Thursday 28 March 2019


"Talk. Talk. Talk. No more talk"- Payu

Plot

Misi dendam diusung Jaka (Iko Uwais) saat istrinya tewas akibat dari serangan gerombolan bersenjata laiknya para tentara. Dua diantara gerombolan tersebut adalah Payu (Tony Jaa) dan Long Fei (Tiger Hu Chen) yang rupanya mendapati diri mereka ditipu dengan iming-iming misi kemanusiaan. Tujuan utama dari gerombolan tersebut tidak lain tidak bukan adalah demi membebaskan Collins (Scott Adkins). Di sisi lain, gadis kaya, Xian (Celina Jade), ingin menginvestasikan kekayaannya di kota Maha Jaya untuk mengurangi angka kriminalitas di kota tersebut. Namun, niatnya tersebut malah membuat dirinya harus menjadi incaran Collins dkk.



Review

Sesaat setelah menyaksikan Triple Threat yang disutradarai oleh Jesse V. Johnson ini, saya seketika kembali mengingat Half Time Show di Super Bowl tahun ini. Pertunjukan tersebut berpotensi menjadi acara yang ikonik berkat adanya petisi supaya lagu Sweet Victory yang dipopulerkan oleh Spongebob Squarepants itu dibawa pada pertunjukan tersebut. Harapan fans tersebut seolah didengar oleh pihak NFL dengan menyajikan klip dari Spongebob, namun kekecewaan harus diterima oleh para fans karena alih-alih track Sweet Victory yang diputar, malah lagu Sicko Mode yang mengudara. Rasa kecewa yang besar tentu saja tidak bisa dielakkan, dan hal tersebut terbukti dengan jumlah dislike pada video pertunjukan itu di kanal Youtube resmi milik NFL. Mengapa saya membahas ini? Karena situasi tersebut sedikit banyak memiliki kemiripan dengan film ini.

Materi yang dimiliki sudah lebih dari cukup, dimana Triple Threat dibintangi oleh para aktor laga Asia yang telah memiliki nama. Ada Tony Jaa, Tiger Hu Chen dan tentunya Iko freakin' Uwais! Bayangan mereka bertiga beradu kelihaian bela diri dalam layar secara otomatis muncul dalam benak. Siapa tahu, penonton mampu mendapatkan sajian threesome ikonik dari Yuda & Andi vs Mad Dog dalam The Raid kembali. Namun, sayang beribu sayang, potensi besar tersebut seolah dibuang percuma oleh Johnson. Tidak hanya penonton tidak mendapatkan apa yang mereka harapkan, namun Johnson juga tidak mampu menyajikan sajian adegan aksi yang melekat di dalam ingatan.

Adegan pembuka Triple Threat sebenarnya cukup memuaskan. Setelah pengenalan sosok Xian, adegan beralih ke penyerangan tiba-tiba pada suatu pemukiman di dalam pedalaman hutan. Adegan invasi mendadak nya memang tidak spesial, namun kita sempat menyaksikan momen face to face antara Iko Uwais dan Tony Jaa. Duel tersebut memang berlangsung cukup singkat, namun sudah lebih dari cukup untuk membuat saya menantikan duel ulang mereka lagi di dalam film. Tidak lama dari itu, kita juga diberikan duel antara Iko dengan Tiger Hu Chen. Namun rupanya, momen ketika duel tersebut berakhir, disitu juga lah kesenangan penonton berakhir. Karena hingga akhir film, kita sama sekali tidak diperlihatkan mereka kembali beradu jotos di sebabkan mereka bertiga berdiri di pihak yang sama. 

Saya mencoba berpikiran positif. Mungkin saja Johnson ingin mereka bertiga beradu masing-masing satu lawan satu dengan pihak antagonist disini. Selain Iko, Tony dan Tiger, ada juga Michael Jai White, Scott Adkins, Michael Bisping dan Jeeja Yanin yang telah memiliki nama pula dalam film laga. Dan memang itulah yang kita dapatkan di klimaks nanti, namun dari cara penyajian Johnson di adegan klimaks tentunya sangat berlawanan dari yang kita semua inginkan. Memang masih ada sajian martial arts nya, namun tempo nya sangat singkat. Selain itu pula diiringi adegan baku tembak standar ala film action tanpa ada nya ketegangan serta adrenalin yang terlibat. 

Kekecewaan tidak hanya berhenti dari situ saja, karena sebagai penonton dari Indonesia, sudah pasti saya mengharapkan Iko Uwais mampu mendapatkan treatment yang layak sesuai dengan bakat bela dirinya, setidaknya seperti apa yang dilakukan Peter Berg di Miles 22 nya. Namun beribu sayang kembali, Johsnon tampak kebingungan dalam memanfaatkan bakat yang dimiliki Iko. Sama sekali tidak ada spotlight yang didapatkan Iko dalam film ini karena Johnson membuat karakter Jaka terlihat begitu lemah. Seringkali ketika ia beradegan adu jotos, Iko mendapatkan keberuntungan sesaat atau dibantu oleh partner nya dalam menumbangkan musuhnya. Tidak cukup hanya itu, Johnson pun membuat karakter yang diperankan Iko terlihat bodoh dengan segala rencana balas dendam nya yang bisa dibilang ngalur ngidul.

Jika sajian-sajian aksi nya saja tidak mampu menyelamatkan film ini, apalagi dengan naskahnya. Naskah dari Joey O'bryan dan Fangjin Song layaknya film action kelas B dengan ceritanya yang tipis, aneh dan lumayan tidak masuk akal. Mau contoh? Ada adegan dimana Jaka menelepon pihak Kedutaan Cina untuk melaporkan keberadaan Xian. Adegan tersebut normal saja, jika Iko menghubungi Kedutaan Cina dengan bahasa Inggris. Ya, Iko melaporkan kondisi Xian dengan bahasa Indonesia dengan EYD yang sempurna! Bukti jika O'Bryan dan Song sama sekali tidak menutupi jika naskahnya memang aneh dan (maaf) bodoh. 

Kelemahan di divisi naskah bisa saja dimaafkan andai saja sekuen aksi nya bisa disajikan dengan benar dan mampu memanfaatkan masing-masing bakat seni bela diri setiap lakon. Nihilnya adegan aksi yang mampu membuat penonton pecinta laga berorgasme ria membuat Triple Threat jatuhnya hanya menjadi film aksi biasa yang dibintangi aktor laga yang tidak biasa.

6,5/10



Wednesday 20 March 2019


"There are no military targets here. It is a complete and utter lie"-Marie Colvin

Plot

Mengisahkan perjuangan jurnalis ternama, Marie Colvin (Rosamund Pike), dalam melakukan tugasnya di medan konflik.




Review

Rosamund Pike kembali memberikan performa Oscar-Worthy dalam memerankan reporter ternama, Marie Colvin. Selain menampilkan sosok Marie yang seolah tidak kenal takut ketika menjalankan tugasnya sebagai jurnalis, Pike turut pula menampilkan sisi lain dari Marie yang rapuh dan terkena efek trauma atas segala hal yang ia saksikan di wilayah konflik. Baik dari tatapan mata nya, ataupun gestur lengannya yang gemetar kala menghisap puntungan rokok, penonton mampu menangkap kesedihan juga kemarahan atas apa yang Marie saksikan. 

A Private War yang diadaptasi dari tulisan Marie Colvin berjudul "Marie Colvin's Private War" ini sukses memposisikan penonton seolah kita adalah rekan kerja Marie yang pula turut menjadi saksi akan kejamnya realita konflik yang tengah terjadi. Teror berhasil terasa dengan adanya berondongan peluru, dentuman suara RPG atau bom yang tidak bisa diprediksi kapan akan menyerang. Selain itu, sang sutradara, Matthew Heineman tidak sungkan juga memperlihatkan para korban yang terluka. Tidak terlalu disturbing memang, tetapi cukup untuk penonton yang mengidap hemophobia memalingkan mata. Seperti Marie juga, kita sama sekali tidak bisa melakukan apa-apa untuk menghentikan konflik yang tengah berlangsung sehingga menjadikan A Private War bergulir secara realistis. 

Naskah yang ditulis Marie Brenner serta Arash Amel sepenuhnya memfokuskan penceritaan pada sosok Marie. Dari setiap peristiwa yang terjadi di medan konflik yang ditangkap melalui sudut pandang Marie, diikuti juga akan dampak yang harus diterima oleh Marie. Seperti apa yang diungkapkan oleh Paul Conroy (Jamie Dornan), pahitnya pengalaman yang dialami Marie lebih buruk dibandingkan tentara militer sekalipun.  Tidak hanya kehidupan pribadi nya yang seolah tidak terurus, Marie harus kehilangan mata di kala bertugas, dihantui oleh mimpi buruk yang seolah tidak bosan menghinggapi Marie, serta mengidap PTSD sehingga memaksa Marie harus menjalani perawatan. Namun semua hal tersebut tidak menghentikan Marie untuk tetap menjalankan tugas nya untuk memberikan kabar berita yang harus diketahui oleh dunia. 

Jalannya narasi memang sedikit terasa repetitif. Cerita senantiasa bergulir dari sebelum, ketika, dan sesudah Marie bertugas hingga nanti puncaknya Marie melaksanakan tugas terakhir nya di daerah Syria. Sedikit kekurangan film ini adalah transisi penceritaan tersebut kurang terasa menjembatani narasinya. Maksud saya, setiap motif Marie sehingga rela menempatkan nyawanya dalam bahaya untuk bisa melaporkan kejadian tak terungkap di daerah konflik kurang tereksplor. Mungkin secara subtil, Heineman telah memberikan jawaban yang terlewatkan oleh saya. Namun hingga film berakhir, saya kurang mampu memahami alasan Marie untuk senantiasa tetap menerima tugas yang sangat bahaya tersebut. Satu-satunya jawaban saya adalah sosok Marie bagaikan William James di film The Hurt Locker, dimana keduanya telah kecanduan dan menemukan kesempurnaan hidup kala mereka melakukan pekerjaannya. Bukan berarti Marie menikmatinya, namun seperti candunya pada rokok atau minuman keras, Marie tidak bisa berhenti untuk tetap terus menjalankan profesinya, walau pun kembali, profesi tersebut berpotensi besar dapat mengakhiri hidupnya. Terlepas dari apa yang mendorong Marie, A Private War sudah menjalankan tugas nya dengan baik dalam menangkap bagaimana bahaya nya pekerjaan jurnalis di medan perang demi menyampaikan sebuah berita yang mungkin tidak akan terungkap jika tanpa mereka serta begitu banyak yang mereka pertaruhkan.

8/10





Tuesday 12 March 2019


"I have nothing to prove to you"- Carol Danvers

Plot 

Kegagalannya dalam suatu misi penyelamatan sebagai Starforce dari planet Kree, Vers (Brie Larson) ditahan oleh kawanan Skrull yang dipimpin oleh Talos (Ben Mendelsohn). Vers berhasil kabur, namun upaya kaburnya tersebut malah membuat dirinya mendarat ke bumi. Penampilannya yang mencolok serta pendaratannya yang "unik" sukses membuat Vers menarik perhatian, tidak terkecuali para agen S.H.I.E.L.D yang salah satunya adalah Nick Fury (Samuel L. Jackson) dan Phil Coulson (Clark Gregg). Tidak hanya itu, Talos beserta anggota Skrull lainnya pun berhasil mengikuti Vers hingga ke bumi dan berupaya untuk menemukan Vers dengan kekuatan penyamaran mereka. Sementara itu, anggota Starforce lainnya yang dipimpin Yon-Rogg (Jude Law) berusaha menyelamatkan Vers. 




Review

Melalui tulisan saya sebelumnya, saya telah mengungkapkan akan keraguan saya akan kualitas akhir dari film ini. Keraguan saya didasari akan rumor agenda-agenda politiknya yang turut menjadi bahan marketing dari pihak Marvel atau Disney. Sudah bukan rahasia umum lagi jika penonton kurang menyukai unsur politik dicampur adukkan dalam sebuah film. Tengok saja backlash yang diterima The Ghostbuster hingga Star Wars: The Last Jedi. Tidak hanya itu, berbagai kontroversi pun ikut mengiringi film ke 21 dalam sejarah MCU ini seperti pernyataan tidak penting dari artis pemeran Captain Marvel itu sendiri, Brie Larson hingga keputusan Rotten Tomatoes yang menghilangkan skor Want to See di website mereka. Walaupun begitu, semua drama ini sepertinya tidak menghentikan Captain Marvel untuk menorehkan kesuksesan dalam finansial. Sampai tulisan ini saya buat, angka box office dari Captain Marvel cukup fantastis. Lalu bagaimana dengan kualitas film nya itu sendiri?

Jujur, saya merupakan salah satu "fans" yang sedikit antipati dengan film ini sehingga saya pun memasuki studio 2 di Cinema 21 Palembang Square dengan ekspektasi serendah mungkin. Dan percaya atau tidak, berkat hal tersebut, ternyata mampu membuat saya cukup menikmati Captain Marvel, walau saya akui, Captain Marvel mungkin adalah salah satu film terlemah dari MCU.

Poin kelemahan Captain Marvel adalah di awal-awal durasi, dimana Vers masih menjalani tugasnya sebagai anggota dari Starforce. Disini saya mendapati narasinya kurang menarik atensi, ditambah lagi karena memang saya tidak terlalu paham dengan dunia atau universe Marvel itu sendiri. Kita mendapati jika Vers sudah memiliki kekuatan super, namun Vers masih kesulitan dalam mengendalikan kekuatan tersebut. Selain itu, ia juga kesulitan dalam mengendalikan emosinya sehingga berulang kali Yon-Rogg mengingatkan dirinya untuk bisa lebih tenang. Adegan aksi penyelamatannya pun cenderung biasa saja. Rasa bosan pun seketika menyerang saya, dan entah berapa kali saya harus menguap akibat rasa bosan tersebut.

Duo sutradara Anna Boden-Ryan Fleck pun mulai menemukan ritme penceritaan kala Vers menginjakkan kaki nya di planet Bumi. Apalagi dengan kehadiran sosok Samuel L. Jackson dengan balutan CGI di muka untuk membuatnya terlihat jauh lebih muda sontak mulai perlahan merebut atensi saya. Kawanan Skrull yang mampu menyamar secara sempurna pun turut menambah bumbu penceritaan, sehingga cerita Vers dalam memburu mereka terasa menarik. Di awal misi Vers di Bumi juga memberikan kita suguhan aksi baku hantam di kereta api yang jelas lebih baik dibandingkan di sekuen aksi di awal.

Unsur "buddy cop" antara Vers dan Fury juga begitu kental terasa saat mereka mulai bekerja sama dalam mencari Skrull. Untuk pertama kalinya dalam sejarah MCU, kita menyaksikan sosok Fury sebagai comic relief. Interaksi nya bersama kucing Goose, yang telah mencuri perhatian bahkan semenjak kemunculannya di trailer, berhasil menjadi highlight dalam film ini.

Hingga pada momen terungkapnya masa lalu Vers yang sebenarnya merupakan penduduk asli Bumi dengan nama Carol Danvers, akhirnya saya sepenuhnya benar-benar terikat dengan narasi Captain Marvel. Momen terungkapnya jati diri tersebut berhasil membangun jembatan emosi saya terhadap salah satu karakter yang terlibat. Dugaan berhasil dikelokkan, dari tidak menyukai berbalik mendukung berkat twist nya yang efektif. Lashana Lynch sebagai Maria berhasil menyuntikkan hati akan penceritaan. Hubungan persahabatan antara Carol dan Maria cukup sukses memberikan suatu momen emosional tersendiri. Interaksi antara Carol dan anak Maria, Monica (Akira Akbar) juga memberikan kita kesempatan untuk melihat sisi lembut dari Carol. Sayang memang hubungan Carol bersama anggota Starforce lainnya, terutama dengan Yon-Rogg yang merupakan partner terdekatnya tidak dieksplor lebih jauh.

Mengenai sekuen aksinya bisa dibilang tidak ada yang terlalu memorable walau masih ampuh untuk memanjakan mata, termasuk sekuen aksi terakhir yang terlampau singkat. Oh ya, mendekati akhir, duo Anna-Ryan berhasil "menipu" ekspektasi kita dengan menampilkan salah satu momen lumayan kocak yang sepertinya diniati sebagai tribute untuk Indiana Jones. Nuansa 90an juga ikut terasa berkat adanya soundtrack dari No Doubt dan Nirvana. Mengenai lagu Come As You Are nya Nirvana, saya sedikit merasa penempatan lagu nya sedikit keliru, tidak ngeblend dengan cerita yang sedang berlangsung. Yah, hanya komplain kecil saja sih.

Para "haters" Brie Larson tentu akan gigit jari melihat aktingnya sebagai Carol disini. Larson berhasil membuktikan jika dirinya piawai dalam mengekspresikan emosi, dari sorotan mata hingga pada sunggingan senyumnya. Dirinya pun bisa menjalin chemistry yang meyakinkan dengan karakter-karakter lainnya, terutama tentu saja dengan Fury dimana ia tampak begitu percaya diri dalam bertukar dialog dengan Samuel L. Jackson, sehingga untuk saya, tidak sulit untuk menyukainya. Samuel L. Jackson sendiri tidak perlu diragukan lagi talenta komedik nya yang selalu tepat sasaran. Namun, jika harus memilih yang terbaik, saya memilih Ben Mendelsohn.

Dalam Captain Marvel, ada suatu kilasan cerita mengenai kisah hidup Carol Danvers yang kerap kali jatuh bangun untuk bisa melakukan sesuatu. Namun, tidak perduli berapa kali ia terjatuh, Carol tidak pernah berhenti untuk bangkit dan mencoba kembali, seolah ia menyadari jika semuanya akan berakhir jika ita tetap terbaring di tanah. Momen tersebut pun diikuti dengan berhasilnya Carol menguasai sepenuhnya akan kekuatan. Momen ini juga seolah merefleksikan pada situasi tidak mengenakkan yang diterima film ini dalam masa mendekati perilisan. Tidak perduli dengan segala keraguan hingga cemoohan yang ada, Captain Marvel membuktikan dengan hasil akhir nya yang jauh dari kata mengecewakan. Bukan yang terbaik dalam MCU tentu saja, namun film ini berhasil menjalankan misinya untuk mengenalkan salah satu superhero terpenting di The Avengers: Endgame nanti dengan sosok Captain Marvel yang likeable, serta humanis. Tentu saya masih keberatan sih jika Captain Marvel yang menghentikan Thanos nantinya.

7,5/10



Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!