Saturday 22 July 2017


Plot

Mei 1940, 400.000 tentara aliansi tengah terkepung di wilayah perpantaian Dunkirk. Kondisi tersebut tentu saja memudahkan pihak Jerman untuk melancarkan serangan demi serangan. Evakuasi pun coba dilakukan di tengah kondisi pelik itu. Bersama sang anak, Dawson (Mark Rylance) ditugaskan untuk melakukan tugas tersebut dengan kapal yang ia miliki. Di sisi lain, di medan pertempuran udara, Farrier (Tom Hardy) dan Collins (Jack Lowden) melakukan yang mereka bisa untuk mencegah angkatan udara Jerman melancarkan serangan. Tommy (Fionn Whitehead) yang merupakan salah satu dari ratusan ribu tentara aliansi yang terjebak di wilayah Dunkirk pun mencoba semua yang ia bisa untuk bertahan.




Review

Bila Anda merupakan pembaca setia blog saya ini (misalkan ada), Anda pasti tahu bila saya merupakan penggemar Christopher Nolan. Salah satu penyesalan terbesar di hidup saya adalah melewatkan kesempatan dua karya klasik dari Nolan, yaitu The Dark Knight dan Inception di layar besar bioskop. Belajar dari kesalahan besar itu, saya bersumpah untuk tidak melakukan kesalahan yang sama. Film Nolan harus saya saksikan di bioskop karena saya percaya kemampuan Nolan dalam meramu adegan-adegan yang ada di dalam filmnya terasa spesial, dan tentunya saya mengharapkan kejutan di akhir film yang merupakan salah satu signature yang Nolan miliki. Dan saya juga yakin penggemar film seperti saya akan memiliki keinginan yang sama. Setelah Interstellar yang memberikan saya pengalaman menonton yang sangat menyenangkan, maka saat ini Dunkirk juga saya harapkan memberikan kesan yang sama, atau bahkan bisa lebih. Terlebih kali ini, medan perang merupakan sorotan utama cerita.

Saya mengakui bila saya sama sekali tidak mengetahui mengenai sejarah perang Dunkirk yang terjadi di perang dunia kedua, maka saya pun tidak akan mengungkit atau membahas apakah semua yang Nolan angkat disini akurat atau tidak dengan sejarah yang ada. Saya percaya Nolan akan menyajikan sajian perang disini serealistis mungkin yang ia bisa, sama yang ia lakukan di film-film yang ia garap sebelumnya. Nolan yang kali ini tidak didampingi sang adik dalam menulis naskah menggulirkan plot penceritaan lewat tiga kejadian, yaitu yang pertama menceritakan satu minggu di tepi pantai Dunkirk dimana penonton akan melihat perjuangan Tommy untuk menyelamatkan diri, kemudian ada pertempuran udara yang diceritakan berlangsung satu jam dan terakhir satu hari perjalanan Dawson menuju Dunkirk. 

Ketika melihat rating MPAA Dunkirk adalah PG-13, Saya sempat khawatir bila Dunkirk akan kehilangan atmosfir seram peperangan dengan absennya darah yang bermuncaratan serta mayat bergelimpangan yang dipenuhi dengan darah. Hal itu perlu karena kita semua tahu, bahwa perang merupakan panggung akan kematian. Maksud saya, coba lihat yang dilakukan Mel Gibson pada Hacksaw Ridge, Gibson tidak sungkan-sungkan menakuti penontonnya dengan potongan-potongan tubuh, usus yang tercerai berai demi meyakini penonton akan betapa kejamnya dunia perang yang ada. Untungnya Nolan memiliki kemampuan dalam memacu adrenalin tanpa harus memperlihatkan kematian-kematian para tentara dengan mengekspos potongan-potongan tubuh akibat terkena bom-bom yang dijatuhkan angkatan udara Jerman. Nolan melakukan pendekatan dengan slow burn, contohnya saja seperti Tommy dan Gibson berpacu dengan waktu membawa korban dengan tandu ke kapal evakuasi. Nolan tahu benar bagaimana menyajikan momen-momen di filmnya terlihat spesial. Mungkin hal itu juga yang menyebabkan kombinasinya bersama Hans Zimmer selalu berhasil. Kontribusi scoring Zimmer di Dunkirk jelas tidak bisa dikesampingkan. Berkatnya setiap scenes yang memperlihatkan karakter-karakter disini dalam bahaya lebih terasa menegangkan. Oh, tidak lupa juga sinematografer Hoyte Van Hoytema yang tampaknya akan terus terlibat bersama Nolan kedepannya setelah melihat pekerjaannya disini. Hoytema berhasil dalam menangkap gambar demi gambar yang tak bisa dijelaskan akan keindahannya, terutama di bagian pertarungan udara. Hamparan laut serta langit biru menjadikan setiap pertempuran yang telah sering ditampilkan dalam media film terasa berbeda dan tidak bosan-bosan untuk dilihat ulang.

Para penonton yang telah menikmati karya-karya Nolan sebelumnya pasti telah mengekspektasikan bila plot di Dunkirk tidak akan berjalan linear. Namun plot di Dunkirk terasa berbeda karena yang menjadi fokus disini adalah karakter-karakter yang berbeda, sehingga potensi permasalahan mengenai pacing pasti akan muncul. Disinilah terlihat kematangan Nolan dalam menjaga tensi yang ada. Nolan melakukan transisi dari setiap penceritaan dengan mulus, yang menyebabkan  pacing bukan permasalahan di Dunkirk, melainkan adalah keputusan Nolan yang menggarap sejarah penyelamatan tentara ini dengan realistis dan tidak salah rasanya bila Dunkirk bagaikan semi dokumenter sejarah. Ya, Dunkirk bagaikan materi sejarah mengenai World War II yang sedang dipresentasikan Nolan kepada para penonton yang merupakan mahasiswanya. Memang, Nolan telah terkenal dengan mengambil pendekatan berbeda di setiap film-film blockbuster nya, tetapi sayangnya keputusan itu merupakan salah satu poin yang sedikit fatal bagi saya yang menjadikan Dunkirk, sejauh ini adalah film terlemah dari Nolan.

Keputusan Nolan tersebut mengakibatkan tidak adanya ruang eksplorasi mendalam terhadap karakter-karakter utamanya. Jujur, saya saja hanya teringat 3 nama saja disini saking kurangnya saya mengenal mereka, bahkan nama karakter Tommy yang diperankan Fionn Whitehead saya ketahui lewat website imdb. Hal ini juga mengakibatkan para aktor-aktor nya tidak mampu mengeluarkan kemampuan akting terbaiknya. Tom Hardy kembali harus merelakan muka tampannya (sounds gay?) sebagian besar tertutup, yang menyebabkan dirinya tidak bisa memperlihatkan facial expression yang merupakan salah satu kekuatan terbesar seorang aktor dalam berakting. Mungkin yang sedikit menonjol adalah Mark Rylance berkat screen time nya yang banyak serta juga terlibat dengan momen drama dalam Dunkirk. Cillian Murphy hanya diperlihatkan sebagai tentara yang mengalami trauma tanpa adanya pendalaman sehingga sulit untuk bersimpati terhadap dirinya. Keberadaan Harry Styles tampak jelas hanya dijadikan untuk menggaet para perempuan muda. Mengenai ini, ada kejadian lucu di cineplex XXI tempat saya menonton. Terlihat dua perempuan yang berebutan berfoto di depan poster Dunkirk (foto poster nya sama yang saya pakai diatas) dan meyakini bila pria yang menjadi cover poster tersebut adalah Harry Styles. I mean, what the hell?

Perbedaan yang dilakukan oleh Nolan bisa dimengerti, tetapi penonton seperti saya yang telah dicekcoki perperangan yang dihiasi drama seperti Saving Private Ryan atau yang terbaru, Hacksaw Ridge, membuat saya cukup sulit untuk beradaptasi dan rasanya sulit untuk merasa terikat dengan karakter-karakter disini yang tidak kita kenali dengan lebih baik, yang membuat Dunkirk terasa sedikit kosong. Padahal Nolan bisa memanfaatkan waktunya yang menyentuh 106 menit, seperti mendalami ikatan Tommy dan Gibson. Minim dialog pun turut menghilangkan identitas Nolan yang di film-film sebelumnya rutin menyebarkan kalimat-kalimat yang bisa dijadikan status di Twitter ataupun Facebook. Untungnya Nolan tidak lupa untuk menyuntikkan sisi humanis kepada setiap tentara yang pulang ke tanah air mereka. Sentuhan tersebut dimana Nolan memperlihatkan rasa malu tentara yang malah diselamatkan rakyat sipil, yang seharusnya mereka lindungi. 

Dunkirk tidak jelek, saya tetap menyukainya, dan bahkan rasanya rela untuk merogoh kocek kembali untuk menyaksikan Dunkirk di bioskop, tetapi permasalahan fatal yang saya sebutkan sebelumnya tentu tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Saya merupakan salah satu penggemar Nolan, dan karena itu, saya sangat mengharapkan untuk Nolan menarik diri dahulu dari dunia perfilman blockbuster dan kembali mengerjakan proyek-proyek low budget kriminal seperti Memento atau bahkan Insomnia.


8/10

0 komentar:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!