Wednesday 22 March 2017


"Row, row, row your boat gently down the stream, merrily merrily merrily merrily life is but a dream!"-Howard

Plot

Berkharisma, pembicara yang baik dan cerdas membuat karir seorang Howard Inlet (Will Smith) tampak mulus ketika lembaga yang ia dirikan, Yardsham Inlet, tengah berada di puncak kesuksesan. Namun semua berubah tiga tahun kemudian kala sang buah hatinya meninggal dunia yang berdampak pada hilangnya semangat Howard. Hal ini pun membuat Yardsham Inlet tengah berada di posisi sulit sehingga partner kerja Howard, Whit (Edward Norton) memtuskan untuk menjual saham Howard. Gagasan ini pun juga di setujui kedua rekannya yaitu Claire (Kate Winslet) dan Simon (Michael Pena). Namun, meminta persetujuan Howar yang bahkan diajak bicara pun susah bukanlah hal yang gampang, sehingga Whit pun memiliki ide untuk menggunakan tiga aktor teater yaitu Amy (Keira Knightley), Brigitte (Helen Mirren), dan Rafi (Jacob Latimore) untuk memanipulasi pikiran Howard.




Review

Bukan hal mudah memang membahas sesuatu yang abstrak seperti cinta, waktu dan kematian dan memasukkannya kedalam media yang bernama film, apalagi membahasnya ketiga-tiganya serentak. Oh, tidak ketinggalan juga durasinya yang termasuk singkat yaitu hanya sekitar 97 menit saja. Maka ketika saya mendapati hasil akhir dari Collateral Beauty hasil garapan David Frankel ini tidak memuaskan, bahkan cenderung berantakan, saya tidak terlalu terkejut. Sebuah karya yang ingin terlihat puitis dialog-dialognya seolah quote berjalan, bersentuhan pula dengan sedikit aura spiritualnya, malah jatuhnya membingungkan dan seolah menunjukkan kebingungan penulis naskah mau diapakan sebenarnya pondasi awal yang di atas kertas sebetulnya menarik.

Ya, cerita mengenai manusia yang tengah berada di bawah titik nadir dan akhirnya akan mendapatkan kembali arti hidupnya selalu menjanjikan bagi saya. Memang akhir kisahnya selalu sama, namun yang membuatnya menarik adalah proses bagaimana menuju happy ending tersebut yang bisa saja menginspirasi atau memberikan pelajaran bagi penontonnya. Lebih bagus lagi bila apa yang tampil di layar tidak terkesan menggurui dan pastinya realistis. Satu lagi, kisah mengenai kehilangan seseorang akan selalu relatable bagi penonton sebab manusia mana yang tidak pernah mengalami kehilangan seseorang yang berarti bagi dirinya. Modal awal untuk menjadikan Collateral Beauty sebagai tontonan yang ringan namun emosional telah berada di genggaman David Frankel dan Allan Loeb yang bertugas sebagai penulis naskah. Namun sayang, apa yang telah ada di genggaman (tak) sengaja dijatuhkan mereka akibat hilangnya arah untuk mencoba memperdalam cerita yang ada.

Collateral Beauty membukanya dengan cukup percaya diri. Dengan cukup cepat kita telah dihadapkan oleh konflik utama dan secara perlahan kita telah tahu film ini akan dibawa kemana. Loeb pun seolah mengambil risiko dimana Loeb secara outta nowhere membawa kisah Collateral Beauty masuk ke dalam ranah spiritual dengan cara yang bisa dibilang absurd, namun di sisi lain lumayan kreatif. Berisiko, karena ya keputusan Loeb untuk menggerakkan narasinya dengan cara tersebut sangat absurd bila ditilik dari logika. Dan memang setiap kali rencana itu berjalan di layar, logika kita pun terpaksa bekerja dengan menampilkan beberapa pertanyaan di benak. Namun, saya bisa memaafkan itu karena tak bisa ditampik, hal itu tersebut membuat film ini menarik dan tidak membosankan dengan segala keanehannya, ditambah juga ada usaha dari Loeb untuk tidak membiarkan adegan-adegan yang ada sepenuhnya tidak masuk akal. Sayangnya Loeb sedikit telat sebenarnya saat mengungkapkan jalannya narasi tersebut, karena sebelumnya Collateral Beauty sedikit telah terasa padat dengan sub plot yang ada pada karakter Whit. Dan seolah kurang dengan konflik yang ada, Loeb kembali memasukkan sub plot nya kepada dua karakter utama lainnya, yang membuat semakin padatnya film. Dari sini saya mulai khawatir akan hasil akhir dari Collateral Beauty. 

Bukan masalah sebenarnya keputusan untuk menambah konflik di dalam penceritaan, ditambah memang fokus penceritaan tetap berpusat akan konflik yang dialami karakter Howard dan bagaimana Whit, Claire serta Simon "membantu" Howard keluar dari permasalahannya, namun menjadi sebuah keputusan yang bisa dibilang salah juga bila sub plot yang hadir terasa dijadikan hanya tempelan tanpa ada pendalaman untuk tiap karakter sehingga sub plot yang ada terasa useless. Mustahil untuk bersimpati kepada mereka bila penonton tidak diberi alasan yang cukup kuat. Padahal sebenarnya sub plot Whit, Claire dan Simon tersebut merefleksikan tiga cerita yang ingin dibahas disini, yaitu Love, Time, and Death. Cerita pun mulai terasa berputar-putar seolah hanya demi menambah durasi film tanpa eksplorasi konflik yang memadai.

Dan tiba pada kesalahan fatal yaitu endingnya. Serius, saya sempat mempertanyakan kemampuan intelejensi saya karena saya tidak bisa menangkap apa maksud dari Frankel dan Loeb dengan begitu percaya dirinya menyajikan twist ending seperti ini. Apa mereka ingin Collateral Beauty terasa pintar? Atau memang mereka telah kehabisan ide untuk mengakhiri kisah "seberat" Collateral Beauty? Atau mereka sengaja ingin penontonnya ikut merasakan kebingungan seperti karakter Howard disini? Tidak tahu, dan mungkin juga Frankel dan Loeb tidak memiliki jawabannya. Bila Anda begitu penasaran dengan endingnya, percayalah, it's mindblowing (not in positive way) more than The Village's one. It's stupid. Double twist nya memperparah kualitas dari Collateral Beauty yang sebenarnya juga sebelum bencana tersebut tidak memiliki penceritaan yang bagus.

Jelas setiap film pasti memiliki nilai positifnya. Yah, paling tidak A-list star yang terlibat di film ini telah tahu bagaimana berakting, walau dengan naskah dangkal sekalipun. Will Smith bermain baik sebagai seorang ayah yang kehilangan arah, saya selalu menyukai tiap kali Will Smith mengeluarkan emosinya kala berakting. Tidak pernah gagal.  Karakter pendukung lainnya juga berinteraksi dengan baik seperti yang terbaik hubungan antara Hellen Mirren dan Michael Pena yang setidaknya membuat saya sedikit memperhatikan karakter Simon. Intinya lakon mereka mampu memenuhi ekspektasi yang ada di benak penonton. Bisa bertambah runyam dong kalau dengan artis-artis yang sering masuk nominasi Oscar seperti Will Smith, Kate Winslet, Edward Norton, Hellen Mirren atau juga Naomi Harris pada akhirnya juga mengecewakan seperti naskahnya. Pengambilan gambar dari Maryse Alberti pun sangat menyegarkan mata dan berhasil membangun semangat natalnya dengan kombinasi warna putih salju,dan gemerlap lampu-lampu yang menghiasi pohon cemara 

Saya ingin sekali menyukai Collateral Beauty (because Will Smith in it), tapi double twist di akhir merusak segalanya. Tidak perduli dengan letupan-letupan emosi yang ada di dalamnya, Collateral Beauty bagaikan adegan dimana ratusan domino runtuh di dalam film ini. Dengan pondasi atau modal yang sebenarnya cukup kuat dan menarik, namun sayangnya dengan sentuhan di akhir, film ini menjadi hancur lebur dan mengutip salah satu reviewer di yahoo,  Collateral Beauty left us questioning our inteligence after that double twist.

6/10

0 komentar:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!