I'm somebody now, Harry. Everybody likes me. Soon, millions of people will see me and they'll all like me. I'll tell them about you, and your father, how good he was to us. Remember? It's a reason to get up in the morning. It's a reason to lose weight, to fit in the red dress. It's a reason to smile. It makes tomorrow all right. What have I got Harry, hm? Why should I even make the bed, or wash the dishes? I do them, but why should I? I'm alone. Your father's gone, you're gone. I got no one to care for. What have I got, Harry? I'm lonely. I'm old. -Saea Goldfarb
Plot
Menceritakan kisah 4 manusia yaitu Sara Goldfarb (Ellen
Burstyn), Harry Goldfarb (Jared Leto, gak kenal? Kemana aja lo???), Marion
Silver (Jennifer Connelly), dan Tyrone (Marlon Wayans). Sara Goldfarb merupakan
seorang ibu rumah tangga yang telah memasuki usia senja, dan dia juga telah
ditinggal selamanya oleh suaminya. Sedangkan Harry telah memiliki tempat
tinggal sendiri dan hanya sesekali datang kerumah Sara, itupun Cuma mau
ngegadaiin TV kesayangan Sara. Sara yang kesepian hanya bisa mengisi waktu
luangnya dengan menonton TV dan bercengkerama dengan teman-temannya. Semua
dijalankannya dengan tanpa harapan, sampai suatu ketika dia mendapatkan
telepon, dan Sara diundang untuk mengikuti sebuah acara, namun tidak tahu kapan
waktu nya. Sara tentunya gembira dengan ajakan itu, dan berencana untuk memakai
gaun merah kesayangannya. Sayangnya gaun tersebut adalah gaun yang dia pakai
ketika masih muda dan itu sudah berpuluh-puluh tahun yang dulu. Sekarang badan
Sara tidaklah selangsing saat itu sehingga gaun tersebut tidak muat lagi di
tubuhnya yang renta. Dengan saran dari tetangganya, Sara pun menjalankan
program diet natural dengan mengurangi penggunaan gula. Namun Sara tidak tahan
dengan program tersebut sehingga dia pun menghubungi dokter ahli diet dan
menerima pil-pil yang akan merubah kehidupannya. Sedangkan Harry, dan
sahabatnya Tyrone serta kekasih Harry yaitu Marion merupakan sesosok remaja
yang telah terjebak dengan penggunaan narkoba, bahkan mereka adalah junkies
yang telah memasuki level ‘gak-ada-narkoba-sama-dengan-gak-ada-oksigen’. Harry
dan Tyrone pun memiliki rencana untuk tidak hanya menjadi user, namun mereka
ingin menjadi seller juga untuk merubah kehidupan mereka dan mencoba mengais
asa untuk meraih mimpi mereka juga. Beberapa benang merah yang mengaitkan kisah
diatas adalah mimpi, obsesi, dan tentunya candu obat-obatan.
Review
Semua manusia di muka bumi ini pasti memiliki harapan dan
impian untuk mencapai kesuksesan, terlepas apa yang mereka definisikan apa itu
kesuksesan bagi mereka. Tinggal bagaimana cara kita untuk mewujudkan mimpi
tersebut. Pilihannya ada dua, melalui jalan pintas atau jalan yang benar. Jelas
kita dianjurkan untuk memilih jalan yang benar untuk meraih kesuksesan
tersebut, namun seringkali jalan yang benar tersebut dikelilingi dengan
cobaan-cobaan yang mencoba untuk menggoyahkan kita, sedangkan jalan pintas
dikelilingi dengan hasutan-hasutan yang juga menggoda kita untuk lebih memilih
jalan tersebut. Namun, jalan pintas tersebut tidak selamanya menyenangkan.
Mungkin kita akan meraih kesuksesan, namun apakah kesuksesan tersebut
memberikan kita sebuah akhir yang bahagia pula? Nah hal tersebut lah yang
Darren Aronofsky coba uraikan dalam film keduanya setelah Pi pada tahun 1998.
Istilah Requiem sendiri ketika gw searching di google.com merupakan istilah yang sering dipakai untuk sesi penguburan. Jadi bisa kita artikan dari judul ini adalah Penguburan Mimpi. Tuh, dari judul aja udah depresif banget tuh.
Film yang diadaptasi dari novel karangan Hubert Selby, Jr.
Ini terdiri dari 3 fase yaitu Summer, Fall dan terakhir Winter. Diawal film
saja kita telah disuguhkan scene dimana Harry dan Tyrone membawa paksa tv
kesayangan sang ibu yaitu Sara yang diiringi dengan score fenomenal milik Clin
Mansell. Dari situ saja kita telah dikasih gambaran bahwa film ini akan
depresif dan tragis. Dan benar saja, hampir tidak ada sama sekali kebahagiaan
dalam film ini. Sang sutradara membingkai film ini sepenuhnya dengan depresif,
kisah tragis juga ironis. Mungkin bila Anda adalah penikmat film yang kurang
terbiasa dengan hal tersebut Anda mungkin akan tidak tahan, namun bila Anda
tahan dan menikmati suguhan dari Darren Aronofsky, gw jamin film ini akan
memberikan pengaruh yang nyata buat Anda. Gw gak bohong. Sampe detik ini, gw
masih mengingat gimana scene akhir dari film ini yang sangat menyedihkan,
mengiris hati, dan memaksa bibir gw mengucapkan kalimat istighfar!! Sangat
sedikit film yang mampu membuat gw mengeluarkan kalimat tersebut.
Gw mengapresiasi keberhasilan dari Darren Aronofsky
menggambarkan ke dalam bentuk visual bagaimana efek drugs tersebut bila telah
mengikat para pemakainya. Dengan jujur, beliau mampu menjabarkan apa saja sebab
akibat yang akan terjadi bila kita telah terikat dan tak mampu lepas dari
barang haram tersebut, sehingga kita para penonton pun juga akan ikut merasakan
apa yang dirasakan keempat karakter utama dalam film ini. Lebih hebatnya lagi,
Darren Aronofsky tidak hanya menceritakan tentang junkie terhadap obat, namun
juga terhadap pil diet, kopi bahkan acara tv. Acara tv yang ditonton oleh Sara
Goldfarb entah kenapa memberikan teror tersendiri ke gw. Dalam film ini juga
terdapat teknik-teknik kamera yang digunakan Darren Aronofsky, seperti split
screen, fast forward, dan lain-lain yang makin menambah kesan suram dan
depresinya namun juga indah diliat mata, serta membuat film ini berbeda dari
film-film yang lain. Oh dan jangan lupa dengan scoring Lux Aeterna yang
menyayat hati yang selalu mengiringi adegan-adegan suramnya. Gw yang awalnya
penasaran dengan scoring legendaris ini pun mengakui bahwa scoring ini sangat
luar biasa. Scoring ini benar-benar berhasil merasuki kita sebagai penonton.
Gak heran bila Lux Aeterna sering di recycle ulang dan digunakan oleh pihak-pihak
lain. Film fenomenal Lord of the Ring pun sempat memakai scoring ini.
Bila kita melihat plot utamanya yang terbagi dua, mungkin
semua sepakat bila cerita tentang Sara Goldfarb sangat menarik diikuti. Cerita
akan kesendiriannya, menjalani hidup tanpa harapan setelah semua yang
disayanginya meninggalkannya, hanya menjalani hari demi hari membereskan rumah,
bercengkerama dengan tetangga, serta pastinya menikmati acara favoritnya. Dan
harapan pun kembali datang ketika mendapatkan tawaran untuk menjadi bintang
tamu di dalam acara favoritnya tersebut. Dengan memakai gaun merah kesayangan
nya dan suaminya, Sara berharap bila dia tampil di acara tersebut, Sara mampu
menyatakan kepada khalayak walau kini dia janda dan hanya tinggal seorang diri,
dia masih bisa merasakan bahagia dan anak satu-satunya mampu membuatnya bangga
kedua orang tuanya. Gw sangat terharu ketika dia mengutarakan hal tersebut
kepada Harry di pertengahan film. Namun sayangnya obsesi yang tinggi tersebut
membimbingnya menuju ke jalan yang tidak akan pernah terbayangkan dalam
kehidupannya.
Oh ya, Saatnya kita memasuki ke departemen akting dalam film
ini. Dari mana dulu? Dari Marlon Wayans dulu ya. Gw kenal Marlon Wayans ketika
do’i main di franchise Scary Movie. Akting do’i disitu konyol dan mampu membuat
ketawa. Makanya gw terkejut melihat akting dia disini dimana dia bermain dengan
serius dan juga depresif. Mungkin bila porsinya ditambah serta kedalaman
karakternya juga ada, bisa aja dia mampu mengeluarkan akting nya yang maksimal.
Tapi overall penampilannya memuaskanlah. Jennifer Connelly sebagai love
interest dari Harry yang diperankan Jared Leto juga membuat gw terkejut. Gw
tahunya ini cewek Cuma bisa main aman serta hanya bisa berakting menjadi
cewek-cewek normal aja. Namun dia bermain disini dengan gila, serta lumayan
total. Benar-benar ya Darren Aronofsky, mampu membuat aktris-aktris yang
bermain dalam filmnya mengeluarkan akting maksimal dari sang aktris tersebut.
Kemudian kita beralih ke Jared Leto. Menurut gw akting dia dalam film ini merupakan
salah satu akting terbaik dari dia. Gw belum nonton film nya yang terbaru yaitu
Dallas Buyers Club. Disini Jared mampu mengekspresikan orang yang sedang junkie
dengan meyakinkan. Momen terbaiknya ketika rasa sakit nya memuncak di akhir
film ini. Namun tentu saja yang terbaik ada pada akting dari Ellen Burstyn
sebagai Sara Goldfarb. Obsesi serta kecanduan dari Sara Goldfarb berhasil
diinterpretasikan dengan hampir sempurna oleh Ellen Burstyn. Ekspresi
kesepiannya, kerapuhannya, ah, kenapa kualitas akting seperti ini masih gak
bisa menghasilkan Oscar sih?? Liatlah ekspresinya ketika scene percakapan
dengan Jared Leto sebagai Harry di pertengahan film.. Sangat memukau..
Kekurangan film ini mungkin konten yang ada film ini hanya
bisa dinikmati oleh orang dewasa dan menganggap kalo konten tersebut hanyalah
sebagai kebutuhan dari cerita saja. Dan juga tone depresif yang beredar di film
ini juga mungkin kurang bisa dinikmati oleh para penonton awam. Kemudian adegan
repetitif juga cukup banyak seperti teknik ketika para pemeran utama nya sedang
memakai obat-obatan, acara tv yang ditonton Sara. Gw jujur lumayan terganggu
dengan adegan acara tv yang diulang-ulang tersebut. Meneror banget dah buat gw,
nggak tau kenapa -__-
Kesimpulannya, Requiem for a Dream adalah sebuah film yang
mampu memberikan pengaruh kepada kita setelah menontonnya dengan seksama. Bagaimana
sebuah obsesi atau mimpi yang kita ingin capai bisa menjadi racun bila kita
tidak mencapainya dengan cara yang bijaksana dan lebih memilih cara yang salah.
Dengan performa yang total dari masing-masing pemeran utamanya, terutama Ellen
Burstyn, serta kejujuran dari film ini, dan pengarahan yang hampir sempurna
dari seorang Darren Aronofsky, Requiem for a Dream berhasil menjadi salah satu
film bertemakan drugs terbaik saat ini.
0 komentar:
Post a Comment