Wednesday 13 December 2017




"What hurts me the most is that I wasn't enough"- The Mother

Plot

Pasangan suami istri (yang diperankan Jennifer Lawrence dan Javier Bardem) kedatangan seorang tamu tak diundang (diperankan Ed Harris) yang mengaku sebagai seorang dokter. Sang suami (next, I'll call him "the writer") secara sukarela menawarkan tamu tersebut untuk menginap di rumah nya yang tampak belum selesai dipugar. Sang istri (i'll call her "the mother" next) tidak sepenuhnya sependapat akan tawaran suaminya, namun dia akhirnya mau menerima tamu tersebut. Tanpa disangka bila kedatangan tamu itu akan menghadirkan kejadian yang tidak mengenakkan untuk mereka.




Review

Finally, I just watched the movie that everyone talked about. Yeah, not Justice League, but Mother!. Semua penikmat film di internet ramai membicarakan film ini, bahkan saat saya mengetikkan keyword Mother!, tanpa embel-embel apapun, page pertama yang ada di Google dipenuhi akan teori-teori penjelasan sebenarnya mengenai film yang disutradarai dan ditulis oleh Darren Aronofsky ini. Sebenarnya, nama Aronofsky saja telah lebih dari cukup untuk saya mengapa saya begitu ingin menyaksikan karya terbarunya ini, tetapi dorongan itu semakin kuat kala melihat fakta bila Mother! menjadi salah satu film yang paling ramai didiskusikan pada tahun ini. Dan setelah baru pertengahan film berjalan, saya telah menyadari mengapa hal tersebut dapat terjadi. Because this movie really really, REALLY fucked up. History saya dalam menyaksikan film memang tidak sebanyak penggemar-penggemar film lainnya, terutama film yang bisa dikategorikan disturbing, tetapi rasanya saya tidaklah hiperbolis jika saya menyatakan bila film ini adalah film yang memberikan pengalaman paling tidak mengenakkan untuk saya kala menyaksikannya. Percayalah, sekali lagi, saya tidak mencoba untuk berlebihan.  Awalnya saya yang hanya menyiapkan diri akan sajian konflik pada rumah tangga, malah diberikan akan sebuah pengalaman menonton yang, well, sangat disturbing.

Dari awal saja ketika film bergulir, penonton telah disajikan akan sajian gambar muka perempuan dengan mata terbuka, dibakar habis oleh kobaran api, sebelum menutup matanya, diiringi dengan tetes air mata yang mengalir di pelupuk pipi, sebelum judul film terpampang dilayar. Setelah pembukaan yang telah mengundang pertanyaan sebenarnya jenis film apa yang akan kita saksikan ini, Aronofsky memperlihatkan the writer meletakkan batu berlian di tempat khusus, yang kemudian disusul dengan penampakan rumah yang awalnya tampak habis hangus terbakar, mulai merekonstruksi ulang hingga tampak normal kembali. Hingga kita akan diperkenalkan dengan seorang perempuan yang baru terbangun dari tidurnya. Tentunya adegan yang memakan waktu tidak sampai 1 menit itu telah membuat saya penasaran apa makna dibalik kejadian itu. Disitulah sebenarnya Aronofsky telah memberikan satu bukti penting secara tersirat yang tentu saja hanya bisa dimengerti oleh bagi mereka yang selesai menonton karyanya ini. Berfungsi juga untuk memberikan alasan kepada penonton yang telah dihinggapi penasaran supaya berkenan menikmati filmnya hingga usai demi mendapatkan jawaban. 

Untuk pertama kalinya dalam berkomentar mengenai film, disin saya akan mengulasnya dengan mengambil dua sudut pandang, yaitu sudut pandang sebelum dan setelah mendapatkan jawaban yang saya dapatkan dari beberapa artikel di internet.

SEBELUM

Aronofsky telah menebarkan berbagai keanehan-keanehan dalam filmnya bahkan di awal-awal. Selain adegan 1 menit yang saya jelaskan di atas, keanehan-keanehan kembali menghinggapi terutama setelah pasangan yang menjadi pusat cerita kedatangan tamu. Dari keputusan the writer yang mengijinkan si tamu untuk menginap saja di rumahnya saja telah mengundang pertanyaan yang besar. Belum lagi tingkah pola tak biasa baik dari the writer juga si tamu. Penonton, yang hanya bisa menangkap segala kejadian berdasarkan sudut pandang dari the mother, tentu sama sekali tidak mengetahui arti dibalik itu semua. The mother tampak hanya bisa pasrah dengan segala keputusan yang diambil oleh sang suami, bahkan yang paling aneh sekalipun. Belum cukup keanehan akan kedua karakter itu, Aronofsky juga menyebarkan keping misteri nya dari sosok the mother sendiri yang sering mengalami kesakitan dan pusing mendadak. Nuansa horor begitu menyeruak disini yang diakibatkan oleh kegelisahan serta ketidak tahuan dari sosok the mother. Apa yang dirasakan oleh the mother tertular pula kepada penonton, yang membuat saya mengerti mengapa Aronofsky berulang kali mengambil gaya point of view yang hanya terpusat dari apa yang disaksikan oleh satu karakter utama. 

Atmosfir horor begitu kental terasa. Pada bagian ini, Mother! mengingatkan saya akan film indie tahun lalu, yaitu The Invitation. Bedanya, bila yang merasakan kegelisahan pada The Invitation adalah sang tamu, disini yang mengalami rasa itu adalah dari sosok tuan rumah, yaitu the mother.  Rasa tidak nyaman the mother kian bertambah kala rumah yang mereka tempati semakin ramai. Di momen ini pula, selain kepingan-kepingan misteri, penonton seolah tidak diberikan kesempatan untuk bernafas dengan nyaman berkat ketegangan-ketegangan yang terjadi. Belum sempat rasa tidak nyaman akan kedatangan tamu asing yang bertingkah begitu misterius dan memberikan kesan tidak menyenangkan, the mother juga harus terlibat kejadian demi kejadian yang mampu membuatmu sesak dan sekali lagi, sulit untuk bernafas. Editing dari Andrew Weisblum tentu berperan besar untuk membantu suasana tersebut. Memang terkesan rushing akibat pacing nya yang begitu cepat, dari satu adegan lalu ke adegan yang lain, tetapi hal itu sangat berpengaruh dalam mewujudkan atmosfir tidak mengenakkan itu.  

Bila membicarakan hasil karya Aronofsky, rasanya kurang lengkap bila tidak menyentuh ranah disturbing nya, dan atmosfir itu kita dapatkan di paruh kedua film berjalan. Percayalah, segala hal yang terjadi di paruh pertama tadi, ditingkatkan dosisnya beberapa kali lipat oleh Aronofsky. It's just extremely chaos, if I have to say to you. Rasa disturbing yang saya rasakan kala melihat Requiem for a Dream seolah tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di paruh kedua ini. Saya tidak ingin mengganggu sensasi kalian yang ingin menonton, jadi bila kalian telah cukup penasaran, hentikan membaca dan segera tontonlah film ini. Kalian akan mendapatkan jawabannya sendiri bila saya tidak mencoba untuk berlebih-lebihan disini. 

Aronofsky juga terkenal dengan sutradara yang mampu memaksa aktor/aktris yang bermain dalam filmnya mampu mengeluarkan semua kualitas akting terbaik yang mereka punya. Setelah Ellen Burstyn, Mickey Rourke dan Natalie Portman, kali ini sang kekasih sutradara sendiri (atau udah jadi mantan ya?), Jennifer Lawrence yang menjadi "korban" nya. Saya menyukai Lawrence, tetapi saya juga terkadang menganggap para kritikus atau penggemar-penggemar film lainnya terlalu berlebihan dalam memuji performa Lawrence di film-film sebelumnya (aktingnya di American Hustle bagi saya cukup overrated). Namun tidak untuk disini, karena saya berani bilang, jika Lawrence, paling tidak, tidak masuk dalam nominasi Oscar kategori Best Actrees tahun depan, maka itu akan menjadi salah satu kesalahan terbesar yang dilakukan oleh pihak Academy. Bahkan, akting nya disini saya rasa telah lebih dari cukup untuk Lawrence mendapatkan piala Oscar nya yang kedua. Disini, Lawrence bisa saya katakan keluar dari zona nyamannya. Dia tidak dimodali dengan dialog-dialog yang banyak, karena akting yang ia tonjolkan disini adalah lewat ekspresi mukanya. Dari ekspresinya, Lawrence memperlihatkan kegelisahan, ketidak nyamanan, hingga ketakutan dari apa yang dialami nya. Dibantu pula teknik pergerakan kamera yang senantiasa mengikuti dirinya kemanapun, hingga zoom kamera ke mukanya, ikatan antara penonton dengan the mother tercipta. Kita perduli akan dirinya, dan merasakan simpati mendalam kala dirinya seolah tidak dinilai keberadannya, bahkan untuk pertama kalinya, saya sampai trenyuh melihat karakternya disini. Penampilan Lawrence begitu totalitas disini (kayaknya dalam film, untuk pertama kalinya, Lawrence bersedia memperlihatkan payudaranya), dan menurut saya, inilah pencapaian terbaiknya dalam berakting. Aktor pendukungnya juga tidak kalah cemerlangnya. Javier Bardem tentu pintar dalam memerankan karakter yang misterius. Sebenarnya tidak salah jika kalian menganggap karakter the writer cukup mengesalkan disini (terutama mungkin untuk para perempuan), namun disisi lain kita juga merasakan kehangatan yang dipancarkan Bardem pada suatu adegan yang membuat saya cukup bingung apakah tepat untuk membencinya atau tidak, karena kita tahu, karakter Bardem lah yang memiliki kunci jawaban akan setiap peristiwa aneh yang terjadi di rumahnya. Ed Harris dan Michelle Pfeiffer pun juga tidak mau kalah, dengan selalu memancarkan atmosfir misterius dengan keberadaanya, terutama Pfeiffer.

Setelah dibuat sesak, tidak nyaman, juga rasa penasaran berlipat yang telah bertumpuk dari awal, saya mengharapkan jawaban dari Aronofsky. Dan ternyata, Aronofsky cukup pelit karena hingga film berakhir, bukannya jawaban, penonton malah disuguhkan oleh ending yang malah menggiring penonton kembali dihadang oleh pernyataan. Untuk itulah, setelah menyaksikan Mother!, tidak butuh waktu lama, saya membuka artikel demi artikel untuk mencari jawaban. Dan saya akan membahasnya sedikit dalam paragraf selanjutnya. Tentu saja pada bagian ini akan dipenuhi oleh spoiler.


SETELAH

Sekitar 2-3 website saya kunjungi yang menghadirkan teori berkenaan penjelasan apa maksud sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Aronofsky dalam Mother!. Dan dari website-website tersebut, jawaban yang paling memuaskan (bukan yang benar ya, karena sebagai penonton kita hanya bisa berintepretasi dengan segala kepingan-kepingan puzzle yang diberikan sang sutradara) adalah website ini. Buat yang telah menonton, silahkan menuju kesana, tetapi bila kalian cukup malas untuk mengklik link tersebut, mari saya jelaskan ulang sedikit disini mengenai penjelasan yang telah dipaparkan dan juga digabung dengan asumsi saya sendiri setelah membaca penjelasan tersebut.

Aronofsky ternyata bermain alegori disini, dimana ia menempatkan karakter the writer sebagai Tuhan dan the mother adalah hasil karya nya, yaitu Bumi. Kemudian, dijelaskan juga bila karakter-karakter seperti si tamu dan istrinya adalah representatif dari manusia pertama, Adam dan istrinya, Hawa. Kala membaca ini, saya rasanya bisa sependapat karena kisah keluarga mereka memang begitu mirip dengan kisah Adam dan Hawa. Bahkan konflik yang terjadi pada keluarga tersebut juga menghasilkan pembunuhan, yang berkaitan dengan kisah Qabil dan Habil. Lalu tulisan yang dibuat oleh the writer bagaikan kitab, yang kemudian melahirkan pendukung-pendukung (atau umat beragama) yang memuja the writer. Konflik luar biasa yang terjadi di rumah the writer dan the mother sendiri bagaikan menangkap sikap manusia yang doyan akan menciptakan keributan serta merusak apa yang telah dibangun oleh the writer, padahal the writer sendiri telah mengijinkan mereka untuk mengambil apapun yang mereka mau dari rumah tersebut. Namun, ternyata itu tidak cukup, hingga pada kejadian ini pula tampak Aronofsky ingin memperlihatkan ketamakan manusia. Di momen ini pula, kita melihat karakter the mother yang kehadirannya tidak dianggap oleh manusia, yang berakibat the mother tidak bisa apa-apa kecuali menyaksikan kekacauan yang diciptakan oleh manusia. Dari sini lah bagi saya tampak "keangkuhan" dari sang sutradara yang notabenenya adalah penganut atheis, yang mana ia berpendapat bila hadirnya suatu kepercayaan, hanya akan mengakibatkan keributan dimana-mana, seperti yang terlihat dalam film ini. Tidak hanya keributan tetapi juga akan fanatisme berlebihan yang berdampak akan kegilaan pada tiap individu melakukan seperti apa yang mereka percayai. Sebagai umat beragama, tentu saya tidak sependapat dengan apa yang ingin Aronofsky sampaikan disini, tetapi mari lah untuk tidak berlebihan dan anggap saja ini hanyalah film. Segala penjelasan tersebut memang cukup masuk akal dan memiliki korelasi nya dengan film, tetapi penjelasan ini juga tidak menjawab beberapa hal misterius yang terjadi dalam film ini, seperti apa poin keberadaan bayi disini? Apakah hal tersebut merepresentasikan tumbuhan yang lahir dari perut bumi? Lalu, apa cairan kuning yang kerap diminum the mother saat ia mengalami kesakitan? 

Mother! memang menawarkan banyak sekali pertanyaan demi pertanyaan yang akan timbul dari setiap menit nya berjalan. Tetapi itu juga bagi saya merupakan poin positif terbesarnya. Belum lagi gabungan atmosfir horor, thriller juga kesan disturbing yang kental di paruh kedua, menjadikan film ini tidak mudah untuk terlupakan. Bukan karya terbaik dari Aronofsky, tetapi bisa jadi, inilah film Aronofsky yang akan terus diperbincangkan dalam kurun waktu yang cukup lama kedepannya. One of the most disturbing movie of the year.


8,25/10

3 comments:

  1. Kalo soal bayi nya, itu direpretasikan sebagai bayi Yesus yg lahir k dunia lalu dikorbankan olwh manusia. Dari berbagai situs penjelasan juga seperti itu kok

    ReplyDelete
  2. Ulasan yang cukup lengkap, terima kasih sudah berbagi.

    ReplyDelete

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!