrence dengan gemilang, sangat gemilang. She’s born to be Katniss.. Sangat sulit membayangkan kalo Katniss diperankan oleh aktris-aktris yang lain.
Penampilan Jennifer mampu membuat sosok Katniss disukai oleh penonton seakan tercipta sebuah ikatan Katniss dan penonton sehingga ekspresi Katniss yang di layar akan dirasakan penonton juga, penonton akan bersimpati terhadap nya ketika Katniss mengalami kesulitan karena Katniss bukanlah sosok yang terlalu superior dan ketika rasa putus asa mulai tersirat di muka Katniss, penonton pun otomatis menyemangatinya. Jennifer mampu membuat sosok Katniss sebagai heroine yang berkharisma.
Namun, karakter Katniss yang kompleks dan menarik ini serta penampilan kuat dari Jennifer Lawrence ini harus mengorbankan (lagi) karakter Peeta yang diperankan Josh Hutcherson. Sosok Peeta kembali tidak mengalami perkembangan karakter dan juga eksistensi Peeta juga seakan tenggelam bila disandingkan karakter Katniss, atau bahkan karakter Finnick yang lebih mencuri perhatian. Ketika turnamen di mulai pun Peeta juga tidak jarang menjadi penghambat bagi teman-teman seperjuangannya sehingga bagi gw karakter Peeta ini cukup sulit untuk disukai penonton. Akting Josh yang memerankan Peeta juga sama kaya sekuel pertama, gak spesial-spesial amat. Bukan salah dia sih, memang karakter Peeta ini sangat sulit untuk dibawakannya dengan optimal karena Peeta bukanlah karater yang kompleks seperti Katniss. Semoga aja di film ketiga karakter ini mengalami perkembangan karakter serta porsi cerita yang lebih besar sehingga Josh mampu mengeluarkan akting terbaiknya. Namun untung saja supporting role nya seperti Elizabeth Bank, Woody Harelson, Lenny Kravitz mampu menampilkan performa yang maksimal.
Oh ya, mengenai special effect nya, gw sangat menyukai special effectnya ketika Katniss memakai wedding dress putih dan ketika dia berputar, wedding dress nya mengeluarkan api dan merubah dress tersebut menjadi hitam. Tidak hanya itu kejutannya karena efek kejut nya adalah dress tersebut melambangkan burung Mockingjay.


 Catching Fire bukan gak ada kelemahan. Kelemahannya tetap ketika kontes The Hunger Games nya yang kurang brutal, padahal The Hunger Games nya sediri adalah edisi Quarter Quell dimana para pemenang The Hunger Games sebelumnya ikut berpartisipasi, pastinya kita sebagai penikmat fiilm mengharapkan kontes tersebut memberikan ketegangan yang optimal dan seru berlipat-lipat, dan juga super villainya yaitu Presiden Snow kurang menakutkan. Bukan, bukan, memang Presiden Snow memiliki kekuasaan yang superior, tapi entahlah, gw kurang merasakan kesan intimidatif dari sosoknya. Malah gw merasakan hal tersebut pada diri Phillip Seymour Hoffman sebagai Plutarch Heavensbee. Sungguh disayangkan kita tidak bisa melihat penampilannya lagi..
Overall, The Hunger Games: Catching Fire adalah sebuah peningkatan dari kualitas film pertamanya. Dengan karakter utama yang kompleks dan susunan cerita yang membuat Film ini berhasil memberikan standar baru untuk film yang sejenis, dan menyadarkan kita bahwa film remaja gak harus cinta yang menjadi pokok utamanya. Ditambah dengan akting cemerlang dari Jennifer Lawrence, The Hunger Games: Catching Fire adalah salah satu film terbaik tahun 2013.

8,3/10

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!